Pada tanggal 21 Oktober 2001, Paus Yohanes Paulus II, menyatakan “kudus” bagi pasutri Luigi dan Maria Beltrame Quattrocchi. Paus mengatakan bahwa hidup mereka sebagai pasutri dan sebagai orangtua menjadi model atau panutan bagi semua orang kristiani. Pernyataan seperti ini merupakan pernyataan yang pertama kalinya di dalam sejarah Gereja Katolik bahwa sepasang suami isteri dibeatifikasi.
“Kekayaan iman dan cinta perkawinan yang ditunjukkan oleh Luigi dan Maria Beltrame Quattrocchi merupakan gambaran yang hidup dari apa yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II bahwa semua umat beriman dipanggil kepada kesucian”, demikian kata Paus dalam kotbahnya. “Mereka berdua telah menghayati hidup yang biasa ini dengan cara yang sungguh luar biasa,” seraya menunjukkan bahwa kesucian bagi pasangan suami-isteri itu mungkin dan indah.
Hidup Pasutri
Luigi Beltrame lahir pada tanggal 12 Januari 1880 di Catania, dan bertumbuh dewasa di Urbino. Karena pernah dijadikan anak angkat oleh tantenya, maka Luigi Beltrame mendapatkan nama tambahan Quattrocchi di belakang namanya. Meskipun pernah menjadi anak angkat tantenya, dan hidup bersama dengan tantenya yang tidak memiliki anak, Luigi tetap memiliki ikatan hubungan yang kuat dengan orangtuanya.
Setelah menjalani pendidikan dasar, ia meneruskan kuliah di Fakultas Hukum di Universitas “La Sapienza”, Roma. Ia memperoleh gelar sarjana di bidang Hukum, yang membuatnya mampu untuk menjadi advokat di bidang hukum di lembaga pemerintah. Dia juga bekerja di lembaga perbankan milik pemerintah dan otoritas pembangunan nasional, sampai mendapatkan pension dari Pemerintah Italia. Dia adalah sahabat dari para tokoh politik di Italia seperti Luigi Sturzo, Alcide de Caspari, dan Luigi Gedda, yang bekerja untuk kelahiran kembali Italia dari masa kekejaman Facisme dan Perang Dunia II.
Pertemuannya dengan Maria Corsini di rumah keluarganya di Florence telah mengubah masa depannya, ketika mereka menikah pada tanggal 25 Nopember 1905 di Basilika St Maria di Roma. Maria lahir pada tanggal 24 Juni 1884 di Florence dari keluarga bangsawan Corsini. Dia menerima pembentukan budaya yang kuat yang dibantu oleh keterlibatan keluarga di dalam budaya hidup kota Florence. Dia suka musik. Menjadi profesor dan penulis naskah-naskah yang bertemakan pendidikan; menjadi anggota beberapa asosiasi, termasuk asosiasi Aksi Katolik untuk kaum wanita.
Pasangan suami-isteri Luigi Maria memiliki empat anak. Satu tahun setelah perkawinan, Luigi dan Maria memiliki anak pertama yang diberi nama Filippo. Kemudian menyusul lahir Stefania dan Cesare. Filippo menjadi imam diosesan. Cesare tinggal di rumah; tetapi pada tahun 1924 dia masuk biara trapis. Stefania pada tahun 1927 masuk biara Benediktin di Milan dan mengubah namanya menjadi Cecilia.
Pada akhir tahun 1913, Maria hamil lagi, dan melahirkan anaknya yang terakhir yang diberi nama Enrichetta. Karena mengalami kesulitan dalam kehamilan, seorang dokter ginekolog menasihati Maria agar dia mau menggugurkan anaknya demi “menyelamatkan sekurang-kurangnya ibunya”. Menurut diagnosis dokter kandungan itu, kemungkinan hidup untuk anaknya hanyalah 5%. Luigi dan Maria menolak nasihat dokter itu dan mereka mempercayakan segala sesuatunya kepada penyelenggaraan Tuhan. Kehamilan Maria merupakan salah satu bagian dari kesedihan dan penderitaan mereka. Tuhan menanggapi dengan memberikan jawaban yang melebih apa yang diharapkan manusia. Enrichetta lahir, dan keduanya, anak dan ibunya, selamat.
Pengalaman iman jelas menunjukkan bagaimana hubungan antara suami dan isteri itu tumbuh dalam keutamaan, tentu karena terbantu dengan mengikuti Misa dan menerima komuni suci setiap hari. Sebelum perkawinan, Luigi, meskipun saleh, jujur dan tidak egois, tidak memiliki iman yang kuat. Dia bertumbuh di dalam iman dan kedekatan dengan Tuhan di dalam hidup perkawinan mereka.
Luigi meninggal pada tahun 1951 pada umurnya yang ke 71. Maria, yang mempersembahkan dirinya kepada keluarganya, dan kepada organisasi karitatif dan sosial, meninggal dunia pada tahun 1965 ketika dia berumur 81 tahun di pangkuan Enrichetta di rumahnya di daerah pegunungan Serravalle.
Hidup Keluarga
Filippo, anaknya yang pertama, menjadi pastor diosesan. Pada umur 80 dia menyadari bahwa orangtuanya adalah orang-orang yang sangat serius dan kuat dalam memegang prinsip. Tetapi mereka juga orang-orang yang selalu menjaga suasana damai dan penuh kegembiraan di dalam keluarga. “Saya masih ingat suasana kegembiraan di dalam rumah, tanpa kebosanan dan tidak berlebihan dalam hidup beragama”. Enrichetta anaknya yang termuda, yang menghabiskan waktu hidupnya bersama dengan orangtua, mengagumi hubungan yang mendalam dalam hal cinta dan saling memahami satu sama lain.
“Memang ada saatnya di mana mereka memiliki pendapat dan sudut pandang yang berbeda, tetapi anak-anak tidak pernah memperhatikannya. Orangtua kami dapat memecahkan segala masalah melalui dialog; pada suatu ketika persetujuan itu bisa dicapai, suasana tetap harmonis, dan kedamaian di rumah tercipta.
Di dalam bukunya yang berjudul “Radiography of a Marriage” (1952) Maria menulis: “Sejak kelahiran anak lelaki kami yang pertama, kami mulai mempersembahkan diri kami kepada anak-anak, dan melupakan diri sendiri. Perhatian pertama, senyuman pertama, tertawa yang menggembirakan, langkah pertama, kata pertama, kecenderungan jelek yang dapat dilihat, memberikan kepada kami banyak kecemasan. Kami baca buku-buku psikologi anak. Untuk dapat lebih mencintai anak-anak, kami mencoba menjadikan diri kami lebih baik dulu dengan mengoreksi karakter kami. Kami mencoba apa yang terbaik untuk membiarkan anak-anak bermain di antara mereka sendiri agar terhindar dari pengaruh anak-anak lain yang menerima pendidikan yang berbeda, yang dapat merusak karya yang dengan sungguh-sungguh diperhatikan (meskipun tidak sempurna).”
Tulisnya lagi: “Datanglah masa sekolah untuk anak-anak. Pendidikan sekolah melengkapi pendidikan dalam keluarga, dan menyiapkan mereka untuk hidup masa depan. Kami berjaga siang dan malam, jangan sampai anak-anak mengalami kegelapan jiwa. Kami berdua merasakan suatu tanggungjawab yang besar di hadapan Allah, yang mempercayakan anak-anak di dalam pemeliharaan kami dan di hadapan Negara yang mengharapkan anak-anak menjadi warganegara yang baik.”
“Kami membuat anak-anak bertumbuh di dalam iman agar mereka mengenal Allah dan mencintai Dia. Tentu saja kami pernah jatuh dalam banyak kesalahan, karena pendidikan anak sungguh merupakan ‘seni dari segala seni’, dan tak dapat dipungkiri bahwa kami pun menghadapi banyak kesulitan. Tetapi satu hal yang pasti: seperti dua badan di dalam satu jiwa, kami berdua bercita-cita untuk melakukan apa yang terbaik, kami siap menghindari segala sesuatu yang dapat melukai mereka, bahkan jika perlu diri kami pribadi kami kurbankan. Dedikasi kami yang penuh kegembiraan demi anak-anak memberikan kepada kami segala sesuatu sebagai kompensasinya, karena kegembiraan itu adalah kegembiraan Allah sendiri.”
Hidup keluarga tidak pernah menjemukan. Selalu ada saja waktu untuk berolahraga, liburan di laut, liburan di gunung. Rumah selalu terbuka untuk teman-teman dan mereka boleh mengetuk pintu untuk mencari makan. Selama Perang Dunia, jalan Depretis, dekat gereja St Perawan Maria, merupakan tempat berteduh bagi para pengungsi. Setiap sore mereka berdoa rosario bersama, dan mempersembahkan keluarga kepada Hati Kudus Yesus. Mereka juga menyelenggarakan kalasanta atau mengikuti astuti pada hari Jumat pertama dalam bulan.
Maria yang dengan serius melakukan kewajiban-kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, masih juga menemukan waktu untuk berdoa dan menulis, di samping melakukan aktivitas kerasulan, entah di Universitas atau ambil bagian di organisasi Aksi Katolik kaum wanita Italia. Ia adalah relawan perawat Palang Merah selama Perang Dunia II di Etiopia , pernah menjadi katekis, dan bersama Luigi dan anak-anaknya pernah menjadi Pembina pramuka untuk kaum muda di Roma. Mereka terlibat dalam beberapa bentuk kerasulan pendampingan keluarga dan perkawinan.
Di tengah segala aktivitas kesibukan sehari-hari, kegembiraan liburan dari ketiga anaknya yang pertama terjadi; dan di sana berkembanglah cinta dan keteguhan mereka untuk bermurah hati dan untuk setia pada panggilan Allah. Tambahan pula, Maria berkehendak untuk mempersembahkan anaknya yang keempat, Enrichetta, kepada Tuhan, jika hal ini memang diminta darinya. Kemudian Maria bersama dengan suaminya, Luigi, melaksanakan program untuk menanggapi panggilan apa saja yang datang dari Allah. Setelah lama berdoa dan berkonsultasi, mereka memutuskan untuk meninggalkan hubungan seksual mereka, yang disepakati bersama oleh mereka berdua, setelah 20 tahun menjalani hidup perkawinan, ketika Luigi berumur 46 tahun dan Maria 41 tahun.
Mereka adalah sepasang suami isteri yang mengetahui bagaimana mencintai dan saling hormat menghormati satu sama lain dalam pengalaman pasang surut di dalam hidup berkeluarga dan perkawinan mereka. Mereka menemukan di dalam cinta Tuhan kekuatan untuk memulai dan memulai lagi. Mereka tidak pernah kehilangan hati meski menghadapi berbagai pengalaman negatif di dalam hidup berkeluarga: tragedi perang, dua anak yang masuk dalam tugas wajib militer, pendudukan Jerman atas Roma, dan mengalami masa rekonstruksi Italia setelah perang, dan mereka berjuang dengan rahmat Allah menapaki jalan menuju kesucian di dalam hidup yang serba biasa.
Beatifikasi
Beatifikasi untuk Maria dan Luigi terbuka pada tanggal 25 Nopember 1994, dan pada tanggal 21 Oktober 2001 Paus Yohanes Paulus II memberikan penghormatan bagi pasangan suami isteri itu dan meneguhkan pasutri itu sebagai orang-orang kudus. Dalam upacara beatifikasi pasutri itu, ketiga anaknya hadir.
Dan inilah yang membuat perayaan beatifikasi itu menjadi jauh lebih istimewa. Di dalam kotbahnya, Paus Yohanes Paulus II memberikan komentar: “Meski di dalam tahun-tahun yang sulit, suami-isteri Luigi dan Maria ini, tetap mengobarkan lampu iman yang menyala dan menyerahkan lampu itu kepada keempat anaknya, dan tiga di antara mereka sekarang ini hadir di basilika ini. Sahabat-sahabat yang terkasih, inilah apa yang ditulis oleh ibumu tentang kamu: ‘Kita membawa mereka di dalam iman, sehingga mereka dapat mengenal dan mencintai Allah.’ Tetapi orangtuamu juga telah mengantar untuk menyalakan lampu bagi teman-teman mereka, kenalan mereka, kerabat kerja mereka, dan sekarang, dari surga, mereka memberikan lampu-lampu itu untuk seluruh Gereja.”
Paus Yohanes Paulus biasa menetapkan hari pesta perayaan santo/santa itu dijatuhkan pada hari kematian mereka; namun, karena pasangan suami isteri ini memiliki hari kematian yang berbeda, maka ditemukan solusi yang tepat untuk menyatakan bahwa kesucian itu diperuntukkan bagi pasangan-suami-isteri, yakni: hari pesta perayaan untuk Luigi dan Maria dirancang tanggal 25 Nopember, sesuai dengan hari kapan mereka berdua melangsungkan pernikahan pada tahun 1905. Hari pesta perayaan Luigi dan Maria jatuh pada tanggal 25 Nopember, sesuai dengan hari peringatan ulang tahun perkawinan mereka.
Paus Yohanes Paulus II, di dalam homili pada saat beatifikasi ini, mengatakan: “Pasangan suami-isteri ini telah menghayati hidup perkawinan dan karya pelayanannya untuk kehidupan di dalam terang Injil dan dengan segala intensitas dan totalitasnya sebagai manusia. Dengan penuh tanggungjawab mereka melaksanakan tugas-tugas mereka bersama dengan Allah dalam karya penciptaan, mempersembahkan dirinya secara murah hati untuk anak-anak mereka, mengajar dan membimbing serta mengarahkan anak-anak mereka untuk menemukan rencana Allah untuk hidup mencinta. Dengan mendasarkan diri pada sabda Allah dan kesaksian hidup para santo/santa, pasangan suami isteri ini menghayati hidup yang serba biasa ini dengan cara yang luar biasa. Di tengah kegembiraan dan kecemasan dari sebuah keluarga yang normal, mereka tahu bagaimana menjalani hidup dengan kehidupan rohani yang luar biasa kaya. Di tengah kehidupan mereka, ada ekaristi sehari-hari dan devosi kepada St Perawan Maria, berdoa Rosario setiap sore hari, berkonsultasi pada bapa pembimbing rohani.
Dengan cara begitu mereka menyertai anak-anak mereka di dalam proses penegasan rohani mengenai panggilan hidup; melatih mereka untuk dapat menghargai segala sesuatu yang datang dari “atas”, yang begitu indah dan baik seperti telah dikatakan “semua baik adanya”.
Paus Yohanes Paulus II selanjutnya mengatakan: “Kekayaan iman dan cinta dari suami-isteri Luigi dan Maria, merupakan bukti nyata dari apa yang dikatakan oleh Konsili Vatikan II tentang panggilan seluruh umat beriman kepada kesucian, yang menunjukkan bahwa pasutri sebaiknya mengejar tujuan ini: “mengikuti jalan mereka sendiri” (LG 41). Pada hari ini aspirasi dari Konsili Vatikan itu telah terpenuhi dengan adanya beatifikasi sepasang suami-isteri ini: kesetiaan mereka pada Injil, dan keutamaan-keutamaan mereka yang luar biasa hebat telah terlaksana di dalam hidup mereka sebagai orangtua dan sebagai pasangan suami isteri.”
Paus Yohanes Paulus II menambahkan kotbahnya dengan sebuah sapaan: “Keluarga-keluarga yang terkasih, hari ini kami telah memberikan peneguhan yang sangat khusus bahwa jalan menuju kesucian itu bisa dilalui oleh sepasang suami isteri, sesuatu yang mungkin, sesuatu yang indah, dan luar biasa berbuah. Dan ini bisa menjadi landasan bagi kebaikan keluarga, Gereja dan masyarakat. Hal inilah yang mendorong kami untuk memohon kepada Tuhan, semoga ada lebih banyak pasangan suami-isteri yang dapat mewujudnyatakan kesucian hidup mereka, misteri cintakasih hidup berkeluarga, yang terpenuhi di dalam kesatuannya dengan Kristus bersama dengan Gereja-Nya (Ef 5: 22-33)”.
Kesimpulan
Pasangan suami-isteri Luigi-Maria telah mewariskan tradisi hidup rohani yang sangat berharga kepada anak-anak mereka, kepada Gereja dan kepada dunia pada umumnya. Keluarga ini pada kenyataannya merupakan sel dasar bagi masyarakat yang lebih baik dan sel dasar dari Gereja yang diperbaharui:
(1) Hormat pasangan suami-isterti Luigi-Maria terhadap sakramen perkawinan, dedikasi mereka terhadap pendidikan anak, dan visi mereka mengenai keluarga kristiani, yang melibatkan Gereja dan masyarakat, merupakan suatu kesaksian yang hidup dari keluarga kristiani dengan suatu perutusan yang diemban pada jaman sekarang ini.
(2) Spiritualitas pasangan suami-isteri Luigi-Maria adalah otentik: spiritualitas pasangan suami-isteri yang menjalani hidup berkeluarga”. Dengan keteladanan mereka, secara profetis mereka menghayati hidup sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh Konsili Vatikan II tentang panggilan untuk semua umat beriman kepada kesucian, yang menunjukkan bahwa pasutri itu hendaknya mengejar tujuan ini “mengikuti jejak mereka” (LG no. 41).
(3) Fakta bahwa Maria dan Luigi adalah pasangan suami isteri pertama yang dibeatifikasi di dalam sejarah beatifikasi di dalam Gereja, menunjukkan adanya kecenderungan dari Gereja Katolik, bahwa di masa lampau Gereja menekankan “klerus dan religius” sebagai kandidat beatifikasi. Maria dan Luigi dibeatifikasi sebagai pasangan suami isteri. Mereka bukan klerus dan bukan religius. Mereka adalah pasutri awam dan telah menikah dan punya anak. Mereka menyimbolkan seluruh pasutri yang menghayati hidup dan masih hidup di jaman sekarang di dalam hidup berkeluarga, suatu kesucian yang merupakan panggilan bagi setiap orang kristiani.
(4) Rumah tangga Maria dan Luigi adalah contoh sempurna dari sebuah “Gereja mini”. Gereja mini, Gereja kecil, atau Gereja domestika mengambil peran di dalam misi Gereja. Sebuah komunitas iman dan cinta, yang dibimbing oleh Roh Kudus, memuji Allah di dalam urusan hidup keseharian, dan mewartakan Injil Yesus Kristus melalui kesaksian hidup dan pewartaan.