Tanggal 7 Oktober 2012 adalah hari pesta Santa Perawan Maria Ratu Rosario. Sehubungan dengan pesta perayaan Santa Perawan Maria Ratu Rosario, Paus Yohanes Paulus II (1986) melalui ensiklik “Redemptoris Mater” (Bunda Penebus), pernah mengingatkan kita umat beriman untuk menjadikan Bunda Maria sebagai model atau panutan dalam hidup beriman. Dalam surat pastoral “Porta Fidei” (Pintu Menuju Iman) Bapa Suci Benediktus XVI (2011) mengajak kita umat beriman untuk mengenali kembali peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan Allah, untuk mencintai dan mengikuti Bunda Maria sebagai panutan dalam hidup beriman dan berkeutamaan. Pada hari ini, kita akan belajar dari Bunda Maria mengenai keutamaan iman.
Untuk itu marilah kita renungkan kembali apa artinya hidup beriman itu bagi kita. Pertanyaan awal yang pantas kita ajukan adalah: “Apa sebenarnya iman itu?” Iman itu bukan ajaran. Iman itu relasi kita dengan Tuhan. Iman adalah relasi pribadi antara kita dengan Allah. Karena kekuatan dan kepastiannya mutlak, iman itu dapat menjamin keselamatan hidup kita. Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir, yang berbicara melalui para nabi, dan yang menyemangati para penulis Mazmur untuk menyanyikan puji-pujian dan memohon belaskasih-Nya.
Dalam Perjanjian Baru, iman itu mengacu pada relasi kita dengan Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit, yang mengklaim setiap pengikut-Nya untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Beriman dalam Yesus Kristus berarti menyerahkan seluruh keberadaan kita kepada Dia, dan menemukan di dalam keberadaan kita itu kegembiraan yang lebih mendalam daripada melewatkan kegembiraan dan kesedihan di dalam hidup kita. Bagi Santo Paulus, iman adalah relasi yang mesra dan terus menerus dengan Yesus yang telah bangkit.
Kata-kata dalam surat kepada umat di Ibrani barangkali adalah kata-kata yang paling tepat mengungkapkan apa yang disebut “iman”. Kata-kata itu bunyinya demikian: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11: 1). Kata-kata itu sungguh menakjubkan dan memang benar, tetapi iman itu tetap merupakan rahasia besar yang tidak ada batasnya untuk dipahami. Iman itu sedemikian dalam sehingga kita tidak bisa menyelaminya. Iman itu sedemikian tinggi sehingga kita tidak bisa meraihnya. Iman itu sedemikian luas sehingga kita tidak bisa menjangkaunya. Salah satu jalan untuk dapat mengetahui iman adalah memeluk iman itu.
Santo Alfonsus de Liguori pernah menyatakan bahwa Bunda Maria adalah Bunda yang patut menjadi teladan dalam hidup beriman. Bunda Maria bukan hanya Bunda yang bisa menjadi teladan dalam hidup saling mengasihi dan teladan dalam hidup yang berpengharapan, tetapi juga teladan dalam hidup beriman.
Dengan mengutip kata-kata Santo Paulus: “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya, dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” (1Kor 7: 14), Santo Richardus mengatakan bahwa “Maria adalah seorang wanita yang percaya dan karena imannya itu Adam yang tidak percaya dan semua orang lain diselamatkan.” Karena itu, atas dasar pertimbangan iman, Elisabeth menyebut Bunda Maria: “Berbahagialah ia yang telah percaya sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (Luk 1: 45). Dan Santo Agustinus menambahkan bahwa Maria diberkati oleh Allah karena ia menerima iman akan Kristus, dan bukan karena mengandung tubuh Kristus.
Pater Suarez pernah mengatakan bahwa Santa Perawan Maria itu memiliki iman yang lebih daripada semua orang yang lain dan para malaikat. Maria melihat putera-Nya di kandang kewan Betlehem, dan Maria mempercayai Yesus sebagai Pencipta dunia. Maria melihat bahwa Yesus dibawa pergi lari menjauh dari Herodes, dan ia mempercayai bahwa Yesus adalah raja dari segala raja. Maria melihat Yesus lahir, dan ia mempercayai Yesus sebagai raja abadi; Maria melihat Yesus yang miskin, membutuhkan makanan, dan Maria mempercayai bahwa Yesus adalah raja semesta alam. Maria melihat Yesus berbaring di tempat jerami, dan Maria mempercayai Yesus sebagai kuasa yang hadir dalam banyak peristiwa kehidupan. Maria melihat bahwa Yesus tidak bicara, dan dia mempercayai Yesus sebagai kebijaksanaan tanpa batas. Maria mendengar Yesus menangis, dan dia mempercayai bahwa Yesus adalah kegembiraan Firdaus. Maria melihat Yesus di saat kematian-Nya, ketika sengsara dan disalib, dan Maria tetap teguh dalam iman bahwa Dia adalah Allah.
Berdasarkan pada kata-kata dalam Injil, “Dan di dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya, dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.” (Yoh 19: 25), maka Santo Antonius menyatakan, “Maria berdiri, didukung oleh imannya, dia tetap teguh percaya akan keilahian Kristus.” Dan karena alasan ini Santo Antonius menambahkan sebutan untuk Bunda Maria bahwa Maria adalah satu-satunya lilin yang masih menyala; dan Santo Leo mengenai hal ini menyebut Maria dengan kata-kata yang diambil dari Kitab Amsal “Pada malam hari, pelitanya tidak padam.” (Amsal 31: 18). Dan dengan mengutip kata-kata dari Nabi Yesaya “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan” (Yes 63: 3); Santo Thomas menyatakan bahwa Nabi Yesaya pernah mengatakan bahwa ada seorang manusia, yaitu Santa Perawan Maria, yang imannya tak pernah luntur. Santo Albertus Agung meyakinkan kita bahwa “Maria memiliki iman yang sempurna; meski pun para murid Yesus ragu-ragu, tetapi Maria tidak pernah ragu-ragu dalam iman.”
Santo Ildephonsus menganjurkan kepada kita untuk meniru iman Maria. Tetapi bagaimana caranya? Apa yang mesti kita lakukan? Iman adalah anugerah; dan iman adalah keutamaan. Iman itu anugerah dari Allah, Sebagai anugerah dari Allah iman itu menerangi jiwa kita. Sebagai keutamaan, iman itu memerintahkan jiwa kita untuk memprakterkkan iman itu. Jadi, iman tidak berhenti sebagai aturan kepercayaan tetapi menjadi tindakan.
Karena itu Santo Gregorius mengatakan, “Ia sungguh mempercayai siapa yang menaruh apa yang ia percayai untuk dipraktekkan.” Dan Santo Agustinus menyatakan, “Kamu mengatakan: Aku percaya; kerjakan apa yang kamu katakan, dan itulah iman.” Inilah yang disebut penghayatan iman: hidup sesuai dengan yang diimani. “Orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman” (Ibr 10: 38). Jadi, Bunda Maria hidup sungguh berbeda dengan orang-orang lain yang tidak hidup sesuai dengan apa yang mereka percayai, dan orang-orang yang imannya telah mati. Maka, Santo Yakobus menyatakan, “Seperti tubuh tanpa roh adalah mati; demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yak 2: 26).
Maka, marilah pada hari ini, kita memohon kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria, agar kita dianugerahi keutamaan iman yang hidup seperti telah dihayati oleh Bunda Maria, sehingga kita tetap tangguh dalam menghadapi segala tantangan kehidupan sebagai umat beriman yang dihadapkan pada atheisme, materialisme dan hedonisme seperti sekarang ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar