Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Selasa, 26 Maret 2013

Ketaatan: Belajar dari Bunda Maria

Saudara-saudari terkasih, pada hari ketujuh dalam rangkaian Novena yang mengangkat tema umum: “Kokoh dalam Iman bersama Maria”, kali ini kita akan belajar dari Bunda Maria tentang keutamaan “ketaatan.” Bunda Maria mencintai ketaatan sedemikian rupa sehingga ketika malaikat menyampaikan berita yang mengagetkan, dia menanggapi berita panggilan itu dan menyebut dirinya sebagai hamba Allah: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1: 38).

Sesuai dengan pandangan Santo Thomas Villanova, “Hamba yang setia ini tidak pernah melawan kehendak Allah, baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Maria senantiasa menghayati kehendak apa pun yang datang dari luar dirinya, dan dalam segala hal Maria senantiasa taat akan kehendak Allah.” Maria sendiri melakukan hal itu dengan kesadaran penuh bahwa Allah berkenan karena ketaatannya itu, sebagaimana Maria pernah mengatakan: “Allah telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya (Luk 1: 48).

Kerendahan hamba itu memuat keinginan untuk taat secara tepat. Santo Irenaeus mengatakan bahwa dengan ketaatannya Maria telah memperbaiki kejahatan yang dilakukan oleh ketidak-taatan Hawa: “Karena dengan ketidak-taatanya Hawa telah menjadi sebab dari kematiannya sendiri dan kematian seluruh umat manusia, maka Maria dengan ketaatannya telah menjadi sebab dari keselamatan dirinya dan keselamatan seluruh umat manusia.”

Ketaatan Maria jauh lebih sempurna katimbang ketaatan orang-orang kudus. Semua orang yang lain memiliki kecenderungan untuk berbuat jahat, dan mereka menemukan kesulitan untuk melakukan kebaikan, karena dosa asal. Tetapi tidak begitu untuk Maria. Santo Bernardinus menulis bahwa karena Maria terbebaskan dari dosa asal, maka dia tidak menemukan kesulitan untuk taat kepada Allah. “Maria itu seperti sebuah roda”, kata Santo Bernardinus, “mudah bergerak karena dorongan ilham yang datang dari Roh Kudus. Tujuan satu-satunya di dunia ini adalah memusatkan perhatiannya kepada Allah, mempelajari kehendak-Nya dan kemudian melaksanakannya.”

Maria membuktikan cintanya pertama-tama demi taat, demi menyenangkan Allah, Maria taat kepada kaisar Roma, dan memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang menuju Betlehem. Waktu itu adalah musim dingin. Jarak yang ditempuh kira-kira tujuh puluh mil. Maria sedang mengandung dan begitu miskin sehingga ia harus melahirkan anaknya di sebuah kandang khewan. Maria juga taat ketika dia harus melakukan perjalanan di malam hari ketika Yosef menyarankan agar Maria dan anaknya harus menyingkir ke Mesir. Maria tidak mau kehilangan kesempatan untuk melaksanakan ketaatannya, karena Maria sudah senantiasa siap sedia untuk taat.

Bunda Maria memperlihatkan ketaatannya yang paling berani, ketika dia menaati kehendak Allah: mempersembahkan anaknya untuk mati. Dengan ketaatannya yang sempurna itu, Maria telah siap sedia ketika puteranya harus disalibkan. Itulah mengapa Santo Anselmus mengatakan: “Maria diberkati oleh Allah karena telah menjadi Bunda Allah, tetapi selalu lebih diberkati lagi oleh Allah karena Maria selalu mencintai dan selalu menaati kehendak Allah.

Karena alasan itu, semua orang yang mencintai ketaatan sungguh membuat Bunda Maria sangat berkenan. Pada suatu ketika Bunda Maria menerima seorang biarawan dari ordo Fransiskan bernama Accorso, yang sedang berada di dalam sel tahanan. Sementara Bunda Maria hadir di sana, ketaatan telah menuntut Accorso untuk pergi mendengarkan pengakuan dari seorang yang sedang menderita sakit. Kemudian Accorso pergi ke tempat orang sakit itu, dan melayani sakramen tobat. Sekembalinya Accorso dari tugas, Bunda Maria telah menunggunya di sel tahanan, dan di sana Bunda Maria memuji ketaatan Accorso menjalankan tugas pelayanannya.

Pada suatu ketika Bunda Maria pernah menyatakan kepada Santa Brigitta tentang perlunya taat kepada bapa rohaninya, dengan mengatakan: “Ketaatan kepada bapa rohani adalah ketaatan yang mampu membawa jiwa-jiwa kepada kemuliaan.” Santo Filipus Neri mengatakan: “Allah tidak memperhitungkan segala-sesuatu yang sudah dilakukan dengan taat, karena Dia sendiri telah mengatakan: “Barang siapa mendengarkan kamu ia mendengarkan Aku, dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10: 16). Maria telah menyatakan kepada Santa Brigitta bahwa oleh karena warisan ketaatannya dia memperoleh daya kekuatan besar sehingga tak ada seorang pun pendosa yang dipanggil tidak memperoleh pengampunan, betapa pun besarnya kejahatan yang pernah dilakukannya.

Ya Maria, Ratu Surga dan Bunda kami yang tersuci, jadilah bagi kami pengantara kepada Yesus. Karena warisan ketaatan yang engkau miliki perkenankanlah kami juga boleh mendapatkan kesetiaan dalam menaati kehendak Allah dan selalu setia dalam melaksanakan arahan dan bimbingan dari para bapa rohani kami. Amin.

Keutamaan Ketaatan dalam Semangat Ignatian

Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan, menurut Dr. S. Ignacimuthu SJ, dalam bukunya “Values for Life” (1999: 102), ketaatan adalah kesiapsediaan untuk tunduk pada perintah, keinginan, dan bimbingan orang lain. Dengan taat, kita mengesampingkan egoisme kita, menyingkirkan dorongan-dorongan pribadi kita yang sifatnya egoistis. Ketaatan melatih kita untuk mengurbankan keinginan dan kehendak pribadi kita, demi sesuatu yang lebih mulia. Ketaatan mengajarkan kepada kita untuk menyangkal diri. Ketaatan mendorong kita untuk bertindak menurut keinginan orang lain. Ketaatan memberikan daya kekuatan moral dan kekuatan spiritual untuk diperintah oleh orang lain. Semakin taat, maka orang semakin mudah untuk bersedia diatur.

Sebagai ilustrasi, Ignacimuthu mengingatkan kita tentang seorang misionaris ulung yang pernah singgah di negeri kita, yakni: Fransiskus Xaverius. Franciscus Xaverius, sudah mengajar di Universitas Paris, ketika Ignatius Loyola menantang dia untuk menerima dan mengikuti panggilan Tuhan. Setelah bergabung dengan Ignatius, ia menjadi sahabat yang dekat dan bekerja demi keselamatan manusia. Kemudian Franciscus Xaverius menanggalkan kepentingan dirinya dan taat kepada Ignatius sebagai pemimpinnya, dan pergilah dia ke India. Karena ketaatannya itu dia menjadi salah satu misionaris yang terbesar yang pernah hidup di dunia ini. Jenasahnya yang masih utuh dan tidak rusak sampai hari ini masih bisa kita lihat wujudnya.

Ketaatan adalah keutamaan yang dianggap penting oleh Santo Ignatius. Santo Igna-tius pernah meminta kepada para pengikutnya untuk unggul dalam keutamaan ketaatan dan menegaskan kepada mereka agar ketaatan itu menjadi ciri-khas mereka. Karena pentingnya ketaatan itu, Santo Ignatius menegaskan kepada para pengikutnya melalui suratnya demikian: “Meskipun dalam segala keutamaan dan rahmat rohani aku menghendaki kesempurnaan dari anda semua, namun di dalam nama Allah Tuhan kita Yesus Kristus, aku menghendaki supaya anda semua unggul dalam keutamaan ketaatan, melebihi keutamaan yang lain.” Dengan pernyataan seperti itu Santo Ignatius mau mengatakan bahwa keutamaan ketaatan merupakan tumpuan hidup dan kesejahteraan Serikat Yesus. Dengan kata lain, kehidupan dan kesejahteraan Serikat bertumpu pada keutamaan ketaatan yang dimiliki oleh para anggota Serikat.

Dalam perspektif spiritualitas Ignasian, konsep ketaatan berakar pada Latihan Rohani Santo Ignatius. Ketika memasuki Latihan Rohani, para peserta retret diajak untuk mendalami Asas dan Dasar (LR 23), yang merupakan permenungan awal dalam Minggu Pertama. Asas dan Dasar merupakan dasar untuk mengikuti retret karena Asas dan Dasar itu merumuskan tujuan hidup manusia diciptakan, dan merupakan landasan bagaimana orang harus membangun relasi dasar dengan Allah dan relasi dengan alam ciptaan. Asas dan Dasar menyatakan bahwa “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan melayani Allah Tuhan kita.” (LR 23), dan segala sesuatu yang berada di muka bumi ini diciptakan untuk manusia untuk membantu dia mencapai tujuan dia diciptakan.

Manusia harus menggunakan ciptaan sejauh membantu dia mencapai tujuan hidupnya, dan harus meninggalkannya sejauh menghalangi dia untuk mencapai tujuan hidupnya itu. Karena itu, sikap dasar dari manusia dalam relasinya dengan semua ciptaan harus merupakan sikap yang mengijinkan dirinya menjadi terbuka untuk menggunakan atau tidak menggunakan ciptaan itu. Faktor yang penting di sini adalah bahwa manusia tidak boleh mendisposisikan dirinya untuk mencegah dirinya untuk menggunakan atau tidak menggunakan ciptaan itu. Manusia harus terbuka terhadap segala sesuatu yang dapat membantu dirinya mencapai tujuan hidupnya. Santo Ignatius melukiskan unsur sikap itu dengan istilah indifference, indifferentia, atau lepas-bebas.

Indifferentia itu bukanlah sikap pasif atau apatis, tetapi sikap yang dinamis dan terlibat aktif. Karena itu Ignatius menggunakan istilah “hacernos indifferentes” (lihat LR 23). Makna kata Spanyol hacernos indifferentes itu adalah “membuat diri lepas bebas”, suatu prinsip aktif dari manusia yang menyerahkan diri dan membuat dirinya lepas bebas, sehingga dirinya secara sempurna dapat menempatkan dirinya ke arah tujuan manusia diciptakan. Di dalam diri manusia, sikap lepas bebas itu membantu manusia untuk menempatkan dirinya ke arah tujuan hidupnya, yaitu: memuji, menghormati dan melayani Allah. Jadi indifferentia itu membimbing orang dan menjadi dasar untuk siap-sedia (disponibilitas, disponibilidad). Istilah “disponibilidad” dalam bahasa Spanyol berarti “keterbukaan yang siap-sedia” dan “ketersediaan yang siaga”.

Manusia itu bersikap lepas bebas sehingga dia mampu bersiap-sedia. Bersiap-sedia manusia itu diarahkan kepada Allah. Melalui sikap lepas bebas, manusia mengarahkan dirinya kepada Allah. Disponibilitas dirumuskan sebagai disposisi dinamis dari manusia dalam relasinya dengan Allah, siap-sedia menerima untuk menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak Allah. Pada hakikatnya, dasar dari ketaatan Ignatian adalah keselarasan yang disponible (siap-sedia) dari kehendak manusia terhadap kehendak Allah.

Keterarahan manusia kepada Allah menemukan ungkapannya di dalam usaha manusia memenuhi kehendak Allah, (ungkapan yang paling baik adalah ungkapan yang tersirat dalam doa Bapa Kami): “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga.” (Mat 6: 10). Kita masih ingat bahwa ketika kita melakukan colloquium dalam Latihan Rohani, kita menutup renungan dan doa kita dengan doa Bapa Kami. Pelayanan kepada Allah terjadi di atas bumi; dan di situlah ketaatan Ignatian menemukan bentuknya yang konkret. Pelayanan adalah bentuk dari ketaatan Ignatian.

Jadi, hakikat dari ketaatan Ignatian berakar pada semangat manusia untuk disponible, untuk senantiasa bersiap-sedia, sebagai buah dari sikap lepas bebas yang aktif (membuat diri sendiri lepas bebas). Karena itu, seperti disponibilitas merupakan tujuan dari lepas bebas, demikian juga pelayanan merupakan tujuan dari ketaatan ignatian. Karena ketaatannya, maka setiap penganut spiritualitas Ignatian senantiasa bersiap-sedia untuk diutus ke mana saja, seturut dengan apa yang dibutuhkan dan diperintahkan oleh pemimpin Gereja. ***

Kamis, 07 Maret 2013

Cinta Mengatasi Segalanya

Pada suatu hari Tuhan Yesus bersabda, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan kamu akan mendapatkan kelegaan bagi jiwamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat 11: 28-30) .

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, yang dimaksud dengan “kuk” itu adalah Hukum Allah. Berbeda dengan tafsiran para ahli Taurat yang cenderung legalistik, Yesus memberikan arti baru tentang “kuk”. Menurut Yesus, “kuk” itu adalah tuntutan hidup beriman kristiani, yaitu: mencintai. Jadi, kuk itu adalah kuk mencintai. Karena itu, kuk itu tidaklah membebani. Kuk cinta itu ringan. Kuk itu membuat segala sesuatu menjadi mudah. Kuk itu jauh dari membebani, tetapi memberikan makna sejati kepada hidup. Kata-kata Yesus itu menjadi mudah dipahami ketika kemudian kita membaca pernyataan St. Agustinus yang mengatakan: “Ubi amatur, non laboratur, aut si laboratur, labor amatur. Di mana ada cinta, susah-payah itu tidak ada; atau jika susah-payah itu ada, maka susah-payah itu dicinta.”

Theresia Lisieux (1873-1897) adalah seorang suster Karmelit yang terkenal dengan “jalan kecil” yang ditawarkan kepada siapa saja yang sedang mencari jalan hidup yang lebih bermakna. Menurut dia, untuk menjadi suci orang tidak perlu tindakan besar. Untuk menjadi suci tidak perlu perbuatan hebat. Untuk menjadi suci orang hanya perlu mencintai Allah. Theresia pernah menulis, “Cinta membuktikan diri di dalam perbuatan. Karena itu, bagaimana aku harus menunjukkan cinta itu? Perbuatan besar itu tidak cukup bagiku. Cara yang bisa aku buktikan adalah menyebarkan bunga-bunga, dan bunga-bunga itu adalah kurban-persembahan kecil, setiap kata dan perbuatanku. Maka, aku kerjakan setiap perbuatan demi cinta.”

Theresia menemukan bahwa cinta itu memberikan alasan kepada orang untuk hidup dan berharap. Sebagai anak kecil ia mengatakan bahwa ia dikelilingi oleh cinta dan ia pun mempunyai kodrat untuk mencintai itu. Tetapi pengalaman dicintai itu berhenti ketika ia kehilangan ibunya sewaktu ia masih berumur 4 tahun; dan kemudian ketika akhirnya Pauline kakaknya yang menjadi “ibunya yang kedua” juga meninggalkan dia masuk biara Lisieux. Adakah cinta yang berlangsung terus tanpa henti? Apa artinya cinta jika masih ada penderitaan? Setiap orang bertanya tentang cinta. Apa sesungguhnya cinta itu?

Theresia percaya bahwa Yesus bersama dia dan mencintai dia sejak kecil. Ia belajar tentang Yesus dari cerita-cerita yang ia baca dan dari keluarganya sendiri, dan setelah dewasa melalui Kitab Suci. Ia juga membaca buku “Mengikuti Jejak Kristus”, karangan Thomas Kempis. Lalu pada umur 17 tahun ia membaca buku tentang Santo Yohanes dari Salib dan melihat bagaimana cinta Allah menyemangati hidupnya. Theresia ingin memenuhi apa yang pernah ditulis oleh Santo Yohanes dari Salib itu: “Di senja hidup, kita akan diadili oleh cinta kita ...”. Theresia percaya bahwa cinta adalah segalanya. Ia mengenal betapa pentingnya cinta itu ketika ia membaca madah cinta dalam 1Kor 13. Ia berkeinginan untuk memeluk panggilan mencinta itu.

Ia menerjemahkan keinginan mencintai itu dengan mengembangkan relasinya dengan Tuhan Yesus. Ia mempersembahkan setiap harinya kepada Tuhan Yesus sebagai suatu cara untuk mewujudkan cintanya kepada Yesus. Ketika ia menemukan bahwa hidup di biara itu tidak mudah, karena harus hidup bersama dengan beberapa orang suster yang kasar dan sulit dalam berkomunitas. Meski situasi biara tidak menyenangkan dia tetap tinggal di sana dan tidak pergi. Dia memutuskan untuk tetap hidup di sana dan hidup dengan situasi seperti itu. Dia menemukan “Jalan Kecil”, yaitu: menerima bahwa setiap orang itu datang dari Allah, dan setiap orang dicintai oleh Allah untuk selama-lamanya. Karena itu ia mencintai mereka sebaik-baiknya sejauh dia bisa. Ia berkata sopan, tersenyum, dan membantu mereka jika ia bisa melakukannya. Pada kenyataannya, ia belajar di dalam proses bahwa ada kesatuan yang mendalam antara cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Ia menulis: “Semakin hidup ini berfokus pada Kristus, maka aku semakin mampu mencintai para suster.”

Apa artinya “Jalan Kecil” itu bagi Theresia? Jalan Kecil adalah gambaran yang ditangkap oleh Theresia tentang apa artinya menjadi murid Kristus. Jalan kecil artinya jalan menuju kesucian melalui hal-hal kecil yang biasa dan nyata dalam hidup sehari-hari. Jalan kecil ini dia yakini berdasarkan pada dua pertimbangan: (1) Allah menunjukkan cinta dan pengampunan; dan (2) ia tidak bisa menjadi sempurna di dalam mengikuti Yesus. Theresia percaya bahwa orang-orang pada zamannya hidup dalam ketakutan terhadap pengadilan Allah. Ketakutan itu tidak membuat orang mengalami kebebasan sebagai anak-anak Allah. Dari hidupnya Theresia tahu bahwa Allah itu adalah cintakasih. Theresia tidak bisa memahami bagaimana orang bisa takut pada Allah yang berkenan menjadi anak kecil. Ia juga tahu bahwa ia tidak akan pernah sempuma. Karena itu, ia pergi kepada Allah sebagai anak yang mendekati orangtua, dengan tangan terbuka dan percaya secara mendalam.

Theresia menerjemahkan “Jalan Kecil” itu dengan komitmen terhadap tugas-tugasnya dan komitmen terhadap orang-orang yang dia temui di dalam hidup sehari-hari. Ia menjalankan tugas-tugas di biara Lisieux sebagai cara-cara mewujudkan cintanya kepada Allah dan cintanya kepada orang lain. Ia bekerja sebagai koster yang menyiapkan altar dan kapel. Ia menjadi pelayan di ruang makan (refter) untuk menyediakan makan-minum bagi para anggota komunitas. Ia membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di kamar cuci. Ia menulis drama untuk acara hiburan (rekreasi) di dalam komunitas. Dengan cara begitu ia mencoba memperlihatkan cintanya untuk semua suster dalam komunitas. Ia melakukan pekerjaan-pekerjaan itu tidak hanya untuk para suster yang dia sukai. Tetapi ia juga memberikan dirinya untuk para anggota komunitas yang lain yang dianggapnya sulit.

Hidupnya memang nampak terasa rutin dan biasa, tetapi itu merupakan bentuk penghayatan komitmennya untuk mencintai itu. Itulah “jalan kecil”. Jalan kecil adalah tindakan langsung, nyata dan sederhana tetapi mengandung makna keberanian dan komitmen untuk mencintai. Jalan kecil memberi kemungkinan orang biasa menjadi mampu meraih kesucian. Theresia berpesan: “Hayatilah hari-harimu dengan percaya akan cintakasih Allah untuk kamu. Ingatlah bahwa setiap hari merupakan hadiah di mana hidupmu bisa dibuat berbeda dengan cara bagaimana kamu menghayatinya. Cinta adalah komitmen yang setiap hari harus diulangi dan dikerjakan di dalam hidupmu sehari-hari”. ***

Sabtu, 02 Maret 2013

Kemiskinan: Belajar dari Bunda Maria

Tentang kemiskinan kita bisa belajar tidak hanya dari Tuhan kita Yesus Kristus tetapi juga dari Bunda Maria.

Dari Tuhan Yesus, kita dapat belajar bagaimana Dia memandang rendah barang-barang duniawi. Kita juga bisa meneladan Dia, yang telah berkenan memilih hidup miskin di muka bumi ini. “Sekalipun kaya,” kata Santo Paulus, “Dia telah berkenan menjadi miskin demi kamu, yang oleh karena kemiskinan-Nya kamu bisa menjadi kaya” (2Kor 8: 9). Karena itu, Yesus Kristus menasihati setiap orang yang hendak menjadi murid-Nya, “Jika kamu ingin sempurna, pergilah, juallah segala milikmu, dan berikan semuanya kepada orang miskin …. Dan datanglah ke mari dan ikutilah Aku.” (Mat 19: 21).

Maria, yang adalah murid Tuhan yang paling sempurna, meniru keteladanan-Nya secara paling sempurna. Santo Petrus Kanisius membuktikan bahwa Maria berkenan hidup dalam kemiskinan, dengan meneladan hidup orangtuanya, tetapi dia lebih suka untuk tetap hidup miskin. Dia hanya menikmati sebagian kecil dari apa yang dia miliki untuk memenuhi kebutuhan dirinya, dan sisanya dipersembahkan ke Kenisah dan dibagikan untuk orang-orang yang membutuhkan.

Banyak para penulis percaya bahwa Maria sudah mengucapkan kaul kemiskinan. Mungkin dengan berdasarkan pada keyakinan seperti ini, betullah apa yang dikatakan oleh Santa Brigitta: “Sejak dari awal, aku telah berjanji dalam hati bahwa aku tidak akan memiliki apa pun di dunia ini.” Hadiah-hadiah yang pernah diterima dari para sarjana dari Timur sungguh tak ternilai harganya. Tetapi kita diyakinkan oleh Santo Bernardus bahwa Maria membagi-bagikan hadiah-hadiah itu untuk orang-orang miskin melalui tangan SantoYosef. Sungguh amat jelas bahwa Maria menyerahkan hadiah-hadiah itu kepada orang lain karena suatu fakta bahwa pada saat pentahiran di kenisah ia tidak mempersembahkan anak domba, seperti dituntut oleh hukum Taurat (bdk. Kitab Ulangan 12: 6), tetapi mempersembahkan dua ekor merpati, seperti layaknya persembahan dari orang miskin (Luk 2: 24).

Bunda Maria pernah menyatakan kepada Santa Brigitta: “Aku menyerahkan semua itu kepada orang miskin; dan aku hanya memerlukan sedikit saja makanan dan pakaian untuk diriku.” Karena cintanya pada kemiskinan Bunda Maria ingin menikah dengan Santo Yosef yang hanya seorang tukang kayu yang sederhana. Maria membantu memelihara keluarga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan tangan, entah memintal benang, atau menjahit, sebagaimana dikatakan oleh Santo Bonaventura.

Malaikat Tuhan menyatakan kepada Santa Brigitta bahwa “kekayaan dunia tidak punya nilai menurut kacamata pandang Bunda Maria.” Bunda Maria selalu menjalani hidupnya yang miskin, dan dia juga meninggal dunia dalam kemiskinan. Metaprastes dan Nicephorus mengatakan kepada kita bahwa pada saat kematian, Maria tidak meninggalkan apa-apa, kecuali dua pakaian sederhana. Dia meninggalkan harta kekayaannya itu kepada dua wanita yang pernah melayani dia selama bertahun-tahun dalam masa hidupnya kemudian.

Santo Filipus Neri pernah mengatakan bahwa “Tidak ada orang yang mencintai dunia akan menjadi santo.” Kita bisa menambahkan juga kata-kata Bunda Teresa dari Kalkuta tentang perihal yang sama, bahwa keutamaan kemiskinan adalah harta warisan yang mampu memuat segala warisan kekayaan yang lain. Bunda Teresa mengatakan bahwa keutamaan kemiskinan tidak hanya memuat pemikiran “menjadi miskin” tetapi “mencintai kemiskinan”. Karena itu, Tuhan Yesus Kristus bersabda: “Berbahagialah orang yang miskin dalam Roh, sebab merekalah yang memiliki Kerajaan Sorga.” (Mat 5: 3).

Orang-orang macam itulah yang berbahagia karena mereka tidak menginginkan sesuatu yang lain kecuali Allah, dan menemukan segala sesuatunya di dalam Allah. Kemiskinan bagi mereka adalah surga di dunia. Inilah yang dikatakan oleh Santo Fransiskus ketika dia berseru: “Tuhanku adalah segalanya.” Marilah kita bersama-sama dengan Santo Ignatius menyerukan kata-kata ini kepada Tuhan kita: “Berikanlah kepadaku rahmat dan cinta-Mu, dan dengan itu saja aku sudah akan cukup kaya.” “Ketika kita harus menderita karena kemiskinan,” kata Santo Bonaventura, “marilah kita menghibur diri kita dengan berpikir bahwa Yesus dan Bunda-Nya telah juga miskin seperti diri kita sendiri.”

Ya Bunda Maria, Bunda yang tersuci, Engkau memiliki alasan untuk mengatakan kepada kami bahwa seluruh kegembiraanmu adalah kegembiraan di dalam Allah; dan semangat kami bergembira di dalam Allah, penyelamat kami. Di dunia ini Engkau menghendaki kami untuk mencintai Allah semata. Doronglah kami agar kami dapat meneladan engkau. Ya Bunda Maria, jauhkanlah kami dari dunia, supaya kami dapat hanya mencintai Tuhan, yang sudah terlebih dahulu mencintai kami. Amin.

Francisco Garate: Penjaga Pintu yang Baik Hati

Francisco Garate lahir pada tanggal 3 Februari 1857 dari keluarga petani yang tinggal di Azpeitia, daerah di mana orang-orang Basque, seperti Ignatius Loyola, pernah lahir dan hidup. Pada umur 17 tahun dia masuk Novisiat Serikat Yesus di Poyanne Perancis, dan mengucapkan kaul pertamanya dalam Serikat Yesus sebagai Bruder pada tahun 1876. Selama 10 tahun ia mengabdikan dirinya untuk bekerja sebagai koster dan perawat di rumah sakit di Kolese La Guardia. Dia mengucapkan kaul terakhirnya pada tanggal 15 Agustus 1887. Sejak akhir Maret 1888 dia ditugaskan untuk menjadi koster dan penjaga pintu di Universitas Duesto, di Bilbao Spanyol.

Selama 42 tahun Bruder Francisco menjadi koster dan penjaga pintu Universitas Duesto milik Yesuit ini. Dia dikenal sebagai Bruder yang Baik Hati. Kinerjanya sebagai penjaga pintu sungguh dikagumi banyak orang: ramah, trampil dalam bernegosiasi, rendah hati, bijaksana, dekat dan akrab dengan Allah. Keutamaan-keutamaan dipraktekkan di dalam segala aspek kehidupannya secara luar biasa.

Sebagai penjaga pintu, Bruder Francisco mampu secara sempurna meneladan keutamaan yang dimiliki oleh seorang Bruder lain yang pernah hidup sebelumnya, yaitu Bruder Alphonsus Rodriguez SJ (1533-1617). Banyak orang menilai bahwa Bruder Francisco itu meniru persis Bruder pendahulunya yang secara konsisten ramah, sabar, dan cara bertindak yang tak kenal lelah ketika ia menjalankan tugasnya sehari-hari.

Ketika Pietro Boetto SJ, yang kemudian menjadi Uskup di Keuskupan Agung Genoa, bertanya kepadanya tentang bagaimana dia dapat menjaga diri untuk tetap ramah, tenang, tidak grundelan, tidak menggerutu, tidak bersungut-sungut, tidak mengeluh, dan tidak marah, tetapi tetap sabar sementara tuntutan pekerjaan begitu padat menyibukkannya, dia menjawab: “Sejauh saya bisa, saya mengerjakan tugas-tugas saya dengan sebaik-baiknya, dan memang saya melaksanakan tugas-tugas saya itu dengan sebaik-baiknya. Tuhan mengerjakan sisanya. Dengan bantuan-Nya, segala sesuatu menjadi mudah dan indah untuk dikerjakan karena kita memiliki Tuhan yang baik.”

Bruder Francisco dipanggil Tuhan pada tanggal 9 September 1929. Jenasahnya semula dimakamkan di kuburan setempat, tetapi kemudian dipindahkan ke Universitas Duesto dan di tempatkan di halaman kapel. Proses investigasi dilakukan oleh Keuskupan Victoria dan dikirim ke Roma pada Februari 1941. Paus Pius XII pernah menyatakan bahwa Bruder Francisco memiliki keutamaan-keutamaan yang bisa dijadikan teladan bagi banyak orang. Karena itu, jenasahnya dipindahkan ke dalam kapel kecil yang sudah dipersiapkan di Universitas Duesto.

Ketika acara beatifikasi berlangsung pada tanggal 6 Oktober 1985, Beato Yohanes Paulus II mengatakan: “Pesan pengudusan yang diberikan oleh Beato Francisco Garate kepada kita sungguhlah amat sederhana dan jelas. Dari muda, Francisco membuka hati lebar-lebar untuk Kristus yang mengetuk pintu hatinya dan mengundang dia untuk menjadi sahabat dan pengikutnya yang setia.

Seperti Maria, yang dicintai Tuhan sebagai ibu-Nya, Francisco menjawab dengan murah hati dan percaya tanpa batas terhadap panggilan yang penuh rahmat itu… Kemurahan hatinya telah dibuktikan kebenarannya oleh para mahasiswa, para professor/dosen, para karyawan, para orangtua yang datang berkunjung ke Universitas, yang menyapa Bruder dengan kata-kata mesra “Bruder yang Baik Hati”, dan yang melihat di dalam diri Bruder sikap ramah dan menyenangkan, yang mencerminkan seorang pribadi yang penuh perhatian pada orang lain dan seorang pribadi yang sungguh dekat dengan Tuhan.

Bruder Francisco Garate SJ telah memberikan kepada kita kesaksian nyata dan konkret tentang nilai kehidupan batin seorang manusia yang merasul melalui pekerjaannya. Hasilnya, ketika orang menyerahkan dirinya kepada Allah dan memusatkan seluruh hidupnya di dalam Dia, maka orang itu tidak perlu menunggu apa yang akhirnya nanti menjadi buah dari kerasulan itu. Dari pintu masuk Universitas, seorang Bruder Yesuit membuat kebaikan Allah menjadi nyata hadir pada diri orang lain dengan mewartakan Injil melalui karya pelayanan yang sederhana, yang dilaksanakan dengan tenang dan rendah hati.”

Apakah kita juga bersedia untuk menjadi seorang pewarta Injil seperti itu? Beato Francisco Garate, doakanlah kami selama Tahun Iman ini. ***