Maka pastor itu pun mulai menerangkan: “Jika ia ingin menjadi seorang imam diosesan, maka dia harus menjalani studi selama delapan tahun. Jika ia ingin menjadi seorang Fransiskan maka ia harus menjalani masa studi selama sepuluh tahun. Jika ia ingin menjadi seorang Jesuit maka ia harus menjalani masa studi selama empat belas tahun. Ibu itu mendengarkan dengan baik, penuh perhatian, teliti dan cermat.
Setelah mendengarkan gambaran pendidikan yang disampaikan pastor itu, maka dengan wajah ceria dan mata berbinar, dengan mantap ibu itu mengatakan: “Pastor, daftarkan saja anak saya itu untuk pilihan yang terakhir karena dia itu orangnya agak sedikit lamban!”
Humor seperti ini muncul di kalangan religius. Pater James Martin SJ melihat bahwa sejak dulu di kalangan kehidupan para santo pun humor itu ada. Humor sudah ada ratusan tahun atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Seorang filsuf Yunani, bernama Democretos, dikenal oleh banyak orang sebagai filsuf yang punya kecenderungan untuk menertawakan kebodohan warganegaranya sendiri, yaitu warganegara Yunani.
Humor adalah suatu proses kognitif yang kerapkali bahkan sudah semestinya mengundang orang untuk tertawa. Orang dapat tertawa tanpa harus dirangsang oleh adanya humor, dan dalam hal yang sama seseorang dapat mengalami humor tanpa harus tertawa. Ada beberapa alasan mengapa orang perlu humor.
Humor itu mewartakan kabar gembira
Kegembiraan, humor dan tertawa itu memperlihatkan iman kepada Tuhan. Kita semua orang kristiani percaya akan hari kebangkitan, yaitu kekuatan hidup atas kematian, kekuatan cinta melampaui kebencian. Kita semua percaya akan Allah. Ketika seorang novis Yesuit bertanya kepada pemimpin tertinggi Serikat Yesus, yaitu Pater Jendral Peter-Hans Kolvenbach SJ, tentang bagaimana banyak orang tidak tertarik lagi pada hidup religius, maka Pater Jendral mengatakan: “Hayatilah hidup panggilanmu sendiri dengan gembira!” Benar apa yang dikatakan oleh Pater Jendral SJ kepada novisnya: bagaimana mungkin orang mau bergabung dengan suatu kelompok orang yang justru menunjukkan diri mereka kelihatan malang, sengsara dan mengundang belaskasih orang?
Sudah banyak orang tahu bahwa sebutan untuk pemimpin tertinggi Serikat Yesus adalah Pater Jendral, atau lebih sederhananya: Jendral. Ketika Pater Jendral Pedro Arrupe datang ke Kolese Xaverius di New York, anak-anak sekolah menjemput kedatangan Pater Jendral dengan memakai pakaian seragam seperti tentara, dan mereka berdiri sepanjang jalan masuk ke kompleks Kolese. Ketika diumumkan bahwa Pater Jendral sudah hampir sampai di lingkungan Kolese Xaverius, anak-anak menyambutnya dengan berdiri berjajar sepanjang jalan masuk menuju Kolese. Ketika Pater Jendral memasuki kompleks Kolese Xaverius dia menghentikan mobilnya, membuka pintu mobil, turun dari mobil, dan menyapa murid-murid dengan mengatakan: “Sekarang saya merasakan sungguh bahwa saya ini seorang Jendral!”
Humor itu sarana untuk menjadikan orang lebih rendah hati
Kita dapat membuat suatu lelucon untuk menurunkan egoisme kita. Ini adalah sesuatu yang baik, terutama bagi siapa saja yang bekerja dalam kapasitasnya sebagai petugas resmi Gereja, di mana kita tidak gampang untuk menjadi congkak dan angkuh. Misalnya, lelucon yang disajikan di depan, adalah sebuah lelucon yang mengingatkan orang-orang, termasuk Yesuit, untuk tidak sombong sebagaimana bisa dikesankan oleh sementara orang. Saya kenal banyak orang dari kalangan religius dan saya punya banyak teman akrab dari kalangan Yesuit. Saya mengenal bahwa di antara yang saya kenal, tidak semua Yesuit itu cerdas, cermat, cepat dan cekatan. Ada juga yang lamban, pelan-pelan, kethetheran, dan ketinggalan.
Barangkali kita semua juga pernah mendengar cerita tentang tiga orang imam: Fransiskan, Dominikan dan Yesuit, yang sedang retret bersama? Mereka bertiga menerima rahmat khusus menemukan tempat di mana Tuhan Yesus pernah lahir. Ketika mereka menemukan tempat di mana Tuhan Yesus pernah lahir itu, ketiga imam itu lalu bersujud dan menyembah. Imam yang Dominikan mengatakan kepada Bunda Maria: “Ya Bunda Maria, saya sungguh amat gembira karena saya dapat melihat sang Sabda telah menjadi manusia, karena saya melihat penjelmaan Tuhan, dan karena saya melihat kesatuan hipostatis antara yang insani dan yang ilahi.” Kemudian yang Fransiskan mengatakan: “Ya Bunda Maria, saya gembira karena saya diperkenankan melihat putra Allah yang mengejawantah menjadi orang miskin dan memilih lahir dalam kemiskinan, dan di tengah-tengah binatang yang Ia cintai”. Sementara yang Jesuit mengatakan kepada Bapa Yosef: “Ya Bapa Yosef, mohon dipertimbangkan, kapan Yesus datang ke kolese kami, sebuah sekolah tinggi yang termasyur yang dimiliki Yesuit di kota ini?”
Humor menurunkan egoisme
Hal ini mengingatkan kita untuk tidak perlu terlalu serius dan tegang. Ketika Paus Yohanes XXIII berada di Roma, ia pernah mendapat surat dari seorang anak kecil yang bernama Bruno. Bruno menulis surat kepada Bapa Paus demikian: “Bapa Paus yang terhormat, sekarang saya sedang mempertimbangkan tetapi belum sampai pada tahap pengambilan keputusan: apakah sebaiknya saya nanti kalau sudah besar mau menjadi polisi ataukah mau menjadi Paus. Bagaimana menurut pendapat Bapa Paus?”.
Kemudian Paus menulis balasan kepada Bruno: “Jika kamu meminta pendapatku, maka sekarang belajarlah dulu menjadi polisi, karena menjadi polisi itu bukanlah sesuatu yang bisa dijalankan secara improvisasi. Setiap orang juga bisa menjadi Paus. Buktinya adalah saya sendiri. Maka, jika mau nanti berada di Roma, silakan kamu singgah di kantor saya, dan saya pasti akan sungguh gembira karena kedatanganmu dan kita berdua bisa berbincang-bincang di sana.” Kita menjadi tahu bahwa humor bisa dipakai sebagai sarana untuk membuat diri kita bisa menjadi lebih rendah hati.
Humor membuat orang mengenali realitas sebenarnya
Humor membawa orang pada pokok persoalannya. Fransiskus Asisi pernah mengatakan suatu pesan: “Wartakanlah Injil. Gunakan kata-kata bilamana perlu.” Pernyataan itu sungguh cerdas tetapi membuat orang tertawa karena lucu. Apa yang dikatakan Fransiskus adalah suatu kebenaran yang sungguh mendalam: untuk mewartakan Injil kiranya lebih baik dan lebih manjur melalui keteladanan perbuatan daripada melulu melalui kata-kata. Maka, penggunaan kata sebaiknya seirit mungkin, dan memperbanyak contoh perbuatan baik.
St Andreas Avellino adalah seorang imam yang ahli dalam bidang hukum kanon. Pada suatu hari seorang imam bertanya kepada dia: “Romo Avellino, berapa lama sebaiknya seseorang itu boleh menemani orang yang sedang sakit?” Alih-alih memberikan penjelasan yang panjang, romo Avellino langsung memberikan jawaban: “Selalu singkat. Ada dua keuntungan di sana: Jika kamu suka, maka kamu akan kembali lagi; tetapi jika kamu bosan, maka rasa bosan dan tidak senang itu hanya berlangsung sebentar.”
Humor itu membangun relasi yang baik dan kerjasama
Manfaat humor seperti ini sungguh sangat penting untuk para uskup, bruder, suster, imam, direktur lembaga pendidikan religius, dan para pekerja pastoral. Dalam suatu perumpamaan Yesus pernah menggunakan humor untuk membantu orang agar orang itu memahami topik yang dirasa sulit. Atau ambil saja contoh penggunaan humor dari dunia manajemen. Dalam bukunya yang berjudul “Team of Rivals” Doris Kearns Goodwin menceritakan suatu cerita tentang bagaimana Abraham Lincoln menghimpun suatu kelompok orang-orang yang sungguh berbeda satu sama lain di dalam kabinetnya. Sepanjang pemerintahan dia, senantiasa terjadi apa yang dialaminya sebagai tidak setuju satu sama lain, bertengkar satu sama lain, dan bahkan melakukan pekerjaan yang satu sama lain saling bertentangan. Suatu jalan yang memberikan suasana menyenangkan adalah menceritakan suatu lelucon yang baik atau cerita tentang negara di mana mereka berada untuk memberikan ilustrasi terhadap pokok pikiran apa yang dilontarkan. Humor itu mampu membantu untuk membangun relasi sosial yang baik.
Humor itu menyembuhkan
Para dokter, psikolog, dan psikiater yakin bahwa humor itu membantu proses penyembuhan fisik badan. Tertawa itu melepaskan ketegangan. Jika kita merenungkan secara serius apa yang digambarkan oleh Santo Paulus mengenai Tubuh Kristus, kita bisa mempertimbangkan bahwa hal yang sama terjadi di dalam tubuh komunitas kristiani. Di tengah situasi yang gelap di dalam Gereja, anak-anak Allah dapat menggunakan dari waktu ke waktu tertawa bersama. Tertawa itu tidak pernah mengatakan bahwa orang tertawa karena keprihatinan atau dosa di dalam Gereja. Tetapi sebaliknya, humor itu memberikan kepada kita situasi cair yang dibutuhkan, dan dapat membantu kita untuk sembuh dari sakit dan penderitaan kita.
Humor dapat membantu meringankan situasi yang dianggap menyakitkan dan membuat orang menderita. Beberapa tahun yang lalu, ada seorang pemimpin Serikat Yesus dari sebuah provinsi yang mengunjungi poliklinik di mana para Yesuit yang sakit dan yang sudah sehat menikmati hidup mereka di masa tua. Kemudian Provinsial SJ itu mengatakan: “Ya, salah satu masalah yang terbesar di Provinsi kita ini adalah bahwa kita memiliki begitu banyak anggota Serikat yang sudah tua dan sakit tetapi kita tidak memiliki ruangan dalam jumlah cukup untuk bisa menampung dan memberikan perawatan yang memadai. Kita hanya memiliki poliklinik yang kecil seperti ini untuk perawatan..” Lalu seorang Yesuit yang sudah tua menyela dengan mengatakan: “Romo Provinsial, kami sudah berusaha agar sedapat mungkin kami segera dipanggil Tuhan.”
Humor itu kegembiraan
Sekali lagi humor itu kegembiraan. Tidak ada alasan lain yang lebih baik katimbang kegembiraan itu. Tuhan melarang bahwa setiap orang hanya bisa menyenangkan diri sendiri. Kata “gembira” adalah suatu kata yang tidak datang dari Gereja; kegembiraan adalah suara yang datang dari surga. Para santo mengetahui itu. Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan menyajikan sebuah lelucon yang bermaksud menyatakan kegembiraan itu.
Seorang pastor Fransiskan masuk ke salon untuk potong rambut, dan ia bertanya kepada si tukang cukurnya tentang berapa ongkos yang harus dibayar apabila dia mau cukur di tempatnya. Tukang cukur itu menjawab bahwa dirinya selama ini tidak pernah meminta bayaran apabila ada biarawan yang mau cukur di salonnya. Setelah dicukur rambutnya, Pastor Fransiskan itu pulang dan mengucapkan banyak terima kasih sekali atas kesempatan yang diberikan kepadanya untuk mencukur rambutnya tanpa harus mengeluarkan biaya. Tetapi, keesokan harinya tanpa diduga ketika si tukang cukup membuka pintu salonnya didapatinya sekeranjang penuh roti yang masih hangat. Dari baunya si tukang cukur itu yakin bahwa roti itu adalah hasil olahan juru masak yang bekerja di rumah pastor Fransiskan itu.
Seorang pastor Agustinian masuk juga ke salon yang sama dan mau mencukur rambutnya di tempat itu. Ketika masuk ke ruang potong rambut dia juga bertanya, berapa ongkosnya apabila ia mau mencukur rambutnya di tempat salon itu. Si tukang cukur memberikan jawaban yang sama: “Untuk kaum biarawan kami tidak biasa dan tidak pernah memungut biaya”. Pastor Agustinian itu pun masuk ruangan dan dicukur rambutnya. Dan sungguh tidak diduga bahwa hari berikutnya si tukang cukur mendapatkan se botol anggur manis, jenis anggur yang belum pernah ia nikmati sebelumnya. Itulah anggur buatan biara Agustinian.
Kemudian, datanglah juga seorang pastor Yesuit masuk ke salon yang sama untuk potong rambut. Tukang cukur itu tetap memberikan keterangan yang sama: untuk biarawan tidak dipungut biaya, alias gratis. Pastor Yesuit itu pun masuk ruangan dan dicukur rambutnya. Hari berikutnya, dua belas pastor Yesuit datang ke salon yang sama dan antre menunggu giliran.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar