Hidup Berbagi
Sabtu, 18 Mei 2013
Theresia Suratiyah: Perawat yang Melayani dengan Hati
Kakak saya adalah seorang perawat yang pernah menjalani pendidikan keperawatan di desa Boro Yogyakarta. Namanya Theresia Suratiyah (60 tahun), yang dikenal dengan sebutan mbak Surat atau mbak Thres. Ketika saya tanya tentang nama sekolah tempat dia belajar, mbak Thres menjawab: “Waktu itu sekolah pendidikan keperawatan masih bernama Sekolah Penjenang Kesehatan (SPK) Tingkat Atas”. “Lulusan sekolah ini, setelah belajar selama 3 tahun, diharapkan memiliki kemampuan dan ketrampilan di bidang keperawatan dan pelayanan kesehatan, dan akhirnya dapat bekerja sebagai pembantu bidan dalam tugas keperawatan”, tambahnya.
Ketika saya tanya, siapa Kepala Sekolah Keperawatan di sekolah ini, mbak Thres menjawab: “Kepala sekolah keperawatan waktu itu adalah Sr. Antoni, OSF. Orangnya baik banget. Orangnya disiplin tapi tidak pernah marah.” Lanjut mbak Thres: “Ada suatu peristiwa yang menarik yang pernah saya alami. Sore itu memang hari ujian. Saya mendapat giliran ujian nomor satu. Sebetulnya sore itu saya sendiri sedang bersiap-siap untuk mandi, tetapi keburu dipanggil oleh suster Antoni untuk ujian. Di depan kelas, Sr. Antoni bertanya kepada saya: Coba terangkan kepada saya, bagaimana proses terjadinya menstruasi! Saya bengong, karena masih berdiri di depan kelas kok sudah diberi soal ujian. Karena saya tahu bahwa ini waktunya ujian, maka saya menjawab pertanyaan itu dengan serius. Suster Antoni heran melihat saya dapat menjawab dengan lancar. Segera sesudah selesai ujian, dia langsung menyalami saya dan mengatakan: Thres, kamu saya beri nilai yang terbagus.” “Saya tersenyum, mengulurkan tangan saya, mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pergi mandi.” kata mbak Thres.
Kakak saya mulai studi di tempat ini tahun 1972 dan selesai tahun 1975. Selama studi, kakak saya hidup di asrama. “Kepala asrama waktu itu adalah Ibu Suliyem, orang yang sangat memperhatikan para penghuni asrama. Meski harus dengan kursi roda dalam menjalankan tugasnya, ibu Suliyem ini dikenal sebagai seorang ibu yang disiplin, ringan tangan, suka membantu, baik hati dan sabar”, kisah Mbak Thres. “Dia sangat bertanggungjawab sebagai ibu asrama. Kalau hari sudah malam, ibu Suliyem pergi keliling asrama, untuk melihat-lihat, memeriksa apakah para penghuni asrama sudah pada tidur atau belum. Kebetulan anak-anak asrama waktu itu semuanya baik dan tidak ada yang bandel, sehingga kedisiplinan asrama senantiasa bisa ditegakkan.”
“Kepala rumah sakit St. Yusup Boro waktu itu adalah seorang suster Belanda. Namanya Sr. Floren OSF, dan dalam kerjanya dia dibantu oleh beberapa Suster lain. Tim pelayanan medis di lembaga kese¬hatan ini diketuai oleh Dr. Subodro, MPH., dan dibantu oleh seorang dokter umum bernama Dr. Leny Kushati, yang rajin bekerja, nglaju dari kota Yogyakarta ke Boro setiap hari,” jelas mbak Thres. “Suster-suster yang berkarya di tempat ini semuanya disiplin, pekerja keras dan tekun. Yang namanya Suster Floren itu amat sangat disiplin. Kalau dia memberi tugas kepada anak-anak asrama untuk membersihkan asrama, dan melihat bahwa asrama belum bersih betul, anak-anak asrama itu disuruh membersihkan ulang.”
Tahun 70-an adalah tahun berat bagi kehidupan ekonomi Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, rakyat Indonesia masih tergantung pada bantuan bahan makanan dari pemerintah Australia, berupa bulgur (jenis gandum berwarna merah, yang biasa dipakai sebagai bahan makanan ternak di Australia). Kehidupan asrama di tempat ini pun tidak terbebaskan dari masalah penyediaan bahan makanan untuk anak-anak asrama keperawatan. Asrama perawat hanya bisa menyediakan bulgur untuk makanan sehari-hari, dan bukan beras. Makan nasi (beras) di asrama keperawatan ini hanya sekali seminggu, yaitu pada hari Minggu. “Setiap hari makan bulgur sungguh pengalaman yang tak terlupakan,” kata mbak Thres. “Pernah pada suatu hari anak-anak asrama membuang sisa makanan (bulgur) yang masih banyak ke tong sampah hingga penuh. Melihat peristiwa itu salah seorang Suster OSF menangis. Tetapi Suster itu juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena keadaan waktu itu memang seperti itu: beras sulit didapat, dan bilamana ada, harganya mahal dan tak terjangkau oleh kebanyakan orang. Meskipun anak-anak asrama bosan, makanan bulgur pun tetap saja dihidangkan,” jelas mbak Thres.
Kakak saya yang hidupnya dimanjakan oleh situasi di rumah (simbah putri dan ibu saya itu penjual nasi dan makanan sehari-hari dengan segala macam lauk-pauk, lengkap dan enak, dengan warung yang laris-manis), banyak kali menangis dan mengeluh bahwa makanan setiap hari di sini (Boro) adalah nasi bulgur. Maka, keluarga kami pun menjadi tidak sampai hati (tegel), ketika mendengar berita bahwa salah satu anak (cucu)-nya setiap hari makan bulgur. Karena itu, sebulan sekali, keluarga kami dari Mertoyudan mengirim sambal. Sambal yang dibuat dari lombok, tomat, terasi dan krecek babi ini, disebut sambal bajak. Meski sedikit tapi rasanya sungguh mirasa. “Sambil inilah yang membuat nafsu makan menjadi lebih antusias. Benar yang dikatakan sebuah pepatah: Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”, kata mbak Thres. Kakak saya sangat gembira menerima kiriman sambal itu, karena dengan begitu dia bisa lebih bisa merasakan nikmatnya nasi bulgur yang kadang membosankan.
Setelah selesai menjalani pendidikan di tempat ini, dan setelah mengembalikan ikatan dinas di Rumah Sakit ini, kakak saya mendapat panggilan untuk bekerja di tempat lain. Suster-suster Sang Timur yang bekerja di sebuah poliklinik besar di Curahjati, Banyuwangi, membutuhkan tenaga perawat hasil didikan sekolah perawat Boro ini. Setelah mengajukan surat lamaran pekerjaan dan diterima, maka mulaillah kakak saya bekerja di Banyuwangi. Dia bekerja di sana selama kurang lebih 4 tahun. Bekerja di daerah pedesaan yang keadaan ekonominya lemah memang berat tetapi semua tugas pelayanan dijalani dengan sabar dan tekun.
Dari tempat kerja baru ini, kakak saya mendapatkan jodohnya, yaitu: Yustinus Poniman, seorang sopir pastoran dari Paroki Genteng Banyuwangi. Setelah pernikahan, kakak saya pulang kampong dan pindah kerja ke Magelang. Kakak saya diterima sebagai perawat dalam status Pegawai Negeri di Kabupaten Magelang, dan ditempatkan di Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat di Pakis Magelang. Selama menjadi pegawai negeri dia memperoleh kesempatan untuk studi lanjut tingkat D3 (diploma) dalam bidang kebidanan.
Dalam usianya menjelang pension, kakak saya sudah merintis sebuah pekerjaan baru di rumahnya sendiri dengan mendirikan sebuah poliklinik kebidanan di Pakis Magelang. Poliklinik ini sekarang sudah beroperasi selama lebih dari lima tahun, dan berkat Tuhan, poliklinik kebidanan ini masih berjalan dengan baik dan makin berkembang. Di samping layanan kesehatan yang sederhana, layanan utamanya adalah melayani ibu-ibu hamil dalam mempersiapkan dan menghadapi kelahiran anak. Tugasnya tidak hanya merawat kesehat¬an, tetapi juga membela kehidupan.
Pasien yang datang untuk rawat inap dalam rangka partus (melahirkan) kebanyakan adalah ibu-ibu desa yang berasal dari masyarakat petani. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang tergolong ekonomi lemah. Kakak saya menentukan tarif dan pembayaran sesuai dengan tingkat dan keadaan ekonomi setempat. Para pasien dipersilakan untuk membayar ongkos perawatan sesuai dengan kemampuan mereka. Ada ibu-ibu yang setelah tiga bulan melahirkan baru bisa membayar ongkos partus. Kehidupan ekonomi para pasien sangat tergantung pada masa panen. Dan memang mereka diberi kemungkinan untuk membayar ongkos perawatan tidak harus dengan uang. Mereka dimungkinkan untuk membayar biaya perawatan dengan hasil panenan, entah berupa: sayur-sayuran, buah-buahan, atau pun hasil bumi lainnya. Bahkan, bisa juga pasien membayar biaya perawatan dengan ayam, telur dan hasil usaha ternak lainnya.
Waktu pembayaran pun juga tidak harus pada saat pelayanan diberikan, tetapi boleh juga sehabis panenan. Ada banyak pasien sudah dibantu melahirkan tetapi ongkosnya baru dibayar setelah 3 bulan anaknya lahir.
Awalnya adalah merawat dan sampai umur tua pun kakak saya tetap juga merawat. Itulah panggilan hidupnya, berprofesi sebagai perawat, dari muda hingga tua, dan dijalani dengan tekun, gigih, sabar dan setia. “Yang menguatkan panggilan saya menekuni pekerjaan perawat ini adalah bahwa menjadi perawat itu ikut ambil bagian dalam karya pelayanan Yesus, membantu mereka yang membutuhkan, menyembuhkan orang sakit dan mengurangi penderitaan mereka” kata mBak Thres.
Kakak saya menjadi seorang bidan seperti sekarang ini, tidak lepas dari perkenalan dan pergaulan masa lampau di tempat ini dengan orang-orang yang pernah tinggal dan bekerja di tempat ini: Sr. Antoni OSF, Sr. Floren OSF, Ibu Dr. Lany, Bapak Dr. Subodro, Ibu Suliyem, dan sudah barang tentu para tenaga medis, para perawat, para pasien yang dilayani, orang-orang yang dijumpai, dilayani dan bekerja sama dengannya. Orang-orang yang berkumpul di tempat ini adalah orang-orang yang ikut membentuk dirinya, ikut membangun komunitas kerja di tempat ini, karena mereka saling berbagi, saling memberi dan saling menerima.***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kisahnya menarik. Dan, cantik sekali mbak Thres pada masa mudanya.. :)
BalasHapusSelamat melayani Tuhan