Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Kamis, 27 Desember 2012

Doa Penderita Kanker kepada St. Peregrinus

St. Peregrinus lahir pada tahun 1260 di Forli, Italia dari sebuah keluarga yang saleh. Ia mengalami kehidupan yang menyenangkan ketika masih muda, dan secara politik berlawanan dengan Bapa Suci. Setelah mengalami pengampunan dari St. Philip Benizi ia berubah dalam kehidupan dan mulai bergabung dengan ordo Servite.

Dia ditahbiskan menjadi imam dan kemudian pulang ke rumah untuk mendirikan komunitas yang diberi nama Servite. Mereka dikenal karena kegiatan berkotbah, bermatiraga, dan menjadi pembimbing professional. Ia sembuh dari kanker setelah mendapatkan visi dari Tuhan Yesus Kristus yang bergantung di kayu salib. Ia meninggal pada tahun 1345 dan dikanonisasi pada tahun 1726. Dia pelindung bagi para pasien penderita kanker.

Untuk mereka yang sedang terkena gangguan kanker, kanker itu suatu penyakit yang tetap memiliki keterbatasan. Kanker itu tidak dapat melumpuhkan cinta, tidak dapat menciutkan harapan, tidak dapat menggerogoti iman, tidak dapat melenyapkan damai, tidak dapat merusak kepercayaan, tidak dapat menutup ingatan, tidak dapat membungkam keberanian, tidak dapat membelenggu jiwa, tidak dapat menyingkirkan kehidupan abadi, tidak dapat menurunkan semangat, tidak dapat mengurangi kekuatan Kebangkitan.

Doa kepada St. Peregrinus bagi Penderita Kanker

Ya Santo Peregrinus, aku membutuhkan bantuanmu. Aku merasa tidak menentu dalam hari-hari hidupku sekarang dan di sini. Penyakit yang serius telah membuat aku rindu akan cintakasih Allah. Bantulah aku untuk bisa meneladani daya tahan imanmu ketika engkau menghadapi ganasnya kanker dan pedihnya operasi. Perkenankanlah aku untuk mempercayai Tuhan tentang jalan-jalan yang mesti aku lalui pada saat-saat ketika aku susah dan stress. Aku ingin sembuh, tetapi saat ini aku meminta kepada Allah kekuatan agar aku mampu menanggung salib di dalam hidupku. Aku mencari kekuatan kehadiran Allah di dalam hidupku saat aku dalam keadaan susah, lelah, sakit, cemas dan khawatir, yang aku alami sekarang ini. Ya Santo Peregrinus, jadilah engkau inspirasi bagiku dan jadilah engkau perantara bagi permohonan-permohonanku yang membutuhkan rahmat dari Allah yang Mahakasih. Amin.

Mencintai Sesama: Belajar dari Bunda Maria


Saudara-saudari terkasih, pada hari Minggu, 6 Januari 2013 nanti, umat Katolik yang mengikuti rangkaian Novena di Gua Maria Tritis sudah sampai pada rangkaian Novena hari kelima. Tema yang kita ambil untuk doa Novena dan Misa hari itu adalah “Belajar dari Bunda Maria tentang Keutamaan “Mencintai Sesama.”
 
Cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama diperintahkan oleh Allah di dalam satu rumusan kalimat yang sama. Dan perintah yang kita terima dari Allah itu adalah bahwa barangsiapa mencintai Allah harus mencintai sesamanya juga (1Yoh 4: 21). Santo Thomas mengatakan bahwa alasan untuk hal ini adalah bahwa pribadi yang mencintai Allah mencintai semua orang yang dicintai oleh Allah. 

Pada suatu hari, Santa Catharina dari Genoa menyatakan: “Tuhan, Engkau mengatakan bahwa aku harus mencintai sesamaku, tetapi aku dapat mencintai tak seorang pun kecuali Engkau.” Allah menanggapi pernyataan Santa Catharina itu dengan mengatakan: “Siapa saja yang mencintai Aku mencintai siapa saja yang Aku cintai.” Tetapi karena dulu tidak pernah ada orang yang mencintai dan juga tidak akan pernah ada orang yang mencintai Allah seperti Maria mencintai Allah, maka dulu tidak ada orang yang mencintai sesama dan tidak akan pernah ada orang yang dapat mencintai sesamanya seperti Maria mencintai sesamanya.

Ketika Bunda Maria masih berada di dunia, cintakasihnya begitu besar sehingga dia bisa membantu banyak orang yang membutuhkan tanpa diminta. Kita melihat hal ini dengan jelas pada peristiwa perkawinan di Kana, ketika Bunda Maria meminta kepada Yesus karena didesak oleh situasi yang menggelisahkan keluarga yang sedang berpesta: “Mereka kehabisan anggur” (Yoh 2: 3). Bunda Maria meminta Yesus untuk segera membuat mukjizat. Betapa cepatnya dia ingin selalu bertindak ketika sesamanya membutuhkan. Ketika dia pergi berkunjung ke rumah Elisabeth untuk memenuhi tugas cintakasih, dia pergi ke desa yang berada di perbukitan dengan terburu-buru (Luk 1: 30).

Tetapi Maria tidak bisa menunjukkan secara lebih penuh cintakasihnya daripada yang sudah dia kerjakan ketika dia mempersembahkan kematian puteranya demi keselamatan kita. Melihat hal itu, Santo Bonaventura mengatakan: “Maria begitu mencintai dunia sehingga dia mempersembahkan puteranya sendiri satu-satunya.” Hal ini juga memberikan inspirasi bagi Santo Anselmus untuk menyatakan: “Ya Bunda Maria yang terberkati, kemurnianmu mengatasi kemurnian para malaikat, dan cintakasihmu melebihi cintakasih para santo-santa.” “Dan cintakasih Maria untuk kita tak berhenti meski Bunda Maria sudah berada di surga,” kata Santo Bonaventura. “Sebaliknya, cintakasihnya makin bertumbuh karena dia sekarang berada di dalam posisi yang lebih baik untuk melihat kesusahan manusia.”

Karena itu, Santo Bonaventura menambahkan dengan mengatakan bahwa belas kasih Bunda Maria kepada orang-orang yang mengalami kesusahan sungguh luar biasa ketika dia masih berada di dunia, tetapi hal itu masih jauh dari luar biasa bila dibandingkan dengan belas kasih yang dilakukan oleh Bunda Maria sekarang ketika dia sudah berada dan menjadi Ratu di surga.

Santa Agnes menegaskan kepada Santa Bridgita bahwa tidak ada seorang pun yang pernah berdoa meminta rahmat tidak menerima rahmat itu melalui belas kasih Bunda Maria. Kita sungguh malang dan tidak beruntung jika kita tidak meminta kepada Bunda Maria supaya dia menjadi pengantara bagi kita. Yesus sendiri, seperti dikatakan kepada Santa Bridgita, mengatakan: “Jika kita tidak berdoa dan memohon kepada Bunda Maria, maka tidak ada harapan untuk dapat memperoleh belas kasih.” 

“Terberkatilah orang yang mendengarkan perintah-perintah-Ku, orang-orang yang meneladan cintakasih-Ku, dan mempraktekkan bahwa cintakasih kepada sesama,” kata Yesus kepada Maria, “Berbahagialah orang yang mendengarkan daku … Berbahagialah orang yang setiap hari menunggu pada pintuku, dan menjaga tiang pintu gerbangku.” (Amsal 8: 33-34).

Santo Gregorius Nazianzen memberikan keyakinan kepada kita bahwa tidak ada jalan yang lebih baik kecuali jalan yang membuat Maria mencintai kita, yaitu jalan mempraktekkan cintakasih kepada sesama. Pernyataan Santo Gregorius itu persis sama dengan apa yang dikatakan Yesus kepada kita, “Berbelaskasihlah sebab Bapa itu berbelas kasih. Demikian juga Maria mengatakan kepada kita, “Berbelaskasihlah sebab Ibumu berbelas kasih.”

Kita menerima bahwa cintakasih kepada sesama akan menjadi ukuran yang dipakai Allah dan Maria, yang ditunjukkan kepada kita ketika kita membaca kembali sabda Tuhan berikut ini: “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” (Luk 6: 38).

Santo Methodius pernah mengatakan: “Jika orang memberikan sesuatu kepada orang miskin, dia akan mendapatkan Firdaus sebagai imbalan.” Santo Paulus menambahkan bahwa cintakasih kepada sesama membuat kita bahagia, baik bahagia di dunia maupun bahagia di dunia yang akan datang. Kebajikan menguntungkan dalam segala aspek, karena hal itu sudah merupakan janji bahwa cinta kepada sesama membawa kebahagiaan bagi hidup yang sekarang dan bagi hidup yang akan datang (1Tim 4: 8).

Santo Yohanes Chrysostomus mengomentari teks Kitab Amsal “Siapa menaruh belaskasihan kepada orang yang lemah, memiutangi Tuhan, yang akan membalas perbuatannya itu,” (Amsal 19: 17), dengan mengatakan: “Barangsiapa membantu orang yang membutuhkan, dia telah membuat Allah punya hutang padanya.”
Maka, pada hari ini, kita secara khusus memohon kepada Allah agar kita diperkenankan untuk meneladan Bunda Maria dalam hal keutamaan mencintai.

Ya Bunda Maria yang berbelas kasih, engkau memiliki perhatian yang sungguh besar pada siapa saja sehingga mereka boleh mengalami hidup yang sejahtera. Kami mohon kepadamu juga, sudilah kiranya engkau memberikan perhatian pada masalah, kesusahan dan tantangan hidup yang sedang kami hadapi. Sudilah kiranya engkau mengerti dengan baik apa yang menjadi masalah dan kesusahan kami. Bimbinglah kami agar kami dapat hadir menghadap Allah yang akan memberikan kepada kami segala sesuatu yang kami butuhkan. Kami mohon dengan perantaraanmu, semoga Allah berkenan mengizinkan kami untuk bisa meneladan engkau dalam hal mencintai, mencintai Allah dan mencintai sesama kami. Amin.

Minggu, 25 November 2012

Berserah Diri

Singkirkan beban hidup masa silam
Kekecewaan dan noda yang suram
Percuma meratapi yang t'lah basi
Serahkan ke tangan kasih Ilahi

Singkirkan beban hidup masa depan
Cemas gelisah dan kekhawatiran
Percuma merisaukan yang b'lum pasti
Serahkan ke tangan kasih Ilahi

Trimalah beban hidup masa kini
Dengan Iman dan Kasih dalam hati
Jadikan korban persembahan diri
Melimpah berkat dan rahmat Ilahi

- Mgr. FX. Prajasuta, MSF.

Jumat, 23 November 2012

Doa dalam Penderitaan

Ketika hidupku hampa, hatiku tak puas, semangatku meredup, Kristus yang lahir di kandang Betlehem, lahirlah di dalam hatiku.

Ketika aku menemukan pencobaan dalam hidupku, dan ketika kemakmuran, keadilan serta kenikmatan sulit didapatkan, Kristus yang dalam keadaan digoda oleh Setan di padang gurun, doakanlah aku.

Ketika kegembiraan karena kesehatan, karena kebahagiaan, karena kesejahteraan, dan karena kehangatan yang aku rasakan, karena cintakasih Allah yang aku alami, Kristus yang berjalan keliling desa Galilea, berjalanlah bersama aku.

Ketika aku mencari kepentinganku sendiri, kebaikanku sendiri di hadapan Allah dan sesama, Kristus yang membersihkan bait Allah, bekerjasamalah dengan aku.

Ketika keputusan-keputusan sulit dibuat dan aku tidak mampu untuk melihat jalan ke mana aku harus melangkah, Kristus yang berada di taman Getsemani, menangislah bersama aku.

Ketika aku berhadapan dengan situasi pahit, penderitaan dan kegagalan, dan hatiku berteriak “Mengapa aku ya Tuhan.”, Kristus yang berada di gunung Kalvari, tinggallah bersama aku.

Ketika akhirnya aku mengalami jalan buntu dalam perjalananku dan di dalam membawa hidupku ke arah yang Kaukehendaki, Kristus yang telah keluar dari liang kubur, datanglah padaku.

Tuhan, semoga aku dapat menemukan iman di dalam penderitaan, sakit, dan kegagalan yang aku hadapi. Semoga aku selalu berada di dalam Engkau, ketika aku gembira dan ketika aku susah, ketika aku untung dan ketika aku malang. Amin.

Kamis, 22 November 2012

Doa Pengantin Baru kepada Keluarga Kudus

Ya Yesus, saudara kami, Putra Allah dan Putra Maria, kami bersyukur kepada-Mu karena pemberian hidup yang Engkau percayakan kepada kami untuk kami pelihara. Bantulah kami untuk menjadi orangtua yang lembut dan bijaksana, yang mampu mencintai dan mengampuni, yang disiplin dan tetap mampu memberikan kebebasan. Berkatilah keluarga kami, yang baru kamu mulai pada hari ini, setelah kami berdua meneguhkan pernikahan kami . Pada hari ini kami memulai membangun keluarga baru, Gereja kecil, yang menjadi bagian dari Gereja Kudus yang pernah Engkau dirikan. Berkat bantuan rahmat-Mu, biarlah hidup yang rukun, damai dan saling mencintai, sebagaimana Engkau telah alami di dalam keluarga-Mu sendiri di kota kecil Nazareth, dapat memberikan inspirasi bagi kami berdua.

Ya Santa Maria, Bunda Yesus dan Bunda kami, peliharalah keluarga kami yang baru ini dengan iman dan cinta-Mu. Jagalah kami agar kami senantiasa tetap berhubungan erat dengan Putramu Yesus, di dalam segala situasi keluarga kami, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang.

Ya Santo Yosef, Bapa angkat Tuhan Yesus, penjaga dan mempelai Maria, jagalah keluarga kami agar tetap aman dari ancaman dan bahaya. Bantulah kami di saat-saat di mana kami cemas dan takut.

Ya Keluarga Kudus dari Nazareth, teladan bagi keluarga-keluarga kristiani, buatlah keluarga kami menjadi satu dengan keluarga-Mu. Bantulah kami agar kami dapat menjadi alat damai, menjadi pribadi-pribadi yang dapat saling mencintai dan mengampuni. Anugerahkanlah kepada kami cinta yang dikuatkan oleh rahmat, sehingga cinta itu dapat membuktikan  kekuatannya yang lebih besar ketika harus mengatasi segala pencobaan dan kelemahan yang kami hadapi. Semoga keluarga kami selalu menempatkan Allah pada pusat hati kami dan di tengah rumah kami seumur hidup kami, sehingga kelak kami boleh menjadi keluarga yang bersatu, bahagia, dan damai di dalam rumah yang abadi bersama-Mu. Amin.

Selasa, 13 November 2012

Mencintai Allah: Belajar dari Bunda Maria

Sesuai dengan tema Novena yang diselenggarakan pada tanggal 2 Desember 2012 di Gua Maria Tritis Wonosari, kali ini kita diajak untuk merenungkan kembali makna keutamaan cintakasih, seperti diteladankan oleh Bunda Maria. Dalam katekismus Gereja Katolik kita baca bahwa “kasih itu adalah kebajikan ilahi, yang dengannya kita mengasihi Allah di atas segala-galanya demi diri-Nya sendiri, dan  karena kasih kepada Allah itu kita mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri.” (CCC 1822).

Di dalam Injil Yohanes, Yesus menjelaskan kepada para murid bahwa dia memberikan kepada mereka perintah baru, yaitu: “Hendaknya kamu saling mengasihi satu sama lain seperti Aku telah mencintai kamu.” (Yoh 13: 1). Ketika Yesus mempersembahkan hidup-Nya di kayu salib, Ia menunjukkan “kebaruan” dari perintah-Nya, yakni kasih seperti yang Dia harapkan, kasih yang dilakukan Dia untuk kita.

 Perintah itu perintah baru, karena perintah itu melukiskan relasi yang berbeda antara Allah dengan ciptaan-Nya. Peristiwa inkarnasi telah mengubah relasi antara Allah dan manusia. Ketika Allah menjadi manusia, maka Allah masuk ke dalam lingkungan ciptaan-Nya, masuk ke dalam komunitas manusia. Yesus mengungkapkan relasi yang berubah itu, ketika Dia mengatakan kepada para murid, “Aku tidak menyebut kamu hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya. Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku sudah mengatakan kepadamu segala sesuatu yang telah Aku dengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15: 15).

Menurut Santo Thomas Aquinas, keutamaan cintakasih merupakan aspek persahabatan dengan Allah, dan bersama dengan semua anak-anak Allah (II.II, 23, 1). Dalam setiap persaha-bat¬an, ada kegiatan berbagi antara dua individu yang bersahabat. Tetapi dengan Allah, apa yang dapat kita bagikan? Kita dapat mencintai Allah hanya karena “Allah telah mencintai kita terlebih dahulu”. St. Yohanes menulis di dalam suratnya yang pertama, “Di dalam cinta ini, bukan bahwa kita telah mencintai Allah, tetapi bahwa Dia telah mencintai kita … kita mencintai karena Dia sudah mencintai kita lebih dahulu” (1Yoh 4: 10,19).

Cinta Allah kepada kita adalah dasar. Cinta Allah itu memberikan kepada kita kemampuan untuk mencintai Dia, dan cinta Allah itu adalah sumber kapasitas kita untuk mencintai dunia yang sudah Allah ciptakan. Setelah Allah, giliran berikut yang harus kita cintai adalah diri kita sendiri. Kita diundang untuk mencintai diri kita sendiri. Cinta itu tidak boleh bersifat egois. Kita harus ingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk mencintai sesama kita seperti diri kita sendiri (Ul 19: 18).

Thomas Aquinas mengutip kata-kata Aristoteles yang mengidentifikasi cinta pada diri sendiri sebagai pembanding untuk cinta kita kepada orang lain. Thomas mengatakan: “Asal-usul relasi persahabatan dengan orang lain diletakkan pada relasi kita dengan diri kita sendiri.” Kasih kepada Allah mendorong kita untuk mengasihi orang lain sesama kita, dan pada titik tertentu hal ini mengajak kita untuk memusatkan perhatian kita kepada apa yang pernah Kristus katakan: “Kasihilah musuh-musuhmu” (Mat 5: 44).

Kita harus memasukkan musuh ke dalam kelompok sesama kita. Kita tidak boleh memiliki kepedulian cinta yang kecil terhadap orang-orang yang tidak kita sukai. Kita harus mencintai secara tepat apa yang baik di dalam pribadi-pribadi, yaitu: kemanusiaan dan nilai sebagai makhluk ciptaan Allah. Kita harus siap untuk memasukkan musuh ke dalam doa-doa kita yang kita tawarkan bagi setiap orang, dan terutama memberikan bantuan kepada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan kita.

Pelaksanaan semua kebajikan ini dijiwai dan digerakkan oleh kasih. “Inilah pengikat yang menyatukan dan menyempurnakan” (Kol 3: 14); ia adalah pembentuk kebajikan; ia menentukan dan mengatur kebajikan-kebajikan; kasih Kristen mengamankan dan memurnikan kekuatan kasih manusiawi kita. Ia meninggikannya sampai kepada kesempurnaan adikodrati, kepada kasih ilahi.” (CCC 1828).

 “Bunda Maria adalah Ratu Cintakasih”, kata Franciscus de Sales. “Di mana ada kemurnian terbesar, di situ terdapat cinta yang terbesar.” Jadi, semakin hati ini murni, dan kosong dari diri sendiri, maka semakin penuhlah cinta kepada Allah. Bunda Maria yang tersuci, karena dia sangat rendah hati, dan tidak punya kepentingan untuk diri sendiri, dipenuhi dengan kasih ilahi, sehingga “cintanya kepada Allah melebihi cinta semua manusia dan malaikat.”, tulis Santo Bernardinus.

Santo Ricardus memberikan penegasan mengenai pendapat ini dengan mengatakan, “Bunda Emmanuel telah mempraktekkan keutamaan-keutamaan di dalam tingkat kesempurnaan yang paling tinggi. Siapakah orang yang dapat dibandingkan dengan Bunda Maria yang telah melakukan perintah Allah yang pertama, “Engkau akan mencintai Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu?”

Karena cintanya kepada Allah sedemikian mendalam, maka tidak ada suatu cacat apa pun dari cintanya kepada Allah.” “Cinta Bunda Maria kepada Allah sedemikian kuat merasuki jiwanya, sehingga tidak ada satu bagian pun dari dirinya yang tak terisi; dan karena itu Bunda Maria mampu mencintai Allah dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya, dan dengan segenap kekuatannya, dan penuh rahmat.”, kata St. Bernardus.

Allah yang adalah cinta (1Yoh 4: 8) datang ke dunia untuk mengobarkan di dalam hati semua orang api cintakasih Allah; tetapi tidak ada hati yang lebih berkobar daripada hati Bunda Allah, karena hati Bunda Allah itu sungguh murni dari ikatan-ikatan duniawi, dan sungguh dipersiapkan untuk mengobarkan api cintakasih yang terberkati. Santo Sophronius mengatakan bahwa ‘api cinta kasih Allah berkobar dalam hatinya sehingga tak ada ikatan duniawi mana pun yang dapat merasukinya; dia selalu mengobarkan api cinta surgawi seperti dikatakan: “Hati Maria telah menjadi api dari segala api yang menyala, seperti pernah kita baca tentang dia dalam Kidung Agung: “Nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan.” (Kid 8: 6), nyala api yang terkabar karena cinta, nyala api yang bersinar karena keteladanan yang diberikan kepada semua orang melalui praktek keutamaan.

Bunda Maria sendiri pernah menyatakan kepada Santa Brigitta: “Aku berpikir tentang Allah saja, dan tidak tentang yang lain; tidak untuk menyenangkan diriku tetapi untuk menyenangkan Allah.” Santo Bernardinus menegaskan bahwa selama hidup di dunia Bunda Maria selalu mencintai Allah: “Pikiran Bunda Maria selalu dibungkus di dalam hasrat untuk mencintai Allah.” Santo Bernardinus menambahkan: “Bunda Maria tidak pernah melalukan sesuatu yang tidak menyenangkan Allah; Bunda Maria mencintai Allah karena dia berpikir bahwa Allah harus dia cintai.”

Bunda Maria pernah mengatakan kepada Santa Brigitta, “Anakku, jika kamu ingin dekat dengan aku, maka cintailah Puteraku.” Maksud Bunda Maria adalah menunjukkan kepada kita tentang Allah yang dia cintai. Karena Maria berada dalam nyala api cinta kepada Allah, maka siapa saja yang mencintai dan mendekati dia, dikobarkan oleh dia dengan cintakasih yang sama. Karena itu Santa Catherina dari Siena menyebut Maria sebagai pembawa nyala api cintakasih Allah. Jika kita ingin terbakar dengan nyala api Bunda Maria, maka kita perlu senantiasa ingin untuk dekat dengan Bunda Maria dengan berdoa.

Dalam ensiklik Deus Caritas Est (art. 41), Paus Benediktus XVI memberikan perhatian khusus pada Bunda Maria yang memberikan keteladanan bagi kita dalam hal keutamaan cintakasih yang menjadi pusat perhatian ensiklik. Paus menulis bahwa Maria, Bunda Tuhan, adalah cermin bagi kita dalam hal kesucian. Dalam Injil Lukas, kita menemukan bagaimana Bunda Maria melayani dengan cintakasih kepada Elisabeth, saudara sepupunya. Di tempat Elisabeth, Bunda Maria tinggal selama 3 bulan (Luk 1: 56), membantu dia pada saat-saat akhir kehamilannya.

“Jiwaku memuliakan Tuhan” (Magnificat anima mea Dominum) adalah kata-kata Maria ketika dia berjumpa dengan Elisabeth. Dengan kata-kata itulah Lukas mau menyatakan bahwa seluruh program hidup Maria adalah tidak untuk menjadikan dirinya pusat perhatian, tetapi untuk memberikan ruang bagi Allah, yang dijumpai dalam doa dan dalam pelayanan kepada sesama, dan karena itu kebaikan masuk ke dalam dunia. Kebesaran Maria terletak pada fakta bahwa dirinya ingin memuliakan Allah, dan bukan memuliakan dirinya sendiri. Maria adalah wanita yang bisa menjadi teladan bagi kita dalam hal mencintai. ***

Sabtu, 03 November 2012

Maria Pengantara Wahyu

Pada tanggal 4 Maret 2012,  tepat pada hari ketujuh Novena St. Perawan Maria, yang diselenggarakan oleh Paroki Wonosari bekerjasama dengan CLC-Indonesia, Mgr. Yohanes Pujasumarta berkenan memimpin Perayaan Ekaristi dan memberkati patung Bunda Maria yang baru untuk Gua Maria Tritis, dan memberi nama Gua Maria Tritis itu dengan gelar “Maria Pengantara Wahyu Ilahi”. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Menjelang Natal 1974, di desa Singkil Wonosari, Rm. Al. Hardjasudarma SJ, mendengar cerita dari seorang anak bahwa di dekat ladangnya terdapat gua alami. Beberapa hari kemudian Rm. Hardjasudarma mendatangi lokasi gua itu dan mengupayakan supaya umat Katolik bisa berdoa di sana. Pada Oktober 1977, Rm. S. Zahnweh SJ menempatkan patung Maria di gua itu, dan memberkati tempat ini sebagai tempat ziarah dengan nama Gua Maria Tritis. Nama “Tritis” sendiri berkaitan dengan keadaan gua yang selalu meneteskan air dari langit-langitnya.

“Saya ingin membenahi Gua Maria Tritis dengan menggali sejarah kebudayaan supaya mendapatkan makna yang lebih mendalam mengenai keberadaan Gua Maria Tritis ini sebagai tempat ziarah. Gua Maria Tritis ternyata pernah berperan dalam sejarah karena menjadi jembatan Wahyu  antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram Yogyakarta”, kata Rm. SP. Bambang Ponco Santosa SJ, pastor kepala Paroki Wonosari, menerangkan.

“Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya tahun 1294, dengan membuka hutan Tarik di sekitar Trowulan, Jawa Timur. Majapahit mengalami kejayaan di bawah kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk yang dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada. Dalam Kitab Negara Kertagama, karya Empu Prapanca, dilukiskan wilayah Nusantara yang pemerintahannya tersusun dengan rapi dan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular dilukiskan Negara kesatuan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika,” jelas Mgr. Yohanes Pujasumarta tentang seluk beluk sejarah Gua Maria Tritis.

“Pada akhir abad 15 Majapahit runtuh. Raja Majapahit terakhir, yaitu Prabu Brawijaya V menikahi seorang putri Cina Palembang yang memeluk Islam menjadi selirnya. Tahun 1480 anak mereka, yaitu Adipati Demak yang bernama Raden Patah memisahkan diri dari Majapahit dan membangun kerajaan atas dasar ajaran Islam. Raden Patah naik tahta di Demak dengan gelar Sultan Ayah Alam Akbar I. Demak semakin kuat karena dukungan cendekiawan yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga,” jelas Bapa Uskup Pujasumarta.
“Orang-orang yang tidak mau menerima pemerintahan Demak melarikan diri sampai jauh, bahkan ada yang sampai ke Gunung Kidul. Tiga prajurit yang menolak pemerintahan Demak di bawah Raden Patah dan yang tetap setia kepada Majapahit, melarikan diri sampai ke Gunung Kidul. Mereka itu adalah Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Bondan Surati. Mereka bertapa di sebuah gua untuk mencari Wahyu yang pindah dari Majapahit. Gua tempat bertapa tiga prajurit Majapahit itulah yang sekarang menjadi Gua Maria Tritis,” tambahnya.

“Di gua Tritis ini Ki Ageng Pemanahan mendapatkan Wahyu tentang pewaris Kerajaan Majapahit. Meski Ki Ageng Pemanahan sudah wafat sebelum kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1575, dia telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi kehidupan Kerajaan Mataram sebagaimana Kerajaan Majapahit yang bersatu di atas semangat Bhineka Tunggal Ika. Kepemimpinan Kerajaan Mataram diteruskan oleh  Sutan Hadiwijaya sebagai raja pertama yang bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Raja Mataram inilah yang menjadi pewaris Wahyu Kerajaan Majapahit,” jelas Bapa Uskup Pujasumarta.

Maria Pengantara Wahyu Ilahi

Atas dasar latar belakang budaya setempat, maka Maria di Gua Tritis yang selama ini tidak diberi gelar, kemudian diberi gelar Maria Pengantara Wahyu Ilahi. Tangan Maria yang dilukiskan terbuka menandakan kesiapan-Nya untuk menyalurkan rahmat atau wahyu Allah kepada siapa saja yang memohon kepada Allah dengan pengantaraan-Nya. Maria telah memberikan sang Penebus, Sumber segala rahmat, kepada dunia, dan dengan jalan ini Maria adalah saluran segala rahmat.

Istilah “Pengantara” (Mediatrix) untuk Maria,  pertama kalinya dipakai oleh Santo Efraim (ca. 306-373), yang menyatakan: “Aku menyebut engkau Pengantara dunia. Aku mohon perlindunganmu di saat-saat aku membutuhkannya.” Di dalam salah satu kotbahnya, Santo Efraim pernah menyatakan Maria sebagai “penyalur segala pemberian”. Santo Yohanes Vianney pernah mengatakan: “Semua orang kudus memiliki devosi yang kuat terhadap Bunda Maria. Tidak ada rahmat yang datang dari surga tanpa melalui tangan Maria. Kita tidak dapat masuk ke suatu rumah tanpa berbicara kepada penjaga pintu rumah. Santa Perawan Maria yang tersuci adalah penjaga pintu surga.”

Santo Alfonsus Liguori mengatakan: “Allah yang memberikan Yesus Kristus kepada kita, menghendaki agar segala rahmat yang ada tetap ada dan agar rahmat itu disalurkan kepada manusia sampai akhir dunia melalui jasa dan kebaikan Yesus Kristus, dan supaya disalurkan oleh tangan dan melalui pengantaraan Maria.”
Paus Pius X menyebut Maria sebagai penyalur segala pemberian. Paus Benediktus XV menyebut Maria sebagai pengantara segala rahmat. Paus Leo XIII mengatakan di dalam ensiklik tentang Rosario“Octobrae Mensae” (1891): “Dari warisan segala rahmat, yang dibawa oleh Yesus, tidak ada satu pun rahmat yang datang kepada kita kecuali melalui Maria, sesuai dengan kehendak Allah, sehingga seperti tidak seorang pun bisa mendekati Bapa yang Mahatinggi kecuali melalui Putera-Nya, demikian juga tidak seorang pun dapat mendekati Kristus kecuali melalui Bunda-Nya.”

Paus Pius XII dalam ensiklik “Ingravescentibus Malis” (1937), sepakat dengan pendapat St Bernardus dari Clairvaux, dengan menyatakan: “Jadi, inilah kehendak Allah, yakni bahwa kita harus mendapatkan segala sesuatu melalui Maria”. St Bernardus dari Clairvaux, yang wafat tahun 1153, pernah menyatakan tentang Maria, demikian: “Allah menghendaki bahwa kita tidak akan memiliki sesuatu, kecuali melalui tangan Maria.”
“Pada hari ini kita bersyukur kepada Tuhan karena Gereja boleh berkembang di tempat ini”, kata Mgr. Yohanes Pujasumarta dalam kotbahnya, 4 Maret 2012 di Gua Maria Tritis, sebelum memberkati patung Maria yang baru. “Gereja telah berkembang di tanah Jawa ini, berkat izin dari Raja Mataram Hamengku Buwono VIII, pada tahun 1914. Karena keterbukaan hati dari Raja Mataram ini Gereja di tanah Jawa berkembang  sebagai bagian dari Gereja Kristus di dunia. Itulah sebabnya tahun 1939 Gereja mengadakan Kongres Ekaristi pertama yang diprakrasai oleh Mgr. Willekens SJ, untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas perkembangan Gereja setelah 25 tahun berdiri di bawah Vikariat Apostolik Batavia.”

Mgr. Yohanes Pujasumarta mengharapkan bahwa tempat ini bisa menjadi tempat yang terbuka, tempat untuk berdoa bagi siapa saja: “Yang menarik perhatian kita adalah mengapa Hamengku Buwono VIII dan raja-raja Mataram pada waktu itu punya hati yang terbuka bagi tumbuh berkembangannya misi Gereja di tempat ini? Banyak kerajaan buatan manusia berkembang dan selalu runtuh. Kerajaan Majapahit bertahan lama dan menjadi termasyur karena rajanya mempunyai sikap yang terbuka. Kata kuncinya ditemukan oleh Empu Tantular “Bhineka Tunggal Ika”. Atas dasar prinsip itu, para raja Majapahit membiarkan agama-agama tumbuh bersama. Majapahit runtuh ketika prinsip Bhineka Tunggal Ika disingkirkan dan bergeser ke Kerajaan Demak. Ada perbedaan ideologi dan ada perbedaan pendapat itu sesuatu hal yang wajar dalam menghadapi pilihan-pilihan hidup, supaya ada pencerahan baru: bagaimana wahyu Kerajaan Majapahit dapat ditemukan kembali.”

“Belajar dari tradisi budaya, kita ingin Gua Maria Tritis ini menjadi tempat yang terbuka bagi siapa saja, tempat berdoa, tempat mencari tahu tentang kehendak Allah, supaya melalui Bunda Maria semakin banyak orang mengenal Yesus, mencintai dan melayani-Nya. Benih-benih sabda (semina verbi) yang kita temukan dalam budaya, harus tumbuh, berkembang, dan digenapi dalam diri Yesus Kristus”, pesan Mgr. Yohanes Pujasumarta dalam kotbahnya. ***

Berpengharapan: Belajar dari Bunda Maria

Hari tanggal 4 Nopember 2012, adalah hari Minggu Biasa XXXI. Gereja mengajak kita untuk merenungkan kembali perintah Tuhan yang utama, yakni: mencintai Tuhan dan mencintai sesama. Kita diingatkan kembali untuk hidup bagi sesama dan bersama-sama dalam persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian hidup kita sehari-hari, rumah dan ruang kerja kita, dapat menjadi tempat di mana kita beribadat kepada Tuhan dan bertemu dan bersatu dengan Yesus, dengan kesadaran bahwa Dialah jalan kita satu-satunya. Dialah yang menyelamatkan kita dan kini menjadi pengantara di hadapan Bapa.

Pada hari pertama Novena (2 September 2012) di tempat ziarah Gua Maria Tritis, kita telah belajar dari Bunda Maria tentang kerendahan hati. Pada hari kedua Novena (7 Oktober 2012) kita belajar tentang keutamaan iman. Pada hari ketiga ini (4 Nopember 2012), kita akan belajar dari Bunda Maria tentang keutamaan harapan. Harapan itu timbul karena iman. Allah menerangi kita lewat iman sehingga kita mengenali kebaikan Allah dan janji-janji yang telah dibuat-Nya. Karena pengetahuan itu kita menjadi punya harapan akan keinginan memiliki Dia. Maria memiliki harapan dalam tingkatan yang istimewa. Harapan ini membuat dirinya dekat dengan Allah, seperti dikatakan oleh Daud penulis Mazmur, “Tetapi aku, aku dekat dengan Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Allah supaya aku dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya” (Mzm 72: 28).

Bunda Maria itu adalah mempelai Roh Kudus. Tentang dia dikatakan “Siapakah dia yang muncul dari padang gurun; yang bersandar pada kekasihnya?” (Kid 8: 5). Penulis Kitab Kebijaksanaan menggambarkan dunia sebagai padang gurun. Maria muncul dari padang gurun, artinya terikat dengan hal-hal yang sifatnya duniawi. Karena itu Maria tidak menyandarkan diri pada makhluk dunia dengan segala kebaikannya, tetapi kepada rahmat ilahi. Maria selalu maju dalam cintanya kepada Allah. Tentang Maria, Ailgrino mengatakan: “Ia naik dari padang gurun, yakni dari dunia, ia mengumumkan dan mempertimbangkan dunia itu sebagai padang gurun, ia kembali kepada ikatan emosinya dari ikatan dunia itu. Ia bersandar pada Pribadi yang tercinta. Dia percaya bukan pada kebaikan dirinya tetapi percaya pada rahmat yang diberikan oleh Allah sendiri.”

Santa Perawan Maria yang tersuci memberikan indikasi yang jelas mengenai keagungan kepercayaannya kepada Allah. Pada tempatnya yang pertama ia memperlihatkan keagungan kepercayaannya kepada Allah, adalah ketika dia memperlihatkan kekhawatirannya tentang Yusuf suaminya yang suci itu. Karena tidak mampu memahami kehamilan Maria, pikiran Yusuf terganggu. Dan Yusuf berniat untuk meninggalkan Maria. Tetapi “Yusuf yang tulus hati itu tidak mau mencemarkan nama baik isterinya dan karena itu dia tidak bermaksud untuk menceraikannya dengan diam-diam.” (Mat 1: 19).

Dan Maria merasa tidak perlu menyatakan kepada Yusuf bahwa dia telah menerima misteri tersembunyi itu. Dia tidak ingin dirinya mewahyukan rahmat yang telah dia terima. Maria berpikir bahwa adalah lebih baik jika dia menyerahkan diri kepada penyelenggaraan ilahi, dan percaya penuh bahwa Allah sendiri akan membela ketidaktahuan dan reputasinya. Persis inilah yang ditunjukkan oleh Cornelius Lapide yang menyatakan komentarnya menanggapi teks Kitab Suci yang dikutip itu, yakni: “Santa Perawan Maria tidak mau mengungkapkan rahasia itu kepada Yusuf, dia akan tetap merahasiakan anugerah dari Allah itu; karena itu dia menyerahkan semuanya kepada penyelenggaraan ilahi, dia sepenuhnya percaya bahwa Allah akan menjagai ketidaktahuan dan reputasinya.”

Maria sekali lagi menunjukkan kepercayaannya kepada Allah ketika dia tahu bahwa saat kelahiran Tuhan sudah dekat. Dia menyewa tempat miskin di Betlehem, membopong sang bayi di kandang, dan membaringkan-Nya di palungan, karena tidak ada ruang penginapan bagi-Nya. (Luk 2: 7). Dia tak mengeluh sepatah kata pun. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, dan dengan kepercayaannya yang penuh itu ia yakin bahwa Allah akan membantu dia.

Bunda Maria juga menunjukkan betapa besar kepercayaannya pada penyelenggaraan ilahi ketika dia menerima nasihat dari Yusuf bahwa mereka harus mengungsi ke Mesir. Pada suatu malam Maria melakukan perjalanan ke suatu tempat yang belum dikenali dan masih asing, tanpa persiapan, tanpa persediaan apa pun, tanpa uang. Dia hanya ditemani oleh Yesus sang bayi dan suaminya yang miskin, yang bangun, yang mengambil Anak serta ibu-Nya malam itu juga, dan menyingkir ke Mesir (Mat 2: 14).

Tetapi masih banyak lagi bukti kepercayaan Maria yang sungguh mengagumkan ketika dia meminta anaknya untuk menyediakan anggur pada pesta perkawinan di Kana. Karena Maria mengatakan “Mereka kekurangan anggur”, Yesus pun menjawab kepada ibu-Nya, “Mau apakah engkau dari pada Aku, ibu? Saatku belum tiba.” (Yoh 2: 3). Setelah menjawab dan terbukti bahwa Yesus menolak, kepercayaannya kepada Allah sebegitu besar bahwa Maria menginginkan para pelayan pesta akan melakukan apa saja yang Yesus katakan kepada mereka; dan betul anugerah itu diberikan. “Lakukan apa saja yang diperintahkan oleh-Nya kepadamu.” Demikianlah yang terjadi. Yesus memerintahkan kepada para pelayan untuk mengisi tempayan-tempayan dengan air; maka berubahlah air menjadi anggur.

Marilah kita sekarang belajar dari Bunda Maria bagaimana kita dapat memiliki kepercayaan kepada Allah, demi keselamatan abadi kita. Di dalam kerangka keselamatan abadi itu kita mesti bekerjasama dengan Allah, karena hanya dari Dialah kita berharap untuk mendapatkan rahmat yang kita butuhkan untuk memperoleh keselamatan abadi itu. Kita harus tidak percaya pada kekuatan diri kita sendiri, tetapi seperti dikatakan oleh St Paulus, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Flp 4: 13)
Dari Kitab Sirakh kita tahu bahwa Bunda Maria adalah Bunda Harapan Kudus (Sir 24: 24), Bunda Gereja Kudus, dan Bunda Harapan kita. Karena Yesus, Bunda Maria adalah Bunda Harapan. Santo Bernardus menyebut Maria sebagai “Engkaulah sumber pengharapanku”, dan bersama Santo Bonaventura kita juga dapat mengulangi lagi sebutan itu “Ya Maria engkaulah tumpuan harapan untuk keselamatan semua orang, selamatkanlah kami juga.” ***

Jumat, 26 Oktober 2012

Doa untuk Sahabat yang Berulang Tahun

Ya, Bapa kami yang ada di surga, pada hari ini kami datang menghadap-Mu untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kami atas pemberian-pemberian-Mu, terutama pemberian seorang sahabat (sebut namanya) yang pada hari ini merayakan hari ulang tahunnya yang kesekian kali (sebut ulang tahun yang ke berapa). Kami bergembira karena Engkau membimbing kami bersama dan memperkenankan kami untuk saling mengenal satu sama lain.

Pada hari ini kami berdoa memohonkan berkat khusus-Mu bagi sahabat kami ini (sebut namanya) dan  kami mohon kepada-Mu agar hari-hari yang akan datang baginya sungguh penuh dengan harapan, kegembiraan dan optimisme. Kami berdoa juga agar tahun yang akan datang mendatangkan kepada sahabat kami ini keberhasilan dalam berprestasi dan memperoleh kepenuhan harapan dari apa yang selama ini didambakan oleh sahabat kami ini.

Ya Allah, Bapa yang Mahabaik, kami tahu bahwa Engkau senang memberikan berkat kepada putera-puteri-Mu, dan karena itu kami mengajukan permohonan-permohonan kami ini kepada-Mu. Perkenankanlah kami sekali lagi mengucap syukur dan terima kasih atas segala kebaikan-Mu. Semua doa dan permohonan kami ini kami hunjukkan kepada-Mu, ya Allah Bapa yang Mahakasih, dengan perantaraan Kristus Tuhan dan junjungan kami.  Amin.

Senin, 22 Oktober 2012

Doa Mohon Pasangan Hidup

Tuhan, Engkau bersabda bahwa adalah tidak baik bahwa kami sendiri. Engkau telah menciptakan kami pria dan wanita supaya kami dapat saling menyempurnakan satu sama lain. Tetapi, ya Tuhan, aku mengalami bahwa tidaklah gampang aku dapat menemukan sahabat yang dapat menjadi pasangan hidupku yang baik. Maka, bantulah aku, ya Tuhan, supaya Engkau sendiri berkenan menempatkan harapanku untuk hidup perkawinan ini di tempatnya yang paling tepat.

Bimbinglah aku, ya Tuhan, untuk dapat menemukan orang yang Engkau pilih sendiri menjadi pasangan hidupku. Sementara aku menantikan, sudilah kiranya Engkau berkenan menunjukkan kepadaku kehendak-Mu dalam perkara ini, dan bantulah aku untuk dapat mengenali diriku secara lebih baik. Bantulah aku untuk memperbaiki hidupku yang belum tertib untuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari perkawinan yang sukses.

Pada saat keinginanku untuk dapat menemukan pasangan hidup menjadi begitu membara, bantulah aku untuk tetap bisa rileks dan sabar. Bantulah aku agar aku dapat memanfaatkan segala bentuk persahabatan yang sedang aku jalani dapat membawa aku menjadi lebih dekat dengan-Mu, dan membantu aku untuk dapat mengambil keputusan yang penting. Ya, Tuhan, aku menyadari bahwa adalah wajar dan sangat alami bila pada saat seperti ini aku berjuang keras untuk mendapatkan cinta.

Ajarilah aku untuk mencari Engkau pertama-tama, dan kemudian aku akan belajar tentang bagaimana aku harus memberikan cinta itu sebelum aku mencoba untuk menerima cinta itu. Bantulah aku untuk mengingat bahwa jalan hidup apa pun yang akan aku tempuh, jalan itu akan tetap membimbing aku untuk lebih dekat dengan-Mu. Aku akan ingat bahwa Engkau selalu hadir dalam perjalanan hidupku, selalu menawarkan penyertaan dan bimbingan, dan selalu menaruh perhatian pada kebutuhanku yang paling dalam.

Aku mempersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, kesendirianku, kesepianku, dan kerinduanku untuk menjalani hidup perkawinan. Aku mohon sudilah kiranya Engkau membimbing aku, menuju kepada kehendak-Mu yang sempurna di dalam kerinduanku untuk hidup perkawinan ini dan harapanku di dalam segala peristiwa hidup yang ingin aku lalui. Ya Tuhan, kabulkanlah doa permohoanku ini, yang aku sampaikan kepada-Mu, dengan perantaraan Putera-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus. Amin.

Minggu, 21 Oktober 2012

Doa Ulang Tahun Perkawinan

Panggilan hidup berkeluarga adalah rahmat yang diberikan oleh Allah secara khusus kepada setiap pasangan. Pada saat ulang tahun perkawinan, adalah penting untuk menyadari kembali kehadiran Allah yang senantiasa memberikan berkat-Nya yang melimpah, melalui rahmat-Nya, melalui belas kasih-Nya dan melalui cinta-Nya selama sepanjang hidup.

Perjalanan hidup bersama, sebagai pasangan suami-isteri bersama dengan anak-anak, bukanlah suatu perjalanan hidup yang selalu mudah dan bebas dari masalah. Karena itu, hari pesta perkawinan  pantaslah disyukuri. Itulah mengapa kita merasa perlu untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada Allah itu melalui doa khusus.

Doa ulang tahun perkawinan

Ya Allah, Bapa yang Mahakasih, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah berkenan memberikan kepada kami tambahan umur panjang untuk hidup bersama sebagai keluarga.

Kami berterima kasih kepada-Mu karena cinta yang tumbuh makin subur dalam hidup kami dan karena ikatan hubungan kami satu sama lain makin erat hari demi hari. Kami bersyukur kepada-Mu: karena kebahagiaan yang boleh kami alami dan kami sadari; karena kesusahan yang boleh kami hadapi; karena pengalaman terang dan gelap yang boleh kami lalui dalam kehidupan kami bersama sampai hari ini.

Kami mohon ampun kepada-Mu, ya Allah yang Mahakasih, karena pada suatu saat kami pernah gagal di dalam membangun hidup bersama; karena pada suatu saat kami pernah mengalami kesulitan dalam hidup bersama; karena pada suatu saat kami pernah kurang simpati dan kurang mampu memahami satu sama lain; karena pada suatu saat kami pernah mengalami bahwa relasi di antara kami tidak sempurna sebagaimana seharusnya.

Ya Allah, Bapa yang Mahakasih, anugerahkanlah kepada kami tambahan waktu yang lebih lama lagi untuk dapat meneruskan perjalanan hidup kami, dan berikanlah kepada kami apa yang terbaik agar kami mampu mengemban tugas panggilan-Mu untuk menyempurkan satu sama lain dalam hidup bersama kami sebagai keluarga. Semua doa dan permohonan kami ini kami hunjukkan kepada-Mu, dengan perantaraan Kristus Tuhan dan Pengantara kami. Amin.

Senin, 15 Oktober 2012

Doa Tahun Iman

Allah Bapa yang Mahapengasih, kami bersyukur kepada-Mu karena melalui Yesus Kristus Putra-Mu, Engkau telah memanggil kami masuk ke dalam persekutuan Allah Tritunggal.

Utuslah Roh Kudus-Mu, agar kami senantiasa mempunyai iman yang hidup. Semoga pada Tahun Iman ini, kami semakin memperdalam iman kami melalui pendalaman Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja. Semoga pada perayaan-perayaan suci-Mu, terutama Ekaristi, kami semakin tinggal dalam Kristus dan berbuah melalui perwujudan iman sehari-hari di tengah aneka tantangan dan hambatan dalam Gereja dan masyarakat pada zaman ini.

Bersama Bunda Maria, Bunda kaum beriman, dan para rasul, guru dan teladan iman kami, kami unjukkan doa ini kepada-Mu dengan perantaraan Kristus, Tuhan kami.
Amin.

Beriman: Belajar dari Bunda Maria

Tanggal 7 Oktober 2012 adalah hari pesta Santa Perawan Maria Ratu Rosario. Sehubungan dengan pesta perayaan Santa Perawan Maria Ratu Rosario, Paus Yohanes Paulus II (1986) melalui ensiklik “Redemptoris Mater” (Bunda Penebus), pernah mengingatkan kita umat beriman untuk menjadikan Bunda Maria sebagai model atau panutan dalam hidup beriman. Dalam surat pastoral “Porta Fidei” (Pintu Menuju Iman) Bapa Suci Benediktus XVI (2011) mengajak kita umat beriman untuk mengenali kembali peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan Allah, untuk mencintai dan mengikuti Bunda Maria sebagai panutan dalam hidup beriman dan berkeutamaan. Pada hari ini, kita akan belajar dari Bunda Maria mengenai keutamaan iman.

Untuk itu marilah kita renungkan kembali apa artinya hidup beriman itu bagi kita. Pertanyaan awal yang pantas kita ajukan adalah: “Apa sebenarnya iman itu?” Iman itu bukan ajaran. Iman itu relasi kita dengan Tuhan. Iman adalah relasi pribadi antara kita dengan Allah. Karena kekuatan dan kepastiannya mutlak, iman itu dapat menjamin keselamatan hidup kita. Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir, yang berbicara melalui para nabi, dan yang menyemangati para penulis Mazmur untuk menyanyikan puji-pujian dan memohon belaskasih-Nya.

Dalam Perjanjian Baru, iman itu mengacu pada relasi kita dengan Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit, yang mengklaim setiap pengikut-Nya untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Beriman dalam Yesus Kristus berarti menyerahkan seluruh keberadaan kita kepada Dia, dan menemukan di dalam keberadaan kita itu kegembiraan yang lebih mendalam daripada melewatkan kegembiraan dan kesedihan di dalam hidup kita. Bagi Santo Paulus, iman adalah relasi yang mesra dan terus menerus dengan Yesus yang telah bangkit.

Kata-kata dalam surat kepada umat di Ibrani barangkali adalah kata-kata yang paling tepat mengungkapkan apa yang disebut “iman”. Kata-kata itu bunyinya demikian: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11: 1). Kata-kata itu sungguh menakjubkan dan memang benar, tetapi iman itu tetap merupakan rahasia besar yang tidak ada batasnya untuk dipahami. Iman itu sedemikian dalam sehingga kita tidak bisa menyelaminya. Iman itu sedemikian tinggi sehingga kita tidak bisa meraihnya. Iman itu sedemikian luas sehingga kita tidak bisa menjangkaunya. Salah satu jalan untuk dapat mengetahui iman adalah memeluk iman itu.

Santo Alfonsus de Liguori pernah menyatakan bahwa Bunda Maria adalah Bunda yang patut menjadi teladan dalam hidup beriman. Bunda Maria bukan hanya Bunda yang bisa menjadi teladan dalam hidup saling mengasihi dan teladan dalam hidup yang berpengharapan, tetapi juga teladan dalam hidup beriman.
Dengan mengutip kata-kata Santo Paulus: “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya, dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” (1Kor 7: 14), Santo Richardus mengatakan bahwa “Maria adalah seorang wanita yang percaya dan karena imannya itu Adam yang tidak percaya dan semua orang lain diselamatkan.” Karena itu, atas dasar pertimbangan iman, Elisabeth menyebut Bunda Maria: “Berbahagialah ia yang telah percaya sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (Luk 1: 45). Dan Santo Agustinus menambahkan bahwa Maria diberkati oleh Allah karena ia menerima iman akan Kristus, dan bukan karena mengandung tubuh Kristus.

Pater Suarez pernah mengatakan bahwa Santa Perawan Maria itu memiliki iman yang lebih daripada semua orang yang lain dan para malaikat. Maria melihat putera-Nya di kandang kewan Betlehem, dan Maria mempercayai Yesus sebagai Pencipta dunia. Maria melihat bahwa Yesus dibawa pergi lari menjauh dari Herodes, dan ia mempercayai bahwa Yesus adalah raja dari segala raja. Maria melihat Yesus lahir, dan ia mempercayai Yesus sebagai raja abadi; Maria melihat Yesus yang miskin, membutuhkan makanan, dan Maria mempercayai bahwa Yesus adalah raja semesta alam. Maria melihat Yesus berbaring di tempat jerami, dan Maria mempercayai Yesus sebagai kuasa yang hadir dalam banyak peristiwa kehidupan. Maria melihat bahwa Yesus tidak bicara, dan dia mempercayai Yesus sebagai kebijaksanaan tanpa batas. Maria mendengar Yesus menangis, dan dia mempercayai bahwa Yesus adalah kegembiraan Firdaus. Maria melihat Yesus di saat kematian-Nya, ketika sengsara dan disalib, dan Maria tetap teguh dalam iman bahwa Dia adalah Allah.

Berdasarkan pada kata-kata dalam Injil, “Dan di dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya, dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.” (Yoh 19: 25), maka Santo Antonius menyatakan, “Maria berdiri, didukung oleh imannya, dia tetap teguh percaya akan keilahian Kristus.” Dan karena alasan ini Santo Antonius menambahkan sebutan untuk Bunda Maria bahwa Maria adalah satu-satunya lilin yang masih menyala; dan Santo Leo mengenai hal ini menyebut Maria dengan kata-kata yang diambil dari Kitab Amsal “Pada malam hari, pelitanya tidak padam.” (Amsal 31: 18).  Dan dengan mengutip kata-kata dari Nabi Yesaya “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan” (Yes 63: 3); Santo Thomas menyatakan bahwa Nabi Yesaya pernah mengatakan bahwa ada seorang manusia, yaitu Santa Perawan Maria, yang imannya tak pernah luntur. Santo Albertus Agung meyakinkan kita bahwa “Maria memiliki iman yang sempurna; meski pun para murid Yesus ragu-ragu, tetapi Maria tidak pernah ragu-ragu dalam iman.”

Santo Ildephonsus menganjurkan kepada kita untuk meniru iman Maria. Tetapi bagaimana caranya? Apa yang mesti kita lakukan? Iman adalah anugerah; dan iman adalah keutamaan. Iman itu anugerah dari Allah, Sebagai anugerah dari Allah iman itu menerangi jiwa kita. Sebagai keutamaan, iman itu memerintahkan jiwa kita untuk memprakterkkan iman itu. Jadi, iman tidak berhenti sebagai aturan kepercayaan tetapi menjadi tindakan.

Karena itu Santo Gregorius mengatakan, “Ia sungguh mempercayai siapa yang menaruh apa yang ia percayai untuk dipraktekkan.” Dan Santo Agustinus menyatakan, “Kamu mengatakan: Aku percaya; kerjakan apa yang kamu katakan, dan itulah iman.” Inilah yang disebut penghayatan iman: hidup sesuai dengan yang diimani. “Orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman” (Ibr 10: 38). Jadi, Bunda Maria hidup sungguh berbeda dengan orang-orang lain yang tidak hidup sesuai dengan apa yang mereka percayai, dan orang-orang yang imannya telah mati. Maka, Santo Yakobus menyatakan, “Seperti tubuh tanpa roh adalah mati; demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yak 2: 26).

Maka, marilah pada hari ini, kita memohon kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria, agar kita dianugerahi keutamaan iman yang hidup seperti telah dihayati oleh Bunda Maria, sehingga kita tetap tangguh dalam menghadapi segala tantangan kehidupan sebagai umat beriman yang dihadapkan pada atheisme, materialisme dan hedonisme seperti sekarang ini.***

Tujuh Jalan Menumbuh-kembangkan Iman

Dalam rangka perayaan “Tahun Iman”, yang dibuka pada tanggal 11 Oktober 2012 dan ditutup pada tanggal 24 Nopember 2013, Paus Benediktus XVI melalui surat apostolik Porta Fidei (2011), mengajak umat kristiani di seluruh dunia untuk menyisihkan waktu yang khusus untuk menemukan kembali dan berbagi satu sama lain, anugerah yang sangat bernilai bagi hidup, yakni iman yang dipercayakan kepada Gereja, dan anugerah pribadi berupa iman yang kita terima masing-masing dari Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus.

Katekismus Gereja Katolik  (No. 162) menyatakan: “Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal ini: Hendaklah engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni. Beberapa telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka.” (1Tim 1: 18-19).

Jika iman merupakan harta kekayaan yang paling berharga, bagaimanakah kita dapat meningkatkannya dan melindunginya dari bahaya erosi materialistik di mana orang-orang Katolik juga nampak kehilangan iman mereka? Para penulis di bidang kehidupan rohani menganjurkan beberapa cara yang sangat berharga untuk membantu kita mampu menjaga anugerah Allah yang paling bernilai itu bertumbuh. Inilah beberapa anjuran yang bisa diajukan.

Pertama, berterimakasih dan bersyukur atas anugerah Allah yang sangat indah dan menakjubkan, yakni: anugerah iman. Salah satu pengajar iman yang paling besar, yakni Santo Paulus, pernah mengungkapkan penghargaannya yang mendalam mengenai hal ini. Santo Paulus mengatakan: “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2Kor 9: 15).

Kedua, kerap melakukan tindakan iman, yakni: tindakan iman kepada Allah yang sederhana, iman kepada Allah Tritunggal, iman kepada Kristus yang hadir dalam Ekaristi, iman kepada apa saja yang kita yakini dan diajarkan oleh Gereja. Iman akan semua hal itu menegaskan kembali di dalam pikiran-pikiran kita kebenaran ilahi yang sudah berjalan hingga millennium ketiga ini.

Ketiga, baca dan belajar dari buku-buku dan artikel-artikel yang mengulas mengenai iman kita, iman Katolik. Banyak buku yang baik yang tersedia sekarang, misalnya: Katekismus Gereja Katolik (1993) atau Iman Katolik (1996) yang diterbitkan oleh Konperensi Waligereja Indonesia. Tentu saja, buku yang paling penting adalah Kitab Suci, yakni sabda Allah sendiri.

Keempat, bergabung dengan kelompok-kelompok, masuklah ke paguyuban-paguyuban yang mengembangkan hidup beriman. Carilah renungan-renungan atau kotbah-kotbah yang ditulis oleh para pengkotbah Katolik yang baik. Hadirlah dalam kelompok-kelompok yang membangun hidup beriman dengan doa bersama dan melaksanakan devosi-devosi.

Kelima, mengikuti Perayaan Ekaristi sekerap mungkin. Tidak ada peristiwa lain di dunia ini yang lebih berharga daripada Perayaan Ekaristi, di mana Kristus menjadi sungguh nyata hadir di dalam Ekaristi, sumber segala kesucian dan iman.

Keenam, lebih dekat dengan Gereja, yakni: Gereja Katolik. Sebagai ibu seluruh umat beriman Gereja melindungi dan menjaga iman kita yang berharga itu, melalui para rasul dan penggantinya yang diutus dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi. Makin dekat dengan Gereja kita makin dekat dengan Allah Bapa, makin dekat dengan Kristus yang wakil Allah di dunia ini, dan dengan demikian makin kuatlah iman kita. Katekismus Gereja Katolik secara resmi mengajarkan bahwa Paroki kita adalah “persekutuan ekaristi dan hati kehidupan liturgi keluarga-keluarga kristiani”. Ekaristi memberikan tempat yang cocok untuk katekese anak dan orangtua.” ( bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 2226, halaman 540).

Ketujuh, menghayati iman! St. Paulus mengatakan: “Orang benar akan hidup dengan iman” (Rom 1: 17). Tetapi hal ini juga berarti menaruh iman kita di dalam perbuatan. St. Yakobus mengatakan bahwa “iman tanpa perbuatan adalah kosong.” (Yak 2: 26). Bagaimana kita dapat menghayati iman kita? Kita bisa membaca dan belajar dari kisah kehidupan para santo/santa yang memperlihatkan keperkasaan iman mereka yang dihayati di dalam hidup sehari-hari.

Dengan iman, mereka melihat Allah berada di mana-mana, di dalam ciptaan, di dalam diri banyak orang, di dalam alam semesta yang indah, di dalam peristiwa sehari-hari yang serba biasa. Seperti Bunda Teresa, para santa/santo membantu orang miskin, melihat Kristus di dalam diri mereka “Kristus yang hadir di dalam diri orang-orang yang tidak beruntung, mengalami kemalangan dalam hidup.” Mereka mengajak kembali kepada Allah untuk meminta bantuan kepada-Nya agar mereka mampu mengambil keputusan-keputusan.

Santo-santa memiliki devosi yang kuat,  terutama devosi pada Kristus di dalam Ekaristi dan cinta pada Bunda-Nya, Maria. St. Paulus menulis: “Kami berjalan karena iman, dan bukan karena penglihatan.” (2Kor 5: 7). Tidak saatnya lagi sekarang kita tidak dapat menghayati iman melalui doa dan tindakan, tidak ada penderitaan lagi yang dapat kita persembahkan di dalam kesatuan dengan Kristus yang menderita untuk orang lain, tidak ada pekerjaan yang dapat kita laksanakan di luar iman; tidak ada bagian hidup ini yang dapat diangkat demi kehidupan keabadian.

“Supaya hidup dalam iman, dapat bertumbuh dan dapat bertahan dalam iman sampai akhir, kita harus memupuknya dengan sabda Allah; kita meminta kepada Tuhan supaya menumbuhkan iman itu. Iman itu harus bekerja melalui cintakasih (Gal 5: 6), ditopang oleh pengharapan dan berakar dalam iman Gereja.” (Katekismus Gereja Katolik, No.162). Maka, seperti para Rasul, kita harus selalu berdoa: “Tuhan, tumbuhkanlah iman kami.”

Minggu, 14 Oktober 2012

Masuk Lubang Jarum

Orang muda itu sudah hidup sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia tidak pernah membunuh. Tidak pernah berzinah. Tidak pernah mencuri. Tidak pernah bersaksi palsu. Tidak pernah menipu orang lain. Selalu sopan dan hormat kepada orangtuanya. Rajin pergi ke kenisah dan berdoa. Tidak puas dengan ini semua, orang muda itu masih mencari. Dia mau belajar dari seorang guru, rabi Yesus, tentang bagaimana dia bisa memperoleh hidup kekal. Hanya satu saran Yesus: melepaskan harta kekayaannya.

Yesus tahu bahwa kekayaan itulah yang menyulitkan orang muda itu memperoleh hidup kekal. Yesus tahu bahwa orang itu sudah bebas melayani Allah di hampir semua wilayah kehidupannya, kecuali satu, yaitu: kepemilikannya. Yesus perlu membantu orang itu untuk menjadi bebas di dalam wilayah kehidupannya yang spesifik itu. Di sini Yesus menekankan kembali perintah Allah yang utama, “Kamu harus mencintai Allah dengan sepenuh hatimu!” Allah itu tidak hanya sekedar imbuhan dari 99% kebutuhan yang sudah bisa tercukupi. Allah itu di atas segalanya. Allah itu cinta.

Kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah segala sesuatu di dalam hidup kita, dalam karya pelayanan kita, pelayanan kita kepada saudara-saudari di sekitar kita, mengecualikan ini dan mengecualikan itu? Atau dengan kata lain, apakah kita sungguh-sungguh bebas di hadapan Allah? Allah meminta kepada kita ketulusan hati untuk mencintai dan membantu orang lain, untuk mencintai Allah sepenuh hati.

Hari Rabu yang lalu, tanggal 10 Oktober 2012, Henricus Sanyotohadi (54 tahun), seorang dosen di Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, meninggal dunia karena sakit. Romo Haryatmoko SJ, dosen Filsafat di STF Driyarkara Jakarta dan teman sebaya Henricus, ketika memimpin Misa Arwah, memberikan kesaksian dalam kotbahnya bahwa Henricus adalah seorang pribadi yang suka bersahabat dan banyak berbagi dalam hidupnya dengan teman-teman sebayanya. Dia adalah orang yang selalu memberikan inspirasi kepada orang lain.

Dia adalah seorang teman yang meski masih remaja sudah bisa memberikan nasihat kepada teman-temannya untuk berdevosi kepada Hati Kudus Yesus yang Maharahim: Kalau di antara kita bisa ikut Misa selama 9 kali berturut-turut pada hari Jumat pertama dalam bulan, kita pasti akan dikabulkan oleh Tuhan untuk masuk ke surga tanpa harus melalui api pencucian. “Nasihat itu sedemikian diingat oleh teman-temannya, sehingga ketika kami sudah sampai di hari ketujuh dan pada hari kedelapan lupa mengikuti Misa hari Jumat, maka ada salah satu di antara kami menangis, menyesal bahwa tidak bisa ikut Misa Sembilan kali berturut-turut,” demikian kisah Romo Haryatmoko.

“Bapak itu seorang pribadi yang demokratis, tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk anak-anaknya, Dia adalah seorang pribadi yang senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup mandiri, bebas dan bertanggungjawab.” demikian kesaksian anaknya yang sulung. “Bapak senantiasa mengajarkan persahabatan, menolong orang lain yang membutuhkan, dan berbuat baik kepada siapa pun tanpa kecuali.” “Persahabatan itu lebih penting daripada kekayaan. Persahabatan itu lestari; kekayaan itu tidak dibawa mati,” demikian kisah anak sulung tentang nasihat bapaknya.

“Bapak Henricus adalah seorang dosen yang selalu murah senyum. Yang keluar dari mulutnya selalu kata “ya” dengan segala alasannya, dan tidak pernah mengatakan “tidak”. Bapak Henricus adalah seorang pribadi yang ringan tangan, selalu membantu para mahasiswa dalam studi; dan menganjurkan kepada teman-teman dosen untuk studi lanjut. Sampai akhir hidupnya, dalam keadaan sakit pun, Bapak Henricus masih terus berusaha untuk menyelesaikan studinya di jenjang doktoral, sudah menyelesaikan disertasinya, dan tinggal ujian pendadaran. Kami merasa kehilangan seorang teman kerja yang inspiratif bagi orang lain,” demikian sepenggal kesaksian seorang ibu wakil dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, kolega kerja Henricus, ketika menyampaikan sambutan dan ucapan bela sungkawa.

“Ketika ada tamu seorang ibu (30 tahun) yang berjilbab datang dari Blora, membawa dua anak kembarnya yang baru saja lahir, untuk diserahkan kepada Yayasan Wikrama Putera, Henricus dalam keadaan sakit dan berbaring di Rumah Sakit St. Elisabeth, meminta dengan sangat kepada saya kakaknya menerima kedua anak itu menjadi anak asuh di Wikrama Putra, dengan mengatakan: Mas, mas, kuwi kudu ditampa. Aja ditolak ya! (Mas, anak itu harus diterima, jangan ditolak ya!)” demikian kisah pak Untung Sudono, memberikan kesaksian tentang adiknya yang selalu ingin menolong orang lain yang membutuhkan, tanpa pandang bulu.

Iklan di media massa mengajarkan kepada kita: jika anda memiliki ini memiliki itu, maka anda akan lebih bahagia. Tetapi hal itu tidak benar; karena pada akhirnya kita justru dimiliki oleh apa yang kita miliki, kita menjadi diperbudak oleh apa yang kita sebut sebagai “kebutuhan”. Yesus mengajarkan hal yang berlawanan: anda akan menjadi bebas dan bahagia (masuk ke dalam Kerajaan Allah, masuk ke dalam kehidupan kekal), jika anda berhenti memiliki dan mulailah mencintai tanpa menghitung.

Hidup kristiani itu merupakan sebuah perjalanan, sebuah gerak pergi keluar. Ketika seorang pribadi sudah merasa kecukupan dan tenang, dan membuat dirinya lekat dengan sesuatu, ia berlawanan dengan semangat Yesus.  Lekat berarti mencintai sesuatu atau seseorang secara posesif, mencintai dengan cinta di mana cinta diri memainkan peranan yang menguasai. Apa pun jenis cinta diri tidak selaras dengan Kerajaan Allah, seperti Yesus katakan, sebab Allah itu cinta, terbebaskan dari segala bentuk cinta diri.

Segala sesuatu itu mungkin terjadi karena dikehendaki oleh Allah. Kita bisa masuk lubang jarum, kalau kita mencintai Allah sepenuh hati, terbebaskan dari cinta diri. “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Mrk 10: 27).

Rabu, 15 Agustus 2012

Rendah Hati: Belajar dari Bunda Maria

Hari ini hari Rabu, tanggal 15 Agustus 2012. Umat Katolik merayakan peristiwa iman “Maria Diangkat Ke Surga” (Maria Assumpta). Gereja mengajak umat beriman untuk merenungkan perbuatan besar yang dikerjakan oleh Allah bagi Maria. Gereja percaya bahwa Allah mengangkat Maria ke surga dengan jiwa dan badan, karena peranannya yang luar biasa dalam karya penyelamatan dan penebusan Kristus.
Kebenaran iman ini dimaklumkan sebagai dogma dalam Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus oleh Bapa Suci Pius XII (1939-1958) pada tanggal 1 Nopember 1950. Dalam Konstitusi Apostolik itu, Bapa Suci menyatakan “Kami memaklumkan, menyatakan dan menentukannya menjadi suatu dogma wahyu ilahi: bahwa Bunda Allah yang Tak Bernoda, Perawan Maria, setelah menyelesaikan hidupnya di dunia ini, diangkat dengan badan dan jiwa ke dalam kemuliaan surgawi."

Sebagai salah satu dasar untuk memahami dogma tentang Maria Assumpta itu, dalam kotbahnya pada tanggal 15 Agustus 2004, Paus Yohanes II mengutip Injil Yohanes (14: 3). Dalam ayat itu, Yesus menyampaikan pesan kepada para murid-Nya pada saat Perjamuan Malam terakhir, “Apabila Aku telah pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” Dalam diri Bunda Maria, janji Tuhan Yesus Kristus untuk menyediakan tempat tinggal di Rumah Bapa itu telah terpenuhi, ketika Bunda Maria diangkat ke surga jiwa dan raganya.

Bapa Suci Benediktus XVI melalui Surat Apostolis “Porta Fidei” (Pintu Menuju Iman) tertanggal 11 Oktober 2011, mengumumkan bahwa Gereja di seluruh dunia akan merayakan “Tahun Iman”, yang akan dibuka pada tanggal 11 Oktober 2012 dan ditutup pada tanggal 24 Nopember 2013, persis pada hari pesta perayaan Kristus Raja Semesta Alam. Dalam anjurannya mengenai perayaan "Tahun Iman" itu, Bapa Suci mengajak umat ber­iman untuk mengenali kembali peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan Allah, agar kita umat beriman semakin mencintai Bunda Maria dan mengikuti dia sebagai panutan hidup beriman dan berkeutamaan. Melalui Santo Alphonsus de Liguori kita dapat mengenali keutamaan-keutamaan yang dimiliki Bunda Maria. Salah satu keutamaan yang terpenting adalah keutamaan rendah hati.

Bunda Maria adalah murid pertama dan murid paling sempurna yang mem­prak­tekkan se­ga­la keutamaan. Bunda Maria adalah murid pertama yang mempraktekkan kerendahan hati, melebihi makhluk ciptaan yang lain. Seperti dinyatakan kepada Santa Matilda, keutamaan pertama yang dilatih oleh Bunda Maria dari Yesus dan dipraktek­kan adalah kerendahan hati. Efek pertama dari kerendahan hati adalah memandang diri rendah. Bunda Maria selalu memandang dirinya rendah. Meski diperkaya dengan berbagai rahmat yang jauh lebih besar, Bunda Maria tidak pernah menganggap dirinya lebih dari siapa pun. Bunda Maria memang tidak pernah memandang dirinya pendosa. Tetapi seperti dikatakan oleh Santa Theresia, ke­rendahan hati adalah kebenaran. Bunda Maria tahu bahwa dirinya telah menerima segala rahmat dari Allah, tetapi dia tidak pernah memandang dirinya lebih daripada yang lain.

Santo Bernardinus menyatakan: “Yang senantiasa hadir dalam pikiran Maria adalah bah­wa Allah adalah yang Mahakuasa, dan bahwa dirinya bukanlah apa-apa, dan tidak punya apa-apa.” Persis seperti seorang pengemis, ketika dia berpakaian indah, dia tidak mem­banggakan dirinya di depan si pemberi pakaian, tetapi dia rendah hati, sadar bahwa dirinya miskin. Demi­kian juga Bunda Maria. Semakin Bunda Maria melihat bahwa dirinya diperkaya oleh rahmat Allah, maka dia akan semakin rendah hati; selalu ingat bahwa semua kekayaan itu adalah pem­berian dari Allah. Rendah hati berarti mengakui bahwa segala sesuatunya adalah hadiah yang da­tang dari Allah. Kerendahan hati yang sejati berarti menolak pujian kepada diri sendiri; dan mengem­bali­kan segala sesuatunya kepada Allah. Bunda Maria merasa terganggu ketika mendengar pu­jian dari malaikat Gabriel,dan ketika mendengar kata-kata Santa Elisabeth yang menyatakan: “Diberkatilah engkau di antara semua perem­puan … Siapakah aku ini sehingga ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1: 42).

Mendengar pujian itu, Bunda Maria mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah, de­ngan menjawab: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juru­sela­matku.” (Luk 1: 46-47), seolah-olah mau mengatakan: “Engkau telah memuji aku ya Elisabeth, tetapi aku memuji Tuhan, sebab hanya bagi-Nya hormat dan pujian itu mesti disampaikan; engkau heran aku datang, dan aku heran pada kebaikan Allah yang di dalam Roh berseru: “Hati­ku bergembira karena Allah, Juru Selamatku.” Engkau memuji aku karena aku percaya; aku memuji Tuhan karena Dia berkenan mengangkat diriku yang hina dina. Bunda Maria me­mandang kerendahan hati seperti seorang hamba di depan tuannya. Bunda Maria pernah menyatakan kepada Santa Bridget: “Aku merendahkan diri sedemi­kian jauh, dan karena itu aku diberi banyak rahmat besar; karena aku berpikir dan aku tahu bahwa diriku adalah miskin, dan tidak punya apa-apa. Karena alasan yang sama aku tidak ingin dipuji; aku menghendaki bahwa pujian dan hormat itu hanya patut diberikan kepada Allah sang Pencipta dan Pemberi segala sesuatu.”

“Kita tidak bisa meneladan keperawanan dari Perawan Maria, tetapi kita bisa meniru ke­ren­dahan hati Bunda Maria”, kata St. Bernardus. “Bunda Maria mengenali dan mencintai me­reka yang mencintai dia; Bunda Maria dekat dengan mereka yang selalu menyebut namanya dalam doa, terutama mereka yang mempraktekkan keren­dahan hati dan kemurnian seperti yang dipraktekkan oleh Bunda Maria.” Seorang Yesuit bernama Martin d’Alberto, setiap hari membiasakan diri untuk menyapu dan membersihkan rumah serta mengumpulkan sampah, karena cintanya kepada Bunda Maria. Pada suatu hari, Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dan mengatakan: “Yang membuat aku senang adalah perbuatan-perbuatan rendah hati yang kamu lakukan; karena itu aku men­cintai kamu.”

Maka, pada hari pesta perayaan Maria Diangkat ke Surga ini, kita memohon kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria Pengantara Segala Rahmat, agar kita dianugerahi rahmat kerendahan hati sebagaimana diajarkan oleh Bunda Maria, sehingga kita dapat melayani sesama dan memuliakan Allah melalui hidup dan pekerjaan kita sehari-hari.***