Orang muda itu sudah hidup sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia tidak pernah membunuh. Tidak pernah berzinah. Tidak pernah mencuri. Tidak pernah bersaksi palsu. Tidak pernah menipu orang lain. Selalu sopan dan hormat kepada orangtuanya. Rajin pergi ke kenisah dan berdoa. Tidak puas dengan ini semua, orang muda itu masih mencari. Dia mau belajar dari seorang guru, rabi Yesus, tentang bagaimana dia bisa memperoleh hidup kekal. Hanya satu saran Yesus: melepaskan harta kekayaannya.
Yesus tahu bahwa kekayaan itulah yang menyulitkan orang muda itu memperoleh hidup kekal. Yesus tahu bahwa orang itu sudah bebas melayani Allah di hampir semua wilayah kehidupannya, kecuali satu, yaitu: kepemilikannya. Yesus perlu membantu orang itu untuk menjadi bebas di dalam wilayah kehidupannya yang spesifik itu. Di sini Yesus menekankan kembali perintah Allah yang utama, “Kamu harus mencintai Allah dengan sepenuh hatimu!” Allah itu tidak hanya sekedar imbuhan dari 99% kebutuhan yang sudah bisa tercukupi. Allah itu di atas segalanya. Allah itu cinta.
Kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah segala sesuatu di dalam hidup kita, dalam karya pelayanan kita, pelayanan kita kepada saudara-saudari di sekitar kita, mengecualikan ini dan mengecualikan itu? Atau dengan kata lain, apakah kita sungguh-sungguh bebas di hadapan Allah? Allah meminta kepada kita ketulusan hati untuk mencintai dan membantu orang lain, untuk mencintai Allah sepenuh hati.
Hari Rabu yang lalu, tanggal 10 Oktober 2012, Henricus Sanyotohadi (54 tahun), seorang dosen di Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, meninggal dunia karena sakit. Romo Haryatmoko SJ, dosen Filsafat di STF Driyarkara Jakarta dan teman sebaya Henricus, ketika memimpin Misa Arwah, memberikan kesaksian dalam kotbahnya bahwa Henricus adalah seorang pribadi yang suka bersahabat dan banyak berbagi dalam hidupnya dengan teman-teman sebayanya. Dia adalah orang yang selalu memberikan inspirasi kepada orang lain.
Dia adalah seorang teman yang meski masih remaja sudah bisa memberikan nasihat kepada teman-temannya untuk berdevosi kepada Hati Kudus Yesus yang Maharahim: Kalau di antara kita bisa ikut Misa selama 9 kali berturut-turut pada hari Jumat pertama dalam bulan, kita pasti akan dikabulkan oleh Tuhan untuk masuk ke surga tanpa harus melalui api pencucian. “Nasihat itu sedemikian diingat oleh teman-temannya, sehingga ketika kami sudah sampai di hari ketujuh dan pada hari kedelapan lupa mengikuti Misa hari Jumat, maka ada salah satu di antara kami menangis, menyesal bahwa tidak bisa ikut Misa Sembilan kali berturut-turut,” demikian kisah Romo Haryatmoko.
“Bapak itu seorang pribadi yang demokratis, tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk anak-anaknya, Dia adalah seorang pribadi yang senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup mandiri, bebas dan bertanggungjawab.” demikian kesaksian anaknya yang sulung. “Bapak senantiasa mengajarkan persahabatan, menolong orang lain yang membutuhkan, dan berbuat baik kepada siapa pun tanpa kecuali.” “Persahabatan itu lebih penting daripada kekayaan. Persahabatan itu lestari; kekayaan itu tidak dibawa mati,” demikian kisah anak sulung tentang nasihat bapaknya.
“Bapak Henricus adalah seorang dosen yang selalu murah senyum. Yang keluar dari mulutnya selalu kata “ya” dengan segala alasannya, dan tidak pernah mengatakan “tidak”. Bapak Henricus adalah seorang pribadi yang ringan tangan, selalu membantu para mahasiswa dalam studi; dan menganjurkan kepada teman-teman dosen untuk studi lanjut. Sampai akhir hidupnya, dalam keadaan sakit pun, Bapak Henricus masih terus berusaha untuk menyelesaikan studinya di jenjang doktoral, sudah menyelesaikan disertasinya, dan tinggal ujian pendadaran. Kami merasa kehilangan seorang teman kerja yang inspiratif bagi orang lain,” demikian sepenggal kesaksian seorang ibu wakil dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, kolega kerja Henricus, ketika menyampaikan sambutan dan ucapan bela sungkawa.
“Ketika ada tamu seorang ibu (30 tahun) yang berjilbab datang dari Blora, membawa dua anak kembarnya yang baru saja lahir, untuk diserahkan kepada Yayasan Wikrama Putera, Henricus dalam keadaan sakit dan berbaring di Rumah Sakit St. Elisabeth, meminta dengan sangat kepada saya kakaknya menerima kedua anak itu menjadi anak asuh di Wikrama Putra, dengan mengatakan: Mas, mas, kuwi kudu ditampa. Aja ditolak ya! (Mas, anak itu harus diterima, jangan ditolak ya!)” demikian kisah pak Untung Sudono, memberikan kesaksian tentang adiknya yang selalu ingin menolong orang lain yang membutuhkan, tanpa pandang bulu.
Iklan di media massa mengajarkan kepada kita: jika anda memiliki ini memiliki itu, maka anda akan lebih bahagia. Tetapi hal itu tidak benar; karena pada akhirnya kita justru dimiliki oleh apa yang kita miliki, kita menjadi diperbudak oleh apa yang kita sebut sebagai “kebutuhan”. Yesus mengajarkan hal yang berlawanan: anda akan menjadi bebas dan bahagia (masuk ke dalam Kerajaan Allah, masuk ke dalam kehidupan kekal), jika anda berhenti memiliki dan mulailah mencintai tanpa menghitung.
Hidup kristiani itu merupakan sebuah perjalanan, sebuah gerak pergi keluar. Ketika seorang pribadi sudah merasa kecukupan dan tenang, dan membuat dirinya lekat dengan sesuatu, ia berlawanan dengan semangat Yesus. Lekat berarti mencintai sesuatu atau seseorang secara posesif, mencintai dengan cinta di mana cinta diri memainkan peranan yang menguasai. Apa pun jenis cinta diri tidak selaras dengan Kerajaan Allah, seperti Yesus katakan, sebab Allah itu cinta, terbebaskan dari segala bentuk cinta diri.
Segala sesuatu itu mungkin terjadi karena dikehendaki oleh Allah. Kita bisa masuk lubang jarum, kalau kita mencintai Allah sepenuh hati, terbebaskan dari cinta diri. “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Mrk 10: 27).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar