Rendah hati tidak boleh disamakan dengan rendah diri, perasaan rendah, gambaran diri yang miskin, atau sifat malu-malu. Itu semua bukan rendah hati. Rendah hati lebih daripada sekedar sadar akan kelemahan-kelemahan diri. Acapkali dikatakan bahwa rendah itu kebenaran. Artinya apa? Artinya, rendah hati itu mengacu pada fakta bahwa memang tidak ada seorang suami atau isteri yang sempurna, tidak ada orangtua yang sempurna, tidak ada anak yang sempurna, tidak ada komunitas yang sempurna, tidak ada atasan yang sempurna, tidak ada pemimpin perusahaan yang sempurna, tidak ada gereja yang sempurna, tidak ada negara yang sempurna. Kita sendiri juga tidak sempurna. Juga perbuatan-perbuatan kita pun tidak sempurna.
Untuk menerima semua ini kita dituntut untuk berani. Kita bisa berubah menjadi lebih baik jika kita berani mengubah apa yang telah kita terima. Ini semua adalah benar, tetapi rendah hati lebih daripada itu. Rendah hati lebih berfokus pada Tuhan daripada pada diri kita sendiri. Tuhan adalah Tuhan, dan kita adalah manusia. Rendah hati adalah sikap dasar yang berhubungan dengan struktur intrinsik dari segala realitas. Rendah hati tak berpegang pada diri sendiri, tidak pada sukses atau kegagalan, tidak pada kegembiraan atau kesedihan. Itulah mengapa orang yang rendah hati tidak pernah putus asa.
Rendah hati adalah sumber kepercayaan, keberanian, dan kegigihan yang tak pernah mengenal lelah. Sebaliknya, orang yang sombong mudah putusasa. Rendah hati juga siap menerima penderitaan, jika seandainya penderitaan itu juga merupakan bagian dari misi yang harus diemban. Jika kesiapan untuk menerima penderitaan itu kurang, maka kepahitan akan segera muncul. Keputus-asaan, loyo, kepahitan adalah lawan dari kerendahan hati.
Orang yang rendah hati tidak mengenal rival atau musuh tandingan. Ia tidak membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia tidak pernah mengangan-angankan berada dalam persaingan, dalam arena perlombaan. Orang yang rendah hati pembawa damai. Dia hidup dalam situasi selaras dengan Tuhan. Ia pembawa shallom atau damai sejahtera bagi dirinya, dan melalui dirinya orang lain mendapatkan rasa damai.
Contoh yang paling menarik bisa diambil dari sebuah kisah dalam Injil Lukas (Luk 18: 9-14) tentang perumpamaan di mana Yesus berbicara kepada mereka yang merasa diri benar, berbeda dengan orang-orang lain. Orang Farisi membandingkan diri dengan orang lain pada umumnya. Mereka merasa diri paling baik atau sekurang-kurangnya lebih baik daripada orang lain (tentu saja dalam kacamata pandang diri mereka). Berbeda dengan si tukang pemungut cukai yang lebih berfokus pada Allah dan tidak mau membandingkan sama sekali. Inilah rendah hati.
Tidak adanya kerendahan hati mengakibatkan adanya banyak orang yang terluka hatinya, entah di dalam keluarga, di dalam komunitas, di tempat kerja, di dalam karya pelayanan. Kurangnya sikap rendah hati kerapkali terjadi di kalangan orang-orang yang hidupnya mengejar karir dan mengejar kenikmatan. Yesus kerapkali menemui orang seperti itu di kalangan para murid-Nya sendiri.
Ketika pengadilan Yesus berlangsung, Petrus mengatakan kepada seorang wanita di sekitar tungku perapian: “Aku tidak mengenal Dia” (Luk 22: 57). Setelah prediksi tentang kesengsaraan Yesus, anak Zebedeus yang ambisius mengejar karir, kemudian mendekati Yesus dan meminta ditempatkan di tempat utama dalam Kerajaan yang akan datang; tetapi dalam kisah selanjutnya, anak Zebedeus itu tak dikenal lagi di dalam Kisah Para Rasul. Semakin kita membuka diri pada Allah, maka Kerajaan Allah itu akan semakin nyata di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar