Ya, Bapa kami yang ada di surga, pada hari ini kami datang menghadap-Mu untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kami atas pemberian-pemberian-Mu, terutama pemberian seorang sahabat (sebut namanya) yang pada hari ini merayakan hari ulang tahunnya yang kesekian kali (sebut ulang tahun yang ke berapa). Kami bergembira karena Engkau membimbing kami bersama dan memperkenankan kami untuk saling mengenal satu sama lain.
Pada hari ini kami berdoa memohonkan berkat khusus-Mu bagi sahabat kami ini (sebut namanya) dan kami mohon kepada-Mu agar hari-hari yang akan datang baginya sungguh penuh dengan harapan, kegembiraan dan optimisme. Kami berdoa juga agar tahun yang akan datang mendatangkan kepada sahabat kami ini keberhasilan dalam berprestasi dan memperoleh kepenuhan harapan dari apa yang selama ini didambakan oleh sahabat kami ini.
Ya Allah, Bapa yang Mahabaik, kami tahu bahwa Engkau senang memberikan berkat kepada putera-puteri-Mu, dan karena itu kami mengajukan permohonan-permohonan kami ini kepada-Mu. Perkenankanlah kami sekali lagi mengucap syukur dan terima kasih atas segala kebaikan-Mu. Semua doa dan permohonan kami ini kami hunjukkan kepada-Mu, ya Allah Bapa yang Mahakasih, dengan perantaraan Kristus Tuhan dan junjungan kami. Amin.
Hidup Berbagi
Jumat, 26 Oktober 2012
Senin, 22 Oktober 2012
Doa Mohon Pasangan Hidup
Tuhan, Engkau bersabda bahwa adalah tidak baik bahwa kami sendiri. Engkau telah menciptakan kami pria dan wanita supaya kami dapat saling menyempurnakan satu sama lain. Tetapi, ya Tuhan, aku mengalami bahwa tidaklah gampang aku dapat menemukan sahabat yang dapat menjadi pasangan hidupku yang baik. Maka, bantulah aku, ya Tuhan, supaya Engkau sendiri berkenan menempatkan harapanku untuk hidup perkawinan ini di tempatnya yang paling tepat.
Bimbinglah aku, ya Tuhan, untuk dapat menemukan orang yang Engkau pilih sendiri menjadi pasangan hidupku. Sementara aku menantikan, sudilah kiranya Engkau berkenan menunjukkan kepadaku kehendak-Mu dalam perkara ini, dan bantulah aku untuk dapat mengenali diriku secara lebih baik. Bantulah aku untuk memperbaiki hidupku yang belum tertib untuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari perkawinan yang sukses.
Pada saat keinginanku untuk dapat menemukan pasangan hidup menjadi begitu membara, bantulah aku untuk tetap bisa rileks dan sabar. Bantulah aku agar aku dapat memanfaatkan segala bentuk persahabatan yang sedang aku jalani dapat membawa aku menjadi lebih dekat dengan-Mu, dan membantu aku untuk dapat mengambil keputusan yang penting. Ya, Tuhan, aku menyadari bahwa adalah wajar dan sangat alami bila pada saat seperti ini aku berjuang keras untuk mendapatkan cinta.
Ajarilah aku untuk mencari Engkau pertama-tama, dan kemudian aku akan belajar tentang bagaimana aku harus memberikan cinta itu sebelum aku mencoba untuk menerima cinta itu. Bantulah aku untuk mengingat bahwa jalan hidup apa pun yang akan aku tempuh, jalan itu akan tetap membimbing aku untuk lebih dekat dengan-Mu. Aku akan ingat bahwa Engkau selalu hadir dalam perjalanan hidupku, selalu menawarkan penyertaan dan bimbingan, dan selalu menaruh perhatian pada kebutuhanku yang paling dalam.
Aku mempersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, kesendirianku, kesepianku, dan kerinduanku untuk menjalani hidup perkawinan. Aku mohon sudilah kiranya Engkau membimbing aku, menuju kepada kehendak-Mu yang sempurna di dalam kerinduanku untuk hidup perkawinan ini dan harapanku di dalam segala peristiwa hidup yang ingin aku lalui. Ya Tuhan, kabulkanlah doa permohoanku ini, yang aku sampaikan kepada-Mu, dengan perantaraan Putera-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus. Amin.
Bimbinglah aku, ya Tuhan, untuk dapat menemukan orang yang Engkau pilih sendiri menjadi pasangan hidupku. Sementara aku menantikan, sudilah kiranya Engkau berkenan menunjukkan kepadaku kehendak-Mu dalam perkara ini, dan bantulah aku untuk dapat mengenali diriku secara lebih baik. Bantulah aku untuk memperbaiki hidupku yang belum tertib untuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari perkawinan yang sukses.
Pada saat keinginanku untuk dapat menemukan pasangan hidup menjadi begitu membara, bantulah aku untuk tetap bisa rileks dan sabar. Bantulah aku agar aku dapat memanfaatkan segala bentuk persahabatan yang sedang aku jalani dapat membawa aku menjadi lebih dekat dengan-Mu, dan membantu aku untuk dapat mengambil keputusan yang penting. Ya, Tuhan, aku menyadari bahwa adalah wajar dan sangat alami bila pada saat seperti ini aku berjuang keras untuk mendapatkan cinta.
Ajarilah aku untuk mencari Engkau pertama-tama, dan kemudian aku akan belajar tentang bagaimana aku harus memberikan cinta itu sebelum aku mencoba untuk menerima cinta itu. Bantulah aku untuk mengingat bahwa jalan hidup apa pun yang akan aku tempuh, jalan itu akan tetap membimbing aku untuk lebih dekat dengan-Mu. Aku akan ingat bahwa Engkau selalu hadir dalam perjalanan hidupku, selalu menawarkan penyertaan dan bimbingan, dan selalu menaruh perhatian pada kebutuhanku yang paling dalam.
Aku mempersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, kesendirianku, kesepianku, dan kerinduanku untuk menjalani hidup perkawinan. Aku mohon sudilah kiranya Engkau membimbing aku, menuju kepada kehendak-Mu yang sempurna di dalam kerinduanku untuk hidup perkawinan ini dan harapanku di dalam segala peristiwa hidup yang ingin aku lalui. Ya Tuhan, kabulkanlah doa permohoanku ini, yang aku sampaikan kepada-Mu, dengan perantaraan Putera-Mu, Tuhan kami Yesus Kristus. Amin.
Minggu, 21 Oktober 2012
Doa Ulang Tahun Perkawinan
Perjalanan hidup bersama, sebagai pasangan suami-isteri bersama dengan anak-anak, bukanlah suatu perjalanan hidup yang selalu mudah dan bebas dari masalah. Karena itu, hari pesta perkawinan pantaslah disyukuri. Itulah mengapa kita merasa perlu untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada Allah itu melalui doa khusus.
Doa ulang tahun perkawinan
Ya Allah, Bapa yang Mahakasih, kami bersyukur kepada-Mu karena Engkau telah berkenan memberikan kepada kami tambahan umur panjang untuk hidup bersama sebagai keluarga.
Kami berterima kasih kepada-Mu karena cinta yang tumbuh makin subur dalam hidup kami dan karena ikatan hubungan kami satu sama lain makin erat hari demi hari. Kami bersyukur kepada-Mu: karena kebahagiaan yang boleh kami alami dan kami sadari; karena kesusahan yang boleh kami hadapi; karena pengalaman terang dan gelap yang boleh kami lalui dalam kehidupan kami bersama sampai hari ini.
Kami mohon ampun kepada-Mu, ya Allah yang Mahakasih, karena pada suatu saat kami pernah gagal di dalam membangun hidup bersama; karena pada suatu saat kami pernah mengalami kesulitan dalam hidup bersama; karena pada suatu saat kami pernah kurang simpati dan kurang mampu memahami satu sama lain; karena pada suatu saat kami pernah mengalami bahwa relasi di antara kami tidak sempurna sebagaimana seharusnya.
Ya Allah, Bapa yang Mahakasih, anugerahkanlah kepada kami tambahan waktu yang lebih lama lagi untuk dapat meneruskan perjalanan hidup kami, dan berikanlah kepada kami apa yang terbaik agar kami mampu mengemban tugas panggilan-Mu untuk menyempurkan satu sama lain dalam hidup bersama kami sebagai keluarga. Semua doa dan permohonan kami ini kami hunjukkan kepada-Mu, dengan perantaraan Kristus Tuhan dan Pengantara kami. Amin.
Senin, 15 Oktober 2012
Doa Tahun Iman
Allah Bapa yang Mahapengasih, kami bersyukur kepada-Mu karena melalui Yesus Kristus Putra-Mu, Engkau telah memanggil kami masuk ke dalam persekutuan Allah Tritunggal.
Utuslah Roh Kudus-Mu, agar kami senantiasa mempunyai iman yang hidup. Semoga pada Tahun Iman ini, kami semakin memperdalam iman kami melalui pendalaman Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja. Semoga pada perayaan-perayaan suci-Mu, terutama Ekaristi, kami semakin tinggal dalam Kristus dan berbuah melalui perwujudan iman sehari-hari di tengah aneka tantangan dan hambatan dalam Gereja dan masyarakat pada zaman ini.
Bersama Bunda Maria, Bunda kaum beriman, dan para rasul, guru dan teladan iman kami, kami unjukkan doa ini kepada-Mu dengan perantaraan Kristus, Tuhan kami.
Amin.
Utuslah Roh Kudus-Mu, agar kami senantiasa mempunyai iman yang hidup. Semoga pada Tahun Iman ini, kami semakin memperdalam iman kami melalui pendalaman Kitab Suci dan ajaran-ajaran Gereja. Semoga pada perayaan-perayaan suci-Mu, terutama Ekaristi, kami semakin tinggal dalam Kristus dan berbuah melalui perwujudan iman sehari-hari di tengah aneka tantangan dan hambatan dalam Gereja dan masyarakat pada zaman ini.
Bersama Bunda Maria, Bunda kaum beriman, dan para rasul, guru dan teladan iman kami, kami unjukkan doa ini kepada-Mu dengan perantaraan Kristus, Tuhan kami.
Amin.
Beriman: Belajar dari Bunda Maria
Tanggal 7 Oktober 2012 adalah hari pesta Santa Perawan Maria Ratu Rosario. Sehubungan dengan pesta perayaan Santa Perawan Maria Ratu Rosario, Paus Yohanes Paulus II (1986) melalui ensiklik “Redemptoris Mater” (Bunda Penebus), pernah mengingatkan kita umat beriman untuk menjadikan Bunda Maria sebagai model atau panutan dalam hidup beriman. Dalam surat pastoral “Porta Fidei” (Pintu Menuju Iman) Bapa Suci Benediktus XVI (2011) mengajak kita umat beriman untuk mengenali kembali peran Bunda Maria dalam misteri keselamatan Allah, untuk mencintai dan mengikuti Bunda Maria sebagai panutan dalam hidup beriman dan berkeutamaan. Pada hari ini, kita akan belajar dari Bunda Maria mengenai keutamaan iman.
Untuk itu marilah kita renungkan kembali apa artinya hidup beriman itu bagi kita. Pertanyaan awal yang pantas kita ajukan adalah: “Apa sebenarnya iman itu?” Iman itu bukan ajaran. Iman itu relasi kita dengan Tuhan. Iman adalah relasi pribadi antara kita dengan Allah. Karena kekuatan dan kepastiannya mutlak, iman itu dapat menjamin keselamatan hidup kita. Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir, yang berbicara melalui para nabi, dan yang menyemangati para penulis Mazmur untuk menyanyikan puji-pujian dan memohon belaskasih-Nya.
Dalam Perjanjian Baru, iman itu mengacu pada relasi kita dengan Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit, yang mengklaim setiap pengikut-Nya untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Beriman dalam Yesus Kristus berarti menyerahkan seluruh keberadaan kita kepada Dia, dan menemukan di dalam keberadaan kita itu kegembiraan yang lebih mendalam daripada melewatkan kegembiraan dan kesedihan di dalam hidup kita. Bagi Santo Paulus, iman adalah relasi yang mesra dan terus menerus dengan Yesus yang telah bangkit.
Kata-kata dalam surat kepada umat di Ibrani barangkali adalah kata-kata yang paling tepat mengungkapkan apa yang disebut “iman”. Kata-kata itu bunyinya demikian: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11: 1). Kata-kata itu sungguh menakjubkan dan memang benar, tetapi iman itu tetap merupakan rahasia besar yang tidak ada batasnya untuk dipahami. Iman itu sedemikian dalam sehingga kita tidak bisa menyelaminya. Iman itu sedemikian tinggi sehingga kita tidak bisa meraihnya. Iman itu sedemikian luas sehingga kita tidak bisa menjangkaunya. Salah satu jalan untuk dapat mengetahui iman adalah memeluk iman itu.
Santo Alfonsus de Liguori pernah menyatakan bahwa Bunda Maria adalah Bunda yang patut menjadi teladan dalam hidup beriman. Bunda Maria bukan hanya Bunda yang bisa menjadi teladan dalam hidup saling mengasihi dan teladan dalam hidup yang berpengharapan, tetapi juga teladan dalam hidup beriman.
Dengan mengutip kata-kata Santo Paulus: “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya, dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” (1Kor 7: 14), Santo Richardus mengatakan bahwa “Maria adalah seorang wanita yang percaya dan karena imannya itu Adam yang tidak percaya dan semua orang lain diselamatkan.” Karena itu, atas dasar pertimbangan iman, Elisabeth menyebut Bunda Maria: “Berbahagialah ia yang telah percaya sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (Luk 1: 45). Dan Santo Agustinus menambahkan bahwa Maria diberkati oleh Allah karena ia menerima iman akan Kristus, dan bukan karena mengandung tubuh Kristus.
Pater Suarez pernah mengatakan bahwa Santa Perawan Maria itu memiliki iman yang lebih daripada semua orang yang lain dan para malaikat. Maria melihat putera-Nya di kandang kewan Betlehem, dan Maria mempercayai Yesus sebagai Pencipta dunia. Maria melihat bahwa Yesus dibawa pergi lari menjauh dari Herodes, dan ia mempercayai bahwa Yesus adalah raja dari segala raja. Maria melihat Yesus lahir, dan ia mempercayai Yesus sebagai raja abadi; Maria melihat Yesus yang miskin, membutuhkan makanan, dan Maria mempercayai bahwa Yesus adalah raja semesta alam. Maria melihat Yesus berbaring di tempat jerami, dan Maria mempercayai Yesus sebagai kuasa yang hadir dalam banyak peristiwa kehidupan. Maria melihat bahwa Yesus tidak bicara, dan dia mempercayai Yesus sebagai kebijaksanaan tanpa batas. Maria mendengar Yesus menangis, dan dia mempercayai bahwa Yesus adalah kegembiraan Firdaus. Maria melihat Yesus di saat kematian-Nya, ketika sengsara dan disalib, dan Maria tetap teguh dalam iman bahwa Dia adalah Allah.
Berdasarkan pada kata-kata dalam Injil, “Dan di dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya, dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.” (Yoh 19: 25), maka Santo Antonius menyatakan, “Maria berdiri, didukung oleh imannya, dia tetap teguh percaya akan keilahian Kristus.” Dan karena alasan ini Santo Antonius menambahkan sebutan untuk Bunda Maria bahwa Maria adalah satu-satunya lilin yang masih menyala; dan Santo Leo mengenai hal ini menyebut Maria dengan kata-kata yang diambil dari Kitab Amsal “Pada malam hari, pelitanya tidak padam.” (Amsal 31: 18). Dan dengan mengutip kata-kata dari Nabi Yesaya “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan” (Yes 63: 3); Santo Thomas menyatakan bahwa Nabi Yesaya pernah mengatakan bahwa ada seorang manusia, yaitu Santa Perawan Maria, yang imannya tak pernah luntur. Santo Albertus Agung meyakinkan kita bahwa “Maria memiliki iman yang sempurna; meski pun para murid Yesus ragu-ragu, tetapi Maria tidak pernah ragu-ragu dalam iman.”
Santo Ildephonsus menganjurkan kepada kita untuk meniru iman Maria. Tetapi bagaimana caranya? Apa yang mesti kita lakukan? Iman adalah anugerah; dan iman adalah keutamaan. Iman itu anugerah dari Allah, Sebagai anugerah dari Allah iman itu menerangi jiwa kita. Sebagai keutamaan, iman itu memerintahkan jiwa kita untuk memprakterkkan iman itu. Jadi, iman tidak berhenti sebagai aturan kepercayaan tetapi menjadi tindakan.
Karena itu Santo Gregorius mengatakan, “Ia sungguh mempercayai siapa yang menaruh apa yang ia percayai untuk dipraktekkan.” Dan Santo Agustinus menyatakan, “Kamu mengatakan: Aku percaya; kerjakan apa yang kamu katakan, dan itulah iman.” Inilah yang disebut penghayatan iman: hidup sesuai dengan yang diimani. “Orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman” (Ibr 10: 38). Jadi, Bunda Maria hidup sungguh berbeda dengan orang-orang lain yang tidak hidup sesuai dengan apa yang mereka percayai, dan orang-orang yang imannya telah mati. Maka, Santo Yakobus menyatakan, “Seperti tubuh tanpa roh adalah mati; demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yak 2: 26).
Maka, marilah pada hari ini, kita memohon kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria, agar kita dianugerahi keutamaan iman yang hidup seperti telah dihayati oleh Bunda Maria, sehingga kita tetap tangguh dalam menghadapi segala tantangan kehidupan sebagai umat beriman yang dihadapkan pada atheisme, materialisme dan hedonisme seperti sekarang ini.***
Untuk itu marilah kita renungkan kembali apa artinya hidup beriman itu bagi kita. Pertanyaan awal yang pantas kita ajukan adalah: “Apa sebenarnya iman itu?” Iman itu bukan ajaran. Iman itu relasi kita dengan Tuhan. Iman adalah relasi pribadi antara kita dengan Allah. Karena kekuatan dan kepastiannya mutlak, iman itu dapat menjamin keselamatan hidup kita. Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang membebaskan umat Israel dari perbudakan di Mesir, yang berbicara melalui para nabi, dan yang menyemangati para penulis Mazmur untuk menyanyikan puji-pujian dan memohon belaskasih-Nya.
Dalam Perjanjian Baru, iman itu mengacu pada relasi kita dengan Tuhan Yesus Kristus yang telah bangkit, yang mengklaim setiap pengikut-Nya untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya. Beriman dalam Yesus Kristus berarti menyerahkan seluruh keberadaan kita kepada Dia, dan menemukan di dalam keberadaan kita itu kegembiraan yang lebih mendalam daripada melewatkan kegembiraan dan kesedihan di dalam hidup kita. Bagi Santo Paulus, iman adalah relasi yang mesra dan terus menerus dengan Yesus yang telah bangkit.
Kata-kata dalam surat kepada umat di Ibrani barangkali adalah kata-kata yang paling tepat mengungkapkan apa yang disebut “iman”. Kata-kata itu bunyinya demikian: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11: 1). Kata-kata itu sungguh menakjubkan dan memang benar, tetapi iman itu tetap merupakan rahasia besar yang tidak ada batasnya untuk dipahami. Iman itu sedemikian dalam sehingga kita tidak bisa menyelaminya. Iman itu sedemikian tinggi sehingga kita tidak bisa meraihnya. Iman itu sedemikian luas sehingga kita tidak bisa menjangkaunya. Salah satu jalan untuk dapat mengetahui iman adalah memeluk iman itu.
Santo Alfonsus de Liguori pernah menyatakan bahwa Bunda Maria adalah Bunda yang patut menjadi teladan dalam hidup beriman. Bunda Maria bukan hanya Bunda yang bisa menjadi teladan dalam hidup saling mengasihi dan teladan dalam hidup yang berpengharapan, tetapi juga teladan dalam hidup beriman.
Dengan mengutip kata-kata Santo Paulus: “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya, dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” (1Kor 7: 14), Santo Richardus mengatakan bahwa “Maria adalah seorang wanita yang percaya dan karena imannya itu Adam yang tidak percaya dan semua orang lain diselamatkan.” Karena itu, atas dasar pertimbangan iman, Elisabeth menyebut Bunda Maria: “Berbahagialah ia yang telah percaya sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan akan terlaksana” (Luk 1: 45). Dan Santo Agustinus menambahkan bahwa Maria diberkati oleh Allah karena ia menerima iman akan Kristus, dan bukan karena mengandung tubuh Kristus.
Pater Suarez pernah mengatakan bahwa Santa Perawan Maria itu memiliki iman yang lebih daripada semua orang yang lain dan para malaikat. Maria melihat putera-Nya di kandang kewan Betlehem, dan Maria mempercayai Yesus sebagai Pencipta dunia. Maria melihat bahwa Yesus dibawa pergi lari menjauh dari Herodes, dan ia mempercayai bahwa Yesus adalah raja dari segala raja. Maria melihat Yesus lahir, dan ia mempercayai Yesus sebagai raja abadi; Maria melihat Yesus yang miskin, membutuhkan makanan, dan Maria mempercayai bahwa Yesus adalah raja semesta alam. Maria melihat Yesus berbaring di tempat jerami, dan Maria mempercayai Yesus sebagai kuasa yang hadir dalam banyak peristiwa kehidupan. Maria melihat bahwa Yesus tidak bicara, dan dia mempercayai Yesus sebagai kebijaksanaan tanpa batas. Maria mendengar Yesus menangis, dan dia mempercayai bahwa Yesus adalah kegembiraan Firdaus. Maria melihat Yesus di saat kematian-Nya, ketika sengsara dan disalib, dan Maria tetap teguh dalam iman bahwa Dia adalah Allah.
Berdasarkan pada kata-kata dalam Injil, “Dan di dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya, dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria Magdalena.” (Yoh 19: 25), maka Santo Antonius menyatakan, “Maria berdiri, didukung oleh imannya, dia tetap teguh percaya akan keilahian Kristus.” Dan karena alasan ini Santo Antonius menambahkan sebutan untuk Bunda Maria bahwa Maria adalah satu-satunya lilin yang masih menyala; dan Santo Leo mengenai hal ini menyebut Maria dengan kata-kata yang diambil dari Kitab Amsal “Pada malam hari, pelitanya tidak padam.” (Amsal 31: 18). Dan dengan mengutip kata-kata dari Nabi Yesaya “Aku seorang dirilah yang melakukan pengirikan” (Yes 63: 3); Santo Thomas menyatakan bahwa Nabi Yesaya pernah mengatakan bahwa ada seorang manusia, yaitu Santa Perawan Maria, yang imannya tak pernah luntur. Santo Albertus Agung meyakinkan kita bahwa “Maria memiliki iman yang sempurna; meski pun para murid Yesus ragu-ragu, tetapi Maria tidak pernah ragu-ragu dalam iman.”
Santo Ildephonsus menganjurkan kepada kita untuk meniru iman Maria. Tetapi bagaimana caranya? Apa yang mesti kita lakukan? Iman adalah anugerah; dan iman adalah keutamaan. Iman itu anugerah dari Allah, Sebagai anugerah dari Allah iman itu menerangi jiwa kita. Sebagai keutamaan, iman itu memerintahkan jiwa kita untuk memprakterkkan iman itu. Jadi, iman tidak berhenti sebagai aturan kepercayaan tetapi menjadi tindakan.
Karena itu Santo Gregorius mengatakan, “Ia sungguh mempercayai siapa yang menaruh apa yang ia percayai untuk dipraktekkan.” Dan Santo Agustinus menyatakan, “Kamu mengatakan: Aku percaya; kerjakan apa yang kamu katakan, dan itulah iman.” Inilah yang disebut penghayatan iman: hidup sesuai dengan yang diimani. “Orang-Ku yang benar akan hidup oleh iman” (Ibr 10: 38). Jadi, Bunda Maria hidup sungguh berbeda dengan orang-orang lain yang tidak hidup sesuai dengan apa yang mereka percayai, dan orang-orang yang imannya telah mati. Maka, Santo Yakobus menyatakan, “Seperti tubuh tanpa roh adalah mati; demikian jugalah iman tanpa perbuatan adalah mati.” (Yak 2: 26).
Maka, marilah pada hari ini, kita memohon kepada Allah dengan perantaraan Bunda Maria, agar kita dianugerahi keutamaan iman yang hidup seperti telah dihayati oleh Bunda Maria, sehingga kita tetap tangguh dalam menghadapi segala tantangan kehidupan sebagai umat beriman yang dihadapkan pada atheisme, materialisme dan hedonisme seperti sekarang ini.***
Tujuh Jalan Menumbuh-kembangkan Iman
Dalam rangka perayaan “Tahun Iman”, yang dibuka pada tanggal 11 Oktober 2012 dan ditutup pada tanggal 24 Nopember 2013, Paus Benediktus XVI melalui surat apostolik Porta Fidei (2011), mengajak umat kristiani di seluruh dunia untuk menyisihkan waktu yang khusus untuk menemukan kembali dan berbagi satu sama lain, anugerah yang sangat bernilai bagi hidup, yakni iman yang dipercayakan kepada Gereja, dan anugerah pribadi berupa iman yang kita terima masing-masing dari Allah Bapa, Allah Putera dan Allah Roh Kudus.
Katekismus Gereja Katolik (No. 162) menyatakan: “Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal ini: Hendaklah engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni. Beberapa telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka.” (1Tim 1: 18-19).
Jika iman merupakan harta kekayaan yang paling berharga, bagaimanakah kita dapat meningkatkannya dan melindunginya dari bahaya erosi materialistik di mana orang-orang Katolik juga nampak kehilangan iman mereka? Para penulis di bidang kehidupan rohani menganjurkan beberapa cara yang sangat berharga untuk membantu kita mampu menjaga anugerah Allah yang paling bernilai itu bertumbuh. Inilah beberapa anjuran yang bisa diajukan.
Pertama, berterimakasih dan bersyukur atas anugerah Allah yang sangat indah dan menakjubkan, yakni: anugerah iman. Salah satu pengajar iman yang paling besar, yakni Santo Paulus, pernah mengungkapkan penghargaannya yang mendalam mengenai hal ini. Santo Paulus mengatakan: “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2Kor 9: 15).
Kedua, kerap melakukan tindakan iman, yakni: tindakan iman kepada Allah yang sederhana, iman kepada Allah Tritunggal, iman kepada Kristus yang hadir dalam Ekaristi, iman kepada apa saja yang kita yakini dan diajarkan oleh Gereja. Iman akan semua hal itu menegaskan kembali di dalam pikiran-pikiran kita kebenaran ilahi yang sudah berjalan hingga millennium ketiga ini.
Ketiga, baca dan belajar dari buku-buku dan artikel-artikel yang mengulas mengenai iman kita, iman Katolik. Banyak buku yang baik yang tersedia sekarang, misalnya: Katekismus Gereja Katolik (1993) atau Iman Katolik (1996) yang diterbitkan oleh Konperensi Waligereja Indonesia. Tentu saja, buku yang paling penting adalah Kitab Suci, yakni sabda Allah sendiri.
Keempat, bergabung dengan kelompok-kelompok, masuklah ke paguyuban-paguyuban yang mengembangkan hidup beriman. Carilah renungan-renungan atau kotbah-kotbah yang ditulis oleh para pengkotbah Katolik yang baik. Hadirlah dalam kelompok-kelompok yang membangun hidup beriman dengan doa bersama dan melaksanakan devosi-devosi.
Kelima, mengikuti Perayaan Ekaristi sekerap mungkin. Tidak ada peristiwa lain di dunia ini yang lebih berharga daripada Perayaan Ekaristi, di mana Kristus menjadi sungguh nyata hadir di dalam Ekaristi, sumber segala kesucian dan iman.
Keenam, lebih dekat dengan Gereja, yakni: Gereja Katolik. Sebagai ibu seluruh umat beriman Gereja melindungi dan menjaga iman kita yang berharga itu, melalui para rasul dan penggantinya yang diutus dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi. Makin dekat dengan Gereja kita makin dekat dengan Allah Bapa, makin dekat dengan Kristus yang wakil Allah di dunia ini, dan dengan demikian makin kuatlah iman kita. Katekismus Gereja Katolik secara resmi mengajarkan bahwa Paroki kita adalah “persekutuan ekaristi dan hati kehidupan liturgi keluarga-keluarga kristiani”. Ekaristi memberikan tempat yang cocok untuk katekese anak dan orangtua.” ( bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 2226, halaman 540).
Ketujuh, menghayati iman! St. Paulus mengatakan: “Orang benar akan hidup dengan iman” (Rom 1: 17). Tetapi hal ini juga berarti menaruh iman kita di dalam perbuatan. St. Yakobus mengatakan bahwa “iman tanpa perbuatan adalah kosong.” (Yak 2: 26). Bagaimana kita dapat menghayati iman kita? Kita bisa membaca dan belajar dari kisah kehidupan para santo/santa yang memperlihatkan keperkasaan iman mereka yang dihayati di dalam hidup sehari-hari.
Dengan iman, mereka melihat Allah berada di mana-mana, di dalam ciptaan, di dalam diri banyak orang, di dalam alam semesta yang indah, di dalam peristiwa sehari-hari yang serba biasa. Seperti Bunda Teresa, para santa/santo membantu orang miskin, melihat Kristus di dalam diri mereka “Kristus yang hadir di dalam diri orang-orang yang tidak beruntung, mengalami kemalangan dalam hidup.” Mereka mengajak kembali kepada Allah untuk meminta bantuan kepada-Nya agar mereka mampu mengambil keputusan-keputusan.
Santo-santa memiliki devosi yang kuat, terutama devosi pada Kristus di dalam Ekaristi dan cinta pada Bunda-Nya, Maria. St. Paulus menulis: “Kami berjalan karena iman, dan bukan karena penglihatan.” (2Kor 5: 7). Tidak saatnya lagi sekarang kita tidak dapat menghayati iman melalui doa dan tindakan, tidak ada penderitaan lagi yang dapat kita persembahkan di dalam kesatuan dengan Kristus yang menderita untuk orang lain, tidak ada pekerjaan yang dapat kita laksanakan di luar iman; tidak ada bagian hidup ini yang dapat diangkat demi kehidupan keabadian.
“Supaya hidup dalam iman, dapat bertumbuh dan dapat bertahan dalam iman sampai akhir, kita harus memupuknya dengan sabda Allah; kita meminta kepada Tuhan supaya menumbuhkan iman itu. Iman itu harus bekerja melalui cintakasih (Gal 5: 6), ditopang oleh pengharapan dan berakar dalam iman Gereja.” (Katekismus Gereja Katolik, No.162). Maka, seperti para Rasul, kita harus selalu berdoa: “Tuhan, tumbuhkanlah iman kami.”
Katekismus Gereja Katolik (No. 162) menyatakan: “Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal ini: Hendaklah engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni. Beberapa telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka.” (1Tim 1: 18-19).
Jika iman merupakan harta kekayaan yang paling berharga, bagaimanakah kita dapat meningkatkannya dan melindunginya dari bahaya erosi materialistik di mana orang-orang Katolik juga nampak kehilangan iman mereka? Para penulis di bidang kehidupan rohani menganjurkan beberapa cara yang sangat berharga untuk membantu kita mampu menjaga anugerah Allah yang paling bernilai itu bertumbuh. Inilah beberapa anjuran yang bisa diajukan.
Pertama, berterimakasih dan bersyukur atas anugerah Allah yang sangat indah dan menakjubkan, yakni: anugerah iman. Salah satu pengajar iman yang paling besar, yakni Santo Paulus, pernah mengungkapkan penghargaannya yang mendalam mengenai hal ini. Santo Paulus mengatakan: “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2Kor 9: 15).
Kedua, kerap melakukan tindakan iman, yakni: tindakan iman kepada Allah yang sederhana, iman kepada Allah Tritunggal, iman kepada Kristus yang hadir dalam Ekaristi, iman kepada apa saja yang kita yakini dan diajarkan oleh Gereja. Iman akan semua hal itu menegaskan kembali di dalam pikiran-pikiran kita kebenaran ilahi yang sudah berjalan hingga millennium ketiga ini.
Ketiga, baca dan belajar dari buku-buku dan artikel-artikel yang mengulas mengenai iman kita, iman Katolik. Banyak buku yang baik yang tersedia sekarang, misalnya: Katekismus Gereja Katolik (1993) atau Iman Katolik (1996) yang diterbitkan oleh Konperensi Waligereja Indonesia. Tentu saja, buku yang paling penting adalah Kitab Suci, yakni sabda Allah sendiri.
Keempat, bergabung dengan kelompok-kelompok, masuklah ke paguyuban-paguyuban yang mengembangkan hidup beriman. Carilah renungan-renungan atau kotbah-kotbah yang ditulis oleh para pengkotbah Katolik yang baik. Hadirlah dalam kelompok-kelompok yang membangun hidup beriman dengan doa bersama dan melaksanakan devosi-devosi.
Kelima, mengikuti Perayaan Ekaristi sekerap mungkin. Tidak ada peristiwa lain di dunia ini yang lebih berharga daripada Perayaan Ekaristi, di mana Kristus menjadi sungguh nyata hadir di dalam Ekaristi, sumber segala kesucian dan iman.
Keenam, lebih dekat dengan Gereja, yakni: Gereja Katolik. Sebagai ibu seluruh umat beriman Gereja melindungi dan menjaga iman kita yang berharga itu, melalui para rasul dan penggantinya yang diutus dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi. Makin dekat dengan Gereja kita makin dekat dengan Allah Bapa, makin dekat dengan Kristus yang wakil Allah di dunia ini, dan dengan demikian makin kuatlah iman kita. Katekismus Gereja Katolik secara resmi mengajarkan bahwa Paroki kita adalah “persekutuan ekaristi dan hati kehidupan liturgi keluarga-keluarga kristiani”. Ekaristi memberikan tempat yang cocok untuk katekese anak dan orangtua.” ( bdk. Katekismus Gereja Katolik, No. 2226, halaman 540).
Ketujuh, menghayati iman! St. Paulus mengatakan: “Orang benar akan hidup dengan iman” (Rom 1: 17). Tetapi hal ini juga berarti menaruh iman kita di dalam perbuatan. St. Yakobus mengatakan bahwa “iman tanpa perbuatan adalah kosong.” (Yak 2: 26). Bagaimana kita dapat menghayati iman kita? Kita bisa membaca dan belajar dari kisah kehidupan para santo/santa yang memperlihatkan keperkasaan iman mereka yang dihayati di dalam hidup sehari-hari.
Dengan iman, mereka melihat Allah berada di mana-mana, di dalam ciptaan, di dalam diri banyak orang, di dalam alam semesta yang indah, di dalam peristiwa sehari-hari yang serba biasa. Seperti Bunda Teresa, para santa/santo membantu orang miskin, melihat Kristus di dalam diri mereka “Kristus yang hadir di dalam diri orang-orang yang tidak beruntung, mengalami kemalangan dalam hidup.” Mereka mengajak kembali kepada Allah untuk meminta bantuan kepada-Nya agar mereka mampu mengambil keputusan-keputusan.
Santo-santa memiliki devosi yang kuat, terutama devosi pada Kristus di dalam Ekaristi dan cinta pada Bunda-Nya, Maria. St. Paulus menulis: “Kami berjalan karena iman, dan bukan karena penglihatan.” (2Kor 5: 7). Tidak saatnya lagi sekarang kita tidak dapat menghayati iman melalui doa dan tindakan, tidak ada penderitaan lagi yang dapat kita persembahkan di dalam kesatuan dengan Kristus yang menderita untuk orang lain, tidak ada pekerjaan yang dapat kita laksanakan di luar iman; tidak ada bagian hidup ini yang dapat diangkat demi kehidupan keabadian.
“Supaya hidup dalam iman, dapat bertumbuh dan dapat bertahan dalam iman sampai akhir, kita harus memupuknya dengan sabda Allah; kita meminta kepada Tuhan supaya menumbuhkan iman itu. Iman itu harus bekerja melalui cintakasih (Gal 5: 6), ditopang oleh pengharapan dan berakar dalam iman Gereja.” (Katekismus Gereja Katolik, No.162). Maka, seperti para Rasul, kita harus selalu berdoa: “Tuhan, tumbuhkanlah iman kami.”
Minggu, 14 Oktober 2012
Masuk Lubang Jarum
Orang muda itu sudah hidup sesuai dengan hukum yang berlaku. Ia tidak pernah membunuh. Tidak pernah berzinah. Tidak pernah mencuri. Tidak pernah bersaksi palsu. Tidak pernah menipu orang lain. Selalu sopan dan hormat kepada orangtuanya. Rajin pergi ke kenisah dan berdoa. Tidak puas dengan ini semua, orang muda itu masih mencari. Dia mau belajar dari seorang guru, rabi Yesus, tentang bagaimana dia bisa memperoleh hidup kekal. Hanya satu saran Yesus: melepaskan harta kekayaannya.
Yesus tahu bahwa kekayaan itulah yang menyulitkan orang muda itu memperoleh hidup kekal. Yesus tahu bahwa orang itu sudah bebas melayani Allah di hampir semua wilayah kehidupannya, kecuali satu, yaitu: kepemilikannya. Yesus perlu membantu orang itu untuk menjadi bebas di dalam wilayah kehidupannya yang spesifik itu. Di sini Yesus menekankan kembali perintah Allah yang utama, “Kamu harus mencintai Allah dengan sepenuh hatimu!” Allah itu tidak hanya sekedar imbuhan dari 99% kebutuhan yang sudah bisa tercukupi. Allah itu di atas segalanya. Allah itu cinta.
Kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah segala sesuatu di dalam hidup kita, dalam karya pelayanan kita, pelayanan kita kepada saudara-saudari di sekitar kita, mengecualikan ini dan mengecualikan itu? Atau dengan kata lain, apakah kita sungguh-sungguh bebas di hadapan Allah? Allah meminta kepada kita ketulusan hati untuk mencintai dan membantu orang lain, untuk mencintai Allah sepenuh hati.
Hari Rabu yang lalu, tanggal 10 Oktober 2012, Henricus Sanyotohadi (54 tahun), seorang dosen di Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, meninggal dunia karena sakit. Romo Haryatmoko SJ, dosen Filsafat di STF Driyarkara Jakarta dan teman sebaya Henricus, ketika memimpin Misa Arwah, memberikan kesaksian dalam kotbahnya bahwa Henricus adalah seorang pribadi yang suka bersahabat dan banyak berbagi dalam hidupnya dengan teman-teman sebayanya. Dia adalah orang yang selalu memberikan inspirasi kepada orang lain.
Dia adalah seorang teman yang meski masih remaja sudah bisa memberikan nasihat kepada teman-temannya untuk berdevosi kepada Hati Kudus Yesus yang Maharahim: Kalau di antara kita bisa ikut Misa selama 9 kali berturut-turut pada hari Jumat pertama dalam bulan, kita pasti akan dikabulkan oleh Tuhan untuk masuk ke surga tanpa harus melalui api pencucian. “Nasihat itu sedemikian diingat oleh teman-temannya, sehingga ketika kami sudah sampai di hari ketujuh dan pada hari kedelapan lupa mengikuti Misa hari Jumat, maka ada salah satu di antara kami menangis, menyesal bahwa tidak bisa ikut Misa Sembilan kali berturut-turut,” demikian kisah Romo Haryatmoko.
“Bapak itu seorang pribadi yang demokratis, tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk anak-anaknya, Dia adalah seorang pribadi yang senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup mandiri, bebas dan bertanggungjawab.” demikian kesaksian anaknya yang sulung. “Bapak senantiasa mengajarkan persahabatan, menolong orang lain yang membutuhkan, dan berbuat baik kepada siapa pun tanpa kecuali.” “Persahabatan itu lebih penting daripada kekayaan. Persahabatan itu lestari; kekayaan itu tidak dibawa mati,” demikian kisah anak sulung tentang nasihat bapaknya.
“Bapak Henricus adalah seorang dosen yang selalu murah senyum. Yang keluar dari mulutnya selalu kata “ya” dengan segala alasannya, dan tidak pernah mengatakan “tidak”. Bapak Henricus adalah seorang pribadi yang ringan tangan, selalu membantu para mahasiswa dalam studi; dan menganjurkan kepada teman-teman dosen untuk studi lanjut. Sampai akhir hidupnya, dalam keadaan sakit pun, Bapak Henricus masih terus berusaha untuk menyelesaikan studinya di jenjang doktoral, sudah menyelesaikan disertasinya, dan tinggal ujian pendadaran. Kami merasa kehilangan seorang teman kerja yang inspiratif bagi orang lain,” demikian sepenggal kesaksian seorang ibu wakil dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, kolega kerja Henricus, ketika menyampaikan sambutan dan ucapan bela sungkawa.
“Ketika ada tamu seorang ibu (30 tahun) yang berjilbab datang dari Blora, membawa dua anak kembarnya yang baru saja lahir, untuk diserahkan kepada Yayasan Wikrama Putera, Henricus dalam keadaan sakit dan berbaring di Rumah Sakit St. Elisabeth, meminta dengan sangat kepada saya kakaknya menerima kedua anak itu menjadi anak asuh di Wikrama Putra, dengan mengatakan: Mas, mas, kuwi kudu ditampa. Aja ditolak ya! (Mas, anak itu harus diterima, jangan ditolak ya!)” demikian kisah pak Untung Sudono, memberikan kesaksian tentang adiknya yang selalu ingin menolong orang lain yang membutuhkan, tanpa pandang bulu.
Iklan di media massa mengajarkan kepada kita: jika anda memiliki ini memiliki itu, maka anda akan lebih bahagia. Tetapi hal itu tidak benar; karena pada akhirnya kita justru dimiliki oleh apa yang kita miliki, kita menjadi diperbudak oleh apa yang kita sebut sebagai “kebutuhan”. Yesus mengajarkan hal yang berlawanan: anda akan menjadi bebas dan bahagia (masuk ke dalam Kerajaan Allah, masuk ke dalam kehidupan kekal), jika anda berhenti memiliki dan mulailah mencintai tanpa menghitung.
Hidup kristiani itu merupakan sebuah perjalanan, sebuah gerak pergi keluar. Ketika seorang pribadi sudah merasa kecukupan dan tenang, dan membuat dirinya lekat dengan sesuatu, ia berlawanan dengan semangat Yesus. Lekat berarti mencintai sesuatu atau seseorang secara posesif, mencintai dengan cinta di mana cinta diri memainkan peranan yang menguasai. Apa pun jenis cinta diri tidak selaras dengan Kerajaan Allah, seperti Yesus katakan, sebab Allah itu cinta, terbebaskan dari segala bentuk cinta diri.
Segala sesuatu itu mungkin terjadi karena dikehendaki oleh Allah. Kita bisa masuk lubang jarum, kalau kita mencintai Allah sepenuh hati, terbebaskan dari cinta diri. “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Mrk 10: 27).
Yesus tahu bahwa kekayaan itulah yang menyulitkan orang muda itu memperoleh hidup kekal. Yesus tahu bahwa orang itu sudah bebas melayani Allah di hampir semua wilayah kehidupannya, kecuali satu, yaitu: kepemilikannya. Yesus perlu membantu orang itu untuk menjadi bebas di dalam wilayah kehidupannya yang spesifik itu. Di sini Yesus menekankan kembali perintah Allah yang utama, “Kamu harus mencintai Allah dengan sepenuh hatimu!” Allah itu tidak hanya sekedar imbuhan dari 99% kebutuhan yang sudah bisa tercukupi. Allah itu di atas segalanya. Allah itu cinta.
Kita bisa bertanya kepada diri kita sendiri: Apakah segala sesuatu di dalam hidup kita, dalam karya pelayanan kita, pelayanan kita kepada saudara-saudari di sekitar kita, mengecualikan ini dan mengecualikan itu? Atau dengan kata lain, apakah kita sungguh-sungguh bebas di hadapan Allah? Allah meminta kepada kita ketulusan hati untuk mencintai dan membantu orang lain, untuk mencintai Allah sepenuh hati.
Hari Rabu yang lalu, tanggal 10 Oktober 2012, Henricus Sanyotohadi (54 tahun), seorang dosen di Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang, meninggal dunia karena sakit. Romo Haryatmoko SJ, dosen Filsafat di STF Driyarkara Jakarta dan teman sebaya Henricus, ketika memimpin Misa Arwah, memberikan kesaksian dalam kotbahnya bahwa Henricus adalah seorang pribadi yang suka bersahabat dan banyak berbagi dalam hidupnya dengan teman-teman sebayanya. Dia adalah orang yang selalu memberikan inspirasi kepada orang lain.
Dia adalah seorang teman yang meski masih remaja sudah bisa memberikan nasihat kepada teman-temannya untuk berdevosi kepada Hati Kudus Yesus yang Maharahim: Kalau di antara kita bisa ikut Misa selama 9 kali berturut-turut pada hari Jumat pertama dalam bulan, kita pasti akan dikabulkan oleh Tuhan untuk masuk ke surga tanpa harus melalui api pencucian. “Nasihat itu sedemikian diingat oleh teman-temannya, sehingga ketika kami sudah sampai di hari ketujuh dan pada hari kedelapan lupa mengikuti Misa hari Jumat, maka ada salah satu di antara kami menangis, menyesal bahwa tidak bisa ikut Misa Sembilan kali berturut-turut,” demikian kisah Romo Haryatmoko.
“Bapak itu seorang pribadi yang demokratis, tidak pernah memaksakan kehendaknya untuk anak-anaknya, Dia adalah seorang pribadi yang senantiasa mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup mandiri, bebas dan bertanggungjawab.” demikian kesaksian anaknya yang sulung. “Bapak senantiasa mengajarkan persahabatan, menolong orang lain yang membutuhkan, dan berbuat baik kepada siapa pun tanpa kecuali.” “Persahabatan itu lebih penting daripada kekayaan. Persahabatan itu lestari; kekayaan itu tidak dibawa mati,” demikian kisah anak sulung tentang nasihat bapaknya.
“Bapak Henricus adalah seorang dosen yang selalu murah senyum. Yang keluar dari mulutnya selalu kata “ya” dengan segala alasannya, dan tidak pernah mengatakan “tidak”. Bapak Henricus adalah seorang pribadi yang ringan tangan, selalu membantu para mahasiswa dalam studi; dan menganjurkan kepada teman-teman dosen untuk studi lanjut. Sampai akhir hidupnya, dalam keadaan sakit pun, Bapak Henricus masih terus berusaha untuk menyelesaikan studinya di jenjang doktoral, sudah menyelesaikan disertasinya, dan tinggal ujian pendadaran. Kami merasa kehilangan seorang teman kerja yang inspiratif bagi orang lain,” demikian sepenggal kesaksian seorang ibu wakil dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, kolega kerja Henricus, ketika menyampaikan sambutan dan ucapan bela sungkawa.
“Ketika ada tamu seorang ibu (30 tahun) yang berjilbab datang dari Blora, membawa dua anak kembarnya yang baru saja lahir, untuk diserahkan kepada Yayasan Wikrama Putera, Henricus dalam keadaan sakit dan berbaring di Rumah Sakit St. Elisabeth, meminta dengan sangat kepada saya kakaknya menerima kedua anak itu menjadi anak asuh di Wikrama Putra, dengan mengatakan: Mas, mas, kuwi kudu ditampa. Aja ditolak ya! (Mas, anak itu harus diterima, jangan ditolak ya!)” demikian kisah pak Untung Sudono, memberikan kesaksian tentang adiknya yang selalu ingin menolong orang lain yang membutuhkan, tanpa pandang bulu.
Iklan di media massa mengajarkan kepada kita: jika anda memiliki ini memiliki itu, maka anda akan lebih bahagia. Tetapi hal itu tidak benar; karena pada akhirnya kita justru dimiliki oleh apa yang kita miliki, kita menjadi diperbudak oleh apa yang kita sebut sebagai “kebutuhan”. Yesus mengajarkan hal yang berlawanan: anda akan menjadi bebas dan bahagia (masuk ke dalam Kerajaan Allah, masuk ke dalam kehidupan kekal), jika anda berhenti memiliki dan mulailah mencintai tanpa menghitung.
Hidup kristiani itu merupakan sebuah perjalanan, sebuah gerak pergi keluar. Ketika seorang pribadi sudah merasa kecukupan dan tenang, dan membuat dirinya lekat dengan sesuatu, ia berlawanan dengan semangat Yesus. Lekat berarti mencintai sesuatu atau seseorang secara posesif, mencintai dengan cinta di mana cinta diri memainkan peranan yang menguasai. Apa pun jenis cinta diri tidak selaras dengan Kerajaan Allah, seperti Yesus katakan, sebab Allah itu cinta, terbebaskan dari segala bentuk cinta diri.
Segala sesuatu itu mungkin terjadi karena dikehendaki oleh Allah. Kita bisa masuk lubang jarum, kalau kita mencintai Allah sepenuh hati, terbebaskan dari cinta diri. “Bagi manusia hal itu tidak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah. Sebab segala sesuatu adalah mungkin bagi Allah.” (Mrk 10: 27).
Langganan:
Postingan (Atom)