Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Minggu, 25 November 2012

Berserah Diri

Singkirkan beban hidup masa silam
Kekecewaan dan noda yang suram
Percuma meratapi yang t'lah basi
Serahkan ke tangan kasih Ilahi

Singkirkan beban hidup masa depan
Cemas gelisah dan kekhawatiran
Percuma merisaukan yang b'lum pasti
Serahkan ke tangan kasih Ilahi

Trimalah beban hidup masa kini
Dengan Iman dan Kasih dalam hati
Jadikan korban persembahan diri
Melimpah berkat dan rahmat Ilahi

- Mgr. FX. Prajasuta, MSF.

Jumat, 23 November 2012

Doa dalam Penderitaan

Ketika hidupku hampa, hatiku tak puas, semangatku meredup, Kristus yang lahir di kandang Betlehem, lahirlah di dalam hatiku.

Ketika aku menemukan pencobaan dalam hidupku, dan ketika kemakmuran, keadilan serta kenikmatan sulit didapatkan, Kristus yang dalam keadaan digoda oleh Setan di padang gurun, doakanlah aku.

Ketika kegembiraan karena kesehatan, karena kebahagiaan, karena kesejahteraan, dan karena kehangatan yang aku rasakan, karena cintakasih Allah yang aku alami, Kristus yang berjalan keliling desa Galilea, berjalanlah bersama aku.

Ketika aku mencari kepentinganku sendiri, kebaikanku sendiri di hadapan Allah dan sesama, Kristus yang membersihkan bait Allah, bekerjasamalah dengan aku.

Ketika keputusan-keputusan sulit dibuat dan aku tidak mampu untuk melihat jalan ke mana aku harus melangkah, Kristus yang berada di taman Getsemani, menangislah bersama aku.

Ketika aku berhadapan dengan situasi pahit, penderitaan dan kegagalan, dan hatiku berteriak “Mengapa aku ya Tuhan.”, Kristus yang berada di gunung Kalvari, tinggallah bersama aku.

Ketika akhirnya aku mengalami jalan buntu dalam perjalananku dan di dalam membawa hidupku ke arah yang Kaukehendaki, Kristus yang telah keluar dari liang kubur, datanglah padaku.

Tuhan, semoga aku dapat menemukan iman di dalam penderitaan, sakit, dan kegagalan yang aku hadapi. Semoga aku selalu berada di dalam Engkau, ketika aku gembira dan ketika aku susah, ketika aku untung dan ketika aku malang. Amin.

Kamis, 22 November 2012

Doa Pengantin Baru kepada Keluarga Kudus

Ya Yesus, saudara kami, Putra Allah dan Putra Maria, kami bersyukur kepada-Mu karena pemberian hidup yang Engkau percayakan kepada kami untuk kami pelihara. Bantulah kami untuk menjadi orangtua yang lembut dan bijaksana, yang mampu mencintai dan mengampuni, yang disiplin dan tetap mampu memberikan kebebasan. Berkatilah keluarga kami, yang baru kamu mulai pada hari ini, setelah kami berdua meneguhkan pernikahan kami . Pada hari ini kami memulai membangun keluarga baru, Gereja kecil, yang menjadi bagian dari Gereja Kudus yang pernah Engkau dirikan. Berkat bantuan rahmat-Mu, biarlah hidup yang rukun, damai dan saling mencintai, sebagaimana Engkau telah alami di dalam keluarga-Mu sendiri di kota kecil Nazareth, dapat memberikan inspirasi bagi kami berdua.

Ya Santa Maria, Bunda Yesus dan Bunda kami, peliharalah keluarga kami yang baru ini dengan iman dan cinta-Mu. Jagalah kami agar kami senantiasa tetap berhubungan erat dengan Putramu Yesus, di dalam segala situasi keluarga kami, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang.

Ya Santo Yosef, Bapa angkat Tuhan Yesus, penjaga dan mempelai Maria, jagalah keluarga kami agar tetap aman dari ancaman dan bahaya. Bantulah kami di saat-saat di mana kami cemas dan takut.

Ya Keluarga Kudus dari Nazareth, teladan bagi keluarga-keluarga kristiani, buatlah keluarga kami menjadi satu dengan keluarga-Mu. Bantulah kami agar kami dapat menjadi alat damai, menjadi pribadi-pribadi yang dapat saling mencintai dan mengampuni. Anugerahkanlah kepada kami cinta yang dikuatkan oleh rahmat, sehingga cinta itu dapat membuktikan  kekuatannya yang lebih besar ketika harus mengatasi segala pencobaan dan kelemahan yang kami hadapi. Semoga keluarga kami selalu menempatkan Allah pada pusat hati kami dan di tengah rumah kami seumur hidup kami, sehingga kelak kami boleh menjadi keluarga yang bersatu, bahagia, dan damai di dalam rumah yang abadi bersama-Mu. Amin.

Selasa, 13 November 2012

Mencintai Allah: Belajar dari Bunda Maria

Sesuai dengan tema Novena yang diselenggarakan pada tanggal 2 Desember 2012 di Gua Maria Tritis Wonosari, kali ini kita diajak untuk merenungkan kembali makna keutamaan cintakasih, seperti diteladankan oleh Bunda Maria. Dalam katekismus Gereja Katolik kita baca bahwa “kasih itu adalah kebajikan ilahi, yang dengannya kita mengasihi Allah di atas segala-galanya demi diri-Nya sendiri, dan  karena kasih kepada Allah itu kita mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri.” (CCC 1822).

Di dalam Injil Yohanes, Yesus menjelaskan kepada para murid bahwa dia memberikan kepada mereka perintah baru, yaitu: “Hendaknya kamu saling mengasihi satu sama lain seperti Aku telah mencintai kamu.” (Yoh 13: 1). Ketika Yesus mempersembahkan hidup-Nya di kayu salib, Ia menunjukkan “kebaruan” dari perintah-Nya, yakni kasih seperti yang Dia harapkan, kasih yang dilakukan Dia untuk kita.

 Perintah itu perintah baru, karena perintah itu melukiskan relasi yang berbeda antara Allah dengan ciptaan-Nya. Peristiwa inkarnasi telah mengubah relasi antara Allah dan manusia. Ketika Allah menjadi manusia, maka Allah masuk ke dalam lingkungan ciptaan-Nya, masuk ke dalam komunitas manusia. Yesus mengungkapkan relasi yang berubah itu, ketika Dia mengatakan kepada para murid, “Aku tidak menyebut kamu hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya. Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku sudah mengatakan kepadamu segala sesuatu yang telah Aku dengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15: 15).

Menurut Santo Thomas Aquinas, keutamaan cintakasih merupakan aspek persahabatan dengan Allah, dan bersama dengan semua anak-anak Allah (II.II, 23, 1). Dalam setiap persaha-bat¬an, ada kegiatan berbagi antara dua individu yang bersahabat. Tetapi dengan Allah, apa yang dapat kita bagikan? Kita dapat mencintai Allah hanya karena “Allah telah mencintai kita terlebih dahulu”. St. Yohanes menulis di dalam suratnya yang pertama, “Di dalam cinta ini, bukan bahwa kita telah mencintai Allah, tetapi bahwa Dia telah mencintai kita … kita mencintai karena Dia sudah mencintai kita lebih dahulu” (1Yoh 4: 10,19).

Cinta Allah kepada kita adalah dasar. Cinta Allah itu memberikan kepada kita kemampuan untuk mencintai Dia, dan cinta Allah itu adalah sumber kapasitas kita untuk mencintai dunia yang sudah Allah ciptakan. Setelah Allah, giliran berikut yang harus kita cintai adalah diri kita sendiri. Kita diundang untuk mencintai diri kita sendiri. Cinta itu tidak boleh bersifat egois. Kita harus ingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk mencintai sesama kita seperti diri kita sendiri (Ul 19: 18).

Thomas Aquinas mengutip kata-kata Aristoteles yang mengidentifikasi cinta pada diri sendiri sebagai pembanding untuk cinta kita kepada orang lain. Thomas mengatakan: “Asal-usul relasi persahabatan dengan orang lain diletakkan pada relasi kita dengan diri kita sendiri.” Kasih kepada Allah mendorong kita untuk mengasihi orang lain sesama kita, dan pada titik tertentu hal ini mengajak kita untuk memusatkan perhatian kita kepada apa yang pernah Kristus katakan: “Kasihilah musuh-musuhmu” (Mat 5: 44).

Kita harus memasukkan musuh ke dalam kelompok sesama kita. Kita tidak boleh memiliki kepedulian cinta yang kecil terhadap orang-orang yang tidak kita sukai. Kita harus mencintai secara tepat apa yang baik di dalam pribadi-pribadi, yaitu: kemanusiaan dan nilai sebagai makhluk ciptaan Allah. Kita harus siap untuk memasukkan musuh ke dalam doa-doa kita yang kita tawarkan bagi setiap orang, dan terutama memberikan bantuan kepada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan kita.

Pelaksanaan semua kebajikan ini dijiwai dan digerakkan oleh kasih. “Inilah pengikat yang menyatukan dan menyempurnakan” (Kol 3: 14); ia adalah pembentuk kebajikan; ia menentukan dan mengatur kebajikan-kebajikan; kasih Kristen mengamankan dan memurnikan kekuatan kasih manusiawi kita. Ia meninggikannya sampai kepada kesempurnaan adikodrati, kepada kasih ilahi.” (CCC 1828).

 “Bunda Maria adalah Ratu Cintakasih”, kata Franciscus de Sales. “Di mana ada kemurnian terbesar, di situ terdapat cinta yang terbesar.” Jadi, semakin hati ini murni, dan kosong dari diri sendiri, maka semakin penuhlah cinta kepada Allah. Bunda Maria yang tersuci, karena dia sangat rendah hati, dan tidak punya kepentingan untuk diri sendiri, dipenuhi dengan kasih ilahi, sehingga “cintanya kepada Allah melebihi cinta semua manusia dan malaikat.”, tulis Santo Bernardinus.

Santo Ricardus memberikan penegasan mengenai pendapat ini dengan mengatakan, “Bunda Emmanuel telah mempraktekkan keutamaan-keutamaan di dalam tingkat kesempurnaan yang paling tinggi. Siapakah orang yang dapat dibandingkan dengan Bunda Maria yang telah melakukan perintah Allah yang pertama, “Engkau akan mencintai Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu?”

Karena cintanya kepada Allah sedemikian mendalam, maka tidak ada suatu cacat apa pun dari cintanya kepada Allah.” “Cinta Bunda Maria kepada Allah sedemikian kuat merasuki jiwanya, sehingga tidak ada satu bagian pun dari dirinya yang tak terisi; dan karena itu Bunda Maria mampu mencintai Allah dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya, dan dengan segenap kekuatannya, dan penuh rahmat.”, kata St. Bernardus.

Allah yang adalah cinta (1Yoh 4: 8) datang ke dunia untuk mengobarkan di dalam hati semua orang api cintakasih Allah; tetapi tidak ada hati yang lebih berkobar daripada hati Bunda Allah, karena hati Bunda Allah itu sungguh murni dari ikatan-ikatan duniawi, dan sungguh dipersiapkan untuk mengobarkan api cintakasih yang terberkati. Santo Sophronius mengatakan bahwa ‘api cinta kasih Allah berkobar dalam hatinya sehingga tak ada ikatan duniawi mana pun yang dapat merasukinya; dia selalu mengobarkan api cinta surgawi seperti dikatakan: “Hati Maria telah menjadi api dari segala api yang menyala, seperti pernah kita baca tentang dia dalam Kidung Agung: “Nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan.” (Kid 8: 6), nyala api yang terkabar karena cinta, nyala api yang bersinar karena keteladanan yang diberikan kepada semua orang melalui praktek keutamaan.

Bunda Maria sendiri pernah menyatakan kepada Santa Brigitta: “Aku berpikir tentang Allah saja, dan tidak tentang yang lain; tidak untuk menyenangkan diriku tetapi untuk menyenangkan Allah.” Santo Bernardinus menegaskan bahwa selama hidup di dunia Bunda Maria selalu mencintai Allah: “Pikiran Bunda Maria selalu dibungkus di dalam hasrat untuk mencintai Allah.” Santo Bernardinus menambahkan: “Bunda Maria tidak pernah melalukan sesuatu yang tidak menyenangkan Allah; Bunda Maria mencintai Allah karena dia berpikir bahwa Allah harus dia cintai.”

Bunda Maria pernah mengatakan kepada Santa Brigitta, “Anakku, jika kamu ingin dekat dengan aku, maka cintailah Puteraku.” Maksud Bunda Maria adalah menunjukkan kepada kita tentang Allah yang dia cintai. Karena Maria berada dalam nyala api cinta kepada Allah, maka siapa saja yang mencintai dan mendekati dia, dikobarkan oleh dia dengan cintakasih yang sama. Karena itu Santa Catherina dari Siena menyebut Maria sebagai pembawa nyala api cintakasih Allah. Jika kita ingin terbakar dengan nyala api Bunda Maria, maka kita perlu senantiasa ingin untuk dekat dengan Bunda Maria dengan berdoa.

Dalam ensiklik Deus Caritas Est (art. 41), Paus Benediktus XVI memberikan perhatian khusus pada Bunda Maria yang memberikan keteladanan bagi kita dalam hal keutamaan cintakasih yang menjadi pusat perhatian ensiklik. Paus menulis bahwa Maria, Bunda Tuhan, adalah cermin bagi kita dalam hal kesucian. Dalam Injil Lukas, kita menemukan bagaimana Bunda Maria melayani dengan cintakasih kepada Elisabeth, saudara sepupunya. Di tempat Elisabeth, Bunda Maria tinggal selama 3 bulan (Luk 1: 56), membantu dia pada saat-saat akhir kehamilannya.

“Jiwaku memuliakan Tuhan” (Magnificat anima mea Dominum) adalah kata-kata Maria ketika dia berjumpa dengan Elisabeth. Dengan kata-kata itulah Lukas mau menyatakan bahwa seluruh program hidup Maria adalah tidak untuk menjadikan dirinya pusat perhatian, tetapi untuk memberikan ruang bagi Allah, yang dijumpai dalam doa dan dalam pelayanan kepada sesama, dan karena itu kebaikan masuk ke dalam dunia. Kebesaran Maria terletak pada fakta bahwa dirinya ingin memuliakan Allah, dan bukan memuliakan dirinya sendiri. Maria adalah wanita yang bisa menjadi teladan bagi kita dalam hal mencintai. ***

Sabtu, 03 November 2012

Maria Pengantara Wahyu

Pada tanggal 4 Maret 2012,  tepat pada hari ketujuh Novena St. Perawan Maria, yang diselenggarakan oleh Paroki Wonosari bekerjasama dengan CLC-Indonesia, Mgr. Yohanes Pujasumarta berkenan memimpin Perayaan Ekaristi dan memberkati patung Bunda Maria yang baru untuk Gua Maria Tritis, dan memberi nama Gua Maria Tritis itu dengan gelar “Maria Pengantara Wahyu Ilahi”. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Menjelang Natal 1974, di desa Singkil Wonosari, Rm. Al. Hardjasudarma SJ, mendengar cerita dari seorang anak bahwa di dekat ladangnya terdapat gua alami. Beberapa hari kemudian Rm. Hardjasudarma mendatangi lokasi gua itu dan mengupayakan supaya umat Katolik bisa berdoa di sana. Pada Oktober 1977, Rm. S. Zahnweh SJ menempatkan patung Maria di gua itu, dan memberkati tempat ini sebagai tempat ziarah dengan nama Gua Maria Tritis. Nama “Tritis” sendiri berkaitan dengan keadaan gua yang selalu meneteskan air dari langit-langitnya.

“Saya ingin membenahi Gua Maria Tritis dengan menggali sejarah kebudayaan supaya mendapatkan makna yang lebih mendalam mengenai keberadaan Gua Maria Tritis ini sebagai tempat ziarah. Gua Maria Tritis ternyata pernah berperan dalam sejarah karena menjadi jembatan Wahyu  antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram Yogyakarta”, kata Rm. SP. Bambang Ponco Santosa SJ, pastor kepala Paroki Wonosari, menerangkan.

“Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya tahun 1294, dengan membuka hutan Tarik di sekitar Trowulan, Jawa Timur. Majapahit mengalami kejayaan di bawah kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk yang dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada. Dalam Kitab Negara Kertagama, karya Empu Prapanca, dilukiskan wilayah Nusantara yang pemerintahannya tersusun dengan rapi dan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular dilukiskan Negara kesatuan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika,” jelas Mgr. Yohanes Pujasumarta tentang seluk beluk sejarah Gua Maria Tritis.

“Pada akhir abad 15 Majapahit runtuh. Raja Majapahit terakhir, yaitu Prabu Brawijaya V menikahi seorang putri Cina Palembang yang memeluk Islam menjadi selirnya. Tahun 1480 anak mereka, yaitu Adipati Demak yang bernama Raden Patah memisahkan diri dari Majapahit dan membangun kerajaan atas dasar ajaran Islam. Raden Patah naik tahta di Demak dengan gelar Sultan Ayah Alam Akbar I. Demak semakin kuat karena dukungan cendekiawan yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga,” jelas Bapa Uskup Pujasumarta.
“Orang-orang yang tidak mau menerima pemerintahan Demak melarikan diri sampai jauh, bahkan ada yang sampai ke Gunung Kidul. Tiga prajurit yang menolak pemerintahan Demak di bawah Raden Patah dan yang tetap setia kepada Majapahit, melarikan diri sampai ke Gunung Kidul. Mereka itu adalah Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Bondan Surati. Mereka bertapa di sebuah gua untuk mencari Wahyu yang pindah dari Majapahit. Gua tempat bertapa tiga prajurit Majapahit itulah yang sekarang menjadi Gua Maria Tritis,” tambahnya.

“Di gua Tritis ini Ki Ageng Pemanahan mendapatkan Wahyu tentang pewaris Kerajaan Majapahit. Meski Ki Ageng Pemanahan sudah wafat sebelum kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1575, dia telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi kehidupan Kerajaan Mataram sebagaimana Kerajaan Majapahit yang bersatu di atas semangat Bhineka Tunggal Ika. Kepemimpinan Kerajaan Mataram diteruskan oleh  Sutan Hadiwijaya sebagai raja pertama yang bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Raja Mataram inilah yang menjadi pewaris Wahyu Kerajaan Majapahit,” jelas Bapa Uskup Pujasumarta.

Maria Pengantara Wahyu Ilahi

Atas dasar latar belakang budaya setempat, maka Maria di Gua Tritis yang selama ini tidak diberi gelar, kemudian diberi gelar Maria Pengantara Wahyu Ilahi. Tangan Maria yang dilukiskan terbuka menandakan kesiapan-Nya untuk menyalurkan rahmat atau wahyu Allah kepada siapa saja yang memohon kepada Allah dengan pengantaraan-Nya. Maria telah memberikan sang Penebus, Sumber segala rahmat, kepada dunia, dan dengan jalan ini Maria adalah saluran segala rahmat.

Istilah “Pengantara” (Mediatrix) untuk Maria,  pertama kalinya dipakai oleh Santo Efraim (ca. 306-373), yang menyatakan: “Aku menyebut engkau Pengantara dunia. Aku mohon perlindunganmu di saat-saat aku membutuhkannya.” Di dalam salah satu kotbahnya, Santo Efraim pernah menyatakan Maria sebagai “penyalur segala pemberian”. Santo Yohanes Vianney pernah mengatakan: “Semua orang kudus memiliki devosi yang kuat terhadap Bunda Maria. Tidak ada rahmat yang datang dari surga tanpa melalui tangan Maria. Kita tidak dapat masuk ke suatu rumah tanpa berbicara kepada penjaga pintu rumah. Santa Perawan Maria yang tersuci adalah penjaga pintu surga.”

Santo Alfonsus Liguori mengatakan: “Allah yang memberikan Yesus Kristus kepada kita, menghendaki agar segala rahmat yang ada tetap ada dan agar rahmat itu disalurkan kepada manusia sampai akhir dunia melalui jasa dan kebaikan Yesus Kristus, dan supaya disalurkan oleh tangan dan melalui pengantaraan Maria.”
Paus Pius X menyebut Maria sebagai penyalur segala pemberian. Paus Benediktus XV menyebut Maria sebagai pengantara segala rahmat. Paus Leo XIII mengatakan di dalam ensiklik tentang Rosario“Octobrae Mensae” (1891): “Dari warisan segala rahmat, yang dibawa oleh Yesus, tidak ada satu pun rahmat yang datang kepada kita kecuali melalui Maria, sesuai dengan kehendak Allah, sehingga seperti tidak seorang pun bisa mendekati Bapa yang Mahatinggi kecuali melalui Putera-Nya, demikian juga tidak seorang pun dapat mendekati Kristus kecuali melalui Bunda-Nya.”

Paus Pius XII dalam ensiklik “Ingravescentibus Malis” (1937), sepakat dengan pendapat St Bernardus dari Clairvaux, dengan menyatakan: “Jadi, inilah kehendak Allah, yakni bahwa kita harus mendapatkan segala sesuatu melalui Maria”. St Bernardus dari Clairvaux, yang wafat tahun 1153, pernah menyatakan tentang Maria, demikian: “Allah menghendaki bahwa kita tidak akan memiliki sesuatu, kecuali melalui tangan Maria.”
“Pada hari ini kita bersyukur kepada Tuhan karena Gereja boleh berkembang di tempat ini”, kata Mgr. Yohanes Pujasumarta dalam kotbahnya, 4 Maret 2012 di Gua Maria Tritis, sebelum memberkati patung Maria yang baru. “Gereja telah berkembang di tanah Jawa ini, berkat izin dari Raja Mataram Hamengku Buwono VIII, pada tahun 1914. Karena keterbukaan hati dari Raja Mataram ini Gereja di tanah Jawa berkembang  sebagai bagian dari Gereja Kristus di dunia. Itulah sebabnya tahun 1939 Gereja mengadakan Kongres Ekaristi pertama yang diprakrasai oleh Mgr. Willekens SJ, untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas perkembangan Gereja setelah 25 tahun berdiri di bawah Vikariat Apostolik Batavia.”

Mgr. Yohanes Pujasumarta mengharapkan bahwa tempat ini bisa menjadi tempat yang terbuka, tempat untuk berdoa bagi siapa saja: “Yang menarik perhatian kita adalah mengapa Hamengku Buwono VIII dan raja-raja Mataram pada waktu itu punya hati yang terbuka bagi tumbuh berkembangannya misi Gereja di tempat ini? Banyak kerajaan buatan manusia berkembang dan selalu runtuh. Kerajaan Majapahit bertahan lama dan menjadi termasyur karena rajanya mempunyai sikap yang terbuka. Kata kuncinya ditemukan oleh Empu Tantular “Bhineka Tunggal Ika”. Atas dasar prinsip itu, para raja Majapahit membiarkan agama-agama tumbuh bersama. Majapahit runtuh ketika prinsip Bhineka Tunggal Ika disingkirkan dan bergeser ke Kerajaan Demak. Ada perbedaan ideologi dan ada perbedaan pendapat itu sesuatu hal yang wajar dalam menghadapi pilihan-pilihan hidup, supaya ada pencerahan baru: bagaimana wahyu Kerajaan Majapahit dapat ditemukan kembali.”

“Belajar dari tradisi budaya, kita ingin Gua Maria Tritis ini menjadi tempat yang terbuka bagi siapa saja, tempat berdoa, tempat mencari tahu tentang kehendak Allah, supaya melalui Bunda Maria semakin banyak orang mengenal Yesus, mencintai dan melayani-Nya. Benih-benih sabda (semina verbi) yang kita temukan dalam budaya, harus tumbuh, berkembang, dan digenapi dalam diri Yesus Kristus”, pesan Mgr. Yohanes Pujasumarta dalam kotbahnya. ***

Berpengharapan: Belajar dari Bunda Maria

Hari tanggal 4 Nopember 2012, adalah hari Minggu Biasa XXXI. Gereja mengajak kita untuk merenungkan kembali perintah Tuhan yang utama, yakni: mencintai Tuhan dan mencintai sesama. Kita diingatkan kembali untuk hidup bagi sesama dan bersama-sama dalam persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian hidup kita sehari-hari, rumah dan ruang kerja kita, dapat menjadi tempat di mana kita beribadat kepada Tuhan dan bertemu dan bersatu dengan Yesus, dengan kesadaran bahwa Dialah jalan kita satu-satunya. Dialah yang menyelamatkan kita dan kini menjadi pengantara di hadapan Bapa.

Pada hari pertama Novena (2 September 2012) di tempat ziarah Gua Maria Tritis, kita telah belajar dari Bunda Maria tentang kerendahan hati. Pada hari kedua Novena (7 Oktober 2012) kita belajar tentang keutamaan iman. Pada hari ketiga ini (4 Nopember 2012), kita akan belajar dari Bunda Maria tentang keutamaan harapan. Harapan itu timbul karena iman. Allah menerangi kita lewat iman sehingga kita mengenali kebaikan Allah dan janji-janji yang telah dibuat-Nya. Karena pengetahuan itu kita menjadi punya harapan akan keinginan memiliki Dia. Maria memiliki harapan dalam tingkatan yang istimewa. Harapan ini membuat dirinya dekat dengan Allah, seperti dikatakan oleh Daud penulis Mazmur, “Tetapi aku, aku dekat dengan Allah; aku menaruh tempat perlindunganku pada Allah supaya aku dapat menceritakan segala pekerjaan-Nya” (Mzm 72: 28).

Bunda Maria itu adalah mempelai Roh Kudus. Tentang dia dikatakan “Siapakah dia yang muncul dari padang gurun; yang bersandar pada kekasihnya?” (Kid 8: 5). Penulis Kitab Kebijaksanaan menggambarkan dunia sebagai padang gurun. Maria muncul dari padang gurun, artinya terikat dengan hal-hal yang sifatnya duniawi. Karena itu Maria tidak menyandarkan diri pada makhluk dunia dengan segala kebaikannya, tetapi kepada rahmat ilahi. Maria selalu maju dalam cintanya kepada Allah. Tentang Maria, Ailgrino mengatakan: “Ia naik dari padang gurun, yakni dari dunia, ia mengumumkan dan mempertimbangkan dunia itu sebagai padang gurun, ia kembali kepada ikatan emosinya dari ikatan dunia itu. Ia bersandar pada Pribadi yang tercinta. Dia percaya bukan pada kebaikan dirinya tetapi percaya pada rahmat yang diberikan oleh Allah sendiri.”

Santa Perawan Maria yang tersuci memberikan indikasi yang jelas mengenai keagungan kepercayaannya kepada Allah. Pada tempatnya yang pertama ia memperlihatkan keagungan kepercayaannya kepada Allah, adalah ketika dia memperlihatkan kekhawatirannya tentang Yusuf suaminya yang suci itu. Karena tidak mampu memahami kehamilan Maria, pikiran Yusuf terganggu. Dan Yusuf berniat untuk meninggalkan Maria. Tetapi “Yusuf yang tulus hati itu tidak mau mencemarkan nama baik isterinya dan karena itu dia tidak bermaksud untuk menceraikannya dengan diam-diam.” (Mat 1: 19).

Dan Maria merasa tidak perlu menyatakan kepada Yusuf bahwa dia telah menerima misteri tersembunyi itu. Dia tidak ingin dirinya mewahyukan rahmat yang telah dia terima. Maria berpikir bahwa adalah lebih baik jika dia menyerahkan diri kepada penyelenggaraan ilahi, dan percaya penuh bahwa Allah sendiri akan membela ketidaktahuan dan reputasinya. Persis inilah yang ditunjukkan oleh Cornelius Lapide yang menyatakan komentarnya menanggapi teks Kitab Suci yang dikutip itu, yakni: “Santa Perawan Maria tidak mau mengungkapkan rahasia itu kepada Yusuf, dia akan tetap merahasiakan anugerah dari Allah itu; karena itu dia menyerahkan semuanya kepada penyelenggaraan ilahi, dia sepenuhnya percaya bahwa Allah akan menjagai ketidaktahuan dan reputasinya.”

Maria sekali lagi menunjukkan kepercayaannya kepada Allah ketika dia tahu bahwa saat kelahiran Tuhan sudah dekat. Dia menyewa tempat miskin di Betlehem, membopong sang bayi di kandang, dan membaringkan-Nya di palungan, karena tidak ada ruang penginapan bagi-Nya. (Luk 2: 7). Dia tak mengeluh sepatah kata pun. Dia menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, dan dengan kepercayaannya yang penuh itu ia yakin bahwa Allah akan membantu dia.

Bunda Maria juga menunjukkan betapa besar kepercayaannya pada penyelenggaraan ilahi ketika dia menerima nasihat dari Yusuf bahwa mereka harus mengungsi ke Mesir. Pada suatu malam Maria melakukan perjalanan ke suatu tempat yang belum dikenali dan masih asing, tanpa persiapan, tanpa persediaan apa pun, tanpa uang. Dia hanya ditemani oleh Yesus sang bayi dan suaminya yang miskin, yang bangun, yang mengambil Anak serta ibu-Nya malam itu juga, dan menyingkir ke Mesir (Mat 2: 14).

Tetapi masih banyak lagi bukti kepercayaan Maria yang sungguh mengagumkan ketika dia meminta anaknya untuk menyediakan anggur pada pesta perkawinan di Kana. Karena Maria mengatakan “Mereka kekurangan anggur”, Yesus pun menjawab kepada ibu-Nya, “Mau apakah engkau dari pada Aku, ibu? Saatku belum tiba.” (Yoh 2: 3). Setelah menjawab dan terbukti bahwa Yesus menolak, kepercayaannya kepada Allah sebegitu besar bahwa Maria menginginkan para pelayan pesta akan melakukan apa saja yang Yesus katakan kepada mereka; dan betul anugerah itu diberikan. “Lakukan apa saja yang diperintahkan oleh-Nya kepadamu.” Demikianlah yang terjadi. Yesus memerintahkan kepada para pelayan untuk mengisi tempayan-tempayan dengan air; maka berubahlah air menjadi anggur.

Marilah kita sekarang belajar dari Bunda Maria bagaimana kita dapat memiliki kepercayaan kepada Allah, demi keselamatan abadi kita. Di dalam kerangka keselamatan abadi itu kita mesti bekerjasama dengan Allah, karena hanya dari Dialah kita berharap untuk mendapatkan rahmat yang kita butuhkan untuk memperoleh keselamatan abadi itu. Kita harus tidak percaya pada kekuatan diri kita sendiri, tetapi seperti dikatakan oleh St Paulus, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Flp 4: 13)
Dari Kitab Sirakh kita tahu bahwa Bunda Maria adalah Bunda Harapan Kudus (Sir 24: 24), Bunda Gereja Kudus, dan Bunda Harapan kita. Karena Yesus, Bunda Maria adalah Bunda Harapan. Santo Bernardus menyebut Maria sebagai “Engkaulah sumber pengharapanku”, dan bersama Santo Bonaventura kita juga dapat mengulangi lagi sebutan itu “Ya Maria engkaulah tumpuan harapan untuk keselamatan semua orang, selamatkanlah kami juga.” ***