Teresa Bracco memilih mati daripada menyerahkan diri kepada tentara yang mengancam dirinya mau merenggut keperawanannya. Hal ini terjadi di Italia, ketika Perang Dunia II masih berkecamuk.
Teresa Bracco lahir pada tanggal 24 Februari 1924 di sebuah desa bernama Santa Giulia, yang termasuk wilayah keuskupan Acqui. Ia adalah seorang anak perempuan yang lahir dari pasangan suami isteri Katolik: Giacomo Bracco dan Anna Pera. Kedua orangtuanya ini adalah petani yang sungguh saleh dan rendah hati. Sejak usia muda Teresa sudah mempunyai perasaan cinta yang besar kepada Kristus yang hadir dalam Ekaristi dan memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria. Dia belajar berdoa di rumah, dibimbing oleh ayahnya sendiri dalam hal bagaimana dia harus berdoa Rosario, setiap malam, sesudah semua pekerjaannya selesai.
Pastor Natale Olivieri, yaitu pastor parokinya, membantu membentuk wataknya sebagai orang kristiani dengan cara memberikan kepadanya buku bacaan rohani dan keagamaan untuk dibaca. Bacaan itu sungguh memberikan inspirasi dan membimbing dia ke arah kesucian dalam hidup. Ketika dalam masa pembelajarannya di sekolah, guru-gurunya memberikan kesaksian bahwa perilakunya sungguh bisa menjadi suri teladan. Sebagai seorang gadis yang masih muda dan baru menginjak usia remaja, dia sudah selalu tampil dan menyempatkan diri pergi ke gereja dan mengikuti perayaan ekaristi setiap hari, setelah menempuh perjalanan satu kilometer dari rumahnya. Dia kerapkali terlihat berada di dalam gereja, dan matanya selalu tertuju dan terpusat ke tabernakel, seperti mengalami ekstase di depan Sakramen Mahakudus.
Menurut pengamatan para guru yang pernah mengajarnya, Teresa adalah seorang pribadi yang sungguh berbeda bila dibandingkan dengan gadis-gadis yang lain yang sebaya: caranya berbicara, dan penampilannya yang sederhana dalam berpakaian. Ketika ia berumur sembilan tahun, ia terkesan dan sangat senang melihat gambar Santo Dominico Savio, yang pernah mengatakan: “Lebih baik mati daripada berdosa.” Lalu ia menerapkan pernyataan Santo Dominico Savio itu untuk dirinya juga: “Itu juga yang akan terjadi padaku.”, dan karena itu ia menempatkan gambar itu di atas tempat tidurnya.
Masih dalam masa Perang Dunia II, pada musim gugur tahun 1943, di daerah di mana Teresa tinggal, yakni di daerah Acqui, terjadilah perang gerilya antara angkatan bersenjata melawan tentara Jerman, di jalan antara Cairo Montenotte dan Cortemilia. Hari berikutnya, pada tanggal 28 Agustus 1944, tentara Jerman datang kembali untuk mengumpulkan tentara mereka yang menjadi kurban perang, sambil membakar rumah dan tanah pertanian, dan menteror masyarakat. Sementara itu pula, mereka menangkap tiga gadis, yang salah satu di antaranya adalah Teresa. Salah seorang tentara memaksa dia ke suatu tempat sepi di dalam hutan.
Ketika ia mencoba melarikan diri untuk mendapatkan bantuan dari keluarga yang tinggal dekat di situ, salah seorang tentara mendorong dia dengan paksa hingga jatuh terbentur di tanah. Teresa mencoba melawan, tetapi akibatnya tentara itu marah, lalu mencekiknya, menembakkan senjatanya dua kali, dan akhirnya menginjak kepala Teresa dengan sepatu boot-nya. Keteguhan hati Teresa sungguh kuat dan keinginannya menjadi kenyataan: “Aku lebih memilih mati dibunuh daripada menyerahkan diri.”
Setelah beatifikasi di Turin’s Square pada tanggal 24 Mei 1998, Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa inilah keutamaan kemurnian yang mau diwartakan oleh Beata Teresa Bracco. “Ia adalah juara dan menjadi saksi kemartiran. Ketika ia belajar tentang apa yang pernah terjadi pada diri kaum perempuan muda di saat terjadi kekacauan dan kekerasan, ia meneriakkan sebuah pesan tanpa keraguan: “Aku memilih mati daripada diperkosa.”
“Kemartiran telah memahkotai perjalanannya sebagai orang kristiani yang matang, yang berusaha mengembangkan diri dari hari ke hari, dengan menimba kekuatan dari perayaan Ekaristi dan penerimaan komuni, dan dari devosi yang mendalam kepada Santa Perawan Maria Bunda Allah.”
Paus Yohanes Paulus II menetapkan Beata Teresa Bracco sebagai model bagi kaum muda untuk melawan roh dunia. Paus mengatakan: “Sungguh merupakan pesan pengharapan bagi semua saja yang berjuang melawan roh dunia. Kepada orang-orang muda, khususnya kaum perempuan, saya mengharapkan mereka mau belajar dari iman yang jelas yang telah dimiliki oleh Teresa, belajar dari keberaniannya untuk mengurbankan diri, bahkan mengurbankan hidupnya sendiri jika perlu, dan tidak mau mengkhianati nilai-nilai yang sungguh memberikan makna bagi kehidupan itu sendiri.”
Tindakan yang sungguh berani itu adalah “konsekuensi logis dari keinginannya yang teguh untuk tetap setia kepada Kristus”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar