Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Jumat, 28 Januari 2011

Luigi dan Maria: Teladan Pasutri


Pada tanggal 21 Oktober 2001, Paus Yohanes Paulus II, menyatakan “kudus” bagi pasutri Luigi dan Maria Beltrame Quattrocchi. Paus mengatakan bahwa hidup mereka sebagai pasutri dan sebagai orangtua menjadi model atau panutan bagi semua orang kristiani. Pernyataan seperti ini merupakan pernyataan yang pertama kalinya di dalam sejarah Gereja Katolik bahwa sepasang suami isteri dibeatifikasi.


“Kekayaan iman dan cinta perkawinan yang ditunjukkan oleh Luigi dan Maria Beltrame Quattrocchi merupakan gambaran yang hidup dari apa yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II bahwa semua umat beriman dipanggil kepada kesucian”, demikian kata Paus dalam kotbahnya. “Mereka berdua telah menghayati hidup yang biasa ini dengan cara yang sungguh luar biasa,” seraya menunjukkan bahwa kesucian bagi pasangan suami-isteri itu mungkin dan indah.


Hidup Pasutri


Luigi Beltrame lahir pada tanggal 12 Januari 1880 di Catania, dan bertumbuh dewasa di Urbino. Karena pernah dijadikan anak angkat oleh tantenya, maka Luigi Beltrame mendapatkan nama tambahan Quattrocchi di belakang namanya. Meskipun pernah menjadi anak angkat tantenya, dan hidup bersama dengan tantenya yang tidak memiliki anak, Luigi tetap memiliki ikatan hubungan yang kuat dengan orangtuanya.


Setelah menjalani pendidikan dasar, ia meneruskan kuliah di Fakultas Hukum di Universitas “La Sapienza”, Roma. Ia memperoleh gelar sarjana di bidang Hukum, yang membuatnya mampu untuk menjadi advokat di bidang hukum di lembaga pemerintah. Dia juga bekerja di lembaga perbankan milik pemerintah dan otoritas pembangunan nasional, sampai mendapatkan pension dari Pemerintah Italia. Dia adalah sahabat dari para tokoh politik di Italia seperti Luigi Sturzo, Alcide de Caspari, dan Luigi Gedda, yang bekerja untuk kelahiran kembali Italia dari masa kekejaman Facisme dan Perang Dunia II.


Pertemuannya dengan Maria Corsini di rumah keluarganya di Florence telah mengubah masa depannya, ketika mereka menikah pada tanggal 25 Nopember 1905 di Basilika St Maria di Roma. Maria lahir pada tanggal 24 Juni 1884 di Florence dari keluarga bangsawan Corsini. Dia menerima pembentukan budaya yang kuat yang dibantu oleh keterlibatan keluarga di dalam budaya hidup kota Florence. Dia suka musik. Menjadi profesor dan penulis naskah-naskah yang bertemakan pendidikan; menjadi anggota beberapa asosiasi, termasuk asosiasi Aksi Katolik untuk kaum wanita.


Pasangan suami-isteri Luigi Maria memiliki empat anak. Satu tahun setelah perkawinan, Luigi dan Maria memiliki anak pertama yang diberi nama Filippo. Kemudian menyusul lahir Stefania dan Cesare. Filippo menjadi imam diosesan. Cesare tinggal di rumah; tetapi pada tahun 1924 dia masuk biara trapis. Stefania pada tahun 1927 masuk biara Benediktin di Milan dan mengubah namanya menjadi Cecilia.


Pada akhir tahun 1913, Maria hamil lagi, dan melahirkan anaknya yang terakhir yang diberi nama Enrichetta. Karena mengalami kesulitan dalam kehamilan, seorang dokter ginekolog menasihati Maria agar dia mau menggugurkan anaknya demi “menyelamatkan sekurang-kurangnya ibunya”. Menurut diagnosis dokter kandungan itu, kemungkinan hidup untuk anaknya hanyalah 5%. Luigi dan Maria menolak nasihat dokter itu dan mereka mempercayakan segala sesuatunya kepada penyelenggaraan Tuhan. Kehamilan Maria merupakan salah satu bagian dari kesedihan dan penderitaan mereka. Tuhan menanggapi dengan memberikan jawaban yang melebih apa yang diharapkan manusia. Enrichetta lahir, dan keduanya, anak dan ibunya, selamat.


Pengalaman iman jelas menunjukkan bagaimana hubungan antara suami dan isteri itu tumbuh dalam keutamaan, tentu karena terbantu dengan mengikuti Misa dan menerima komuni suci setiap hari. Sebelum perkawinan, Luigi, meskipun saleh, jujur dan tidak egois, tidak memiliki iman yang kuat. Dia bertumbuh di dalam iman dan kedekatan dengan Tuhan di dalam hidup perkawinan mereka.


Luigi meninggal pada tahun 1951 pada umurnya yang ke 71. Maria, yang mempersembahkan dirinya kepada keluarganya, dan kepada organisasi karitatif dan sosial, meninggal dunia pada tahun 1965 ketika dia berumur 81 tahun di pangkuan Enrichetta di rumahnya di daerah pegunungan Serravalle.


Hidup Keluarga


Filippo, anaknya yang pertama, menjadi pastor diosesan. Pada umur 80 dia menyadari bahwa orangtuanya adalah orang-orang yang sangat serius dan kuat dalam memegang prinsip. Tetapi mereka juga orang-orang yang selalu menjaga suasana damai dan penuh kegembiraan di dalam keluarga. “Saya masih ingat suasana kegembiraan di dalam rumah, tanpa kebosanan dan tidak berlebihan dalam hidup beragama”. Enrichetta anaknya yang termuda, yang menghabiskan waktu hidupnya bersama dengan orangtua, mengagumi hubungan yang mendalam dalam hal cinta dan saling memahami satu sama lain.


“Memang ada saatnya di mana mereka memiliki pendapat dan sudut pandang yang berbeda, tetapi anak-anak tidak pernah memperhatikannya. Orangtua kami dapat memecahkan segala masalah melalui dialog; pada suatu ketika persetujuan itu bisa dicapai, suasana tetap harmonis, dan kedamaian di rumah tercipta.

Di dalam bukunya yang berjudul “Radiography of a Marriage” (1952) Maria menulis: “Sejak kelahiran anak lelaki kami yang pertama, kami mulai mempersembahkan diri kami kepada anak-anak, dan melupakan diri sendiri. Perhatian pertama, senyuman pertama, tertawa yang menggembirakan, langkah pertama, kata pertama, kecenderungan jelek yang dapat dilihat, memberikan kepada kami banyak kecemasan. Kami baca buku-buku psikologi anak. Untuk dapat lebih mencintai anak-anak, kami mencoba menjadikan diri kami lebih baik dulu dengan mengoreksi karakter kami. Kami mencoba apa yang terbaik untuk membiarkan anak-anak bermain di antara mereka sendiri agar terhindar dari pengaruh anak-anak lain yang menerima pendidikan yang berbeda, yang dapat merusak karya yang dengan sungguh-sungguh diperhatikan (meskipun tidak sempurna).”


Tulisnya lagi: “Datanglah masa sekolah untuk anak-anak. Pendidikan sekolah melengkapi pendidikan dalam keluarga, dan menyiapkan mereka untuk hidup masa depan. Kami berjaga siang dan malam, jangan sampai anak-anak mengalami kegelapan jiwa. Kami berdua merasakan suatu tanggungjawab yang besar di hadapan Allah, yang mempercayakan anak-anak di dalam pemeliharaan kami dan di hadapan Negara yang mengharapkan anak-anak menjadi warganegara yang baik.”


“Kami membuat anak-anak bertumbuh di dalam iman agar mereka mengenal Allah dan mencintai Dia. Tentu saja kami pernah jatuh dalam banyak kesalahan, karena pendidikan anak sungguh merupakan ‘seni dari segala seni’, dan tak dapat dipungkiri bahwa kami pun menghadapi banyak kesulitan. Tetapi satu hal yang pasti: seperti dua badan di dalam satu jiwa, kami berdua bercita-cita untuk melakukan apa yang terbaik, kami siap menghindari segala sesuatu yang dapat melukai mereka, bahkan jika perlu diri kami pribadi kami kurbankan. Dedikasi kami yang penuh kegembiraan demi anak-anak memberikan kepada kami segala sesuatu sebagai kompensasinya, karena kegembiraan itu adalah kegembiraan Allah sendiri.”


Hidup keluarga tidak pernah menjemukan. Selalu ada saja waktu untuk berolahraga, liburan di laut, liburan di gunung. Rumah selalu terbuka untuk teman-teman dan mereka boleh mengetuk pintu untuk mencari makan. Selama Perang Dunia, jalan Depretis, dekat gereja St Perawan Maria, merupakan tempat berteduh bagi para pengungsi. Setiap sore mereka berdoa rosario bersama, dan mempersembahkan keluarga kepada Hati Kudus Yesus. Mereka juga menyelenggarakan kalasanta atau mengikuti astuti pada hari Jumat pertama dalam bulan.


Maria yang dengan serius melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, masih juga menemukan waktu untuk berdoa dan menulis, di samping melakukan aktivitas kerasulan, entah di Universitas atau ambil bagian di organisasi Aksi Katolik kaum wanita Italia. Ia adalah relawan perawat Palang Merah selama Perang Dunia II di Etiopia , pernah menjadi katekis, dan bersama Luigi dan anak-anaknya pernah menjadi Pembina pramuka untuk kaum muda di Roma. Mereka terlibat dalam beberapa bentuk kerasulan pendampingan keluarga dan perkawinan.

Di tengah segala aktivitas kesibukan sehari-hari, kegembiraan liburan dari ketiga anaknya yang pertama terjadi; dan di sana berkembanglah cinta dan keteguhan mereka untuk bermurah hati dan untuk setia pada panggilan Allah. Tambahan pula, Maria berkehendak untuk mempersembahkan anaknya yang keempat, Enrichetta, kepada Tuhan, jika hal ini memang diminta darinya. Kemudian Maria bersama dengan suaminya, Luigi, melaksanakan program untuk menanggapi panggilan apa saja yang datang dari Allah. Setelah lama berdoa dan berkonsultasi, mereka memutuskan untuk meninggalkan hubungan seksual mereka, yang disepakati bersama oleh mereka berdua, setelah 20 tahun menjalani hidup perkawinan, ketika Luigi berumur 46 tahun dan Maria 41 tahun.


Mereka adalah sepasang suami isteri yang mengetahui bagaimana mencintai dan saling hormat menghormati satu sama lain dalam pengalaman pasang surut di dalam hidup berkeluarga dan perkawinan mereka. Mereka menemukan di dalam cinta Tuhan kekuatan untuk memulai dan memulai lagi. Mereka tidak pernah kehilangan hati meski menghadapi berbagai pengalaman negatif di dalam hidup berkeluarga: tragedi perang, dua anak yang masuk dalam tugas wajib militer, pendudukan Jerman atas Roma, dan mengalami masa rekonstruksi Italia setelah perang, dan mereka berjuang dengan rahmat Allah menapaki jalan menuju kesucian di dalam hidup yang serba biasa.


Beatifikasi


Beatifikasi untuk Maria dan Luigi terbuka pada tanggal 25 Nopember 1994, dan pada tanggal 21 Oktober 2001 Paus Yohanes Paulus II memberikan penghormatan bagi pasangan suami isteri itu dan meneguhkan pasutri itu sebagai orang-orang kudus. Dalam upacara beatifikasi pasutri itu, ketiga anaknya hadir.

Dan inilah yang membuat perayaan beatifikasi itu menjadi jauh lebih istimewa. Di dalam kotbahnya, Paus Yohanes Paulus II memberikan komentar: “Meski di dalam tahun-tahun yang sulit, suami-isteri Luigi dan Maria ini, tetap mengobarkan lampu iman yang menyala dan menyerahkan lampu itu kepada keempat anaknya, dan tiga di antara mereka sekarang ini hadir di basilika ini. Sahabat-sahabat yang terkasih, inilah apa yang ditulis oleh ibumu tentang kamu: ‘Kita membawa mereka di dalam iman, sehingga mereka dapat mengenal dan mencintai Allah.’ Tetapi orangtuamu juga telah mengantar untuk menyalakan lampu bagi teman-teman mereka, kenalan mereka, kerabat kerja mereka, dan sekarang, dari surga, mereka memberikan lampu-lampu itu untuk seluruh Gereja.”


Paus Yohanes Paulus biasa menetapkan hari pesta perayaan santo/santa itu dijatuhkan pada hari kematian mereka; namun, karena pasangan suami isteri ini memiliki hari kematian yang berbeda, maka ditemukan solusi yang tepat untuk menyatakan bahwa kesucian itu diperuntukkan bagi pasangan-suami-isteri, yakni: hari pesta perayaan untuk Luigi dan Maria dirancang tanggal 25 Nopember, sesuai dengan hari kapan mereka berdua melangsungkan pernikahan pada tahun 1905. Hari pesta perayaan Luigi dan Maria jatuh pada tanggal 25 Nopember, sesuai dengan hari peringatan ulang tahun perkawinan mereka.


Paus Yohanes Paulus II, di dalam homili pada saat beatifikasi ini, mengatakan: “Pasangan suami-isteri ini telah menghayati hidup perkawinan dan karya pelayanannya untuk kehidupan di dalam terang Injil dan dengan segala intensitas dan totalitasnya sebagai manusia. Dengan penuh tanggungjawab mereka melaksanakan tugas-tugas mereka bersama dengan Allah dalam karya penciptaan, mempersembahkan dirinya secara murah hati untuk anak-anak mereka, mengajar dan membimbing serta mengarahkan anak-anak mereka untuk menemukan rencana Allah untuk hidup mencinta. Dengan mendasarkan diri pada sabda Allah dan kesaksian hidup para santo/santa, pasangan suami isteri ini menghayati hidup yang serba biasa ini dengan cara yang luar biasa. Di tengah kegembiraan dan kecemasan dari sebuah keluarga yang normal, mereka tahu bagaimana menjalani hidup dengan kehidupan rohani yang luar biasa kaya. Di tengah kehidupan mereka, ada ekaristi sehari-hari dan devosi kepada St Perawan Maria, berdoa Rosario setiap sore hari, berkonsultasi pada bapa pembimbing rohani.


Dengan cara begitu mereka menyertai anak-anak mereka di dalam proses penegasan rohani mengenai panggilan hidup; melatih mereka untuk dapat menghargai segala sesuatu yang datang dari “atas”, yang begitu indah dan baik seperti telah dikatakan “semua baik adanya”.

Paus Yohanes Paulus II selanjutnya mengatakan: “Kekayaan iman dan cinta dari suami-isteri Luigi dan Maria, merupakan bukti nyata dari apa yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II tentang panggilan seluruh umat beriman kepada kesucian, yang menunjukkan bahwa pasutri sebaiknya mengejar tujuan ini: “mengikuti jalan mereka sendiri” (LG 41). Pada hari ini aspirasi dari Konsili Vatikan itu telah terpenuhi dengan adanya beatifikasi sepasang suami-isteri ini: kesetiaan mereka pada Injil, dan keutamaan-keutamaan mereka yang luar biasa hebat telah terlaksana di dalam hidup mereka sebagai orangtua dan sebagai pasangan suami isteri.”


Paus Yohanes Paulus II menambahkan kotbahnya dengan sebuah sapaan: “Keluarga-keluarga yang terkasih, hari ini kami telah memberikan peneguhan yang sangat khusus bahwa jalan menuju kesucian itu bisa dilalui oleh sepasang suami isteri, sesuatu yang mungkin, sesuatu yang indah, dan luar biasa berbuah. Dan ini bisa menjadi landasan bagi kebaikan keluarga, Gereja dan masyarakat. Hal inilah yang mendorong kami untuk memohon kepada Tuhan, semoga ada lebih banyak pasangan suami-isteri yang dapat mewujudnyatakan kesucian hidup mereka, misteri cintakasih hidup berkeluarga, yang terpenuhi di dalam kesatuannya dengan Kristus bersama dengan Gereja-Nya (Ef 5: 22-33)”.


Kesimpulan


Pasangan suami-isteri Luigi-Maria telah mewariskan tradisi hidup rohani yang sangat berharga kepada anak-anak mereka, kepada Gereja dan kepada dunia pada umumnya. Keluarga ini pada kenyataannya merupakan sel dasar bagi masyarakat yang lebih baik dan sel dasar dari Gereja yang diperbaharui:


(1) Hormat pasangan suami-isterti Luigi-Maria terhadap sakramen perkawinan, dedikasi mereka terhadap pendidikan anak, dan visi mereka mengenai keluarga kristiani, yang melibatkan Gereja dan masyarakat, merupakan suatu kesaksian yang hidup dari keluarga kristiani dengan suatu perutusan yang diemban pada jaman sekarang ini.


(2) Spiritualitas pasangan suami-isteri Luigi-Maria adalah otentik: spiritualitas pasangan suami-isteri yang menjalani hidup berkeluarga”. Dengan keteladanan mereka, secara profetis mereka menghayati hidup sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh Konsili Vatikan II tentang panggilan untuk semua umat beriman kepada kesucian, yang menunjukkan bahwa pasutri itu hendaknya mengejar tujuan ini “mengikuti jejak mereka” (LG no. 41).


(3) Fakta bahwa Maria dan Luigi adalah pasangan suami isteri pertama yang dibeatifikasi di dalam sejarah beatifikasi di dalam Gereja, menunjukkan adanya kecenderungan dari Gereja Katolik, bahwa di masa lampau Gereja menekankan “klerus dan religius” sebagai kandidat beatifikasi. Maria dan Luigi dibeatifikasi sebagai pasangan suami isteri. Mereka bukan klerus dan bukan religius. Mereka adalah pasutri awam dan telah menikah dan punya anak. Mereka menyimbolkan seluruh pasutri yang menghayati hidup dan masih hidup di jaman sekarang di dalam hidup berkeluarga, suatu kesucian yang merupakan panggilan bagi setiap orang kristiani.


(4) Rumah tangga Maria dan Luigi adalah contoh sempurna dari sebuah “Gereja mini”. Gereja mini, Gereja kecil, atau Gereja domestika mengambil peran di dalam misi Gereja. Sebuah komunitas iman dan cinta, yang dibimbing oleh Roh Kudus, memuji Allah di dalam urusan hidup keseharian, dan mewartakan Injil Yesus Kristus melalui kesaksian hidup dan pewartaan. 

Kamis, 20 Januari 2011

Becoming a Loving Person


Orang-orang yang paling bahagia tidak perlu memiliki yang terbaik dari segala sesuatu, mereka hanya membuat yang terbaik dari segala sesuatu yang mereka miliki atau yang mereka terima dalam hidupnya”.

Itulah pesan Emilio Pablo Gomez CMF (almarhum), seorang pastor yang dalam usia yang tidak muda lagi setia mengembangkan karya pelayanan terapi refleksi kepada orang sakit, yang terus menerus memberikan kepada saya inspirasi hidup yang tak kunjung ada habisnya.

Semangat itulah yang mendorong saya untuk berusaha semakin mencintai siapa saja, terutama pasangan hidup dan dua putra yang dianugerahkan Tuhan kepada saya. Saya kira setiap orang menginginkan kebahagiaan hidup, tetapi kadang kita tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan kebahagiaan itu. Kita bertanya: Apa yang bisa kuperbuat agar aku mendapatkan uang banyak dan menjadi kaya? Kita bertanya: Apa yang dapat aku perbuat lagi agar aku dapat memperoleh kenikmatan, kesenangan, dan tepuk tangan kekaguman? Setiap orang ingin sukses tetapi banyak orang tidak tahu tentang sukses itu apa. Kita mengira bahwa sukses itu identik dengan banyak uang, bisnis yang berkibar, jabatan atau kedudukan yang tinggi.

John Powell SJ (1989: 56-57) dalam bukunya “Happiness Is an Inside Job” mengatakan bahwa setiap orang yang telah berkeputusan untuk menjadikan hidupnya wujud cintakasih tidaklah pertama-tama dan terutama bertanya tentang uang dan kesenangan. Orang yang mengasihi tidak bertanya bagaimana bersenang-senang, tidak mencari pujian, tidak berpikir-pikir bagaimana menjadi pujaan orang. Dorongan utama orang yang mengasihi tidak lain kecuali menjadi orang yang mengasihi. Satu-satunya pertanyaannya ialah “Apakah yang harus saya lakukan untuk mengasihi?” Inilah keputusan cintakasih. Inilah komitmen cintakasih.

Itu pula semangat yang terus mengubah hati saya, cara berpikir saya, mengubah bagaimana saya berinteraksi dengan pasangan saya. Dorongan kuat satu-satunya di dalam hati saya adalah bagaimana saya bisa menjadi seorang manusia yang sungguh mencinta (becoming a loving person). Tetapi saya juga menyadari bahwa bagaimana pun saya juga adalah manusia biasa yang sedang dalam proses "menjadi"; yang kadang masih dibelenggu oleh cara berpikir dan cara bertindak lama yang sudah tertanam sejak kecil (di bawah sadar) di dalam diri saya pada masa-masa pertumbuhan saya sebagai manusia.

Saya berasal dari sebuah keluarga Tionghoa yang boleh dibilang mampu. Saya memiliki orangtua, yang menurut ukuran standard hidup yang normal, bisa dibilang orang tua yang sungguh hebat. Tetapi di lain pihak, saya juga menyadari bahwa bagaimana pun juga orangtua saya adalah manusia biasa.

Saya dibesarkan di dalam suasana keluarga yang penuh dengan suasana kompetisi, yang sangat rasional, penuh persaingan, perjuangan untuk meraih prestasi. Di antara kami jarang ada pembicaraan mengenai perasaan, feelings, empati, dll. Tidak pernah ada tempat untuk perasaan. Hal itu juga terlukis dalam bagaimana ayah memberikan nama kepada kami, anak-anaknya. Nama keluarga, kami tidak punya. Ayah saya memberi nama dirinya dengan sebutan: Buyung Malik. Ketika ditanya, “mengapa memilih nama itu?”, jawabannya adalah “karena saya suka”. Dalam keluarga Tionghoa, anak laki-laki adalah pilar penerus keluarga. Kakak saya, yang sulung, diberi nama Ending Fajar. Yang nomor dua, diberi nama Hendy Suryanto. Saya sendiri adalah Edy Oentorodjati, dan adik saya: Bambang Singohadi. Ayah saya ingin keluarga saya tidak perlu punya nama keluarga. Setiap anak punya keistimewaannya sendiri; dan pernah menjadi duplikat dari satu kepada yang lain, bahkan duplikat dari diri pun rela ditanggalkan, yakni namanya sendiri. Tetapi, akibatnya? Setiap orang di antara kami lalu punya "kehidupannya" sendiri-sendiri.

Konkretnya begini. Kakak saya yang sulung, Ending Fajar, seorang muslim. Hendy Kristen Protestan. Saya katolik. Adik saya Katolik. Kehidupan kami menjadi sedemikian beraneka-ragam. Benar bahwa ayah saya dulu melihat bahwa tiap anak unique. Tetapi akibatnya adalah bahwa relasi di antara kami tak ubahnya seperti sekedar teman belaka. Perlakuan terhadap saudara hanya seperti perlakuan terhadap teman. Apa yang dilakukan oleh setiap orang anak yang satu tidak perlu mendapatkan perhatian dari yang lain. Mungkin karena persoalannya memang belum sampai pada persoalan hidup atau mati. Kalau sudah sampai pada taraf itu, mungkin juga ada sikap yang lain. Sejauh masalah hidup ini hanya persoalan bisnis, maka sikap yang ada adalah “kerjakan bisnismu dan aku mengerjakan bisnisku”.

Apa yang menjadi bahan pembicaraan anak yang satu tidak perlu menjadi bagian atau urusan yang lain. Jika saya mengerjakan sesuatu, orang lain juga tidak perlu peduli. Di balik sikap saling menghormati di antara kami dengan cara seperti ini, sebetulnya terkandung sikap: kurang peduli. Akibatnya, nilai-nilai kepedulian seperti itu tidak pernah saya kenal. Sejak kecil saya menghayati hidup saya sendiri; saya tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh saudara saya yang lain. Meski demikian, sebagai kakak, ada juga usaha untuk memperlakukan adiknya supaya begini begitu, urus ini dan bukan urus itu.

Saya mulai merasakan sesuatu yang berbeda justru setelah saya bertemu dengan keluarga pacar yang kemudian menjadi isteri saya. Isteri saya dibesarkan dalam keluarga yang sederhana, boleh dikatakan sedikit puritan, tradisional, tidak terlalu mengagungkan nilai-nilai materiil, tapi lebih mengutamakan "guyub". Saya melihat dengan jelas bagaimana kakak beradik dalam keluarga isteri saya itu menyayangi satu sama lain. Pengalaman seperti ini memang agak sulit dideskripsikan, namun bagi saya hal itu jelas kelihatan, ketok. Bahkan boleh dikatakan sebuah "cultural shock" bagi saya.

Mereka adalah pekerja-pekerja keras yang mencintai pekerjaan atau profesi mereka. Hidup tidak merepotkan orang lain. Mandiri. Bisa mendapatkan nafkah yang standard untuk hidup yang cukup bermutu. Meskipun tidak kaya, mereka puas dengan hidupnya. Dan apa yang penting bagi salah satu saudara, menjadi concern dari yang lain. Namun sebaliknya di keluarga saya, suasananya seperti berlomba dengan prestasi. Harus begini dan begitu supaya eksis. Semua ini secara tidak sadar mempengaruhi sikap dan perilaku saya.

Ketika memasuki awal perkawinan, cara pandang saya sungguh berbeda dengan cara pandang isteri saya. Hal seperti ini yang membuat saya pada suatu hari sempat mengalami frustrasi. Lalu, saya menemui Romo Wiryapranata SJ, yang menikahkan saya. Kepadanya saya katakan: “Romo, wanita itu ternyata makhluk yang sulit dimengerti..." Saya menganggap bahwa nilai-nilai saya adalah nilai-nilai yang paling benar tentang bagaimana menjadi orang. Ketika kemudian terjadi pertengkaran, karena perbedaan pandangan, sungguh saya tidak bisa memahami. Saya katakan: Asal saya sudah bertanggung jawab apa yang menjadi kebutuhan hidup, mengapa kamu masih tidak puas? Saya tidak bisa memahami ini. Saya tidak tahu ada bahasa lain yang bisa mengungkapkan cinta saya kepada isteri saya.”

Dari Week-end Marriage Encounter-lah kemudian saya mengerti, ternyata ada banyak cara untuk mencintai, cara baru untuk mencintai. Dulu saya sempat frustasi karena rasanya sudah mencintai sepenuhnya, tetapi kok masih ada yang tidak puas, ada hal-hal yang belum terpenuhi. Saya tahu sebabnya, yaitu karena pandangan saya yang begitu "kering": karena pikiran saya hanya materi; selama saya sudah memenuhi kewajiban saya, rumah tangga sudah kecukupan, anak-anak sudah disekolahkan, lalu apa lagi? Seolah-olah kewajiban saya sudah selesai. Saya sudah mencintai ketika saya sudah melakukan kewajiban-kewajiban saya. Sikap-sikap "rasional" seperti itu saya yakini sebagai sikap terbaik dan paling benar dalam kehidupan, sampai-sampai ketika isteri saya ingin mengunjungi ibunya, saya bereaksi dan bilang: "Ngapain jauh-jauh ke rumah ibu? 'Kan ada telepon. Telepon dibuat untuk mengatasi kendala jarak dan waktu, itu sudah sangat cukup". Sekarang saya sadar bahwa ternyata relasi dengan ibunda itu tidak bisa diganti dengan seutas kabel telepon. Dulu saya sungguh tidak bisa mengerti. Dulu saya berpandangan: “Kita harus menjaga jarak dengan siapa pun, kenapa harus kontak dengan mereka?” Saya masih ngeyel. Contoh yang lain lagi, mau layat. “Lha orang tidak begitu kenal dengan yang mati, kok harus layat...”

Semua diukur dengan benefit atau tidak. Kini saya sungguh menyesal bahwa dulu saya punya pandangan dan sikap seperti itu: terhadap isteri dan anak-anak. Yang saya sadari setelah Week-end Marriage Encounter itu adalah bahwa anak-anak tidak saya perlakukan seperti dulu lagi. Mereka dulu saya pandang tak lebih dari akibat logis dari hubungan biologis semata. Dan pikiran semacam itu sungguh kejam dan jahat. Alangkah rendahnya saya, ketika ukuran yang kupakai hanya biologis semata. Saya sadar bahwa sikap seperti itu memang dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman saya; sikap seperti itu sungguh tidak saya sengaja.

Kini saya sadar bahwa di dalam diri anak-anak, ada Tuhan yang berkarya. Jika mengingat hal itu saya dulu, saya menangis terus dalam penyesalan: mengapa saya bersikap seperti itu kepada anak-anak dan isteri saya. Bahkan ketika anak-anak mencapai umur 10 tahunan, masa-masa penting bagi pertumbuhan anak-anak, saya masih memperlakukan mereka seperti itu, yang menurut pandangan saya waktu itu tidak ada yang salah. Melalui Week-end Marriage Encounter saya mendapatkan pandangan baru dan sekaligus peneguhan bahwa belum terlambat asal kita mau ... bahwa "tak seorang pun mampu kembali dan memulai sebuah awal yang sama sekali baru, namun siapa pun bisa memulainya dari sekarang, dan menciptakan sebuah akhir yang sama sekali baru ...!"

Saya bersyukur bahwa saya masih bisa menebus masa-masa emas yang hilang tersebut, dengan mengubah hidup saya: perubahan hati, perubahan pikiran, perubahan sikap dan tindakan saya. Meski sempat kecewa, tapi hari ini saya melihat tidak ada banyak yang perlu saya kecewakan tentang anak-anak. Mereka kini sekitar 21 dan 23 tahun, masih menjalani masa studi; dan saya optimis bahwa mereka akan menjadi anak-anak yang baik.

Week-end Marriage Encounter-lah, yang berperan besar mengubah pandangan saya tentang perkawinan, tentang anak, tentang kehidupan. Itu salah satu yang paling saya syukuri. Dan yang terlebih ingin saya syukuri adalah bagaimana cara saya mencintai pun berubah dan berkembang. Dulu saya memandang cinta itu secara material, cinta itu segala kewajiban yang harus dipenuhi; tanggungjawab. Saya akui memang bahwa meski saya ini Katolik, namun pertama-tama saya tetap seorang Confusianis. Bagi saya Confusius mengatur "hubungan/relasi" antara suami, isteri, ayah, anak, saudara; sampai ke paman dan bibi; dan seterusnya. Termasuk di dalamnya hubungan pemerintah dan rakyatnya: majikan dan pekerjaannya, dan seterusnya. Namun dalam konteks relasi suami dan isteri, Confusius tidak menempatkan pria dan wanita setara, sehingga meski Confusius mengajarkan penghormatan kepada wanita, namun pria tetap sebagai utama dan wanita adalah sub-ordinasi pria. Di sinilah iman Katoilik menjadi jawabannya, dan lebih relevan dalam konteks relasi yang lebih sehat, mesra, akrab, dan bertanggungjawab.

Dulu saya kehabisan akal tentang bagaimana saya harus mengungkapkan cinta saya pada isteri saya. Kewajiban sudah saya penuhi, lalu apa lagi? Untunglah menghayati nilai-nilai Marriage Encounter membuat saya peka tentang bagaimana cara mengungkapkan cinta yang paling efektif kepada pasangan hidup. Ternyata masih ada ribuan cara untuk mencintai.

Supaya gampang dimengerti, baiklah saya tunjukkan dengan contoh. Misal, mengantar isteri. Dulu kalau saya melihat tidak ada kepentingannya, maka saya cenderung wegah, malas, tidak mau. Maka, saya persilakan isteri untuk diantar sopir. Urusan wanita itu sekitar pasar, pawon (dapur), dan sering kurang mempertimbangkan waktu dan jam. Saya bisa terlibat apa dalam aktivitas sekitar pasar dan pawon ini? Wong saya pria? Ketika saya berhasil mengatasi hambatan itu, saya bisa terlibat masuk ke pasar, terlibat menawar, bahkan memilihkan baju bagi isteri saya.

Kini saya juga bisa memahami bahwa bagi isteri berjumpa dengan ibunya itu penting dan beralasan, saya bisa mengerti, bahwa hal seperti itu sungguh penting bahkan esensial bagi dia. Meski teknologi sudah memadai untuk berhubungan; namun apa pun itu, tidak bisa menggantikan esensi sebuah perjumpaan. Belakangan saya menjadi tahu bahwa seperti itulah yang namanya cinta.

Ketika dulu isteri hamil, dan periksa ke dokter, saya mau mengantar isteri saya. Hal itu saya lakukan lebih karena terdorong oleh suatu perasaan bahwa ini merupakan akibat dari perbuatan saya, bukan karena ini penting bagi isteri atau saya merasakan pentingnya hal itu. Lama-lama saya mulai belajar: tidak semua hal bisa diutarakan dengan alasan yang masuk akal, yang logis. Saya dilatih untuk memilih berbuat sesuatu yang tidak penting tanpa mempersoalkan betapa pentingnya perbuatan itu menurut akal saya.

Dulu waktu pacaran, saya masih mau mengantar Lian isteri saya pulang ke rumah tantenya di Juwana dan Jepara (pantai Utara Jawa Tengah) melalui jalanan jelek yang membuat saya mengeluh dan sumpah serapah. Karena masih pacaran hal itu mau saya lakukan. Tapi setelah menikah, hal itu tidak saya lakukan lagi. Namun, ketika saya sudah bisa mengatasi hambatan saya, saya rela mengantar dia lagi, apa pun alasannya, penting tidak penting, tidaklah lagi penting dibandingkan dengan relasi. “Berada dalam relasi jauh lebih penting daripada berada dalam benar-salah”, saya ingat Pasutri Team Week-end kami mengucapkan itu.

Sebagai suami isteri berada dalam relasi jauh lebih penting daripada soal benar-salah. Tentu itu tidak berarti membenarkan yang salah. Saya tidak perlu mempersoalkan benar salahnya hal-hal kecil yang kadang tidak masuk akal itu, tetapi saya melakukan apa saja yang saya anggap tidak penting itu asal itu merupakan cara untuk bisa menyatakan cinta saya kepada pasangan saya. There are many ways to love my love. Ada banyak cara untuk mencintai.

Dalam bukunya yang berjudul “Awakening: Conversations with the Master” Anthony de Mello SJ (1998: 100) mengingatkan kita dengan sebuah cerita: “Seorang murid mengatakan: Aku hidup berkelimpahan, tetapi aku adalah orang yang sungguh malang. Mengapa?” Lalu, jawab sang Guru: “Karena anda menghabiskan waktu terlalu banyak untuk mencari uang, dan terlalu sedikit untuk mencintai.” Marilah kita terus menerus belajar bagaimana menjadi orang yang mencintai.@@@

Felix Mencari Kebahagiaan


Setiap orang ingin bahagia, tetapi mereka kadang tidak tahu apa yang dimaksud dengan kebahagiaan. Kisah ini memberikan gambaran kepada kita, bahwa kebahagiaan itu tidak usah kita cari; hayatilah hidup ini sebagai suatu perjalanan bersama Tuhan, dan pastilah kita akan sampai pada hidup yang bahagia itu, dan kita bahagia.

Dalam sebuah buku yang pernah saya baca, karya seorang Yesuit bernama Nil Guillemette SJ (1994: 48-54): “With Me in Paradise”, diceritakan sebuah kisah tentang seorang manusia yang sedang dalam perjalanan mencari kebahagian. Nama orang itu Felix (“felix” itu kata Latin yang berarti mujur, atau beja dalam bahasa Jawa). Sejak masa kecilnya Felix diberi pengajaran oleh orangtuanya bahwa setiap manusia itu diciptakan oleh sang Pencipta dengan status yang sama, sepadan dan memiliki hak-hak yang sama, yakni: mendapatkan kehidupan, kebebasan dan kebahagiaan. Karena itu, selama hidupnya yang penuh dengan kebebasan itu dia berjuang keras untuk mendapatkan kebahagiaan.

Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, sampailah Felix di suatu istana di mana Pangeran Kenikmatan tinggal. Maka menghadaplah Felix kepada sang Pangeran, memperkenalkan diri dan memberikan hormat kepadanya. “Apakah ini benar-benar tempat di mana saya akan mendapatkan kebahagiaan?”, tanya Felix kepada sang Pangeran. “Benar, di sini anda akan mendapatkan kebahagiaan, yang anda inginkan. Ini semua milik anda. Anda adalah tamu saya; maka nikmatilah segala kenikmatan yang anda inginkan.” Felix diterima dengan ramah dan diperkenankan oleh sang Pangeran menjadi tamunya. Tetapi, setelah menikmati segala kenikmatan yang disediakan oleh istana selama setahun penuh, Felix merasa bahwa di istana ini dia tidak dapat menemukan kebahagiaan yang diinginkan. Maka, dia pun pamit kepada sang Pangeran untuk meninggalkan istana.

Dalam perjalanan selanjutnya, pada suatu hari sampailah Felix di sebuah istana yang berbenteng kuat, tempat di mana sang Pangeran Kekayaan tinggal. Felix segera menghadap kepada sang Pangeran dan memberikan hormat kepadanya. “Apakah tempat ini adalah tempat di mana saya nanti dapat menemukan kebahagiaan?”, tanya Felix kepada sang Pangeran. “Ya, benar. Di sinilah anda akan mendapatkan kebahagiaan. Semua yang tersedia di sini adalah milik anda dan ambillah apa yang anda inginkan. Anda adalah tamu saya, maka nikmatilah segala kekayaan yang tersedia.”

Segeralah Felix mendapatkan kunci ruang-ruang istana, mengambil dan menikmati segala kekayaan yang dia inginkan. Selama setahun dia berfoya-foya dengan segala kekayaan yang dia inginkan tetapi sesudah itu ia merasa belum menemukan kebahagiaan yang dia cari. Maka, ia pun berpamitan meninggalkan istana tempat tinggal Pangeran yang sungguh kaya raya itu.
Pada suatu hari sampailah dia di sebuah kota besar di mana Pangeran Kekuasaan tinggal. Sang Pangeran menerima kehadiran Felix dengan sangat ramah, dan mengundangnya untuk dapat menikmati apa saja yang ada di rumahnya. Tetapi setelah menikmati segala fasilitas yang disediakan oleh sang Pangeran Kekuasaan, Felix pun tak merasa menemukan kebahagiaan yang dia cari. Kekuasaan tidak memberikan kepadanya kebahagiaan hidup. Karena itu, Felix melanjutkan pencariannya untuk mendapatkan kebahagiaan.

Pada suatu hari Felix sampai ke sebuah desa di mana setiap warganya merasakan hidup dengan penuh kegembiraan. Di sana tidak ada Pangeran Siapapun. Sebaliknya, para penghuninya menyebut dirinya “hamba”. Karena suasana hidup di sana memberikan kesan yang menarik, maka Felix memutuskan untuk tinggal di kota kecil itu selama semalam. Orang yang mengajak mampir dia adalah sebuah keluarga tukang batu, yang hidupnya dipersembahkan untuk karya pelayanan di luar tempat tinggal dia. Mereka itu miskin, tetapi murah senyum dan ramah. Ketika mereka mendengar cerita bahwa Felix mencari kebahagiaan tetapi tak kunjung mendapatkannya, maka mereka bereaksi heran tak percaya. Mereka sungguh heran bahwa ada orang yang sedang mencari kebahagiaan. “Kami semua adalah orang kristen, Felix”, kata orang-orang di desa itu. Orang-orang desa itu menerangkan apa artinya kebahagiaan yang mereka pahami, dan hal itu perlu dijelaskan kepada Felix. Tetapi Felix yang merasa dirinya orang kristen, adalah lucu bila ia idak dapat melihat alasan mengapa ia masih mencari kebahagiaan itu.
“Lalu, apa?”, tanya Felix kepada orang-orang desa itu.

Maka seorang tukang batu menjawab: “Baiklah saya akan menjawab. Yang dicari oleh orang kristen adalah Allah, dan bukan kebahagiaan. Yesus mengatakan: carilah kerajaan Allah lebih dahulu dengan kesucian Allah, dan sisanya akan diberikan kemudian kepadamu”. Felix telah menangkap artinya, tetapi dia ingin tahu lebih dalam lagi. “Apakah kamu bahagia?”, tanya Felix kepada tukang batu itu. “Ya, kami bahagia”, jawab si tukang batu itu, “kami bahagia karena tidak mencari kebahagiaan itu.” Karena melihat bahwa Felix masih terlihat bingung dan belum menangkap dengan baik tentang apa yang dijelaskan oleh si tukang batu, maka si tukang batu mempersilakan Felix untuk datang ke seorang ibu, yang disebut dengan nama Ibu Tua yang tinggal di sebuah kota di daerah dekat situ.

Mendengar cerita Felix yang mencari kebahagiaan itu, maka Ibu Tua menyapa Felix dengan mengatakan: “Saudara, saya percaya bahwa saya dapat membantu anda, tetapi juga tidak mudah karena anda harus melakukan empat hal, empat prinsip sebenarnya”, kata Ibu Tua itu. “Apakah anda mau mengarungi semua kesulitan itu?” Untuk mendapatkan kebahagiaan itu, Felix dianjurkan untuk menjalankan apa yang disarankan oleh Ibu Tua itu.
“Tiga hal pertama yang harus anda lakukan adalah mengukir, memanah dan menari”, kata Ibu Tua.”Setelah mempelajari ketiga hal itu, kembalilah kemari, dan saya akan memberikan kepada anda hal keempat yang harus anda pelajari.” Maka, pergilah Felix meninggalkan Ibu Tua itu dan datang ke seorang pengrajin ukir untuk menjadi pekerja magang di tempat itu. Demikian juga, ia datang ke ahli memanah dan ahli menari.

“Apa yang diajarkan oleh pengukir, pemanah, dan penari yang telah anda jumpai?”, tanya Ibu Tua kepada Felix setelah pulang dari pembelajaran. “Ceritakan kepadak saya apa yang dinasihatkan si tukang ukir kepada anda, ketika anda menggunakan alat-alat ukir”, tanya Ibu Tua. Pengukir biasa mengatakan: “Lupakan alat; fokuskan pikiran pada tokoh yang tergambar pada kayu dan anda akan menghasilkan ukiran. Itu yang biasa tukang ukir katakan kepada saya”, kata Felix.
“Lalu,” kata Ibu Tua “apakah tangan-tanganmu bahagia ketika tangan-tangan itu melupakan alat dan dengan bebas mengukir gambar tokoh yang kemudian terukir pada kayu itu?”
“Ya, tangan-tangan itu bahagia”, kata Felix.
“Lalu, bagaimana mengenai si tukang panah?” tanya Ibu Tua, “Nasihat apa yang diberikan oleh dia kepada anda tentang panah?”
“Dia biasa mengatakan: Lupakan panah. Berpikir saja tentang sasaran dan tujuan itu akan segera terwujud. Itulah yang biasa dia katakan”, kata Felix. Kata Ibu Tua menegaskan: “Apakah mata anda bahagia ketika mata itu melupakan anah panah dan mencapai sasaran?”
“Ya, mereka bahagia”, kata Felix menegaskan.

“Lalu bagaimana tentang si penari?”, kata Ibu Tua bertanya, “Apa nasihat penari kepada anda sehubungan dengan kaki-kaki anda” Dia biasa mengatakan: “Lupakan langkah-langkah. Pikirkan saja musik dan tarian anda sungguh akan indah. Itulah kata-kata yang biasa disampaikan.”
“Lalu”, kata Ibu Tua lagi, “apakah kaki-kaki anda merasa bahagia sementara mereka melupakan langkah-langkah, dan mengikuti saja irama musik?” “Iya, mereka bahagia” tegas Felix.

Ibu Tua yang sudah tua itu berhenti berkata-kata, memberikan ruang hening bagi Felix si anak muda itu, untuk menarik kesimpulan sendiri di dalam pikirannya.
“Anda mengerti”, kata Ibu Tua kemudian, “ketika anda melakukan tiga karya seni tadi, tangan anda bahagia ketika mereka melupakan alat dan berkonstrasi pada tokoh yang terukir pada kayu; mata anda bahagia ketika mereka melupakan anak panah dan berkonsentrasi pada sasaran, dan kaki anda bahagia ketika mereka melupakan langkah-langkah dan berkonsentrasi pada musik. Sama juga dengan apa yang terjadi di dalam seni kehidupan.”
“Dalam seni kehidupan, anda harus melupakan sesuatu dan berkonsentrasi pada sesuatu lain. Dalam kata lain, anda tidak boleh putus asa untuk mendapatkan kebahagiaan dan memusatkan hidupmu pada Tuhan dan kerajaan-Nya. Jika anda melakukan itu, maka hati anda akan bahagia. Tetapi anda akan tidak pernah bahagia dengan mencari kebahagiaan itu sendiri. Anda akan bahagia kalau anda mencari Tuhan, semata-mata untuk diri-Nya sendiri.”
Felix kagum mendengar keterangan Ibu Tua itu.

“Bagaimana saya dapat mencapainya?”, tanya Felix.
“Sangat sederhana”, jawabIbu Tua, “Karena Allah itu adalah kebahagiaan kita, maka kita mencapai kebahagian itu bukan dengan mencari kebahagiaan, tetapi dengan mencari Allah itu sendiri.”
”Tetapi, apa artinya itu semua?” tanya Felix. “Artinya menyenangkan Allah dalam segala hal, dengan ongkos apa pun yang harus anda bayar”.
“Lalu, berapa ongkosnya?” tanya Felix. “Segala milikmu dan segala dirimu”, jawab Ibu Tua. “Caranya juga sederhana: lupakan dirimu, lupakan kebahagiaan, dan kamu bahagia”, lanjut Ibu Tua “Sebab kamu melihat, kebahagiaan itu tidak ditemukan di bagian akhir dari suatu pencarian yang panjang. Kebahagiaan itu terjadi. Dan kebahagiaan itu terjadi pada diri kita ketika kita berhenti mencari kebahagiaan itu.”

Itulah kata-kata terakhir dari sang Ibu Tua kepada Felix. Dengan lambaian tangannya yang lembut, Ibu Tua itu berpamitan kepada Felix dan tenggelam dalam meditasi yang mendalam.
Felix tidak akan pernah melupakan ajaran dari Ibu Tua itu. Dari situ dia lalu berkonsentrasi saja pada Allah dan Kerajaan-Nya. Ketika Felix sungguh dapat menemukan Allah, maka kebahagiaan itu terjadi padanya.Ubi caritas et amor; Deus ibi est. Di mana ada cintakasih; di situlah Tuhan berada. Ing ngendi ana asih tresna,Gusti nenggani. Marilah kita cari dan temukan Tuhan dalam hidup kita sehari-hari dan kita akan bahagia. @@@

Rabu, 19 Januari 2011

Mengampuni untuk Membangun Relasi


“Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak mengampuni kesalahanmu.” (Mat 6:14-15)
Perintah Tuhan seperti saya kutip di atas sudah jelas bagi kita apa maknanya. Tuhan mene­gaskan bahwa kita harus menjadi orang yang suka mengampuni. Se­bagai pasutri, kita selalu ingin memperbarui diri dalam rangka membuat keluarga kita yang sudah baik ini menjadi semakin lebih baik, sehingga kita bisa mewujud-nyatakan apa yang menjadi cita-cita setiap ang­gota keluarga, yakni: “mencintai satu sama la­in seperti Tuhan telah mencintai kita.” Kita tahu bahwa relasi dalam perkawinan me­nun­jukkan adanya pe­luang yang lebih frekuen (katimbang relasi yang lain) untuk mempraktekkannya.

Pengam­punan itu esensial bagi usaha untuk membangun relasi. Apakah selama hidup di dunia ini, pengampunan sungguh tidak diperlukan? Apakah setiap harapan manusia terhadap manusia lain senan­tiasa dapat dipe­nuhi, sehingga tidak pernah ada orang yang kecewa? Apakah hubungan antara suami isteri dalam sebuah perkawinan bisa lestari tanpa perlu adanya pengampunan? Apakah kita tidak punya harapan terhadap orang lain? Apakah orang lain dalam waktu yang sama tidak punya harapan terhadap kita? Apa­kah hidup tanpa pengharapan itu sesuatu yang realistik? Pengharapan itu tidak terlalu realistik, dan bah­kan peng­harapan itu sesuatu yang eksklusif, sehingga terjadilah kekecewaan-kekecewaan. Di dalam dunia yang nyata, meski mencintai orang lain, kadangkala orang saling melukai dan mengkhianati satu sama lain.

“Jika kita sungguh-sungguh ingin mencintai, maka kita harus belajar tentang bagaimana mengam­puni,” kata Bunda Teresa. Ke­pada pasangan suami isteri yang sedang berjuang membangun relasi antar mereka, Bunda Teresa mem­berikan nasihat: “Hendaklah kamu berdoa dan saling mengampuni satu sama lain.” Robert Karen menegaskan bahwa sebuah relasi yang dapat dipertahankan tergantung pada peng­ampunan. Perka­winan yang sukses berarti suatu putaran yang tak terhitung jumlahnya: kekecewaan, ma­rah, jothakan (saling mendiamkan), ungkur-ungkuran (saling menjauhkan, tidak mau saling bertemu), perbaikan. Orang saling melukai hati satu sama lain, beta­pa pun besarnya cinta mereka satu sama lain. Tidak ada hubungan persahabatan, hubungan per­kawinan, atau hubungan kelu­arga yang berlangsung lang­geng, jika tidak ada daya-daya repa­ratif yang disebut pengam­punan, yang bekerja terus menerus un­tuk melawan akibat-akibat yang merusak dari marah, kepa­hitan, yang memecah belah. Tanpa pengam­punan, tidak ada lagi nilai untuk kerapuhan manusia. Kita ingin maju terus, mencari relasi dan koneksi yang sempurna dengan mitra-mitra yang tidak pernah terluka dan kecewa. Kalau be­gitu, perceraian itu tidak perlu ada, kalau orang bisa mengampuni.

Tentang bagaimana kita harus mengampuni, kita bisa belajar dari Frederic Luskin. Dalam bukunya yang berjudul “Forgive for Good”, Dr. Frederic Luskin mengatakan bahwa kemampuan untuk mengam­puni adalah suatu ketrampilan yang sekali dapat dikembangkan, dapat diterapkan untuk situasi mana pun sesuai dengan keadaan seseorang. Ia memberikan gambaran empat lang­kah untuk bisa menjadi orang yang mampu mengampuni, seperti berikut ini.

Tahap pertama

Kita mengalami suatu kerugian atau pengkhianatan, dan kita dipenuhi dengan rasa marah dan terluka hatinya. Kita mempersalahkan orang yang bersalah kepada kita sebagai penyebab rasa sakit hati dan kemarahan kita. Pada saat seperti ini, kita tidak mempertimbangkan bahwa kita masih memiliki sebuah pilihan tentang bagaimana sebaiknya kita merespon terhadap situasi yang kita hadapi. Yang kita rasakan adalah bahwa kita telah dilukai, atau disakiti hatinya oleh orang lain yang melukai dan membuat kita sakit hati dan marah.

Langkah pertama adalah membiarkan kita untuk bisa menyatakan bahwa diri kita terluka dan sakit hati, ketika pasangan kita melakukan sesuatu atau mengata­kan sesuatu yang tidak kita kehendaki. Ka­dang-kadang kita menyangkal adanya rasa terluka dan sakit hati itu. Kita berpikir bahwa sakit hati itu ti­dak terjadi pada kita. Semua yang sudah terjadi itu dirasakan sebagai tidak apa-apa. Kita tidak perlu me­ne­kan perasaan kita, lebih baik kita berusaha untuk mengatasi rasa sakit atau rasa terluka itu. Kita tidak per­lu menyangkal adanya rasa marah dan sakit hati itu. Lebih baik kita menghadapi rasa sakit dan terluka itu.

Tahap kedua

Setelah melewati masa kacau dan bingung, kita mulai melihat bagaimana marah itu tidak membantu hidup dan relasi kita satu sama lain. Kita sekarang mengambil langkah untuk melihat perkaranya dari per­spektif pihak yang lain. Kita mau mencoba melihat pengalaman itu dari perspektif orang lain atau seku­rang-kurangnya mengurangi tingkat pentingnya perkara yang kita alami.

Ketika pelanggaran terjadi, kita perlu meminta penjelasan kepada pasangan kita. Kita tidak perlu mengatakan: “Kamu bodoh! Kamu biadab! Kamu bajingan!”. Sebaiknya kita memiliki kepekaan yang lebih halus. Lebih baik kita mengatakan: “Bagaimana kamu dapat melakukan hal sedemikian tidak menyenangkan itu bagiku? Bukankah kamu mencintai aku? Ketika kamu menghina aku seperti itu, aku sungguh sangat heran. Biasanya kamu itu sangat peka. Dapatkah kamu menceritakan kepadaku mengapa bisa sampai begitu? Apa yang terjadi pada kamu?” Perumusan seperti itu jauh lebih terhormat dan justru akan memungkinkan terjadinya dialog yang lebih tulus.

Tahap ketiga

Kita mengalami kekuatan dari pengampunan, dan memilih dengan cepat su­paya keluhan itu segera sirna dari kita. Kita merenungkan bahwa perjumpaan kita dengan pasangan kita sebaiknya perlu adanya pengampunan, damai dan kegem­biraan. Ketika kita memperhatikan keluhan-keluhan yang sedang terba­ngun, maka kita dengan cepat menantang cerita yang melekat dengan situasi. Kita sadar bahwa lamanya waktu untuk sakit hati dan marah itu diserahkan kepada keputusan kita. Kita dapat memilih untuk meng­urangi waktu di mana kita bingung dan kacau, dan bagaimana dengan cepat kita berubah haluan.

Kadang-kadang sakit hati dan perasaan terluka itu menyebabkan kita ter­lempar ke situasi kebi­ngungan dan kacau, di mana kita terpaksa berputar-putar dan berbelit-belit. Oleh karena itu kita perlu ber­doa dan mohon bantuan kepada Tuhan. Mohonlah kepada Tuhan agar Dia berkenan menjaga pikiran kita untuk tetap berfokus pada aspek pengampunan dan bukan pada pikiran-pikiran yang negatif. Mohonlah kepada Tuhan agar Roh Kudus bisa menjadi penghibur dan penyejuk suasana. Mohonlah kepada Tuhan agar kita diberi karunia untuk bisa berempati dengan pasangan kita yang telah melukai kita itu.

Memang sulit berempati dengan pasangan yang telah melukai hati kita. Tetapi kita dapat meminta kepada Tuhan agar Dia bekerja lebih aktif bersama dengan kita, dan membantu kita untuk melihat perkaranya dari sudut pandang pa­sangan kita; untuk membantu kita memahami mengapa sahabat kita itu melakukan atau mengatakan hal seperti itu, sehingga hal itu sungguh mengganggu kita, dan bahkan telah melawan kehendak dan keinginan kita.

Tahap keempat

Tahap keempat adalah tahap yang paling sulit. Tetapi langkah ini adalah lang­kah yang menentukan sekali, bila berhasil diambil. Kita beralih ke ruang di mana pengampunan itu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita mengambil langkah itu sebagai yang sifatnya pribadi. Kita tahu bahwa kitalah yang ber­tanggung jawab atas hidup kita, atas apa yang kita rasakan dan apa yang telah melukai kita. Kita mema­hami bahwa orang itu tidak sempurna dan itu berarti bahwa dia bisa melukai kita. Kita pun juga mema­hami bahwa kita pun juga orang yang tidak sempurna, dan setiap orang termasuk kita, biasanya bekerja sesuai dengan apa kepentingan kita pribadi. Bagaimana kita kemudian, apakah kita bisa mengampuni orang lain?
Kekecewaan dan luka terjadi di dalam semua relasi, termasuk relasi dalam perkawinan, kelu­arga, dan persahabatan. Dalam tahap keempat ini, kita memahami bahwa luka dan konflik di dalam bere­lasi adalah biasa terjadi. Kita berjuang untuk bisa hidup damai. Kita memberikan kepada orang lain ke­man­faatan dari keraguan kita. Kita mengerti bahwa daya penyembuhan dari pengampunan itu dan secara aktif memilih untuk mengampuni di dalam basis kehidupan sehari-hari.

Ketika kita disalahi orang atau pasangan kita, kita cenderung mudah merasa diri kita lebih unggul secara moral. Untuk mengampuni, kita perlu melihat diri kita sendiri seolah-olah tidak berbeda dengan orang lain atau pasangan yang telah melukai hati kita itu. Dengan mengakui bahwa banyak kali kita juga pernah melukai pasangan kita; kadangkala kita secara sengaja juga melihat dengan kerendahan hati bahwa kita memiliki kesamaan-kesamaan dengan orang atau pasangan kita yang telah melukai kita itu. Kemudian kita berpikir kapan saja kita telah melukai pasangan kita; dan kapan saja kita telah pernah menerima pengampunan dari pasangan kita. Berapa kali Tuhan telah mengampuni kita? Berapa kali pula orang lain, termasuk juga pasangan kita, telah mengampuni kita?

Latihan Mengampuni

Seperti dikatakan oleh Fred Luskin, pengampunan merupakan ketrampilan yang bisa dilatih dan dikembangkan, dan jika kita sudah terlatih, maka dalam situasi apa pun ketrampilan itu bisa kita terapkan sesuai dengan tuntutan keadaan.
Sekarang saatnya kita bisa melatih diri untuk bisa menjadi pribadi pengam­pun. Kita terbantu dengan membuat daftar orang-orang yang kepadanya kita pernah marah, termasuk pasangan kita. Jika mengalami kesulitan, perlu kita sadari bahwa marah itu telah membelenggu diri kita dengan masa lampau kita, suatu tali jerat kehidupan yang tak akan pernah putus jika kita tidak memutus­kannya.

Kita amati daftar nama orang-orang itu, dan kita selidiki satu per satu orang, dalam tahap mana kita telah mengalami proses pengampunan. Lalu, kita buat keputusan untuk mening­galkan rasa marah dan mem­biarkan rasa kecewa itu pergi. Kita lakukan ini semua bukan demi orang-orang yang telah melukai kita dan membuat kita marah, terluka dan kecewa. Kita melakukan ini semua demi diri kita sendiri. Kita tun­juk­kan betapa besar cinta kita terhadap diri kita sendiri. Hal ini memang tidak mudah, dan belum tentu bisa terjadi dalam tempo semalam. Tetapi, ambillah keputusan pada saat ini juga untuk memulai prosesnya.
Jika kita sudah mempraktekkan pengampunan sebagai suatu cara hidup, maka kita dapat mengin­ves­ta­sikan enerji kita untuk memecahkan masalah-masalah, dan bukan untuk melakukan penyerangan dan mem­po­sisikan diri sebagai kurban kekecewaan dan sakit hati.

Penutup

Pengampunan perlu menjadi disiplin keseharian hidup kita. Seyogianya kita tidak perlu menyembunyikan rasa terluka dan marah kita. Ketika kita memprak­tekkan pengampunan, maka rasa marah, pikiran dan perasaan yang pahit itu makin lama makin hilang sedikit demi sedikit. Setelah terbebaskan diri dari kepahitan, kita ditantang untuk men­jadi “ra­mah seorang terhadap yang lain, penuh kasih me­sra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengam­puni kamu” (Ef 4: 32-5: 1).
Untuk mengakhiri sharing kali ini, marilah kita ungkapkan sebuah doa pendek berikut ini: “Tuhan, Engkau tahu apa pikiran dan perasaanku saat ini. Tetapi aku berterima-kasih kepada-Mu, atas segala ban­tuan-Mu, sehingga aku mam­pu untuk tidak lagi menyimpan hal-hal yang memung­kinkan aku mudah ter­su­lut untuk menyerang pasanganku. Sekarang, bantulah aku, supaya aku mampu keluar dari jerat kema­rah­an dan kekecewaanku, dan buatlah aku mampu menjadi utusan cintakasih-Mu.”@@@

Doa untuk Membangun Hidup Rohani


Kapal yang ditumpangi Mgr. Grent, dalam perjalanannya dari Netherlands me­nu­ju tanah misi di Am­bon Maluku, mengalami kesulitan untuk meneruskan perjalanan. Angin ken­cang yang tiba-tiba datang dari arah depan, membuat kapal berjalan oleng dan kehilangan arah. Semua awak kapal menjadi cemas. Om­bak yang tinggi bergelombang menerpa badan kapal bertubi-tubi, me­nyebabkan mesin kapal rusak dan kemudian macet. Hujan deras yang turun bak ditumpahkan dari langit membuat kapal hampir tenggelam di perairan luas Lautan Pasifik.

Dalam kondisi panik dan mence­maskan itu Mgr. Grent duduk, menundukkan kepala dan berdoa, me­mo­hon pertolongan Tu­han agar selu­ruh penumpang kapal masih bisa disela­matkan. Ia menyampai­kan doa per­mohonan itu kepada Tuhan dengan perantaraan St. Yudas Ta­deus. Mgr. Grent berjanji kepada Tu­han, jika se­­mua penumpang sampai di tanah misi dengan selamat, maka ia akan mendirikan sebuah seminari, tem­pat pen­didikan bagi para calon imam.

Benarlah apa yang ter­ja­di. Tuhan mengabulkan permohonannya. Angin segera menjadi reda. Gelom­bang air laut men­ja­di lebih ra­mah. Kerusakan kapal bisa diperbaiki. Dan akhirnya kapal bisa ber­jalan lagi. Mgr. Grent bersama dengan kawan-kawannya dapat mendarat di Ambon de­ngan selamat. Semi­nari St. Yudas Thadeus di Langgur, Tu­­al Maluku Tenggara yang berdiri sam­­pai hari ini adalah buk­ti nyata terkabulnya se­buah permo­hon­an dari seo­rang manusia yang dalam kesulitannya ber­cerita dan meminta bantuan kepada Tu­han untuk dise­lamatkan.

Kita bisa belajar dari pengalaman dramatis yang dialami Mgr. Grent. Dalam kepanikan dan kece­mas­an, ketika jalan buntu di depan mata, dan ketika kematian sudah di ambang pintu, kita masih ingat akan Tu­han dan kita tahu bahwa Tuhan akan memberikan jawaban atas keluhan dan permohonan kita. Peng­alaman doa yang dialami Mgr. Grent adalah sebuah contoh jenis doa yang paling biasa kita la­ku­kan, yakni: mencari bantuan Tu­han. Meski jenis doa seperti itu penting, masih ada lima jenis doa lain yang bisa kita pelajari, kita latih dan kita kembangkan. Untuk membangun kehidupan rohani yang lebih se­imbang kiranya baik kalau ki­ta bisa mengenal dan memprak­tekkan jenis-jenis doa yang lain ini.

1. Permohonan

Doa permohonan adalah doa yang paling dasar, yaitu memohon. Doa permohonan ba­rang­kali meru­pa­kan doa yang paling kerap dilakukan orang. Doa permohonan adalah doa para awak kapal. Juga doa para pilot yang setiap hari mela­ku­kan penerbangan dengan pesawat, doa para mu­rid di sekolah, doa para tenaga medis yang menolong banyak orang sakit di rumah sakit, doa para orangtua yang anaknya sedang sa­kit, doa para suami atau isteri yang sedang dalam kesulitan mem­­­­bangun relasi mereka satu sama lain. Kita berdoa kepada Tuhan karena kita membutuhkan atau karena seseorang dari teman kita sedang dalam ke­sulit­an. Entah keadaan krisis seperti ini be­rat atau ringan, kita mendekati Tuhan dan meminta bantuan kepada-Nya.

Memang benar bahwa doa permohonan itu mempunyai dasar alasannya di dalam Kitab Suci. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama (Yes 46:4), Nabi Yesaya menyerukan: “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sam­­pai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu. Aku telah me­lakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku akan memikul kamu dan menyelamatkan ka­mu”. Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, Ye­sus me­negaskan pentingnya mengungkapkan ke­bu­tuhan-kebutuhan kita kepada Allah. Di dalam Injil Yoha­nes 16:24, Yesus berkata kepada pa­ra mu­­rid-Nya: “Sampai sekarang sesuatu pun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan me­ne­ri­ma, supaya penuhlah sukacitamu”. Rasul Yakobus menegur beberapa orang Kris­tiani, dengan me­­nga­takan bahwa mereka itu tidak menikmati berkat dari Allah karena mereka gagal me­nyam­­pai­kan doa per­mohonan: “Kamu tidak memperoleh apa-apa karena kamu tidak berdoa.” (Yak 4:2).

Pesan dari Kitab Suci seperti itu jelas menunjukkan bahwa Allah itu ingin mendengarkan kepriha­tinan kita, kekurangan kita, kesulitan kita, keringkihan kita. Teks-teks Kitab Suci itu menunjukkan bah­wa Allah me­nga­takan: “Katakan pada-Ku. Mintalah pada-Ku. Ceritakan pada-Ku apa yang ka­mu butuhkan dan apa yang ka­mu ingin­kan.”

2. Pengakuan

Sementara doa permohonan merupakan doa yang populer dan paling biasa dilakukan, doa pengakuan barangkali merupakan doa yang paling sulit untuk banyak orang. Memang tidak mu­dahlah untuk mengakui dan menyebutkan dosa-dosa, kekurangan, kelemahan, kegagalan, dan ke­mu­dian meminta pengampunan. Te­tapi, pe­ngakuan ini merupakan jalan yang membimbing ke arah kesehatan hidup rohani dan kesehatan emosi­onal. Kitab Suci Perjanjian Baru memberikan petunjuk ten­­­­tang hubungan antara pengakuan dan kesehatan: “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku do­samu, dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh.” (Yako­bus 5:16).

Kitab Suci ju­ga menyatakan dengan jelas tentang manfaat kesehatan dari pengakuan ini: “Siapa me­nyem­bu­nyikan pelanggarannya tidak akan beruntung, tetapi siapa yang mengakuinya dan me­ning­gal­kan­nya akan disayangi.” (Amsal 28:13).

Seorang penulis, bernama Louis Cassels, menyatakan: “Di dalam penga­ku­an, kita membuka hidup kita un­tuk menyembuhkan, mendamaikan, mem­perbaiki, dan menghargai rahmat Tu­han yang telah mencintai ki­ta seperti apa adanya seka­rang.” Di samping itu, tersedia juga sakramen pe­ngampunan dosa, yang kita kenal se­bagai penga­kuan juga.

3. Adorasi

Doa ini dilaksanakan ketika kita ingin memuji Tuhan. Doa adorasi dan pujian semestinya mengalir secara alami dari hati yang penuh sadar akan rahmat dari Tuhan. “Doa pujian adalah mu­sim semi sebuah hati yang men­cintai Tuhan,” kata seorang pastor Perancis bernama St. Jean Baptiste Marie Vianney, yang lahir tanggal 8 Mei 1786. “Aku hendak memuji Tuhan pada segala waktu, puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.” (Mzm 34:2). “Aku mau menyanyikan ke­kuatan-Mu, pada waktu pagi aku mau bersorak-sorai ka­rena kasih setia-Mu, sebab Engkau te­lah menjadi kota bentengku.” (Mzm 59:17). “Pujilah nama Tuhan, pu­jilah, hai hamba-ham­ba Tu­han.” (Mzm 135:1).

Orang-orang yang memiliki kehidupan rohani yang dalam, mampu melakukan doa pujian dan adorasi, bahkan di dalam situasi yang menyesakkan. Etty Hillesum, wanita muda keturunan Yahudi yang dipenjara­kan oleh Nazi, adalah contoh pendoa yang cerdas. Dalam si­­tuasi yang menekan batinnya hi­dup di kamp kon­sentrasi, dia masih bisa berdoa demikian: “Pen­deritaan yang saya alami di sini adalah pen­de­ritaan yang sung­guh tak ter­perikan, tetapi ke­rapkali saya masih bisa menikmati musim semi dan melangkahkan kaki un­tuk berjalan-jalan. Saat-saat seperti itu sungguh me­nyen­tuh hati saya. Di dalam hati saya, ada suatu perasaan yang me­lonjak bahwa hidup ini sung­guh mu­lia dan menakjubkan: Tuhan, Engkau telah membuat diri saya menjadi ka­ya seperti ini. Perke­nan­­kanlah saya untuk bisa membagikan keindahan-Mu itu dengan tangan terbuka.”

4. Meditasi

“Jika seandainya saya seorang dokter, dan saya diizinkan untuk menentukan satu obat untuk semua pe­nyakit, maka saya akan menulis resep ketenangan. Jika sabda Tuhan diwartakan di dunia modern, bagai­mana orang akan bisa mendengar dengan suara seperti itu. Oleh karena itu, ciptakanlah ketenangan.”

Pandangan seperti itu, datang pada abad ke-19 dari seorang filsuf Soren Kierkegaard. Meditasi ada­lah il­mu kerohanian yang penting. Di saat-saat tenang seperti itu, kita membuka le­bar jiwa kita untuk mera­sakan arah­an Tuhan, cinta dan nasihat-Nya. Tenang di hadapan Tuhan, adalah jalan efektif untuk menjalin hu­bung­an dengan sebuah bagian dari keabadian.

Meditasi yang tenang juga ideal ketika kita mengalami kekacauan batin, karena keheningan doa mene­nang­kan jiwa yang cemas, menenangkan roh, membantu kita berpikir lebih jernih, dan membantu kita berdoa secara lebih bijak.

5. Syukur

Karena Tuhan telah memberikan berkat yang melimpah, maka doa syukur semestinya ke­luar dari hati kita dan secara nyata keluar dari mulut kita, sifatnya alami, rutin, dan frekuen ter­jadi. Ralph Waldo Emerson kerap­kali mengucapkan doa syukur seperti ini:

“Karena setiap hari baru kami masih diperkenankan melihat terangnya pagi hari, kami mengucapkan terima kasih kepada-Mu, ya Bapa. Karena pemberian istirahat dan perlindungan-Mu semalam ketika kami se­dang tidur nye­nyak, kami mengucapkan terima kasih kepada-Mu, ya Bapa. Karena pemberian kesehatan dan makanan, karena cinta dan teman-teman, ya Bapa, yang berada di dalam surga, kami mengu­capkan te­rima kasih kepada-Mu!”

6. Persembahan

Doa ini melibatkan penyerahan diri sepenuhnya kepada karya dan kehendak Allah. Doa ini dinyatakan oleh orang-orang kristiani yang punya kepekaan dan tanggap terhadap situasi sekitar. Ketika mereka melihat su­atu ke­butuhan, mereka ingin memenuhi kebutuhan itu. Ketika mereka melihat luka, mereka berusaha untuk me­nyem­buhkannya. Se­jarah dipenuhi dengan orang-orang biasa, entah wanita atau pria, yang mengerjakan hal-hal yang luar biasa karena mereka mempersembahkan hidup mereka kepada Allah.

Orang-orang yang mempunyai komitmen hidup seperti itu bisa kita sebut namanya. Mereka itu adalah: Bunda Teresa yang bekerja di antara kaum papa-miskin di Calcuta India; Sir Wilfred Grenfell, seorang dokter Inggris yang bekerja di antara orang-orang Eskimo, orang-orang suku Indian dan orang-orang kulit putih di Labrador Canada; William Booth, yang bekerja di daerah permukiman kumuh di London Inggris; St. Vincent de Paul, yang melayani orang-orang miskin di Perancis dan memberikan makanan ke­pada budak-budak dari Afrika Uta­ra; Dorothy Day yang karena kepekaannya mendalam akan keadilan membuka tempat permukiman dan menye­diakan makanan, perumahan dan pakaian untuk para warga Amerika yang melarat.

Persembahan hidup juga ditemukan di antara mereka yang tidak diperhitungkan oleh sejarah: para suami yang masih tetap setia dan melayani dengan penuh belarasa isterinya yang sudah mengidap sakit ter­minal; ibu-ibu yang mendoakan dengan teguh dan sungguh-sungguh untuk anaknya yang suka melawan dan tidak patuh; orang-orang muda yang secara konsisten menolak untuk ikut serta terlibat melakukan perbuatan-perbuatan salah yang dilakukan oleh teman-teman sebaya mereka; para eksekutif dalam perusahaan yang menerapkan prinsip moral dan standard etika bisnis yang tinggi di dalam pekerjaan mereka.

Memahami dan melatih keenam jenis doa seperti diterangkan di atas akan menyeimbangkan kehi­dupan rohani kita, karena doa adalah jalan untuk pendidikan jiwa kita. Seorang novelis Rusia, Fydor Doskto­yevski per­nah mencatat: “Setiap kali anda berdoa, jika doa anda itu tulus, maka akan ada perasaan baru dan makna baru di da­lamnya. Perasaan dan makna baru itu akan memberikan kepada anda keberanian yang lebih segar, dan anda akan mengerti bahwa doa itu ada­lah pendidikan.”

Gianna Mencintai Kehidupan


Kisah mengenai St. Gianna Beretta Molla (1922-1962) yang mengurbankan hidupnya demi anaknya yang lahir dengan selamat, telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Dia adalah seorang ibu, seorang isteri, seorang dokter yang mencintai keluarganya. Ia menghayati hidupnya yang sehari-hari itu dengan penuh dedikasi dan secara rohani memang berlandaskan pada semangat cintakasih Kristus yang kehadirannya dirasakan di dalam Ekaristi. Ia juga menghayati hidupnya berlandaskan pada suatu keyakinan bahwa semua ciptaan ini, terutama anak-anak, adalah anugerah dari Allah sendiri.

Sebagai seorang dokter, ia melihat Kristus di dalam diri orang lain: “Seperti imam dapat menyentuh Yesus (di dalam Perayaan Ekaristi), begitu juga kami para dokter dapat menyentuh Yesus di dalam tubuh orang-orang yang menderita sakit,” katanya.

Gianna Beretta Molla lahir dari pasangan suami-isteri Alberto dan Maria Beretta, pada tanggal 4 Oktober 1922 di Magenta, Milan, Italia. Dia adalah anak kesepuluh dari 13 saudara; dan lima orang di antaranya sudah meninggal dalam usia dini. Sejak usia mudanya ia telah menerima anugerah iman dan pendidikan kristiani yang jelas, yang dia terima dari ayah ibunya. Oleh karena itu, dia mengalami hidup ini sebagai suatu anugerah yang istimewa dari Allah. Dia memiliki iman yang kuat akan penyelenggaraan ilahi dan yakin akan perlunya doa dan efektivitasnya.

Orangtuanya mempertimbangkan pendidikan anak-anak sebagai cara bagi Tuhan untuk bekerja melalui dan mempersiapkan jiwa-jiwa mereka bagi karya-Nya melalui anak-anak mereka. Orangtua Gianna memang tidaklah miskin, tetapi dihayati dengan kesederhanaan, ugahari dan penuh dengan kegembiraan. Pelajaran agama bagi anak-anak merupakan masalah yang serius bagi orangtua dan membiasakan anak-anak mereka untuk mengikuti perayaan Ekaristi setiap pagi dan doa rosario setiap sore hari. Dengan doa harian dan studi di bawah pengawasan orangtua dan kakat tertuanya Amelia, Gianna siap dan mendapatkan ijin untuk menerima komuni pertama pada umur lima tahun dan kemudian menerima sakraman krisma dua tahun kemudian. Ia membiasakan diri untuk dapat menerima komuni setiap hari sampai hari meninggalnya tiba.

Kedua orangtuanya meninggal ketika Gianna berumur 20 tahun. Karena itu, dia dan saudara-saudara kandung pindah ke rumah kakek-neneknya. Pada saat itulah Gianna mulai tekun di dalam studi dan terlibat aktif dalam berbagai organisasi. Ia dengan rajin menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah dan di perguruan tinggi selama bertahun-tahun. Sementara itu ia juga memberikan pelayanan yang murah hati di kalangan kaum muda dalam organisasi “Aksi Katolik”. Dan sebagai anggota dari Paguyuban Santo Vincentius a Paulo, ia melakukan pekerjaan-pekerjaan karitatif untuk orang-orang jompo yang membutuhkan pelayanan.

Orangtuanya memang mendorong anak-anaknya untuk mengembangkan profesi yang membuat mereka mampu untuk melakukan karya pelayanan kemanusiaan. Di antara 9 orang saudara kandungnya yang masih hidup ada 2 orang yang menjadi imam, satu orang suster, dua dokter, satu insinyur, dan satu ahli farmasi. Gianna sendiri memilih studi kedokteran dan mempraktekkannya kemudian.

Setelah menyelesaikan studi kedokteran di Universitas Pavia pada tahun 1949, ia membuka sebuah klinik pelayanan kesehatan di Mesero, dekat Magenta, pada tahun 1950. Ia melanjutkan studi spesialisasi di bidang kesehatan anak-anak di Universitas Milan pada tahun 1952, dan setelah itu ia memberikan perhatian khusus kepada ibu-ibu, anak-anak, bayi, orang-orang jompo dan orang-orang miskin.

Sementara bekerja di bidang pelayanan kesehatan – yang dia pandang sebagai sebuah “perutusan” dan dilakukan dengan sepenuh hatinya – ia juga meningkatkan pelayanan yang murah hati terutama kepada kaum muda, dan pada saat yang sama ia mengungkapkan kegembiraan hidup dan cintanya kepada alam ciptaan, melalui berbagai kegiatan: melukis, bermain tenis, menonton musik dan teater, mendaki gunung, dan bermain ski. Melalui doa-doanya dan doa-doa orang lain, ia merefleksikan panggilannya, yang ia sebut sebagai hadiah dari Allah.

Sebagai dokter, Gianna memandang pekerjaannya di bidang medis sebagai perutusannya untuk membantu para anggota “Tubuh Kristus” yang menderita. Para pasiennya dipandang secara utuh sebagai makhluk ciptaan Tuhan, yang berbadan dan berjiwa, di hadapan Tuhan. Dia merumuskan tentang profesinya demikian: “Setiap orang bekerja dalam karya pelayanan kepada manusia. Kami sebagai dokter bekerja langsung pada manusia itu sendiri. Misteri besar dari manusia adalah Yesus: “Ia yang mengunjungi orang sakit, membantu aku” kata Yesus … Justru sebagai imam orang bisa menyentuh Yesus, demikian juga kami menyentuh Yesus di dalam diri para pasien. Kami memiliki peluang untuk melakukan hal-hal baik yang tidak bisa dikerjakan oleh para imam. Perutusan kami tidak selesai ketika obat sudah tidak dipakai lagi. Kami harus membawa jiwa itu kepada Tuhan; kata kami memiliki otoritas.. Dokter Katolik sungguh-sungguh dibutuhkan.”

Kerapkali dia mengalami konfrontasi dengan situasi di mana para orangtua mengalami kepanikan yang luar biasa ketika berhadapan dengan sebuah resiko kehamilan yang tidak diinginkan. Dalam perannya sebagai tenaga medis, Gianna mendorong orangtua-orangtua yang mengalami situasi seperti itu dapat melalui saat-saat yang gelap itu dengan bertindak benar. Mengatasi kasus-kasus di mana hidup sang ibu dalam keadaan berbahaya, ia mengungkapkan keyakinannya mengenai kehidupan yang suci dengan pernyataan tertulis seperti ini: “Dokter itu tidak boleh mencampuri urusan orang lain. Hak hidup anak sama dengan hak hidup ibunya. Dokter tidak dapat memutuskan; membunuh anak di dalam rahim adalah dosa.”

Gianna mulai menjalin persahabatan dengan Pietro Molla pada tahun 1954; dan kemudian mereka bertunangan pada April 1955. Pada umur 33 tahun dia menikah dengan Pietro Molla pada tanggal 24 September 1955, di Basilika St. Martinus di Magenta. Gianna sungguh mengalami menjadi seorang isteri yang bahagia. Jauh sebelum melangsungkan pernikahannya dia pernah menulis surat kepada Pietro Molla demikian: “Cinta adalah suatu perasaan yang paling indah, yang Tuhan taruh di dalam jiwa lelaki dan perempuan”. Ia sangat berbahagia ketika kemudian mempunyai tiga orang anak, yakni: Pierluigi, yang lahir Nopember 1956; Mariolina, yang lahir Desember 1957; dan Laura, yang lahir Juli 1959. Dengan hidupnya yang sederhana dan seimbang, ia menyelaraskan tuntutan-tuntutan hidup dan perannya sebagai ibu, isteri, dokter dengan penuh perjuangan.

Pada bulan September 1961, pada akhir bulan keenam dari kehamilan anaknya yang nomer empat, ia mengalami rasa sakit dan penderitaan yang luar biasa karena adanya tumor di dalam rahimnya. Oleh karena itu ia merasa perlu untuk dilaksanakan operasi pembedahan segera. Gianna menceritakan soal operasi bedah itu demikian: “Ya, saya sudah berdoa begitu banyak pada hari-hari ini. Dengan iman dan harapan, saya sudah mempercayakan diri saya kepada Tuhan… Saya percaya akan Tuhan; ya, tetapi adalah tergantung pada saya untuk dapat memenuhi kewajiban saya sebagai seorang ibu. Saya berniat untuk mempersembahkan hidup saya kepada Tuhan. Saya siap untuk menghadapi segala sesuatunya, demi menyelamatkan bayi saya.”

Sebelum operasi pembedahan dilakukan, dan sadar akan resiko bagi kehamilannya, maka ia meminta dengan sangat agar pembedahan itu dilakukan demi keselamatan anaknya, meskipun dia tahu bahwa hal itu akan membawa resiko untuknya. Akhirnya pembedahan untuk mengangkat tumor itu pun dilakukan dan berhasil. Sementara menjalani masa kehamilannya dalam 7 bulan sisanya, Gianna selalu berdoa kepada Bunda Maria.

Setelah itu, ia masih bisa terus bekerja sebagai dokter dan sebagai seorang ibu, dengan kekuatan semangat yang tinggi. Namun demikian kenyataan tak dapat dielakkan. Dia merasa khawatir, jangan-jangan bayinya yang masih dalam kandungannya akan lahir dalam keadaan kesakitan. Oleh karena itu dia memohon agar Allah sendiri yang mencegahnya agar hal itu tidak akan pernah terjadi.

Beberapa hari sebelum anaknya lahir, meski ia selalu percaya kepada penyelenggaraan ilahi, Ia sudah siap apabila ia harus memberikan hidupnya dalam rangka menyelamatkan anaknya. Kepada suaminya ia menegaskan: “Jika kamu harus memutuskan untuk memilih antara aku dan anakmu, maka janganlah ragu-ragu: pilihlah anakmu. Aku tegaskan hal itu. Selamatkanlah dia.” Pada tanggal 21 April 1962, anaknya yang keempat lahir dan diberi nama Gianna Emanuela.

Segala usaha dan tindakan medis telah dilakukan untuk menyelamatkan anak dan ibunya, namun setelah anaknya lahir, pada tanggal 21 April 1962 Gianna merasakan adanya sakit yang tak tertahankan. Akhirnya dia meninggal seminggu kemudian, yakni pada tanggal 28 April 1962. Gianna mengakhiri hayatnya pada umur 39 tahun, dan sebelum ajalnya dia mengucapkan kata-kata ini berkali-kali: “Tuhan Yesus, aku mencintaimu. Tuhan Yesus, aku mencintaimu.” Penguburannya menjadi kenangan bagi banyak orang: penderitaan, iman dan doa. Jenasah Hamba Allah ini kemudian dimakamkan di tempat pemakaman Mesero, empat kilometer dari Magenta.

Pietro Molla menceritakan tentang isterinya setelah kematiannya: “Saya masih ingat akan kepercayaannya yang penuh kepada Penyelenggaraan Ilahi dan kegembiraan yang luar biasa dari isterinya ketika melahirkan anaknya.” Ia menambahkan: “Keputusan Gianna untuk mempersembahkan hidupnya untuk menyelamatkan anaknya sungguh memiliki akar yang dalam: di dalam perkawinan – yang dia rasakan sebagai sakramen, sakramen cinta – dan di dalam kepahlawanan cinta keibuannya dan keyakinan yang sungguh bahwa hak hidup anak yang belum lahir adalah suci.”

Sepuluh tahun kemudian, pada hari peringatan meninggalnya Gianna tanggal 23 September 1973, Paus Paulus VI menyebut sosok Gianna itu “pengorbanan yang sadar”. Paus Paulus VI mengatakan: “Seorang ibu muda dari Keuskupan Milan, yang memberikan hidup untuk anaknya itu, telah mempersembahkan dirinya, dengan pengurbanan yang sadar.” Bapa Suci di dalam kata-katanya itu dengan jelas merujuk pada Kristus yang di Kalvari dan di dalam Ekaristi.

Gianna Beretta Molla dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II, pada tanggal 24 April 1994, pada hari perayaan Tahun Keluarga Sedunia. Paus Yohanes Paulus II menyebut hidup ibu yang satu ini sebagai “sebuah nyanyian kehidupan sejati.” Mengikuti teladan Kristus yang “seperti Dia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, demikianlah Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya.” (Yoh 13: 1), seorang ibu keluarga yang suci ini telah setia dengan komitmennya yang pernah dinyatakannya di dalam hari perkawinannya. Pengurbanan yang luar biasa dengan menyerahkan hidupnya untuk orang lain merupakan kesaksian bahwa hanya mereka yang mempunyai keberanian untuk memberikan dirinya secara total kepada Allah dan kepada orang lain, mampu memenuhi dirinya sendiri.

Pada tanggal 16 Mei 2004, di Roma, Beata Gianna ini dikanonisasi menjadi Santa Gianna. Dalam kotbahnya Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Santa Gianna ini adalah seorang perempuan yang sederhana tetapi ia telah menjadi utusan cintakasih ilahi yang sungguh bermakna, yang dengan setia menjalankan komitmennya dalam hidup berkeluarga”.

Paus Yohanes Paulus II berbicara mengenai “pengurbanan hidup yang luar biasa yang ia telah berikan demi hidup orang lain”. Paus mengharapkan agar melalui teladan Santa Gianna di zaman modern ini kita dapat menemukan indahnya cinta perkawinan yang murni, tahan uji, dan setia, dan menghayati cinta itu sebagai jawaban atas panggilan Allah yang telah lebih dulu memberikan cinta-Nya untuk kita.


Doa dari Santa Gianna Berreta Molla


Allah, Bapa kami, kami memuji-Mu dan kami bersyukur kepada-Mu karena di dalam diri Gianna Beretta Molla, yang Engkau berikan kepada kami, yang telah menjadi saksi Injil sebagai wanita, seorang isteri, seorang ibu, dan sebagai seorang dokter. Kami berterimakasih kepada-Mu karena melalui anugerah kehidupannya kami dapat belajar untuk menerima dengan baik dan menghormati setiap pribadi manusia.

Tuhan Yesus, Engkau telah menjadi teladan yang baik bagi Gianna. Ia belajar untuk mengenai Engkau di dalam kecantikan dari alam. Karena dia memperkarakan pilihan panggilannya yang ia jalani dalam pencarian akan Engkau, dan jalan terbaik untuk melayani Engkau. Melalui cinta perkawinannya ia telah menjadi tanda cinta kasih-Mu untuk Gereja dan untuk kemanusiaan. Seperti Engkau, orang Samaria yang murah hati, ia memelihara siapa saja yang sakit, yang miskin dan yang lemah. Meneladani keteladanan-Mu, karena didorong oleh cinta kepada-Mu dia memberikan dirinya secara penuh, sehingga menghasilkan kehidupan baru.

Ya Roh Kudus, sumber setiap kesempurnaan, berikanlah kepada kami kebijaksanaan, kecerdasan, dan keberanian sehingga kami karena terdorong oleh teladan Santa Gianna dan melalui perantaraannya, kami menjadi tahu bagaimana menempatkan diri kami pada karya pelayanan kepada manusa yang kami temui, dalam hidup pribadi, hidup keluarga dan hidup profesi kami, dan dengan demikian bertumbuhlah kami dalam cinta dan kesucian. Amin. y