Menurut Paul Coutinho SJ, kata “magis” lebih tepat diterjemahkan sebagai “the more” (Inggris) atau “semakin” (Indonesia). Kata Latin untuk “besar” (great) adalah “magnus” (adjektif), sedangkan bentuk komparatifnya “greater” (lebih besar); yang dalam Latinnya: “maior”. Sedangkan bentuk superlatifnya: greatest (paling besar), yang dalam Latinnya: “maximus”. Bahasa Latin untuk “yang terbaik” adalah “optimum”.
Menurut Fleming SJ, Ignatius tidak memaksudkan kata “magis” itu berarti terbesar, terbaik, terbanyak (superlatif). Kata “magis” dalam bahasa Latin tergolong jenis kata adverbium (Inggris: adverbial); sementara adjektif-nya adalah “maior”. Maka, “magis” dalam bahasa Indonesia paling tepat diterjemahkan dengan kata “semakin”. “Semakin” itu tidak bicara tentang “mengerjakan lebih” di dalam hal kinerja atau kesempurnaan. “Magis” adalah masalah hidup semakin lebih bersama Allah. Kata “magis” menunjukkan tindakan konkret dan mendalam untuk semakin memiliki relasi yang dekat dengan Allah, semakin mempunyai relasi yang dekat dengan Kristus.
Dalam hidup Ignatius, kata “magis” lebih daripada hanya sebuah kata atau istilah. Bagi Ignatius, “magis” adalah sebuah sikap. Ignatius memiliki sikap ini bahkan sebelum pertobatannya dari “ksatria untuk raja”, menjadi “ksatria untuk Allah”. Dia selalu ingin mengerjakan lebih baik, mengerjakan lebih banyak. Ia tidak pernah puas dengan status-quo, dengan percobaan dan pengujian. Baginya mediokritas tidak pernah menjadi opsinya. Ia selalu mencari cara dan sarana untuk mengungkapkan cinta dan hormatnya kepada rajanya dan untuk memenangkan hati sang ratu dengan hatinya. Sikap ini memperlihatkan dirinya dalam keberanian dalam hal perang dan dalam saat-saat yang lain. Magis yang kita bicarakan saat ini adalah magis dalam artian setelah dia bertobat, yakni: melakukan secara lebih, doing more. Setelah pertobatannya, magis berarti “mengerjakan secara lebih” untuk Allah, raja surgawi.
Ignatius percaya bahwa jika para santo yang lahir sebelum dia dapat mengerjakan begitu banyak bagi Allah, ia juga dapat mengerjakannya secara lebih baik. Jadi, Ignatius selalu dan terus menerus mencari cara-cara yang lebih baru, lebih baik dan lebih menantang untuk mengerjakan segala sesuatu. Keinginannya untuk berbuat yang lebih ini kerapkali membawa dia ke arah yang ekstrem. Ia melakukan laku tapa yang lebih keras dan menghukum badannya dengan harapan bahwa ia dapat membawa badannya di bawah kendali dia. Ia melakukan jaga malam dan menghabiskan waktunya berjam-jam untuk berdoa dengan harapan bahwa ia dipertimbangkan sebagai orang yang berjalan melampaui kinerja orang lain yang pernah mengerjakan lebih.
Menurut Ignatius, kata “magis” ini memiliki keterarahan khusus. Makna kata “magis” dirumuskan secara baik di dalam doa persiapan untuk retret Minggu kedua dalam Latihan Rohani, yaitu: “Aku akan memohon untuk memperoleh pengetahuan mengenai Tuhan kita, Dia yang telah berkenan menjadi manusia untukku; supaya aku dapat mencintai Dia secara lebih mesra dan mengikuti Dia secara lebih dekat” (LR 24). Bagi Ignatius, “magis” itu bukan mengerjakan banyak tetapi menjadi lebih dekat dengan Kristus dan terus menerus memperdalam dan mengintensifkan relasi dengan Kristus itu. Pribadi yang bersemangat “Magis” terus menerus terdorong untuk menemukan lagi, merumuskan kembali dan menjangkau secara lebih dekat, apa yang lebih baru, lebih baik, karena hanya itulah apa yang dikehendaki oleh Allah baginya. Yang baik menjadi lebih baik, yang lebih baik menjadi lebih baik lagi. Pribadi yang bersemangat magis adalah pribadi yang suci yang berakar pada Yesus dan di dalam relasinya dengan Yesus bersama Bapa. Segala sesuatu yang diperbuat oleh pribadi itu mengalir dari relasi ini.
Pada suat hari dan pada suatu zaman, ketika nilai manusia kerapkali diukur oleh apa yang dia punyai, kata “Magis” dalam bahasa Ignatius berarti nafas udara segar. Ketika banyak orang berusaha menggapai “keagungan” dengan meningkatkan kepemilikan dan kekayaan material, magis mengundang dan menantang kita untuk memfokuskan diri bukan pada memiliki tapi pada menjadi. Ketika begitu banyak orang menaruh kepercayaan pada kekayaan, magis mengundang untuk menyadari kesementaraan dan bahwa Allah sendirilah yang abadi dan tetap selamanya. Ketika banyak orang membuat segala sesuatunya berakhir di dalam diri mereka sendiri, dan lebih dimiliki oleh kekayaan daripada memiliki kekayaan, maka magis menantang kita untuk menyadari dasar alasan mengapa diciptakan dan mengapa kita ada di sini, yakni: memuji, menghormati dan melayani Tuhan sendiri.
Menurut Fran Daly SJ, konsep mengenai “magis” berasal dari Asas dan Dasar dari Latihan Rohani St Ignatius (LR 23): kita memilih apa yang akan lebih memberikan sumbangan bagi hidup kita dalam hal mencintai dan melayani Tuhan. Oleh karena itu, kita perlu menimbang-nimbang dalam doa, dan memilih dengan baik, membimbing kita untuk lebih sampai pada tujuan dasar hidup kita diciptakan Tuhan. Dengan segala tanggungjawabku, anugerah dan bakatku, kelemahan dan keterbatasanku, bagaimana aku dapat mengelolanya untuk tercapainya keinginan menjadi “orang yang berarti bagi orang lain”.
Makna “magis” secara khusus nampak di dalam pemilihan dan pengambilan keputusan. Ketika persoalan memilih itu dihadapkan pada dua pilihan antara yang baik dan yang biasa, maka pilihan kita menjadi jelas. Pilihan yang baik seyogianya dipilih. Namun, apa yang mesti dilakukan oleh orang apabila yang dipilih adalah antara yang baik dan yang baik. Di sinilah semangat magis itu nampak. Ketika orang memiliki pilihan antara dua hal yang baik, masalahnya adalah mencari dan mendapatkan pilihan yang terbaik. Jadi, tujuan dari semangat magis adalah menghayati hidup dalam relasi yang dekat dengan Allah sehingga kehendak Allah dapat dengan lebih mudah dan lebih jelas diikuti.
Apa yang unik adalah bahwa “semakin” berelasi dengan Allah itu dibawa di dalam aktivitas hidup sehari-hari. Kita melihat relasi itu di dalam keluarga, mengalaminya dalam persahabatan, merindukannya di dalam impian kita. Tambahan lagi, “magis” itu tidak mungkin jika tidak ada kepekaan terhadap gerakan-gerakan roh dalam hati kita. Karena setiap waktu apa yang terbaik membuktikan dapat dikenali hanya di dalam gerakan-gerakan batiniah hati kita dan dalam kerinduan-kerinduan kita.
Ignatius menulis metodologinya dalam buku Latihan Rohani dengan judul “pembedaan roh”, sebagai suatu cara untuk mengetahui gerakan-gerakan roh di dalam hidup kita. “Semakin” memiliki kepekaan seperti ini berarti semakin perhatian terhadap realitas di dalam diri kita dan di sekitar kita: “mencari dan menemukan Allah di dalam segala, sesuatu kehadiran Allah yang menyelenggarakan hidup dan mencintai kita”.
Ketika Ignatius Loyola bicara tentang “menemukan Allah dalam segala sesuatu”, ditegaskan bahwa tidak ada bidang atau realitas hidup yang dieksklusifkan darinya. Di dalam segala yang kita temui, dengan segala apa yang terjadi pada kita, kehadiran Allah itu dapat dijumpai: di dalam segala aktivitas, di dalam diri setiap orang yang kita jumpai, di dalam relasi, di dalam pikiran, di dalam mimpi kita, di dalam pandangan, di dalam situasi, dalam peristiwa-peristiwa dan apa saja yang datang kepada kita. Singkatnya, dengan kata magis, kita berbicara tentang menemukan kehadiran Allah dalam segala realitas. Dengan menyatakan seperti Ignatius, orang dapat mengatakan: “mencari dan menemukan Allah di dalam segala”.
Bandingkan pemahaman kita mengenai “magis”, dengan kata-kata Paulus dalam Filipi 1: 9-11: “Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran, yang dikerjakan oleh Yesus Kristus, untuk memuliakan dan memuji Allah.”
Terkesan oleh hidup para santo, Ignatius Loyola berpikir: “Aku ingin menjadi seperti mereka.” Dan tidak hanya seperti mereka: “Ia mengambil resolusi untuk melakukan hal yang sama, yaitu penitensi yang pernah dilakukan oleh para santo, dan bahkan dia melakukan yang lebih dari apa yang dilakukan oleh para santo”. (Suka Duka Sang Pejiarah, No. 14.3). Tidak hanya seperti Fransiskus dan Dominikus, Ignatius dapat lebih dari itu. Ambisinya menjadi santo, dinyatakan dengan hidup menyendiri di Manresa. Ia berpuasa melebihi orang lain, dan membuat penitensi jauh melebih orang lain.
“Magis” adalah inti dari spiritualitas ignatian. Ungkapan itu mengajak kita untuk menyerahkan diri secara total kepada Allah melalui hidup yang berpusat pada Allah. Tidak ada yang disebut sebagai “mediokritas” atau setengah-setengah: “tidak panas tidak dingin (Why 3: 16), atau tidak “ya” dan juga tidak “tidak” (Mat 5: 37) tapi menantang orang untuk menyempurkan komitmen (bdk. Luk 10: 27). Hal ini menuntut kemurahan hati.
“Magis” atau “more” atau semakin lebih, bisa ditafsirkan secara keliru, yaitu: memiliki lebih, bersaing lebih, mencapai lebih; atau mengungkapkan obsesi untuk mencapai puncak prestasi; membuat orang menjadi gila kuasa; berusaha keras untuk membangun persaingan yang tidak sehat. Semua hasil yang disebut di atas adalah cinta-diri. Magis atau more atau semakin lebih dalam istilah ignatian berlawanan dengan sikap dan tindakan egoistis.
Dari sisi positif, keinginan untuk menjadi dan mengerjakan “semakin lebih” dapat membawa orang kepada tingkat yang tinggi dalam hal kesempurnaan dan perkembangan pribadi dalam hal cintakasih dan pelayanan. Semangat magis itu membantu orang untuk mengubah pikiran: melihat dunia sebagai yang penuh harapan dan kemungkinan untuk mengerjakan hal-hal besar bagi Allah. Kata “tanpa istirahat” selalu diartikan sebagai mengerjakan secara lebih baik, terus menerus berkembang, mempertanyakan dan tidak puas dengan cara-cara yang sudah ada untuk mengerjakan segala sesuatunya.
Magis itu dapat dimengerti secara keliru, dalam artian: mengerjakan lebih banyak, mengerjakan lebih banyak program. Tidak demikian. “Ditempatkan bersama Kristus sang Putra”, berari “berdedikasi pada pelayanan yang memiliki keistimewaan di dalam Gereja, di bawah salib, demi kemuliaan Allah dan demi kebaikan sesama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar