Saudara-saudari terkasih, pada hari ini kita sampai pada rangkaian Novena hari yang keenam, dengan tema umum: “Kokoh dalam Iman bersama Maria”. Tema yang diangkat dalam doa Novena ini adalah belajar dari Bunda Maria tentang keutamaan “kemurnian.” Setelah terjatuhnya Adam ke dalam dosa, manusia bersikap memberontak terhadap akal. Sebagai akibatnya, kemurnian menjadi keutamaan yang paling sulit untuk dipraktekkan. Santo Agustinus mengatakan: “Di antara konflik-konflik batin yang terjadi, konflik yang paling sulit adalah konflik yang berkait dengan kemurnian. Peperangan dalam hal kemurnian itu terjadi setiap hari, dan kemenangan jarang diperoleh.
Namun, mudah-mudahan Allah dipuji sepanjang masa karena di dalam diri Maria Dia telah memberikan kepada kita keteladanan dalam hal kemurnian itu. “Maria disebut Perawan di antara para perawan,” kata Santo Albertus Agung. Tanpa nasihat dan keteladanan orang lain, Maria adalah wanita pertama yang mampu mempersembahkan keperawanannya kepada Allah.” Dengan cara itu, Maria mengarahkan kepada Allah siapa saja yang bisa meneladan keperawanannya, seperti pernah dikatakan oleh nabi Daud: “Dengan pakaian bersulam berwarna-warna ia dibawa kepada raja; anak-anak dara mengikutinya, yakni teman-temannya, yang didatangkan untuk dia.” (Mzm 45: 15).
Tanpa nasihat dan tanpa teladan! Kata Santo Bernardus: “Ya, Perawan, siapakah orang yang telah mengajarmu untuk menyenangkan Allah dengan keperawananmu dan membawa kehidupan malaikat di atas bumi?” Santo Sophronius menjawab: “Allah telah memilih keperawanan murni bagi ibu-Nya, sehingga dia bisa menjadi teladan kemurnian bagi setiap orang.” Itulah alasannya mengapa Santo Ambrosius menyebut Maria sebagai “teladan dalam hal keperawanan”.
Karena kemurnian Maria, maka Roh Kudus menyatakan bahwa Maria itu cantik, yakni secantik kuda betina: Pipi-pipimu itu seindah pipi kuda betina Firaun (bdk. Kid 1: 9). “Seperti kuda betina yang indah pipinya” adalah sebutan yang diberikan oleh Aponius kepada Maria. Dengan alasan yang hampir sama, Maria juga disebut sebagai bunga bakung: “Seperti bunga bakung di antara duri-duri, demikianlah manisku di antara gadis-gadis.” (Kid 2: 2). Denis, seorang biarawan Karthusian, pernah mengatakan: “Maria dibandingkan dengan bunga bakung di antara duri-duri karena gadis-gadis yang lain adalah duri, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, sementara Maria sang Perawan yang tersuci itu tidaklah begitu, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.”
Santo Thomas menegaskan perihal kemurnian Bunda Maria ini dengan mengatakan bahwa keelokan Santa Perawan Maria, mendorong siapa saja yang melihatnya ke arah kemurnian. Santo Hieronimus menyatakan bahwa Santo Yusup tetap perawan sebagai akibat dari hidup bersama dengan Maria. Melawan ajaran Helvidius yang menyangkal keperawanan Maria, Santo Hieronimus menyatakan: “Kamu mengatakan bahwa Maria tidak perawan. Saya mengatakan bahwa Maria tidak hanya tetap perawan, tetapi bahkan Yusup pun tetap perawan karena Maria.”
Santo Gregorius dari Nyssa mengatakan bahwa Bunda Maria yang tersuci mencintai kemurnian dan menjaganya sedemikian rupa sehingga dia diperkenankan untuk meninggalkan martabat dirinya sebagai Bunda Allah. Hal ini merupakan bukti atas jawabannya terhadap malaikat Gabriel: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi karena aku belum bersuami”? (Luk 1: 34). Dan dari kata-kata yang dia tambahkan kemudian: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1: 38), yang menyatakan bahwa dia menerima pernyataan malaikat dengan segala kondisinya, yang telah menegaskan bahwa dia harus menjadi seorang ibu yang akan berada dalam naungan Roh Kudus semata.”
Santo Ambrosius mengatakan bahwa “barangsiapa menjaga kemurnian, dia adalah malaikat; barangspai menghilangkan kemurnian dia adalah setan.” Tuhan kita menegaskan bahwa siapa saja yang hidupnya murni dia akan menjadi malaikat: “Mereka akan hidup seperti malaikat di surga.” (Mat 22: 30).
Seperti telah dikatakan oleh Santo Agustinus bahwa kemenangan dalam memperjuangkan kemurnian ini jarang diperoleh. Mengapa? Karena sarana-sarana untuk memperoleh kemenangan atas kemurnian itu tidak dipakai. Menurut Santo Robertus Bellarminus dan para ahli di bidang hidup rohani, sarana-sarana untuk memperjuangkan kemenangan atas kemurnian itu adalah: berpuasa, menghindarkan diri dari kesempatan berbuat dosa, dan berdoa.
Sarana yang pertama adalah puasa. Yang dimaksud dengan puasa terutama adalah matiraga, mematikan hawa nafsu. Meskipun Bunda Maria dipenuhi dengan rahmat Allah, dia tidak pernah berhenti untuk melakukan matiraga. Menurut pendapat Santo Epifanius dan Santo Yohanes Damascena, penampilan Maria senantiasa sederhana, prasaja, dan dia tidak pernah menatap mata orang lain. Dia tidak berlagak; bahkan sejak masa kanak-kanak. Setiap orang yang melihatnya mengatakan bahwa Maria itu cantik karena sikap hati-hatinya. Santo Lukas menyatakan bahwa ketika Maria datang mengunjungi Elisabeth, Maria pergi dengan tergesa-gesa (Luk 1: 39), untuk menghindarkan diri dari tatapan dan kejaran publik. Philibertus menyatakan bahwa ada seorang saksi bernama Felix yang menyatakan bahwa Maria senantiasa memperhatikan soal makan. Ketika masih bayi, Maria hanya menyusu sekali sehari. Santo Gregorius dari Tours menyatakan bahwa Maria senantiasa melakukan puasa dalam hidupnya. Santo Bonaventura menjelaskan hal ini dengan mengatakan: “Maria tidak pernah menemukan sedemikian banyak rahmat jika dia tidak menyederhanakan makanannya, karena rahmat dan rakus tidak akan pernah bisa berjalan seiring.” Singkatnya, Maria melakukan matiraga dalam segala hal, sehingga sungguh benar bila dikatakan tentang dia: “Tanganku berteteskan mur” (Kid 5: 5).
Sarana yang kedua adalah “menghindarkan diri dari peluang untuk berbuat dosa”: “Siapa membenci pertanggungan, amanlah dia.” (Ams 11: 15). Maria bergegas secepat mungkin untuk menghindarkan diri dari pengelihatan orang. Santo Lukas pernah menyatakan bahwa ketika Maria berkunjung ke rumah Elisabeth, dia pergi tergesa-gesa untuk segera sampai di desa daerah perbukitan itu. Seorang penulis memperhatikan kepada suatu fakta bahwa Bunda Maria meninggalkan Elisabeth sebelum Yohanes Pembaptis lahir. Maria tinggal bersama Elisabeth hanya selama 3 bulan dan kemudian pulang ke rumah sendiri. Mengapa Maria tidak menunggu sampai Yohanes Pembaptis lahir? Karena dia ingin menghindari kebisingan dan daya tarik yang biasa menyertai sebuah peristiwa kelahiran seperti itu.
Sarana ketiga adalah doa. Orang bijak pernah mengatakan: “Setelah aku tahu bahwa aku tidak akan memiliki kebijaksanaan, kalau tidak dianugerahkan oleh Allah, maka aku akan menghadap Tuhan dan berdoa kepada-Nya.” (Keb 8: 21). Maria menyatakan diri kepada Elisabeth Hungaria bahwa dia tidak menerima keutamaan itu tanpa usaha,k dan tanpa doa yang berkelanjutan. Santo Yohanes Damascena menyebut Bunda yang tak Bercela itu sebagai “pencinta kemurnian”. Dia tidak dapat menahan orang-orang yang puas dengan hidup tidak murni. Jika orang memanggil Maria untuk dikirim dari hidup yang tidak murni, dia pasti akan membantu dirinya. Siapa saja yang dipanggil adalah dipanggil oleh Maria dengan cara yang meyakinkan. Yohanes dari Avila biasa mengatakan bahwa banyak orang memerangi pencobaan melalui devosi kepada Bunda Maria yang dikandung tanpa noda dosa.
Ya Bunda Maria, engkau merpati yang paling murni, betapa banyak orang yang sekarang tinggal di neraka karena hidupnya tidak murni. Bunda Maria yang dipenuhi oleh banyak rahmat dari Allah, perkenankan kami untuk menerima rahmat dari Allah sehingga kamu dapat mencari perlindungan kepadamu ketika kami berada dalam pencobaan, dan perkenankan kami untuk menyebut namamu, dengan mengatakan: “Ya Maria, Bunda kami, bantulah kami anakmu!”. Amin.