Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Sabtu, 03 November 2012

Maria Pengantara Wahyu

Pada tanggal 4 Maret 2012,  tepat pada hari ketujuh Novena St. Perawan Maria, yang diselenggarakan oleh Paroki Wonosari bekerjasama dengan CLC-Indonesia, Mgr. Yohanes Pujasumarta berkenan memimpin Perayaan Ekaristi dan memberkati patung Bunda Maria yang baru untuk Gua Maria Tritis, dan memberi nama Gua Maria Tritis itu dengan gelar “Maria Pengantara Wahyu Ilahi”. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Menjelang Natal 1974, di desa Singkil Wonosari, Rm. Al. Hardjasudarma SJ, mendengar cerita dari seorang anak bahwa di dekat ladangnya terdapat gua alami. Beberapa hari kemudian Rm. Hardjasudarma mendatangi lokasi gua itu dan mengupayakan supaya umat Katolik bisa berdoa di sana. Pada Oktober 1977, Rm. S. Zahnweh SJ menempatkan patung Maria di gua itu, dan memberkati tempat ini sebagai tempat ziarah dengan nama Gua Maria Tritis. Nama “Tritis” sendiri berkaitan dengan keadaan gua yang selalu meneteskan air dari langit-langitnya.

“Saya ingin membenahi Gua Maria Tritis dengan menggali sejarah kebudayaan supaya mendapatkan makna yang lebih mendalam mengenai keberadaan Gua Maria Tritis ini sebagai tempat ziarah. Gua Maria Tritis ternyata pernah berperan dalam sejarah karena menjadi jembatan Wahyu  antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Mataram Yogyakarta”, kata Rm. SP. Bambang Ponco Santosa SJ, pastor kepala Paroki Wonosari, menerangkan.

“Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya tahun 1294, dengan membuka hutan Tarik di sekitar Trowulan, Jawa Timur. Majapahit mengalami kejayaan di bawah kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk yang dibantu oleh Mahapatih Gajah Mada. Dalam Kitab Negara Kertagama, karya Empu Prapanca, dilukiskan wilayah Nusantara yang pemerintahannya tersusun dengan rapi dan dalam Kitab Sutasoma karya Empu Tantular dilukiskan Negara kesatuan dengan semangat Bhineka Tunggal Ika,” jelas Mgr. Yohanes Pujasumarta tentang seluk beluk sejarah Gua Maria Tritis.

“Pada akhir abad 15 Majapahit runtuh. Raja Majapahit terakhir, yaitu Prabu Brawijaya V menikahi seorang putri Cina Palembang yang memeluk Islam menjadi selirnya. Tahun 1480 anak mereka, yaitu Adipati Demak yang bernama Raden Patah memisahkan diri dari Majapahit dan membangun kerajaan atas dasar ajaran Islam. Raden Patah naik tahta di Demak dengan gelar Sultan Ayah Alam Akbar I. Demak semakin kuat karena dukungan cendekiawan yang tergabung dalam Dewan Wali Sanga,” jelas Bapa Uskup Pujasumarta.
“Orang-orang yang tidak mau menerima pemerintahan Demak melarikan diri sampai jauh, bahkan ada yang sampai ke Gunung Kidul. Tiga prajurit yang menolak pemerintahan Demak di bawah Raden Patah dan yang tetap setia kepada Majapahit, melarikan diri sampai ke Gunung Kidul. Mereka itu adalah Ki Ageng Giring, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Bondan Surati. Mereka bertapa di sebuah gua untuk mencari Wahyu yang pindah dari Majapahit. Gua tempat bertapa tiga prajurit Majapahit itulah yang sekarang menjadi Gua Maria Tritis,” tambahnya.

“Di gua Tritis ini Ki Ageng Pemanahan mendapatkan Wahyu tentang pewaris Kerajaan Majapahit. Meski Ki Ageng Pemanahan sudah wafat sebelum kerajaan Mataram berdiri pada tahun 1575, dia telah berhasil meletakkan dasar-dasar bagi kehidupan Kerajaan Mataram sebagaimana Kerajaan Majapahit yang bersatu di atas semangat Bhineka Tunggal Ika. Kepemimpinan Kerajaan Mataram diteruskan oleh  Sutan Hadiwijaya sebagai raja pertama yang bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Raja Mataram inilah yang menjadi pewaris Wahyu Kerajaan Majapahit,” jelas Bapa Uskup Pujasumarta.

Maria Pengantara Wahyu Ilahi

Atas dasar latar belakang budaya setempat, maka Maria di Gua Tritis yang selama ini tidak diberi gelar, kemudian diberi gelar Maria Pengantara Wahyu Ilahi. Tangan Maria yang dilukiskan terbuka menandakan kesiapan-Nya untuk menyalurkan rahmat atau wahyu Allah kepada siapa saja yang memohon kepada Allah dengan pengantaraan-Nya. Maria telah memberikan sang Penebus, Sumber segala rahmat, kepada dunia, dan dengan jalan ini Maria adalah saluran segala rahmat.

Istilah “Pengantara” (Mediatrix) untuk Maria,  pertama kalinya dipakai oleh Santo Efraim (ca. 306-373), yang menyatakan: “Aku menyebut engkau Pengantara dunia. Aku mohon perlindunganmu di saat-saat aku membutuhkannya.” Di dalam salah satu kotbahnya, Santo Efraim pernah menyatakan Maria sebagai “penyalur segala pemberian”. Santo Yohanes Vianney pernah mengatakan: “Semua orang kudus memiliki devosi yang kuat terhadap Bunda Maria. Tidak ada rahmat yang datang dari surga tanpa melalui tangan Maria. Kita tidak dapat masuk ke suatu rumah tanpa berbicara kepada penjaga pintu rumah. Santa Perawan Maria yang tersuci adalah penjaga pintu surga.”

Santo Alfonsus Liguori mengatakan: “Allah yang memberikan Yesus Kristus kepada kita, menghendaki agar segala rahmat yang ada tetap ada dan agar rahmat itu disalurkan kepada manusia sampai akhir dunia melalui jasa dan kebaikan Yesus Kristus, dan supaya disalurkan oleh tangan dan melalui pengantaraan Maria.”
Paus Pius X menyebut Maria sebagai penyalur segala pemberian. Paus Benediktus XV menyebut Maria sebagai pengantara segala rahmat. Paus Leo XIII mengatakan di dalam ensiklik tentang Rosario“Octobrae Mensae” (1891): “Dari warisan segala rahmat, yang dibawa oleh Yesus, tidak ada satu pun rahmat yang datang kepada kita kecuali melalui Maria, sesuai dengan kehendak Allah, sehingga seperti tidak seorang pun bisa mendekati Bapa yang Mahatinggi kecuali melalui Putera-Nya, demikian juga tidak seorang pun dapat mendekati Kristus kecuali melalui Bunda-Nya.”

Paus Pius XII dalam ensiklik “Ingravescentibus Malis” (1937), sepakat dengan pendapat St Bernardus dari Clairvaux, dengan menyatakan: “Jadi, inilah kehendak Allah, yakni bahwa kita harus mendapatkan segala sesuatu melalui Maria”. St Bernardus dari Clairvaux, yang wafat tahun 1153, pernah menyatakan tentang Maria, demikian: “Allah menghendaki bahwa kita tidak akan memiliki sesuatu, kecuali melalui tangan Maria.”
“Pada hari ini kita bersyukur kepada Tuhan karena Gereja boleh berkembang di tempat ini”, kata Mgr. Yohanes Pujasumarta dalam kotbahnya, 4 Maret 2012 di Gua Maria Tritis, sebelum memberkati patung Maria yang baru. “Gereja telah berkembang di tanah Jawa ini, berkat izin dari Raja Mataram Hamengku Buwono VIII, pada tahun 1914. Karena keterbukaan hati dari Raja Mataram ini Gereja di tanah Jawa berkembang  sebagai bagian dari Gereja Kristus di dunia. Itulah sebabnya tahun 1939 Gereja mengadakan Kongres Ekaristi pertama yang diprakrasai oleh Mgr. Willekens SJ, untuk mengucap syukur kepada Tuhan atas perkembangan Gereja setelah 25 tahun berdiri di bawah Vikariat Apostolik Batavia.”

Mgr. Yohanes Pujasumarta mengharapkan bahwa tempat ini bisa menjadi tempat yang terbuka, tempat untuk berdoa bagi siapa saja: “Yang menarik perhatian kita adalah mengapa Hamengku Buwono VIII dan raja-raja Mataram pada waktu itu punya hati yang terbuka bagi tumbuh berkembangannya misi Gereja di tempat ini? Banyak kerajaan buatan manusia berkembang dan selalu runtuh. Kerajaan Majapahit bertahan lama dan menjadi termasyur karena rajanya mempunyai sikap yang terbuka. Kata kuncinya ditemukan oleh Empu Tantular “Bhineka Tunggal Ika”. Atas dasar prinsip itu, para raja Majapahit membiarkan agama-agama tumbuh bersama. Majapahit runtuh ketika prinsip Bhineka Tunggal Ika disingkirkan dan bergeser ke Kerajaan Demak. Ada perbedaan ideologi dan ada perbedaan pendapat itu sesuatu hal yang wajar dalam menghadapi pilihan-pilihan hidup, supaya ada pencerahan baru: bagaimana wahyu Kerajaan Majapahit dapat ditemukan kembali.”

“Belajar dari tradisi budaya, kita ingin Gua Maria Tritis ini menjadi tempat yang terbuka bagi siapa saja, tempat berdoa, tempat mencari tahu tentang kehendak Allah, supaya melalui Bunda Maria semakin banyak orang mengenal Yesus, mencintai dan melayani-Nya. Benih-benih sabda (semina verbi) yang kita temukan dalam budaya, harus tumbuh, berkembang, dan digenapi dalam diri Yesus Kristus”, pesan Mgr. Yohanes Pujasumarta dalam kotbahnya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar