Dalam rangka perayaan “Tahun Iman”, yang dibuka pada tanggal 11 Oktober 2012 dan ditutup pada tanggal 24 Nopember 2013, Paus Benediktus XVI melalui surat apostolik Porta Fidei (2011), mengajak umat kristiani di seluruh dunia untuk menyisihkan waktu yang khusus untuk menemukan kembali dan berbagi satu sama lain, anugerah yang sangat bernilai bagi hidup, yakni iman yang dipercayakan kepada Gereja, dan anugerah pribadi berupa iman yang kita terima masing-masing dari Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus.
Katekismus Gereja Katolik (No. 162) menyatakan: “Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal ini: Hendaklah engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni. Beberapa telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka.” (1Tim 1: 18-19).
Jika iman merupakan harta kekayaan yang paling berharga, bagaimanakah kita dapat meningkatkannya dan melindunginya dari bahaya erosi materialistik di mana orang-orang Katolik juga nampak kehilangan iman mereka? Para penulis di bidang kehidupan rohani menganjurkan beberapa cara yang sangat berharga untuk membantu kita mampu menjaga anugerah Allah yang paling bernilai itu bertumbuh. Inilah beberapa anjuran yang bisa diajukan.
Pertama, berterimakasih dan bersyukur atas anugerah Allah yang sangat indah dan menakjubkan, yakni: anugerah iman. Salah satu pengajar iman yang paling besar, yakni Santo Paulus, pernah mengungkapkan penghargaannya yang mendalam mengenai hal ini. Santo Paulus mengatakan: “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2Kor 9: 15).
Kedua, kerap melakukan tindakan iman, yakni: tindakan iman kepada Allah yang sederhana, iman kepada Allah Tritunggal, iman kepada Kristus yang hadir dalam Ekaristi, iman kepada apa saja yang kita yakini dan diajarkan oleh Gereja. Iman akan semua hal itu menegaskan kembali di dalam pikiran-pikiran kita kebenaran ilahi yang sudah berjalan hingga millennium ketiga ini.
Ketiga, baca dan belajar dari buku-buku dan artikel-artikel yang mengulas mengenai iman kita, iman Katolik. Banyak buku yang baik yang tersedia sekarang, misalnya: Katekismus Gereja Katolik (1993) atau Iman Katolik (1996) yang diterbitkan oleh Konperensi Waligereja Indonesia. Tentu saja, buku yang paling penting adalah Kitab Suci, yakni sabda Allah sendiri.
Keempat, bergabung dengan kelompok-kelompok, masuklah ke paguyuban-paguyuban yang mengembangkan hidup beriman. Carilah renungan-renungan atau kotbah-kotbah yang ditulis oleh para pengkotbah Katolik yang baik. Hadirlah dalam kelompok-kelompok yang membangun hidup beriman dengan doa bersama dan melaksanakan devosi-devosi.
Kelima, mengikuti Perayaan Ekaristi sekerap mungkin. Tidak ada peristiwa lain di dunia ini yang lebih berharga daripada Perayaan Ekaristi, di mana Kristus menjadi sungguh nyata hadir di dalam Ekaristi, sumber segala kesucian dan iman.
Keenam, lebih dekat dengan Gereja, yakni: Gereja Katolik. Sebagai ibu seluruh umat beriman Gereja melindungi dan menjaga iman kita yang berharga itu, melalui para rasul dan penggantinya yang diutus dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi. Makin dekat dengan Gereja kita makin dekat dengan Allah Bapa, makin dekat dengan Kristus yang wakil Allah di dunia ini, dan dengan demikian makin kuatlah iman kita. Katekismus Gereja Katolik secara resmi mengajarkan bahwa Paroki kita adalah “persekutuan ekaristi dan hati kehidupan liturgi keluarga-keluarga kristiani”. Ekaristi memberikan tempat yang cocok untuk katekese anak dan orangtua.” ( bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 2226, halaman 540).
Ketujuh, menghayati iman! St. Paulus mengatakan: “Orang benar akan hidup dengan iman” (Rom 1: 17). Tetapi hal ini juga berarti menaruh iman kita di dalam perbuatan. St. Yakobus mengatakan bahwa “iman tanpa perbuatan adalah kosong.” (Yak 2: 26). Bagaimana kita dapat menghayati iman kita? Kita bisa membaca dan belajar dari kisah kehidupan para santo/santa yang memperlihatkan keperkasaan iman mereka yang dihayati di dalam hidup sehari-hari.
Dengan iman, mereka melihat Allah berada di mana-mana, di dalam ciptaan, di dalam diri banyak orang, di dalam alam semesta yang indah, di dalam peristiwa sehari-hari yang serba biasa. Seperti Bunda Teresa, para santa/santo membantu orang miskin, melihat Kristus di dalam diri mereka “Kristus yang hadir di dalam diri orang-orang yang tidak beruntung, mengalami kemalangan dalam hidup.” Mereka mengajak kembali kepada Allah untuk meminta bantuan kepada-Nya agar mereka mampu mengambil keputusan-keputusan.
Santo-santa memiliki devosi yang kuat, terutama devosi pada Kristus di dalam Ekaristi dan cinta pada Bunda-Nya, Maria. St. Paulus menulis: “Kami berjalan karena iman, dan bukan karena penglihatan.” (2Kor 5: 7). Tidak saatnya lagi sekarang kita tidak dapat menghayati iman melalui doa dan tindakan, tidak ada penderitaan lagi yang dapat kita persembahkan di dalam kesatuan dengan Kristus yang menderita untuk orang lain, tidak ada pekerjaan yang dapat kita laksanakan di luar iman; tidak ada bagian hidup ini yang dapat diangkat demi kehidupan keabadian.
“Supaya hidup dalam iman, dapat bertumbuh dan dapat bertahan dalam iman sampai akhir, kita harus memupuknya dengan sabda Allah; kita meminta kepada Tuhan supaya menumbuhkan iman itu. Iman itu harus bekerja melalui cintakasih (Gal 5: 6), ditopang oleh pengharapan dan berakar dalam iman Gereja.” (Katekismus Gereja Katolik, No.162). Maka, seperti para Rasul, kita harus selalu berdoa: “Tuhan, tumbuhkanlah iman kami.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar