Kita sering merasa bosan dan jemu dengan pekerjaan kita
sehari-hari. Dari hari ke hari, itu-itu saja yang kita kerjakan. Tak ada
variasi, tak ada yang baru sama sekali. Akhirnya, dengan mudah kita tenggelam
dalam perasaan depresi yang tak mudah kita atasi. Perlahan-lahan kita mulai
benci dengan pekerjaan kita sendiri. Dan kita sungguh tak tahu lagi arti dari
pekerjaan kita lagi. Mungkinkah kita kisa mengalahkan rasa bosan, jemu,
depresi, dan tak berpengharapan itu dalam pekerjaan kita lagi? Daniel O’Leary, seorang penulis, guru dan pastor yang bekerja di salah satu paroki di Amerika, pernah penulis cerita seperti ini:
Ada
dua tukang sedang membangun tembok. Mereka menyusun dan melekatkan batu bata,
satu di ujung sini, lainnya di ujung sana.
Tukang yang satu selalu merasa malas untuk memulai bekerja. Ia tidak mempunyai
minat sama sekali untuk mengerjakan pembangunan tembok itu. “Tembok, ya tembok.
Saya sungguh-sungguh jemu, selalu harus menata bata demi bata, hari demi hari,
bulan demi bulan. Saya mengharap agar akhir minggu segera tiba. Saya membenci
hari Senin, di mana saya harus memulai pekerjaan ini lagi,” katanya. Tanpa
minat dan perhatian, pekerjaan itu akhirnya membunuh dia pelan-pelan.
Tukang lainnya berbeda pendirian dengannya. “Saya sedang
membangun gereja katedral,” katanya. Memang, batu bata yang ditatanya akan
menjadi tembok katedral di bagian barat. “Saya telah melihat paket rencana
pembangunannya. Katedral itu akan menjadi bagian yang indah. Saya tak dapat
percaya pada diri saya sendiri bahwa saya adalah bagian dari pembangunan itu,”
kata tukang ini. Ia bertutur lagi, bila
ia melihat anak-anak sedang bermain di sekitar tembok, ia akan melihat mereka
dan kelak anak-cucunya berdoa di dalam gereja, tempat yang suci dan indah itu
bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun lamanya.
Pastor O’Leary kerap menceritakan hal tersebut pada guru-guru,
pada para pekerja, bahkan pada para imam, atau siapa saja yang tak menemukan
lagi arti dalam pekerjaannya. Tiap kali mereka mendengar, mereka merasa digugah
lagi. Mereka merasa dihadapkan pada suatu horizon baru, yang tak terbatas
luasnya. Pekerjaan mereka adalah bagian dari horizon yang tak terbatas itu.
Memang, tak mungkin kita bisa tabah dan kuat dalam
pekerjaan kita, jika kita tidak berpengharapan bahwa pekerjaan kita yang rutin
itu adalah bagian dari rencana Tuhan yang besar dan luar biasa. Hanya dengan
cara ini kita dapat mengalahkan segala kejemuan dan kebosanan kita dalam
pekerjaan kita sehari-hari, yang rutin tanpa variasi. Sungguh, lewat pekerjaan yang paling rendah dan sepele pun kita sesungguhnya sedang menata batu bata bagi suatu katedral yang indah dan megah. Dan katedral itu bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak cucu kita, turun-temurun. Anak cucu kita akan mengenang bahwa karya kita adalah tapak-tapak kaki Tuhan, yang akhirnya juga akan membimbing mereka untuk selalu teringat pada-Nya lewat pekerjaan mereka sendiri-sendiri.