Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Rabu, 15 Agustus 2012

Rendah Hati: Belajar dari Bunda Maria

Hari ini hari Rabu, tanggal 15 Agustus 2012. Umat Katolik merayakan peristiwa iman “Maria Diangkat Ke Surga” (Maria Assumpta). Gereja mengajak umat beriman untuk merenungkan perbuatan besar yang dikerjakan oleh Allah bagi Maria. Gereja percaya bahwa Allah mengangkat Maria ke surga dengan jiwa dan badan, karena peranannya yang luar biasa dalam karya penyelamatan dan penebusan Kristus.
Kebenaran iman ini dimaklumkan sebagai dogma dalam Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus oleh Bapa Suci Pius XII (1939-1958) pada tanggal 1 Nopember 1950. Dalam Konstitusi Apostolik itu, Bapa Suci menyatakan “Kami memaklumkan, menyatakan dan menentukannya menjadi suatu dogma wahyu ilahi: bahwa Bunda Allah yang Tak Bernoda, Perawan Maria, setelah menyelesaikan hidupnya di dunia ini, diangkat dengan badan dan jiwa ke dalam kemuliaan surgawi."

Sebagai salah satu dasar untuk memahami dogma tentang Maria Assumpta itu, dalam kotbahnya pada tanggal 15 Agustus 2004, Paus Yohanes II mengutip Injil Yohanes (14: 3). Dalam ayat itu, Yesus menyampaikan pesan kepada para murid-Nya pada saat Perjamuan Malam terakhir, “Apabila Aku telah pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” Dalam diri Bunda Maria, janji Tuhan Yesus Kristus untuk menyediakan tempat tinggal di Rumah Bapa itu telah terpenuhi, ketika Bunda Maria diangkat ke surga jiwa dan raganya.

Bapa Suci Benediktus XVI melalui Surat Apostolis “Porta Fidei” (Pintu Menuju Iman) tertanggal 11 Oktober 2011, mengumumkan bahwa Gereja di seluruh dunia akan merayakan “Tahun Iman”, yang akan dibuka pada tanggal 11 Oktober 2012 dan ditutup pada tanggal 24 Nopember 2013, persis pada hari pesta perayaan Kristus Raja Semesta Alam. Dalam anjurannya mengenai perayaan "Tahun Iman" itu, Bapa Suci mengajak umat ber­iman untuk mengenali kembali peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan Allah, agar kita umat beriman semakin mencintai Bunda Maria dan mengikuti dia sebagai panutan hidup beriman dan berkeutamaan. Melalui Santo Alphonsus de Liguori kita dapat mengenali keutamaan-keutamaan yang dimiliki Bunda Maria. Salah satu keutamaan yang terpenting adalah keutamaan rendah hati.

Bunda Maria adalah murid pertama dan murid paling sempurna yang mem­prak­tekkan se­ga­la keutamaan. Bunda Maria adalah murid pertama yang mempraktekkan kerendahan hati, melebihi makhluk ciptaan yang lain. Seperti dinyatakan kepada Santa Matilda, keutamaan pertama yang dilatih oleh Bunda Maria dari Yesus dan dipraktek­kan adalah kerendahan hati. Efek pertama dari kerendahan hati adalah memandang diri rendah. Bunda Maria selalu memandang dirinya rendah. Meski diperkaya dengan berbagai rahmat yang jauh lebih besar, Bunda Maria tidak pernah menganggap dirinya lebih dari siapa pun. Bunda Maria memang tidak pernah memandang dirinya pendosa. Tetapi seperti dikatakan oleh Santa Theresia, ke­rendahan hati adalah kebenaran. Bunda Maria tahu bahwa dirinya telah menerima segala rahmat dari Allah, tetapi dia tidak pernah memandang dirinya lebih daripada yang lain.

Santo Bernardinus menyatakan: “Yang senantiasa hadir dalam pikiran Maria adalah bah­wa Allah adalah yang Mahakuasa, dan bahwa dirinya bukanlah apa-apa, dan tidak punya apa-apa.” Persis seperti seorang pengemis, ketika dia berpakaian indah, dia tidak mem­banggakan dirinya di depan si pemberi pakaian, tetapi dia rendah hati, sadar bahwa dirinya miskin. Demi­kian juga Bunda Maria. Semakin Bunda Maria melihat bahwa dirinya diperkaya oleh rahmat Allah, maka dia akan semakin rendah hati; selalu ingat bahwa semua kekayaan itu adalah pem­berian dari Allah. Rendah hati berarti mengakui bahwa segala sesuatunya adalah hadiah yang da­tang dari Allah. Kerendahan hati yang sejati berarti menolak pujian kepada diri sendiri; dan mengem­bali­kan segala sesuatunya kepada Allah. Bunda Maria merasa terganggu ketika mendengar pu­jian dari malaikat Gabriel,dan ketika mendengar kata-kata Santa Elisabeth yang menyatakan: “Diberkatilah engkau di antara semua perem­puan … Siapakah aku ini sehingga ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1: 42).

Mendengar pujian itu, Bunda Maria mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah, de­ngan menjawab: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juru­sela­matku.” (Luk 1: 46-47), seolah-olah mau mengatakan: “Engkau telah memuji aku ya Elisabeth, tetapi aku memuji Tuhan, sebab hanya bagi-Nya hormat dan pujian itu mesti disampaikan; engkau heran aku datang, dan aku heran pada kebaikan Allah yang di dalam Roh berseru: “Hati­ku bergembira karena Allah, Juru Selamatku.” Engkau memuji aku karena aku percaya; aku memuji Tuhan karena Dia berkenan mengangkat diriku yang hina dina. Bunda Maria me­mandang kerendahan hati seperti seorang hamba di depan tuannya. Bunda Maria pernah menyatakan kepada Santa Bridget: “Aku merendahkan diri sedemi­kian jauh, dan karena itu aku diberi banyak rahmat besar; karena aku berpikir dan aku tahu bahwa diriku adalah miskin, dan tidak punya apa-apa. Karena alasan yang sama aku tidak ingin dipuji; aku menghendaki bahwa pujian dan hormat itu hanya patut diberikan kepada Allah sang Pencipta dan Pemberi segala sesuatu.”

“Kita tidak bisa meneladan keperawanan dari Perawan Maria, tetapi kita bisa meniru ke­ren­dahan hati Bunda Maria”, kata St. Bernardus. “Bunda Maria mengenali dan mencintai me­reka yang mencintai dia; Bunda Maria dekat dengan mereka yang selalu menyebut namanya dalam doa, terutama mereka yang mempraktekkan keren­dahan hati dan kemurnian seperti yang dipraktekkan oleh Bunda Maria.” Seorang Yesuit bernama Martin d’Alberto, setiap hari membiasakan diri untuk menyapu dan membersihkan rumah serta mengumpulkan sampah, karena cintanya kepada Bunda Maria. Pada suatu hari, Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dan mengatakan: “Yang membuat aku senang adalah perbuatan-perbuatan rendah hati yang kamu lakukan; karena itu aku men­cintai kamu.”

Maka, pada hari pesta perayaan Maria Diangkat ke Surga ini, kita memohon kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria Pengantara Segala Rahmat, agar kita dianugerahi rahmat kerendahan hati sebagaimana diajarkan oleh Bunda Maria, sehingga kita dapat melayani sesama dan memuliakan Allah melalui hidup dan pekerjaan kita sehari-hari.***

Kamis, 02 Agustus 2012

Makna Persahabatan

Selasa tanggal 31 Juli 2012 adalah hari terakhir saya menjalani masa kerja di Penerbit-Percetakan Kanisius Yogyakarta, sebuah perusahaan penerbitan yang sudah berusia 90 tahun. Untuk berpamitan dengan para sahabat saya yang telah bekerjasama dengan saya selama 25 tahun, saya bermaksud untuk menulis sebuah surat terbuka yang ingin saya sampaikan kepada mereka sebagai tanda cinta saya kepada mereka. Inilah surat yang saya kirim pada tanggal 1 Agustus 2012, yang mengantar pembagian roti untuk seluruh sahabat.

Para sahabat yang terkasih, baiklah saya mengawali surat saya ini dengan mengutip sebuah kalimat bijak dari seorang sahabat yang tidak saya kenal (unknown), yang mengatakan: “The only unsinkable ship is friendship.” Artinya, “Kapal yang tidak akan pernah tenggelam adalah kapal persahabatan.” Kata-kata yang saya kutip ini sungguh amat menarik dan menyentuh hati saya pada minggu-minggu terakhir dalam bulan Juli ini.

Selama 25 tahun saya bekerja di Penerbit-Percetakan Kanisius (1 Juli 1987-31 Juli 2012), saya telah mendapatkan pengalaman hidup yang tak pernah saya lupakan, yakni: persahabatan. Selama bersahabat dengan Anda, saya telah menerima banyak anugerah dari Tuhan karena kehadiran Anda sebagai sahabat, tidak hanya nilai kemanfaatan (utility) dari saling memberi satu sama lain, tetapi juga nilai kenikmatan (pleasures) dan terlebih nilai pembelajaran keutamaan hidup (virtues) dari Anda, melalui kerja bersama.

Dari bekerja di Kanisius, saya mendapatkan upah yang tak pernah putus setiap bulan selama 25 tahun, dan dalam jumlah yang cukup untuk dapat membiayai hidup saya dan keluarga saya. Karena kebaikan Kanisius, saya dan keluarga saya bisa tinggal di sebuah rumah yang nyaman di desa Pringgolayan Yogyakarta, dengan seorang isteri dan dua orang anak. Melalui Kanisius, saya dilatih dan dibentuk menjadi seorang karyawan yang tekun, teliti dan sabar dalam melaksanakan tugas dan bertanggung jawab. Melalui Kanisius, Tuhan telah mencintai saya dan keluarga saya dengan sangat setia. Karena itu semua, dalam kesempatan yang istimewa ini, saya ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua sahabat dan rekan kerja di Kanisius, atas segala pengalaman indah yang telah kita rajut bersama.

Dalam persahabatan ini, kita telah berbagi kegembiraan sehingga akhirnya apa yang kita rasakan adalah kegembiraan bersama yang berlipat-ganda. Dalam persahabatan ini, kita juga telah berbagi kesusahan, tetapi kesusahan yang kita terima, tidak lagi kita rasakan sebagai beban penderitaan, karena landasan hidup kita adalah cinta. Sebuah pepatah mengatakan: “Share joy is double joy, share sorrows is a half sorrow.” Ketika kita berbagi kegembiraan, kegembiraan itu menjadi berlipat ganda dirasakan oleh lebih banyak orang, dan ketika kita berbagi kepedihan, kepedihan itu tidak lagi kita rasakan sebagai beban yang tak tertanggungkan. Beban yang kita tanggung itu terasa menjadi lebih ringan, karena di dalam persahabatan kita yang ada adalah cinta. Di mana ada cinta, yang namanya beban itu tidak ada. Jika beban itu ada, beban itu diterima dengan senang hati.

Pada hari ini, pada hari ulang tahun saya yang ke-56, saya telah menyelesaikan masa kerja saya di Kanisius dengan baik, dan saya akan meneruskan panggilan Tuhan untuk diutus ke mana pun juga, seperti dikatakan oleh pesan di akhir setiap Perayaan Ekaristi: “Pergilah, kamu diutus untuk mewartakan Kabar Sukacita.” Dengan ini saya mohon pamit, dan apabila ada kesalahan atau kekurangan selama saya hadir dan berbagi di tengah-tengah para sahabat sekalian, entah dalam pekerjaan atau dalam pergaulan, dengan rendah hati saya mohon maaf. Saya akan mendoakan teman-teman semua dan Kanisius agar semakin sejahtera dan dapat menikmati karya keselamatan Allah dalam hidup.

Yogyakarta, 31 Juli 2012
Pada pesta St. Ignatius dari Loyola

T. Adi Susila