Kebenaran iman ini dimaklumkan sebagai dogma dalam Konstitusi Apostolik Munificentissimus Deus oleh Bapa Suci Pius XII (1939-1958) pada tanggal 1 Nopember 1950. Dalam Konstitusi Apostolik itu, Bapa Suci menyatakan “Kami memaklumkan, menyatakan dan menentukannya menjadi suatu dogma wahyu ilahi: bahwa Bunda Allah yang Tak Bernoda, Perawan Maria, setelah menyelesaikan hidupnya di dunia ini, diangkat dengan badan dan jiwa ke dalam kemuliaan surgawi."
Sebagai salah satu dasar untuk memahami dogma tentang Maria Assumpta itu, dalam kotbahnya pada tanggal 15 Agustus 2004, Paus Yohanes II mengutip Injil Yohanes (14: 3). Dalam ayat itu, Yesus menyampaikan pesan kepada para murid-Nya pada saat Perjamuan Malam terakhir, “Apabila Aku telah pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” Dalam diri Bunda Maria, janji Tuhan Yesus Kristus untuk menyediakan tempat tinggal di Rumah Bapa itu telah terpenuhi, ketika Bunda Maria diangkat ke surga jiwa dan raganya.
Bapa Suci Benediktus XVI melalui Surat Apostolis “Porta Fidei” (Pintu Menuju Iman) tertanggal 11 Oktober 2011, mengumumkan bahwa Gereja di seluruh dunia akan merayakan “Tahun Iman”, yang akan dibuka pada tanggal 11 Oktober 2012 dan ditutup pada tanggal 24 Nopember 2013, persis pada hari pesta perayaan Kristus Raja Semesta Alam. Dalam anjurannya mengenai perayaan "Tahun Iman" itu, Bapa Suci mengajak umat beriman untuk mengenali kembali peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan Allah, agar kita umat beriman semakin mencintai Bunda Maria dan mengikuti dia sebagai panutan hidup beriman dan berkeutamaan. Melalui Santo Alphonsus de Liguori kita dapat mengenali keutamaan-keutamaan yang dimiliki Bunda Maria. Salah satu keutamaan yang terpenting adalah keutamaan rendah hati.
Bunda Maria adalah murid pertama dan murid paling sempurna yang mempraktekkan segala keutamaan. Bunda Maria adalah murid pertama yang mempraktekkan kerendahan hati, melebihi makhluk ciptaan yang lain. Seperti dinyatakan kepada Santa Matilda, keutamaan pertama yang dilatih oleh Bunda Maria dari Yesus dan dipraktekkan adalah kerendahan hati. Efek pertama dari kerendahan hati adalah memandang diri rendah. Bunda Maria selalu memandang dirinya rendah. Meski diperkaya dengan berbagai rahmat yang jauh lebih besar, Bunda Maria tidak pernah menganggap dirinya lebih dari siapa pun. Bunda Maria memang tidak pernah memandang dirinya pendosa. Tetapi seperti dikatakan oleh Santa Theresia, kerendahan hati adalah kebenaran. Bunda Maria tahu bahwa dirinya telah menerima segala rahmat dari Allah, tetapi dia tidak pernah memandang dirinya lebih daripada yang lain.
Santo Bernardinus menyatakan: “Yang senantiasa hadir dalam pikiran Maria adalah bahwa Allah adalah yang Mahakuasa, dan bahwa dirinya bukanlah apa-apa, dan tidak punya apa-apa.” Persis seperti seorang pengemis, ketika dia berpakaian indah, dia tidak membanggakan dirinya di depan si pemberi pakaian, tetapi dia rendah hati, sadar bahwa dirinya miskin. Demikian juga Bunda Maria. Semakin Bunda Maria melihat bahwa dirinya diperkaya oleh rahmat Allah, maka dia akan semakin rendah hati; selalu ingat bahwa semua kekayaan itu adalah pemberian dari Allah. Rendah hati berarti mengakui bahwa segala sesuatunya adalah hadiah yang datang dari Allah. Kerendahan hati yang sejati berarti menolak pujian kepada diri sendiri; dan mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah. Bunda Maria merasa terganggu ketika mendengar pujian dari malaikat Gabriel,dan ketika mendengar kata-kata Santa Elisabeth yang menyatakan: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan … Siapakah aku ini sehingga ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?” (Luk 1: 42).
Mendengar pujian itu, Bunda Maria mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah, dengan menjawab: “Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku.” (Luk 1: 46-47), seolah-olah mau mengatakan: “Engkau telah memuji aku ya Elisabeth, tetapi aku memuji Tuhan, sebab hanya bagi-Nya hormat dan pujian itu mesti disampaikan; engkau heran aku datang, dan aku heran pada kebaikan Allah yang di dalam Roh berseru: “Hatiku bergembira karena Allah, Juru Selamatku.” Engkau memuji aku karena aku percaya; aku memuji Tuhan karena Dia berkenan mengangkat diriku yang hina dina. Bunda Maria memandang kerendahan hati seperti seorang hamba di depan tuannya. Bunda Maria pernah menyatakan kepada Santa Bridget: “Aku merendahkan diri sedemikian jauh, dan karena itu aku diberi banyak rahmat besar; karena aku berpikir dan aku tahu bahwa diriku adalah miskin, dan tidak punya apa-apa. Karena alasan yang sama aku tidak ingin dipuji; aku menghendaki bahwa pujian dan hormat itu hanya patut diberikan kepada Allah sang Pencipta dan Pemberi segala sesuatu.”
“Kita tidak bisa meneladan keperawanan dari Perawan Maria, tetapi kita bisa meniru kerendahan hati Bunda Maria”, kata St. Bernardus. “Bunda Maria mengenali dan mencintai mereka yang mencintai dia; Bunda Maria dekat dengan mereka yang selalu menyebut namanya dalam doa, terutama mereka yang mempraktekkan kerendahan hati dan kemurnian seperti yang dipraktekkan oleh Bunda Maria.” Seorang Yesuit bernama Martin d’Alberto, setiap hari membiasakan diri untuk menyapu dan membersihkan rumah serta mengumpulkan sampah, karena cintanya kepada Bunda Maria. Pada suatu hari, Bunda Maria menampakkan diri kepadanya dan mengatakan: “Yang membuat aku senang adalah perbuatan-perbuatan rendah hati yang kamu lakukan; karena itu aku mencintai kamu.”
Maka, pada hari pesta perayaan Maria Diangkat ke Surga ini, kita memohon kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria Pengantara Segala Rahmat, agar kita dianugerahi rahmat kerendahan hati sebagaimana diajarkan oleh Bunda Maria, sehingga kita dapat melayani sesama dan memuliakan Allah melalui hidup dan pekerjaan kita sehari-hari.***