Santa Theresia Lisieux dinyatakan sebagai pujangga Gereja oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 19 Oktober 1997.Dia adalah salah satu dari tiga wanita yang mendapat gelar pujangga Gereja itu, dan bahkan dia adalah yang termuda. Dalam surat apostolik “Divini Amoris Scientia” yang mendeklarasikan gelar pujangga Gereja kepadanya, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa Santa Theresia adalah salah satu guru besar dalam kehidupan rohani abad ini. Ajaran kebijaksanaan tentang hidupnya dikenal dengan istilah “Jalan Kecil”.Apa itu “Jalan Kecil”?
Theresia Lisieux tidak menyediakan refleksi yang sistematik mengenai “Jalan Kecil” itu.Tetapi ada suatu paragraf di dalam buku autobiografinya “Story of a Soul” yang sangat signifikan.Paragraf itu dapat dibaca sebagai berikut.
“Ibu, kamu tahu bahwa aku selalu ingin menjadi orang kudus.Ya, aku selalu memberitahu bahwa ketika aku membandingkan diriku dengan para kudus, ada perbedaan yang sama antara mereka dan aku, yaitu berada di antara sebuah gunung yang puncaknya hilang karena ditutupi awan dan sebutir pasir yang tak dikenal menempel di bawah kaki orang yang baru saja lewat di sana. Alih-alih menjadi berkecil hati, aku mengatakan pada diriku sendiri: Allah tidak dapat memberikan inspirasi terhadap keinginan-keinginan yang tak mungkin direalisasikan. Namun, meski kecil aku dapat memberikan inspirasi mengenai kesucian. Memang tidak mungkin bagiku untuk tumbuh dan dengan demikian aku harus menanggung diriku seperti apa adanya aku dengan segala ketidaksempurnaan yang ada padaku. Tetapi aku ingin mencari sarana untuk pergi ke surga melalui jalan kecil, suatu jalan yang sangat lurus, sangat pendek dan sungguh sama sekali baru.”
“Kita sekarang hidup dalam abad penemuan.Kita tidak lagi harus mengalami kesusahan ketika kita harus meniti tangga lantai bertingkat, karena di rumah-rumah orang kaya, elevator sudah dipasang dengan sangat berhasil.Aku bermaksud mencari elevator yang dapat mengangkat aku kepada Yesus, karena aku terlalu kecil untuk mampu meniti tangga lantai kesempurnaan. Aku telah mencari, dan di dalam Kitab Suci aku sudah melihat tanda adanya elevator ini, yang menjadi sasaran dari keinginanku; dan di sana aku membaca kata-kata yang datang dari sang Kebijaksanaan Abadi: “Siapa pun yang belum berpengalaman, siapa pun yang merasa dirinya kecil, biarlah dia datang kepada-Ku” (bdk. Amsal 9: 4). Dan dengan demikian, aku berhasil.”
“Aku merasa bahwa aku telah menemukan apa yang aku cari. Tetapi ya Allah, aku masih ingin mengetahui apa yang Engkau kehendaki untuk aku yang kecil, yang ingin menjawab panggilan-Mu. Aku akan terus menerus melakukan pencarian dan inilah yang aku temukan: “Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku menghibur kamu; kamu akan menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai di pangkuan.” (bdk. Yes 66: 13.12). Tidak ada kata lain yang lebih lembut dan yang lebih nyaring daripada kata-kata yangtelah aku temukan ini, yang mampu memberikan kegembiraan bagi jiwaku. Elevator yang mesti mengangkat aku naik ke surga adalah tangan-tangan-Mu, ya Yesus.Karena hal ini aku tidak perlu tumbuh dewasa tetapi tetap ingin menjadi kecil dan menjadi makin kecil dan makin kecil.”
Pertanyaan yang dapat membimbing pada pemahaman yang lebih jauh tentang apa itu “Jalan Kecil” adalah mengapa Theresia Lisiux merasa perlu untuk memilih “Jalan Kecil” itu? Faktor-faktor apa yang mengarahkan dia untuk bertindak? Bagaimana ia mengembangkan spiritualitas “Jalan Kecil” itu?
Theresia memulai dengan pernyataan: “Ibu, kamu tahu bahwa aku selalu ingin menjadi orang kudus.” Di sini terbukti nyata bahwa tujuan yang mau dicapai oleh Theresia adalah kesucian.Kesucian itu merupakan dambaan yang terus menerus menggema dalam hidup Theresia, dan banyak manifestasi dari keingingannya itu ada di dalam tulisan-tulisannya.Dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Pauline (tanggal 14 Maret 1888), beberapa minggu sebelum masuk biara Karmel, Theresia menulis: “Aku ingin menjadi santa … Pada suatu hari lain, aku melihat kata-kata yang sangat menggembirakan hatiku, aku tidak lagi ingat santa siapa yang berbicara kepadaku: “Aku tidak sempurna, tetapiaku ingin menjadi sempurna.”Dambaan untuk menjadi santa itu bukan sekedar keinginan khayal yang mudah terlupakan dari seorang anak kecil yang merengek, tetapi keinginan yang terus menerus tumbuh hidup dan berkembangdi dalam diri Theresia.
Di samping keinginan yang terus membara, Theresia juga mengalami bahwa dirinya tidak mampu meraih, dan karena itu dia mebutuhkan bantuan Allah. Bagi Theresia, untuk menjadi santa dia dituntut untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Yesus, dan memberikan segalanya untuk Yesus. Keinginan untuk memberikan segalanya kepada Yesus ini sudah tampilsejak dia masih umur muda dan terwujud dalam perjuangannya untuk mengatasi hipersensitivitasnya, yang akhirnya menjadi ciri khas dari cara bagaimana Theresia berelasi dengan Yesus.Inilah salah satu unsur utama dari spiritualitas “Jalan Kecil”.Jalan kecil bukanlah tujuan, tetapi sarana yang membimbing kea rah tujuan.Sarana itu adalah “memberikan segalanya untuk Yesus”; tujuannya adalah “kekudusan” (sanctity).
Kemudian Theresia melanjutkan: “Ya, aku selalu memberitahu bahwa ketika aku membandingkan diriku dengan para kudus, ada perbedaan yang sama antara mereka dan aku, yaitu berada di antara sebuah gunung yang puncaknya hilang karena ditutupi awan dan sebutir pasir yang tak dikenal menempel di bawah kaki orang yang baru saja lewat di sana.” Di sini masalah nyata dihadapi oleh Theresia untuk mencapai kesucian itu.Masalahnya adalah suatu gambaran bahwa kekudusan itu baginya seperti tidak mungkin tercapai.Ia mengalami dirinya bak sebutir pasir, dan untuk mencapai tujuan kesucian itu dia rasakan seperti mau menjadi sebuah gunung. Inilah gambaran ketidakmungkinan itu.
Masalahnya di sini adalah bersamaan dengan kesadaran akan tujuan kesucian Theresia juga sadar akan “kekecilannya”, suatu metafor yang ia gunakan untuk mengungkapkan pengalamannya tentang ketidakmampuannya, kelemahannya, keringkihannya, ketidakberdayaannya untuk mencapai tujuan itu. Ia mengakui bahwa dirinya tidak mampu menggapai para kudus itu. Theresia segera menyadari bahwa kehendak dan keinginan baiknya saja tidak cukup untuk meraih cita-citanya untuk menyerahkan segalanya bagi Yesus. Lalu apa yang harus dia lakukan? Apakah dia putus asa untuk meraih cita-citanya? Tidak! Justru sebaliknya. Di dalam keinginannya untuk mencapai kesucian dan ketidakmampuannya untuk mencapai dengan sarana yang konvensional, ia memberikan alasan: “Alih-alih menjadi berkecil hati, aku mengatakan pada diriku sendiri: Allah tidak dapat memberikan inspirasi terhadap keinginan-keinginan yang tak mungkin direalisasikan. Namun, meski kecil aku dapat memberikan inspirasi mengenai kesucian.”
Theresia punya keyakinan yang mendalam, bahwa keyakinan baiknya itu, yaitu untuk menjadi suci, datang dari Allah yang berkenan akanmemenuhi keinginannya itu. Theresia menerima dan mengakui fakta bahwa keinginan untuk mencapai kesucian itu tidak dapat mengalami kegagalan, karena yang memberi inspirasi adalah Allah sendiri. Dengan keyakinan ini, ia yakin bahwa Allah akan menemukan jalan baginya untuk mencapai tujuannya itu. Ia tahu bahwa Allah tidak menuntut apa-apa darinya. Kekecilannya, yaitu ketidakberdayaannya, kelemahannya, keringkihannya, ketidakmampuannya, tidak merupakan halangan untuk mencapai kesucian.Kekecilannya justru menjadi bahan dasar, kondisi yang memungkinkan, untuk mencapai kesucian itu. Maka ia menyimpulkan: “Memang tidak mungkin bagiku untuk tumbuh dan dengan demikian aku harus menanggung diriku seperti apa adanya aku dengan segala ketidaksempurnaan yang ada padaku.” Pernyataan terakhir ini mengungkapkan jeritan hati yang paling dalam, untuk mencapai kesucian Theresia harus menerima kekecilannya, dan harus berangkat dari sini untuk pergi menapaki sebuah perjalanan menuju kepada Allah.
Pengetahuan tentang diri yang “kecil” ini, menjadi pemacu yang memotivasi Theresia untuk menemukan jalannya sendiri untuk mencapai tujuannya.“Aku ingin mencari sarana untuk pergi ke surga melalui jalan kecil, suatu jalan yang sangat lurus, pendek dan sungguh sama sekali baru.” Di sini Theresia merumuskan karakteristik dari “jalan kecilnya” menuju Allah, yaitu: (1) sangat lurus, tidak mungkin orang tersesat, jalan yang pasti menuju tujuan; (2) sangat pendek, jalan yang paling cepat mengantar ke tujuan; (3) sama sekali baru, belum pernah ada jalan seperti ini.Seperti elevator Theresia menginginkan “jalan kecil”nya itu dapat mengantar dia langsung menuju ke tujuan dengan usaha yang minimum.
Bagaimana Theresia mencari elevator spiritual yang dapat “mengangkat aku kepada Yesus” itu? Theresia menemukan jawaban atas persoalannya di dalam Kitab Suci, dalam sabda Allah, yang datang dari mulut sang Kebijaksanaan Abadi.“Siapa saja yang merasa dirinya kecil, datanglah kemari kepada-Ku” Dari teks Amsal 9: 4 ini, Theresia mengakui dirinya dipanggil secara pribadi oleh Allah sendiri.
Meski yakin akan temuannya Theresia masih tetap terus mencari apa konsekuensinya jika ia menanggapi panggilan-Nya itu. Dari teks Yesaya 66: 13, 12 dia menyadari bahwa tanggapan terhadap panggilan Allah akan membimbing dirinya untuk memasuki hubungan yang akrab dengan Yesus. Yesus adalah satu-satunya pribadi yang menjanjikan untuk “mengangkat yang kecil” yang datang kepada-Nya, seperti seorang ibu yang menggendong anaknya sewaktu menyusu. “Seperti seseorang yang dihibur ibunya, demikianlah Aku menghibur kamu; kamu akan menyusu, akan digendong, akan dibelai-belai di pangkuan.”
Melalui sabda Allah, Theresia sampai pada penemuannya, bahwa elevator spiritual yang dia cari itu adalah “tangan-tangan Yesus” sendiri. Dengan memahami bahwa tangan-tangan Yesus akan menjadi elevator bagi dirinya maka ia berseru: “Karena hal ini aku tidak perlu tumbuh dewasa tetapi tetap ingin tinggal menjadi kecil dan menjadi makin kecil dan makin kecil.” Dengan kata lain, Theresia mengakui bahwa jika Yesus sungguh akan menggendong dia, dia harus menjadi anak kecil, yang sungguh terlalu “kecil” untuk bisa berjalan sendiri, dan sangat bergantung pada orangtuanya.
Dalam pengalaman manusia, pada umumnya orang sulit memilih untuk menjadi kecil, tetapi bagi Theresia justru sebaliknya, iaingin tetap tinggal kecil, dan makin menjadi kecil. Menjadi kecil bagi Theresia adalah mengalami kekecilan yang mendalam, kemiskinan, ketergantungan, kemalangan.Dengan kekecilan seperti itu, Theresia justru mampu membawa dirinya untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Theresia menyadari bahwa tanpa menjadi kecil dia tidak akan sampai pada tujuan kesucian yang mau dia raih. Dalam jalan kecil seperti ini, melalui penyerahan dirinya yang aktif sepenuh hati, Yesus akan menggendong dia dan mengangkat dia memasuki kemesraan relasi yang mendalam dengan diri Yesus, dan Yesus membuat dia menjadi orang kudus.
Spiritualitas “Jalan Kecil” dari Theresia adalah kebijaksanaan hidup orang kristiani, karena jalan itu adalah jalan Injili yang membawa orang menuju kepada kesucian. Melalui perjuangannya, sebelum dan sesudah masuk biara Karmel, Theresia menyadari keinginannya untuk menjadi suci, dan kegagalannya menapaki jalan menuju Allah dengan cara yang konvensional, sampailah ia pada penemuan bahwa Allah menghormati usaha dan perjuangan pribadi Theresia. Dalam proses meniti jalan kecil,Theresia menyadari sepenuhnya jalan yang harus dilalui, yaitu: kekecilan dirinya dan kemurahan hati Allah yang berbelas kasih. Dia menyadari bahwa kesucian itu bukan semata hasil usaha pribadi manusia tetapi terlebih karena tindakan Allah; di satu sisi usaha aktif dari manusia itu perlu, dan di sisi lain penyerahan diri yang penuh kepada rahmat Allah yang menyelamatkan.
Theresia sampai pada suatu penglihatan bahwa kesucian terutama adalah inisiatif dari Allah: Dia yang memberi dan Dia yang memahkotai. Jalan kecil adalah kebijaksanaan hidup, karena iamewartakan bahwa kekecilan dapat membawa kepada kesucian, tetapi juga dapat menjadi pintu menuju kemesraan dan kesatuan yang paling mendalam dengan Allah. @@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar