Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Sabtu, 26 Februari 2011

Doa Seorang Ibu



Tuhan, aku berterima kasih pada-Mu
untuk cinta-Mu yang meliputi dan menyanggaku.

Tentang-Mu belum aku tahu.
Namun dalam diri mereka yang Kautaruh di sampingku
terasa Kau telah menjadi bagian hidupku.

Selalu ada manusia seperti itu
ayah ibuku, nenekku, saudaraku,
suamiku, anak-anakku, dan teman-temanku.

Adakalanya tiba saat,
mereka-mereka itu terpisah dariku
juga dari-Mu, Tuhan, terpisah aku.

Aku jadi kehilangan pegangan hidup, sepi, bisu,
di tengah banyak orang, aku merasa
sunyi, terasing, dan aku tak mampu
berbuat apapun.

Disaat seperti itu Tuhan,
Kau anugerahkan padaku pengalaman
yang membuat aku sadar,
ternyata ada manusia yang mencintai dan memperhatikanku,
memberi wajah dalam arti hidupku.

Memang tiada selalu ada manusia,
seperti yang kuharap dan kunanti.
Tapi itulah saat yang justru baik bagiku,
dan itulah saat yang menghantarkanku
berada di samping orang-orang
yang sekarang memberiku
pegangan dan cahaya terang bagi hidupku.

Untuk semua itu aku bersyukur, ya Tuhan,
sebab sesungguhnya, karena cinta-Mu
Kaulah yang berdiri di belakang orang-orang itu.
Kepastian itu menyangga dan menandai hidupku.
Takkan aku melupakannya.
Selalu aku akan bersyukur untuk semuanya itu, ya Tuhan.

Jumat, 25 Februari 2011

Doa Orang Sakit


Tuhan, aku masih muda, kenapa justru sakit yang harus kuderita?
Hatiku iri akan mereka yang sehat.
Sering mereka tak sadar,
betapa seharusnya mereka merasa beruntung karena kesehatannya.

Maafkan aku, Tuhan, bila penderitaanku membuatku tidak adil
dan buta terhadap penderitaan orang lain.
Tuhan, aku tahu,
ada banyak orang yang tertimpa sakit lebih daripada kesakitanku,
ada banyak orang yang menanggung penderitaan sejak lahirnya
lebih daripada penderitaanku,
ada banyak orang yang dilanda kemalangan dan kecelakaan
lebih daripada malangnya nasibku,
ada banyak orang yang menjadi kurban perang kejam
lebih dari kekejaman sakitku,
ada banyak orang yang kesehatannya dihancurkan kelaparan
lebih daripada kehancuranku.

Tuhan, bantulah aku menanggung sakitku,
kuatkanlah tekad dan harapanku
agar aku jadi sehat, sejauh mungkin aku dapat.
Pada-Mu, Tuhan, aku minta,
mampukanlah aku melayani sesamaku dalam damai,
sekarang juga, di saat aku masih sakit dan menderita.

Doa Penyerahan Diri


Tuhan, akulah milik-Mu: untuk-Mu aku dilahirkan.
Apa yang Kau inginkan terjadi padaku?

Akulah milik-Mu: karena Kau telah menciptakanku,
Milik-Mu, karena Kau telah menebusku,
Milik-Mu, karena Kau telah bersabar terhadapku,
Milik-Mu, karena Kau telah memanggilku
Milik-Mu, karena Kau telah menantiku,
Milik-Mu, karena Kau tak membiarkanku hilang!

Apa yang Kau inginkan terjadi padaku?
Kau pandangi hatiku:
Di telapak tangan-Mu kuletakkan hatiku,
Tubuhku, hidupku, jiwaku, batin kedalamanku
Dan hasratku.
Kekasih hatiku dan penebusku,
Pada-Mu kuserahkan semua diriku.

Apa yang Kau inginkan terjadi padaku?
Inginkah Kau, agar aku gembira?
Maka aku mohon padamu, berilah aku kegembiraan.

Inginkah Kau, agar aku menderita?
Aku ingin mati dalam penderitaanku.

Katakanlah padaku, di mana , bagaimana, dan bilamana?
Apa yang Kau inginkan terjadi padaku?

Tuhan, akulah milik-Mu,
Untuk-Mu aku dilahirkan.
Apa yang Kau inginkan terjadi padaku.

- Teresia dari Avila

Margaretha Bays: Kuat Karena Doa


Margaretha Bays adalah seorang wanita Katolik yang sederhana, lahir dari sebuah keluarga petani yang saleh, pada 8 September 1815, di La Pierraz, Siviriez, dekat Freibourg, Swis. Dia mendapatkan pendidikan di sekolah setempat dan bekerja sebagai penjahit pembuat pakaian jadi. Ia menghabiskan seluruh waktu hidupnya di kampung halamannya sendiri.

Di lingkungan paroki ia adalah seorang awam yang bisa menjadi teladan bagi banyak orang. Dia aktif di dalam kegiatan pewartaan iman, terutama di kalangan anak-anak kecil dan kaum perempuan. Ia kerapkali juga mengunjungi orang sakit dan orang yang menjelang ajalnya, dengan semangat yang tak kenal lelah. Dia betul-betul teman bagi orang-orang miskin, yang dianggapnya sebagai “orang-orang yang dicintai oleh Allah”.

Pada umur 35 tahun ia terkena penyakit kanker usus. Ia meminta kepada Bunda Maria agar bersama sang Putra dapat mengubah penderitaan yang dia alami itu menjadi suatu kemampuan untuk bisa lebih merasakan secara langsung Penderitaan Tuhan sendiri. Pada 8 Desember 1854 dia sembuh secara ajaib. Tetapi sebagai gantinya, ia mengalami penderitaan, yakni penderitaan yang pernah dialami Kristus dalam perjalanan-Nya dari Getsemani sampai ke puncak Kalvari. Dia juga menerima stigmata seperti St Fransiskus alami.

Margaretha sungguh percaya atas daya kuatnya doa sejak masa kecilnya. Ia mencintai Bunda Maria, yang ia hormati dengan doa rosario dan mengunjungi tempat-tempat ziarah. Ia juga memiliki cinta yang mendalam pada Tuhan Yesus yang hadir dalam Ekaristi, yang kerap dia hormati dalam adorasi berjam-jam lamanya. Dia menghayati kehadiran Tuhan yang terus menerus di dalam hidupnya sehari-hari. Menurut pendapatnya, penderitaan yang dialami adalah manifestasi dari iman yang lemah. Karena doa ia dikuatkan dalam menghadapi penderitaan itu.

Hidupnya terfokus pada kehidupan abadi dan karena itu ia berusaha menjauhkan diri dari kesenangan-kesenangan duniawi atau memisahkan diri dari segala unsur keuntungan yang sifatnya pribadi. Baginya Tuhan adalah cinta yang mahabesar. Dan inilah yang membedakan dia dari Allah. Maka ia tekun untuk memohon: “Apa yang dapat aku perbuat agar aku semakin dapat mencintai Tuhan?” Kepeduliannya yang terus menerus diperjuangkan adalah memusatkan perhatian pada Tuhan yang membuat dirinya semakin rendah hati. Ia merasa bahwa dirinya adalah ciptaan yang paling rendah dan pendosa yang paling berat. Karena itu dia berjuang melawan cinta diri yang selama ini menjadi semangatnya.

Margaretha sungguh bahagia dipanggil untuk mengikuti Dia, dan dia tidak pernah memperlihatkan tanda penderitaannya, dan apa yang terkandung di balik kata-katanya: “Perkenankanlah aku mendengarkan kata-kata yang datang dari adorasi dan ketundukan terhadap kehendak Allah yang Mahasuci”. Persis jam 3 sore, Jumat 27 Juni 1879, dia dipanggil Tuhan. Dia telah mendarma-baktikan seluruh cintanya pada Tuhan yang tersalib.

Dia dinyatakan suci pada tanggal 29 Oktober 1995 oleh Paus Yohanes Paulus II di Basilika St Petrus di Roma, Italia. Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa kaum wanita telah memiliki andil dalam menulis sejarah Gereja dengan bahasa hati yang khas mereka, yaitu intuisi dan dedikasi. Ia mengatakan bahwa Margaretha Bays adalah “seorang wanita awam yang rendah hati yang hidupnya tersembunyi bersama Tuhan Yesus Kristus di dalam Allah. Ia tidak mencapai sesuatu yang sifatnya luar biasa, tetapi hidupnya telah berada di jalan yang panjang, diam, dan mengarah kepada kesucian. Dengan merenungkan misteri sang Penyelamat, khususnya mengenai penderitaan, ia mencapai kesatuan dengan Tuhan.”

“Semakin mendalam orang berdoa, semakin dekat dengan Tuhan dan ingin melayani sesama yang menjadi saudara dan saudarinya.” “Doa tidak menjauhkan orang dari dunia”, kata Paus Yohanes Paulus II. “Tanpa meninggalkan negerinya, Margaretha Bays tetap menjaga hatinya untuk terbuka terhadap dimensi gereja universal dan dunia.” Dia juga mendorong kita semua untuk “membuat hidup kita menjadi jalan cinta, a way of love, dan untuk mewartakan Injil , khususnya kepada kaum muda.” Paus bertanya kepada kita: “Bagaimana kaum muda sekarang mengenal sang Penyelamat kita, mendekati meja Ekaristi dan Sakramen Tobat “jika tidak ada orang yang membuat mereka mampu untuk menemukan harta kekayaan mereka seperti telah dikerjakan oleh Margaretha.” @@@

Selasa, 22 Februari 2011

Doa di Hadapan Sakramen Mahakudus


Di setiap saat aku membutuhkan sesuatu, perkenankanlah aku untuk datang kepada-Mu, dan dengan kerendahan hati dan penuh percaya, boleh berkata: Yesus, bantulah aku.

Dalam keraguan, kebingungan, dan pencobaan: Yesus, bantulah aku.

Dalam kegagalan merencanakan dan mempunyai pengharapan, dalam kekecewaan, kesulitan dan kesedihan: Yesus, bantulah aku.

Ketika orang lain membuat aku gagal, dan rahmat-Mu sendiri dapat membantu aku: Yesus, bantulah aku.

Ketika aku menyandarkan diriku pada kelembutan cinta-Mu sebagai penyelamat: Yesus, bantulah aku.

Ketika hatiku putusasa karena kegagalan pada saat tidak mampu melihat ha-hal yang baik yang datang dari usahaku: Yesus, bantulah aku.

Ketika aku merasa tidak sabar, dan salibku membuat aku menjadi marah dan jengkel: Yesus, bantulah aku.

Ketika dalam keadaan sakit, dan kepalaku serta tanganku tidak mampu bekerja dan aku kesepian: Yesus, bantulah aku.

Selalu, dan selalu, dalam kelemahan, kegagalan, dan kekurangan: Yesus, bantulah aku, dan janganlah Engkau pernah meninggalkan aku.
Amin.

Sabtu, 19 Februari 2011

Pengampunan Sebagai Sebuah Pilihan


“Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra, dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Efesus 4:32)

Pengampunan adalah sebuah pilihan yang mudah untuk dikatakan tetapi tidak gampang untuk dilaksanakan. Berulangkali Yesus mengajarkan kepada kita tentang pentingnya mengampuni orang lain. Tetapi kita tidak jarang mengalami kegagalan dalam melakukannya. Doa “Bapa Kami” yang seringkali kita nyanyikan juga mengingatkan kepada kita supaya kita tidak lupa bahwa selain meminta pengampunan dari Tuhan, kita pun juga dituntut untuk mengampuni orang lain.

Kita sungguh sadar bahwa persoalan Petrus yang datang kepada Yesus dan bertanya kepada-Nya tentang berapa kali orang harus mengampuni adalah persoalan kita juga. Oleh Reinhold Niebuhr kita diberi pengertian: “Pengampunan adalah bentuk akhir dari cinta”. Bunda Teresa dari Calcuta juga menasihati kita: “Jika kita ingin mencintai, maka kita harus belajar tentang bagaimana kita harus mengampuni”. Rick Warren seorang milyader dan pengarang buku “The Purpose Driven Life” juga menunjukkan kepada kita: “Tujuan hidup di dunia ini adalah belajar tentang bagaimana mencintai dan berelasi dengan orang lain, dan pembawa damai adalah salah satu ketrampilan paling penting yang harus dikembangkan”. Menurut Rick Warren, pengampunan adalah pekerjaan si pembawa damai. Dan seperti memasuki sebuah lorong yang sempit dan gelap, memilih jalan pengampunan itu diperlukan nyali besar, keberanian, sikap membungkuk, dan rendah hati.

Kisah dua orang rahib

Ada dua orang rahib sedang berjalan-jalan di pagi hari dalam suasana hujan deras. Ketika sampai pada suatu tempat di mana jalannya becek dan tergenang air, mereka melihat bahwa ada seorang wanita muda berpakaian sutra sedang melewati jalan tersebut. Nampaknya wanita itu sedang dalam keadaan bingung dan ketakutan untuk melewati jalan yang basah dan berlumpur itu. Salah satu dari antara dua rahib itu berpikir bahwa wanita itu ingin menyeberangi jalan yang becek tersebut. Maka, tanpa berpikir panjang ia pun menghampiri wanita itu dan menggendongnya ke seberang jalan.

Ketika dua rahib tadi pulang kembali ke biara, mereka berdua tidak berbicara satu sama lain. Sesampainya di biara, rahib yang satu marah dan berkata: “Kamu telah melanggar aturan Tarekat. Kamu tahu bahwa kita tidak diperbolehkan untuk berbicara dengan wanita, apalagi memegang dan menggendongnya. Rahib yang satu pun menjawab dengan tenang: “Saya telah meninggalkan wanita itu di seberang jalan sana, tetapi mengapa kamu masih membawanya kemari?”.

Marah, kecewa, benci, sakit hati adalah pengalaman yang sangat dekat dengan kita. Stres selalu ada bersama kita. Penyebabnya beraneka macam: harapan yang tidak realistik, suasana kerja, kesulitan keuangan, kehilangan pekerjaan, kematian orang yang kita cintai, malapetaka dan bencana alam, dan penyebab lainnya. Intensitas stres itu pun bervariasi, tergantung pada situasinya. Ketika kita sedang membaca artikel ini, kita pun bisa dihadapkan pada situasi stres: membuka halaman demi halaman, membaca dan mengikuti kata per kata, dan memproses informasi yang kita dapatkan. Bahkan seandainya sekarang kita ini sedang berbaring santai di tempat tidur, mata kita pejamkan, kita pun dapat juga mengalami stres, karena di dalam badan kita ada sesuatu yang tidak beres. Pikiran kita berjalan terus, sementara hati kita berdebar terus karena kita merasa tidak aman. Setiap masalah menuntut penyelesaiannya sendiri; dan setiap kita berada dalam situasi stres, kita memiliki potensi destruktif atau potensi konstruktif dalam menggunakan enerji kita. Orang yang sukses menyalurkan stres ke dalam enerji yang konstruktif dan kreatif.

Perlunya pengampunan

Salah satu keutamaan yang kita perlukan dalam menghadapi stres adalah keutamaan pengampunan. Pengampunan adalah salah satu keutamaan yang terpenting untuk manajemen stres. Kemampuan untuk menghentikan kemarahan adalah penting untuk kesehatan badan dan untuk pertumbuhan kehidupan rohani seseorang. Sebaliknya kalau orang ingin tetap berada di dalam situasi mengeluh, nggrundel, kecewa dan pahit, maka ia justru akan terperosok ke dalam kobaran api kemarahan dan stres.

Apakah kita pernah mencoba mendamaikan orang yang sedang dalam situasi konflik di mana masing-masing dari mereka tidak mau mengampuni satu sama lain? Bisa jadi kita sudah pernah berusaha untuk membujuk agar orang lain melupakan masa lampaunya tetapi mereka menolak dan tidak mau mengampuni. Kita bisa menyampaikan pertanyaan kepada orang yang menolak anjuran untuk mengampuni itu: “Kalau anda tidak mau mengampuni, dan tidak mau membebaskan diri dari rasa marah, siapakah sebenarnya yang akan menanggung penderitaan itu terus menerus? Anda atau orang lain?” Dengan gagal mengampuni, kita sebetulnya telah menjadi sasaran korban kepahitan kita sendiri. Marah dapat menciptakan rasa tidak enak dalam hati kita dan merusak enerji kita tanpa kita mengetahuinya. Kita menjadi korban dari keputusan yang menyebabkan kita stres. Keadaan seperti ini bisa menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan dalam diri kita.

Belajar dari ruang pelatihan gajah

Ketika anak-anak gajah dilatih, para pelatih mengambil sebuah rantai besi yang besar, dan melilitkan rantai itu pada kaki-kaki gajah; kemudian mengikatkannya dengan sebuah kayu pancang besar yang ditancapkan pada tanah dalam-dalam. Kemudian para pelatih itu membiarkan anak-anak gajah itu menarik dan menarik sampai mereka sadar bahwa mereka tidak bisa pergi ke mana-mana. Anak-anak gajah itu diperlakukan seperti itu selama dua atau tiga tahun, sampai pada suatu hari kayu pancang besar tadi diambil oleh pelatihnya.

Kemudian sebuah kayu pancang kecil dipukul-tancapkan ke dalam tanah. Pelatih gajah itu mencencangkan anak-anak gajah itu ke pancang kayu tersebut dengan tali. Gajah-gajah itu belajar dari pengalaman masa lampaunya; mereka tidak pernah mencoba untuk bergerak dari kayu pancang tersebut. Dengan cara begitu binatang sebesar itu telah menjadi korban dari seutas tali yang sebenarnya lemah sekali; gajah-gajah itu sebenarnya hanya diikat oleh seutas tali tipis tetapi seolah-olah mereka telah diikat dengan rantai besar dari besi.

Ketika kita manusia menempatkan diri sebagai korban, kita sedang dalam berperilaku seperti gajah-gajah itu. Supaya bisa lepas dari situasi korban, kita harus memiliki pandangan yang baru yang lebih segar; kita sebaiknya terbebaskan dari belenggu pandangan lama.

Binatang tidak memiliki banyak pilihan. Tetapi kita manusia memiliki banyak pilihan. Kita dapat memilih untuk menggunakan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita untuk pertumbuhan kita. Cerita tentang gajah adalah sebuah cerita yang membantu kita untuk melihat di mana kita sedang membiarkan diri kita dikorbankan oleh masa lampau kita. Masihkah kita ingat akan “apa yang kita anggap sebagai kayu pancang” kita? Peristiwa manakah dari pengalaman masa lampau kita, yang masih membelenggu kita dan membawa kita untuk terus terikat kembali ke sana?

Apakah kita sedang membawa beban-beban itu dalam perjalanan hidup kita sekarang? Apakah sudah waktunya sekarang kita membuang jauh-jauh beban-beban itu? Adakah seseorang di dalam hidup kita sekarang yang belum kita ampuni? Kita sekarang diundang untuk melepaskan masa lampau itu. Jika mereka tidak mengampuni kita, maka kitalah yang mengampuni mereka.

Kita sadar bahwa tugas ini berat. Tetapi jika kita tidak menawarkan pengampunan kepada orang lain yang pernah melukai dan mengecewakan kita, maka kita akan terbebani dengan pengalaman negatif itu dalam hidup kita. Sebaiknya kita mengosongkan hati kita dari rasa benci dan balas dendam, dan menggantikannya dengan semangat mencintai. Pengampunan adalah tanda kebesaran jiwa. Ketika menjawab persoalan Petrus tentang berapa kali harus mengampuni (Mat 18:21-22), Tuhan Yesus mengajak para murid-Nya supaya mereka memiliki jiwa pengampun, dan selalu mau mengampuni.

Mengambil tanggung jawab

Untuk melepaskan diri dari belenggu menjadi korban kita harus memiliki suatu tempat di mana kita mengambil tanggung jawab terhadap diri kita dan tanggung jawab terhadap relasi kita dengan orang lain. Kita harus bertanggung jawab terhadap perasaan, pikiran dan tindakan kita. Kita dikondisikan untuk melihat dunia luar untuk menemukan sumber-sumber daya untuk kepenuhan kita. Dan ketika hal-hal itu tidak mengarah kepada jalan yang kita kehendaki, kita mencoba menemukan seseorang atau sesuatu untuk dipersalahkan. Tetapi menempatkan siapa yang salah di luar kita adalah suatu usaha yang salah arah untuk menemukan kembali kepekaan kontrol diri kita.

Kenyataannya adalah bahwa kita tidak pernah memiliki kekuatan kontrol terhadap unsur-unsur yang berada di luar kita. Hidup selalu terjadi sesuai dengan hukumnya, bukan sesuai dengan kita. Apa yang ada di bawah kendali kita adalah apa yang terjadi pada kita. Kita tidak dapat mengubah pikiran orang lain; kita hanya bisa mengubah diri kita sendiri. Kita tidak mungkin mengendalikan hal-hal yang di luar diri kita; maka kita sebaiknya kembali ke perhatian kita tentang bagaimana menghayati cintakasih di dalam hidup.

Kita dapat hidup tanpa harus mempersalahkan orang lain. Kita membiarkan orang lain berekspresi sesuai dengan keunikannya sendiri. Kita tidak perlu memaksakan bahwa mereka berubah. Menegaskan orang lain berubah berarti menyatakan perang. Relasi kita adalah cerminan dari pikiran dan hati kita. Relasi itu bukan di luar sana, tetapi di dalam pikiran dan hati kita. Relasi adalah refleksi dari apa yang terjadi dalam pikiran dan hati kita. Tuntutan pada orang lain adalah tuntutan yang sedang kita buat dalam pikiran dan hati kita. Kita tegang karena kita sedang membawa beban harapan kita pada diri orang lain; memproyeksikan beban harapan kita pada orang lain.

Untuk menghindarkan diri dari usaha mempersalahkan orang lain, kita perlu menjaga relasi dengan diri kita sendiri. Itu berarti kita harus yakin bahwa perilaku kita tidak berbasis pada apa yang sudah terjadi pada masa lampau (kemarin, minggu lalu, bulan yang lalu, 20 tahun yang lalu). Kalau kita bisa terbebaskan dari masa lampau yang masih mengendap-endap dalam pikiran dan hati kita, maka kita bisa hadir seperti saat ini. Dan kita bisa menjaga relasi kita dengan diri kita sendiri.

Pengampunan sebagai solusi

Ada beberapa cara yang dapat membantu kita untuk mampu memberikan pengampunan kepada orang lain. Jika orang yang bersangkutan sudah meninggal, atau jika kita tidak mau berkonfrontasi dengan orang tersebut, maka kita dapat menggunakan teknik kursi kosong. Bayangkan saja, orang yang pernah melukai dan mengecewakan kita itu duduk di kursi di depan kita. Bicaralah dengan dia. Ungkapkan segala perasaan yang hidup dan bergolak dalam hati di depan kursi kosong itu. Jangan dihambat. Keluarkan apa saja yang dipikirkan dan mau dikatakan. Lalu biarkan kemarahan itu terlepas, dan berubah menjadi pengampunan. Bisa juga orang yang bersalah atau yang pernah melukai dan mengecewakan kita itu kita peluk atau kita ajak untuk berjabat tangan.

Jika bicara dengan kursi kosong merupakan sesuatu yang asing bagi kita, maka apa yang kita pikirkan dan kita rasakan itu kita tuliskan. Di dalam surat itu kita tuliskan apa saja yang hidup di dalam pikiran kita. Biarkan apa yang dipikirkan itu keluar, kalau perlu berteriaklah. Ungkapkan segala perasaaan yang relevan. Kemudian, pada akhirnya, berikanlah pengampunan kepada orang yang pernah bersalah, mengecewakan dan melukai kita itu.

Kita tahu bahwa orang yang dulunya marah dan benci, berangsur mulai meninggalkan pengalaman yang pahit dan tidak menguntungkan itu. Mereka yang dulu mengalami kesulitan untuk melepaskan pengalaman masa lampaunya, secara berangsur dapat meninggalkan masa lampaunya dan menikmati hidup yang baru yang lebih membahagiakan dan memberikan kepadanya kegembiraan dan kelegaan. @@@

Rabu, 16 Februari 2011

Mengabdi Tuhan dan Bukan Mamon



Martin Luther pernah bilang: “Ada tiga pertobatan yang perlu dilakukan, yaitu: pertobatan hati, pertobatan pikiran dan pertobatan dompet”. Pertobatan yang ketiga adalah pertobatan yang paling sulit. Kita dibawa ke dalam situasi tarik tambang di antara dua kutub yang saling bersitegang. Di satu sisi, uang mempunyai nilai positif. Dalam bisnis, uang dibutuhkan, menjadi roda industri dan mendukung pelayanan dalam kehidupan sosial modern. Tanpa uang kita dan keluarga kita tidak bisa hidup. Tanpa uang kita tidak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu sosiolog Inggris bernama George Shaw pernah mengatakan: “Uang adalah segala-galanya.” Kita menggunakan uang di hampir semua kegiatan yang kita kerjakan.

Tetapi di sisi lain, uang memiliki nilai negatifnya. Kalau kita sudah merasakan betapa nikmatnya uang, lalu terbius, pikiran kita selalu uang-uang-dan-uang. Akhirnya kita dikuasai, dimiliki, diperbudak oleh uang. Uang menjadi berhala yang harus kita sembah. Di antara dua sisi terang dan gelap dari uang, kita seringkali merasakan kegelisahan dan kerisauan di tengah dua pandangan yang terdistorsi. Uang bisa membawa kebahagiaan, tetapi juga bisa membawa malapetaka. Uang menjadi soal sebab apa yang dulu didefinisikan oleh para ahli ekonomi sebagai “alat tukar”, sudah berkembang menjadi gudang nilai. Definisi itu membuka jalan untuk memperlakukan uang sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Uang bukan lagi dimengerti sebagai sarana tetapi tujuan pada dirinya sendiri.

Pada mulanya peran uang itu sederhana: sebagai alat tukar yang bersifat material, perantara hubungan transaksi yang menyenangkan antara pembeli dan penjual. Instrumentalitas uang ini sudah dikenal dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang mengajarkan bahwa kemakmuran adalah tanda berkat dari Tuhan, jika diperoleh sesuai dengan perintah-perintah Tuhan. Nabi Yehezkiel menghukum raja Tirus yang memperbanyak kekayaan dan karenanya kemudian dia menjadi sombong dan menempatkan dirinya sama seperti Allah. Di tempat lain, Hosea menyatakan: “Ia tidak insaf bahwa Akulah yang memberi kepadanya gandum, anggur dan minyak, dan yang memperbanyak bagi dia perak dan emas yang dibuat mereka menjadi patung Baal” (Hosea 2;7).

Namun, ada ketegangan dalam Perjanjian Lama menyelimuti persoalan uang, kekayaan dan kaya. Kekayaan dipandang sebagai berkat dari Tuhan, sementara kaya hampir selalu dipandang dengan curiga. Apa yang diidentifikasi oleh Perjanjian Lama dalam hal kecurigaan adalah kecenderungan untuk menjadikan kekayaan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan oleh karena itu didewakan atau menjadi berhala. Dimensi ini juga muncul di dalam Perjanjian Baru dalam diskusi mengenai uang. Ketika Yesus berkata: “Kamu tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dan uang, Ia mempersonifikasikan uang itu sebagai “Mammon” (Mat 6:24; Luk 16:13)., untuk menunjukkan bahwa betapa kita ini diuji untuk memilih salah satu di antara dua: berhala atau yang lain. Dalam konteks ini, Yesus sang Guru sekurang-kurangnya mau mengingatkan kepada para pendengarnya bahwa ada sesuatu yang dikecualikan tentang uang, yaitu kemampuannya untuk berbalik menjadi penguasa atas kita. Di sini pernyataan George Shaw perlu dikoreksi karena ia menyebut bahwa uang adalah segala-galanya. Tempat yang utama dan pertama adalah Tuhan. Kita diingatkan oleh apa yang dulu pernah dikatakan oleh Dietrich Bonhoeffer: “Hati kita hanya ada satu bilik untuk devosi kepada Dia yang merangkul segala sesuatunya, dan kita hanya dapat menggantungkan diri kita pada Dia satu-satunya, yakni: Tuhan.”

Dalam bahasa Aram orang memberikan julukan terhadap uang itu sebagai “Mammon”, yang hendak mempersonifikasikan sang sumber segala kejahatan. Mammon adalah daya-kuasa yang berusaha menguasai kita. Kalau kita mulai mengambil perspektif bahwa uang itu berjiwa dan berdaya kekuatan “kuasa”, maka hubungan kita dengan uang penuh dengan konsekuensi moral. Maka, yang harus kita pahami adalah daya kuasa yang menggiurkan dari Mammon. Uang memiliki kuasa, kuasa spiritual, untuk memikat hati kita. Di balik koin, kepingan logam, lembaran kertas atau bahan apa saja yang menampilkan realitas uang, kita memberikan kepadanya daya kekuatan spiritual.

Ada daya kekuatan rohani di balik uang, tetapi kerapkali daya kekuatan itu kita pungkiri. Peristiwa-peristiwa di sekitar kita telah ikut membuktikannya. Uang menjadi sarana untuk mendapatkan segala sesuatu yang kita butuhkan. Dengan uang, gelar bisa dibeli. Dengan uang, sertifikat palsu bisa dibuatkan. Dengan uang, urusan kepegawaian segera bisa diselesaikan. Dengan uang, kuasa jabatan bisa dilestarikan. Dengan uang, orang jahat bisa lolos dari jerat hukum dan pengadilan. Uang termasuk salah satu dari kuasa. Kuasa itu berkemampuan untuk menguasai kita.

Keanehan-keanehan ini bermakna jika kita mengerti realitas spiritualitas tentang uang. Di balik uang ada kuasa spiritual yang tak kelihatan, daya-daya yang merayu, daya-daya yang menipu, daya-daya yang menuntut devosi kepadanya sebagai segala-galanya. Adalah suatu kenyataan bahwa Paulus melihat bahwa “cinta uang adalah akar segala dosa” (1Tim 6:10). Banyak orang melihat bahwa Paulus tidak mengatakan “uang” tetapi “cinta uang”. Dengan mengatakan “cinta uang” adalah akar segala dosa, Paulus tidak mengartikan secara harafiah bahwa uang menghasilkan segala dosa. Menurut Paulus, yang dimaksud dengan istilah “cinta uang adalah akar segala dosa” adalah bahwa: kalau orang sudah cinta pada uang, maka yang dicari tidak ada lain kecuali uang. Hidupnya lalu diabdikan untuk mencari uang-uang-dan-uang. Persis inilah yang disebut sebagai ciri-khas uang: ingin membujuk dan menguasai. Pribadi dikurbankan demi uang; Tidak terasa bahwa uang telah menjadi masalah yang menguasai-hidup kita, masalah yang memakan-hidup kita.

Masihkah kita rela membiarkan uang ada di atas segala-galanya, lalu memperbudak dan menguasai diri kita? Mudah-mudahan banyak orang menjadi sadar bahwa uang bukan segala-galanya sebab tempat yang utama dan pertama adalah milik Tuhan. Dengan demikian kita bisa makin menjadi berhati-hati kalau kita melihat bahwa uang sudah menampakkan daya kuasanya menjadi akar segala kejahatan. @@@

Selasa, 15 Februari 2011

You cannot serve two lords

Denouncing idolatry has always been a mission of the prophets and of the church.

It's no longer the god Baal, but there are other dreadful gods in our time:
the god of money,
the god of power,
the god of luxury,
the god of lust.

So many gods enthroned among us!
Hosea's voice could say to today's Christians:
Don't mix those idolatries
with the worship of the true God!

You cannot serve two lords, the true God and money.
You can follow only one.

Oscar Romero
June 11, 1978

A Prayer of Thomas Merton


My Lord God, I have no idea where I am going. I do not see the road ahead of me. I cannot know for certain where it will end.

Nor do I really know myself, and the fact that I think that I am following your will does not mean that I am actually doing so.

But I believe that the desire to please you does in fact please you.

And I hope that I have the desire in all that I am doing. I hope that I will never do anything apart from that desire. And I know that if I do this you will lead me by the right road through I may know nothing about it.

Therefore will I trust you always though I may seem to be lost and in the shadow of death.
I will not fear, for you are ever with me, and will never leave me to face my perils alone.

It's A Miracle


"This is the miracle that happens every time to those who really love: the more they give, the more they posses of that precious, nourishing love from which flowers and children have their strength and which could help all human beings if they would take it without doubting."

- Rainer Maria Rilke,
The Book of Unusual Quotations
,
New York: Harper and Brothers Publishers, 1957

Sabtu, 12 Februari 2011

Hidup Sederhana Menurut Santa Clara


“Perhatikanlah bagian pertama dari cermin yang terpasang itu, ialah kemiskinan. Dia yang terletak di palungan terbendung dengan kain lampin. Raja segala malaikat, Tuhan langit dan bumi, dibaringkan di palungan. Di bagian tengah dari cermin itu, amatilah kerendahan hati, kemiskinan yang bahagia, susah payah yang tak terbilang banyaknya, serta sengsara yang Ia tanggung untuk menebus umat manusia. Di bagian akhir dari cermin itu, pandanglah kasih yang tak terperikan, yang oleh karenanya Ia rela menderita di kayu salib, dan wafat dengan cara yang paling menjijikkan. Semoga oleh kehangatan kasih itu anda selalu semakin menyala, o permaisuri surgawi.” Demikian antara lain isi surat yang ditulis oleh Santa Klara (1193-1253), dan dikirim kepada Agnes, adiknya, yang kemudian menjadi pengikutnya yang setia dan tinggal di Praha.

Ternyata surat yang ditulis oleh Santa Klara dan ditujukan kepada Agnes adiknya itu tidak berhenti sampai di sana. Surat itu menjadi surat berantai yang berkepanjangan. Sejak lebih dari 750 tahun yang lalu hingga sekarang, isi surat itu disebarluaskan, dibaca, direnungkan terus-menerus oleh para pengikutnya, yang hidup di biara-biara Ordo Santa Clara di seluruh dunia, dan juga di Biara Santa Klara yang terletak di sebuah desa kecil nan sunyi, di desa Santren, Mrican, Yogyakarta.

“Semangat dasar yang diwariskan oleh Santa Klara kepada kami para pengikutnya itu, terutama mengikuti Yesus yang miskin dan sederhana. Santa Klara mengajak kami para pengikutnya untuk setiap hari merenungkan, memandang bagaimana penjelmaan Allah menjadi manusia Yesus yang miskin di palungan dan dibendung dengan kain lampin, dan juga mengajak kami untuk merenungkan, memandang bagaimana Yesus yang mau merendahkan diri seutuh-utuhnya dengan menundukkan kepala di kayu salib,” demikian kata Sr. Margaretha Susandari OSC, pemimpin Biara Santa Klara yang mencoba menjelaskan intisari semangat hidup yang diwariskan oleh Santa Clara, pendiri Ordo Santa Clara (OSC).

Banyak orang di zaman modern seperti sekarang ini sulit atau bahkan tidak bisa memahami cara hidup miskin yang dipilih dan dijalani oleh para suster pengikut Santa Klara ini. Banyak dari kalangan umat Katolik sendiri yang masih bertanya: “Bagaimana mungkin suster bisa hidup dengan cara seperti ini: sederhana, sepi, tersembunyi? Apakah suster tidak membutuhkan televisi? Apakah suster tidak membutuhkan hand-phone?”. “Tidak! Kami tidak membutuhkan sarana-prasarana yang canggih. Hidup yang sederhana tidak membutuhkan peralatan yang canggih. Kami hanya membutuhkan beras untuk bisa makan,” jawab Suster Margaretha (56), yang sudah lebih dari 30 tahun menjalani hidup membiara seperti ini.

Sambil membenahi letak tangannya di atas pangkuannya, Sr. Margaretha OSC meneruskan penjelasannya: “Jadi, itulah yang mendasari permenungan seluruh hidup Santa Klara dan juga menjadi permenungan di dalam seluruh hidup kami para suster. Berlandaskan semangat hidup Santa Klara itu, apa saja yang kami buat, selalu kami kaitkan dengan semangat kemiskinan dan kesederhanaan Putra Allah sendiri. Dalam surat wasiatnya dan juga di dalam anggaran dasar Tarekat, Santa Klara mengajak kami para suster: ‘Demi kanak-kanak Yesus yang terbaring di palungan dan dibendung dengan kain lampin, hendaknya kita selalu memakai pakaian yang sederhana’. Jadi, itulah yang kami hayati, apa saja yang kami pakai dalam hidup sehari-hari juga dikaitkan dengan kesederhanaan sang Putra Allah itu sendiri.”

Para suster yang mengikuti jejak Santa Klara tahu bagaimana penderitaan Yesus sampai wafat di kayu salib itu adalah juga demi keselamatan umat manusia. “Santa Klara mengajak kami para suster bahwa dalam setiap derita apa pun juga yang kami hadapi dalam hidup sehari, kalau dikaitkan dengan karya penebusan Yesus maka itu berarti juga kami ikut serta di dalam karya penebusan. Maka, apa pun yang kami alami dalam kehidupan sehari-hari selalu dikaitkan dengan Yesus yang lahir miskin, yang sampai wafat juga dalam keadaan miskin di kayu salib, sepi ditinggalkan oleh siapa pun juga. Dalam merenungkan karya penebusan Kristus melalui Salib itu, segala apa yang disebut suka-duka dalam hidup sebagai manusia, perjuangan-perjuangan tersendiri di dalam berbagai bentuknya, kami kaitkan dengan kemiskinan dan kesederhanaan Putra Allah sendiri. Pola hidup, pola pikir, pola makan, dan semangat kami adalah sederhana. Semangat itulah yang membuat kami mampu untuk bisa mengatakan ‘sudah cukup’, dan tidak berlebih-lebihan dalam hal apa pun juga.”

“Yang penting kami hidup. Kami tidak punya pendapatan yang tetap, meskipun kami juga punya pekerjaan membuat kasula, untuk pakaian misa, tetapi pesanan seperti itu juga tidak banyak. Kami juga membatasi adanya pesanan yang banyak, karena kami memang tidak bermaksud untuk mencari uang yang banyak. Kami tetap menjaga agar pesanan tidak mengganggu hidup doa kami. Tidak bisa kami berpikir tentang jahitan yang belum selesai sementara kami berdoa. Doa harus jalan, tidak boleh terganggu dan waktu doa yang sudah ditentukan tidak boleh ditawar-tawar. Selama hidup kami ini untuk Tuhan, maka Tuhan akan memelihara kami. Jaminan hidup kami hanyalah Tuhan. Kalau pola pikir kami sederhana, maka hidup kami menjadi tenang. Semangat kemiskinan yang diwariskan oleh Santa Klara itu kami jabarkan di dalam hidup yang sederhana. Kami tidak perlu merasa takut untuk dipandang rendah oleh orang lain. Kami hidup untuk Tuhan saja. Menurut ukuran dunia memang tidak ada hal-hal yang dapat dibanggakan dari kami. Cara hidup yang sederhana ini yang kami persembahkan kepada Tuhan,” jelas Suster Margaretha mantap dan gembira.

Para suster sangat bahagia dapat menjalani cara hidup yang miskin, sederhana, sepi, tersembunyi itu karena mereka menempatkan semuanya itu di dalam kerangka hidup doa, yang memungkinkan mereka memiliki kesadaran penuh dan terus menerus bahwa mereka itu hidup di hadapan Allah.

“Tidak peduli apakah kami ini diperhatikan orang atau tidak diperhatikan orang, kami ini hidup di hadapan Allah. Karena ada kesadaran hidup di hadapan Allah, maka kami bukan hanya berhati-hati tetapi senantiasa berusaha untuk menampilkan hidup yang pantas, dalam segala gerak hidup, baik yang menyangkut hal yang rohani maupun hal yang jasmani.”

Santa Klara memang juga memilih hidup kontemplatif, karena hidup kontemplatif seperti ini merupakan suatu sarana yang memungkinkan untuk menjalani hidup miskin dan sederhana. “Kami hidup tersembunyi, sederhana. Dan untuk hidup yang sederhana seperti itu tidak menuntut sarana-prasarana yang canggih dan luar biasa. Makan kami sederhana, tempat kami tinggal juga sederhana, sarana-sarana di tempat ibadat sederhana. Tetapi yang penting bagi kami adalah bersih. Memuji dan meluhurkan Tuhan itu tidak selalu harus memakai sarana-prasarana yang canggih, mewah dan indah. Yang penting adalah bersih, dan terutama dilandasi dengan hati yang tulus”, lanjut Sr. Margaretha yang lahir di Muntilan, dan sudah masuk biara Santa Klara sejak tahun 1977 itu.

Pernah suatu ketika pemilik café yang bertempat tinggal di seberang kebun milik biara Santa Klara menawarkan diri untuk bisa menyewa kebun kosong yang di belakang biara untuk dijadikan lahan perluasan café-nya. Maksudnya adalah agar tanah kosong itu bisa menjadi lebih produktif, dan menghasilkan uang. Tetapi dengan halus Sr. Margaretha menolak tawaran itu. “Kami punya kebun itu untuk menciptakan keheningan, bukan untuk hal-hal yang produktif dan menghasilkan uang. Yang kami butuhkan adalah keheningan, dan kebun itu menciptakan keheningan bagi kami. Keheningan itu penting baik bagi kami sendiri maupun bagi orang-orang lain yang datang untuk berdoa di sini.”

Sungguh banyak orang tidak bisa mengerti mengapa kebun itu dibiarkan tidak produktif. Tetapi bagi para Suster semuanya sudah jelas bahwa ini prinsip hidup mereka: Kebun menciptakan hening; dan hening itu memberikan ruang yang kondusif untuk berdoa dan berjumpa dengan Tuhan. Para Suster Santa Klara merasa perlu untuk tetap menjaga suasana hening di lingkungannya. “Tuhan itu sungguh Mahakaya, dan hidup kami para Suster tetap terjamin karena Tuhan yang menyelenggarakan hidup kami. Jaminan kami hanyalah Tuhan,” kata Suster Margaretha penuh keyakinan.

Menurut Suster Margaretha, tantangan yang dihadapi oleh banyak orang zaman sekarang adalah ingin menjadi orang lain, dan tidak berani menjadi diri sendiri. Kalau orang lain merasa senang bahwa kita memakai baju biru, maka kita akan memakai baju biru. Kalau orang menjadi punya harga diri karena makan di restauran tertentu, maka kita juga akan mencari dan menemukan makanan di restauran tertentu itu. Orang memilih sesuatu berdasarkan pada keinginan dan bukan pada kebutuhan, padahal tidak semua keinginan harus dipenuhi. Menurut Charles Swindoll, banyak orang hidup di zaman sekarang ini menjadi stres karena mengidap penyakit “Hanya-jika”. Mereka yang stres itu menganut prinsip bahwa orang bisa hidup tenang “hanya-jika”: hanya jika punya uang banyak, hanya jika punya rumah banyak, hanya jika makan banyak, hanya jika …. Hidup semacam itu, menurut Suster Margaretha membuat kita menjadi kemrungsung dan tidak tenang.

Hidup yang tenang dan bahagia seperti dialami para suster Santa Klara diletakkan sepenuhnya pada jaminan kekuatan dan pengharapan akan penyelenggaraan ilahi seperti dirumuskan oleh penulis Mazmur: “Ya, Tuhan, Engkaulah tempat perlindunganku, bagianku di negeri orang-orang hidup.” (Mzm 142: 6).

Apakah kita bisa menyanyikan Mazmur yang sama di tengah dunia yang serba ada ini? Ada banyak orang yang hidupnya puas, tenang dan damai seperti para suster Santa Clara itu! Biasanya orang-orang seperti itu pernah mendapatkan suatu prinsip hidup yang mereka temukan dari pengalaman hidup orang-orang yang hidup rohaninya mendalam. Mereka menemukan kedamaian dan kepuasan karena mereka berjalan bersama dengan Allah.

Tetapi sebaliknya, ada banyak juga orang-orang yang mengalami penderitaan dan tidak pernah merasa puas karena penyakit “hanya-jika”. Berikut ini adalah sederetan daftar “hanya-jika” yang telah merasuki banyak orang sehingga mereka mengalami kekeringan dan kesepian dalam hidup mereka:

Hanya jika aku memiliki uang yang lebih banyak

Hanya jika aku dapat memperoleh gelar yang lebih tinggi

Hanya jika kami memiliki rumah yang lebih indah

Hanya jika kami tidak melakukan investasi yang keliru

Hanya jika aku tidak berasal dari latar belakang keluarga yang jelek seperti itu

Hanya jika ia tetap mau hidup berkeluarga dengan aku

Hanya jika pastor kami dapat menjadi pengkotbah yang trampil

Hanya jika anak saya dulu bisa berjalan

Hanya jika kami memiliki anak-anak

Hanya jika kami tidak memiliki anak-anak

Hanya jika bisnis kami menjadi sukses

Hanya jika isteri saya tidak meninggal di kala usia muda

Hanya jika aku tidak mengalami kecelakaan seperti itu

Hanya jika aku memiliki teman yang jauh lebih banyak

Daftar ini bisa diteruskan, dan bisa saja tidak akan pernah berkesudahan. Kita tidak bahagia karena kita selalu melihat hidup dari sisi yang negatif. Kita selalu melihat bagian hidup yang tidak membahagiakan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hidup kita. Jangan sampai kita digiring ke jalan yang tak pernah ada ujungnya. Kita perlu menciptakan suatu daftar lain yang berbeda, jika kita mau mendapatkan kepuasan di dalam hidup ini. Jiwa yang tidak pernah puas, akan segera menjadi jiwa yang kesepian.

Rendah Hati Keutamaan Termulia


Ada seorang ibu datang kepada seorang pastor dan menerangkan bahwa anaknya lelaki nampaknya tertarik un­tuk menjadi imam. Sang ibu itu ingin mengetahui apakah anak le­la­kinya itu memenuhi syarat untuk bisa menjadi imam.

Maka pastor itu pun mulai mene­rang­kan: “Jika ia ingin menjadi seorang imam diosesan, maka dia harus menja­lani studi selama de­lapan tahun. Jika ia ingin menjadi seorang Fransiskan maka ia harus menjalani masa studi selama sepuluh tahun. Jika ia ingin menjadi seorang Jesuit maka ia harus menjalani masa studi selama empat belas tahun. Ibu itu men­de­ngarkan dengan baik, penuh perhatian, teliti dan cermat.

Setelah mende­ngarkan gambaran pendi­dikan yang disam­paikan pastor itu, maka dengan wajah ceria dan mantap ibu itu mengatakan: “Pastor, daftarkan saja anak saya itu untuk pilihan yang terakhir karena dia itu orangnya agak sedikit lam­ban!”.

***

Rendah hati adalah pangkal keberhasilan hidup. Tetapi dewasa ini keutamaan itu tidak lagi popular. Orang yang dianggap hebat sekarang ini adalah orang-orang yang dikagumi karena popularitasnya, karena kuasanya, karena kekayaannya, karena uangnya. Bagi Yesus, justru sebaliknya, yang Dia kagumi justru orang-orang yang bersemangat rendah hati.

Banyak orang berpikir, bahkan mengatakan: “Bagaimana orang bisa sukses kalau ia harus rendah hati?” Terhadap pernyataan penolakan itu, John Ruskin memberikan jawaban yang sangat mengagetkan: “Ujian yang paling dirasakan oleh siapa saja yang mau tergolong dalam kelompok orang yang termasyur adalah kerendahan hati.” Kerendahan hati adalah suatu kekuatan yang positif dan dinamis di dalam diri manusia. Orang-orang yang sukses sepanjang zaman justru orang-orang yang memiliki kerendahan hati.

Dalam Kitab Suci banyak contoh ilustrasi mengenai orang yang termasyur yang adalah orang-orang yang rendah hati. Penulis kitab suci menceritatakan kepada kita: “Ada pun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi.” (Bil 12:3). Ya, memang Musa orang yang berdiri di depan Firaun dan dengan gagah berani meminta kepada Firaun supaya bangsa Israel boleh pergi dari Mesir. Musalah orang yang kemudian memimpin bangsa Israel untuk pergi menuju Tanah Terjanji meski harus menghadapi kesulitan di dalam perjalanan mereka sebagai bangsa.

Barangkali Daud adalah salah satu raja Israel yang paling memiliki kerendahan hati yang luar biasa. “Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!” (Mzm 51:3) Demikianlah nabi Daud merumuskan kerendahan hatinya di hadapan Allah.

Injil juga memberikan ilustrasi tentang Yesus yang rendah hati, sebagaimana Dia mengatakannya sendiri: “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” (Mat 11: 29). Yesus sendiri pernah mengatakan kepada siapa yang mengagungkan kerendahan hati. “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Luk 14: 11).

Untuk melukiskan kerendahan hati yang sejati, kita bisa belajar dari Yesus. Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka, lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Mat 18:2-3)

Buku-buku sejarah penuh dengan kisah orang-orang besar yang memiliki keutamaan rendah hati. George Washington menangis ketika melihat rakyatnya harus berjalan melalui cuaca buruk musim dingin, dengan pakaian selembar yang hanya mampu menutupi tubuhnya. Adalah seorang pemimpin yang sama, yang kerapkali berlutut dan berdoa, dan dengan rendah hati memohon bantuan dan belaskasih kepada Allah.

Karena semangat kerendahan hati dan semangat mengampuni, Abraham Lincoln mampu bekerjasama dengan mereka yang mengambil posisi lawan terhadapnya. Ia mengatakan: “Tanpa balas dendam kepada siapa pun, tetapi dengan cintakasih untuk semua orang, dan dengan kegigihan memperjuangkan hak-hak asasi manusia, sebagaimana Allah telah memberikan hak kepada kita, marilah kita semua berjuang sampai garis akhir melaksanakan pekerjaan yang sedang kita hadapi sekarang.”

Florence Nightingale, bertumbuh besar dalam keluarga kaya, dan mengajarkan kesadaran social untuk masyarakat luas zaman ini, menghayati hidup dan pekerjaannya dengan semangat kerendahan hati, dan melayani dengan semangat kemanusiaan yang tinggi merawat tentara Inggris yang terluka dalam Perang Krim. Dia kerapkali mengunjungi orang-orang yang sakit pada malam hari, sehingga ia mendapat julukan “wanita pembawa lampu”. Kepada seluruh dunia, Florence Nightingale dikenal sebagai perawat orang sakit, pejuang kesejahteraan bagi para tentara dan pejuang kebebasan bagi kaum wanita untuk memilih pekerjaannya sendiri.

Sebagaimana kerendahan hati menjadi tanda bagi Yesus, demikian juga kerendahan hati menjadi ciri bagi para pengikut-Nya. Kerendahan hati adalah bukti di dalam kematangan rohani. Tetapi kekuatan kepribadian seperti ini bisa mengundang bahaya. Ketika orang bertumbuh matang dalam hal rohani, kebanggaan bisa berubah menjadi kesombongan. Banyak orang jatuh karena kesombongan itu.

Kemarin setelah terjadi angin ribut di sekitar rumah, saya melihat dan menemukan dahan yang patah dan jatuh ke tanah. Tumbuhan benalu yang parasit telah membuat cabang pohon itu menjadi kering dan rapuh sehingga mudah patah. Ketika terjadi angin ribut, cabang mudah patah dan jatuh. Benalu parasit yang paling berbahaya adalah kesombongan rohani, yang membuat orang menjadi lemah dan mudah jatuh bila mengalami ujian.

Seorang teman, yang kebetulan pastor, mengatakan kepada saya: “Jalan terbaik untuk sampai kepada kerendahan hati adalah bukan membungkuk sehingga kita menjadi lebih kecil daripada diri kita sendiri, tetapi berdiri pada ketinggian kita berhadapan dengan objek yang lebih tinggi sehingga kita menunjukkan diri kita sebagai kekecilan yang nyata dari kebesaran kita.” Rendah hati berarti hidup dan menempatkan diri kita seperti apa ada kita, apa kenyataan kita. Jika kita kehilangan pandang akan Kristus, maka kita mulai merasa diri besar; dan ketika kita kehilangan Allah, maka kita kehilangan sumber kerendahan hati kita.

Injil mengajarkan kepada kita: “Yesus yang tahu bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatunya kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya itu. Kemudian ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu.” (Yoh 13:3-5). Kesadaran akan kehebatan adalah rahasia menuju kerendahan hati. Kebesaran Yesus berakar pada Allah. Allah yang membuat Dia hebat, dan rendah hati.

Kerendahan hati adalah kunci pelayanan yang berharga, kunci pelayanan yang sungguh berdaya guna. Ada seorang guru muda yang bekerja di sebuah sekolah yang menganut system yang sama di mana saya pernah mengajar. Guru muda itu menghadap kepada kepala sekolah dan mengungkapkan keputusasaannya sebagai tenaga pengajar yang baru. Ia merasa bahwa dirinya gagal di dalam mengajar dan menghadapi tuntutan disiplin sekolah. “Saya tidak pernah bisa menjadi guru yang baik”, katanya. “Karena itu, saya usulkan agar lebih baik saya mengundurkan diri saja dari pekerjaan ini”, tambahnya.

Mendengar keluahan si guru muda itu, kepala sekolah memandang dengan tajam wajah guru muda itu sesaat dalam keheningan, kemudian berkata: “Siapa kamu sehingga kamu tidak pernah melakukan kesalahan apa pun? Pergilah kembali masuk kelas dan cobalah lagi.” Guru muda itu melakukan apa yang diperintahkan oleh kepala sekolah, dan akhirnya dia menjadi salah satu dari guru teladan di sekolah di mana saya juga pernah menjadi guru. Kerendahan hati mengizinkan kita untuk berbuat salah, dan kemudian menuntut kita untuk sukses.

Kerapkali sulit menanamkan keutamaan kerendahan hati. Terutama berhadapan dengan kesombongan. Kerendahan hati selalu diikuti dengan pekerjaan rendahan. Mereka yang rendah hati kemudian dipromosikan. Kata Yesus: “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Mat 23:12).

Kita melihat bahwa ajaran Yesus mengenai kerendahan hati bukanlah suatu tuntutan untuk rendah diri, tetapi tantangan untuk memperoleh kebesaran hidup. Kerendahan hati kristiani didasarkan pada aspirasi dan bukan keputusasaan, suatu aspirasi yang dikombinasikan dengan kejujuran. Dari akar kerendahan hati itu, akan tumbuh bunga-bunga indah, yaitu: kesederhanaan, simpati, semangat mencintai, aspirasi akan hal-hal yang ideal, dan rasa syukur atas segala kebaikan yang datang dari Allah. Jadi, kerendahan hati itu sungguh merupakan keutamaan kristiani yang paling mulia. @@@

Elisabeth Gruyters: Cintakasih dan Rendah Hati


Pada hari Sabtu, tanggal 22 Juni 1918, tepat jam 12.30, sebuah kapal api bernama “Frisia”, milik maskapai Hollandse Koninklijke Loyd, mulai bertolak dari pelabuhan Amsterdam. Moeder Lucia Nolet, pemimpin umum Tarekat Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus di Maastricht, masih sempat melambaikan tangan selamat jalan yang penuh haru dan tetesan air mata kepada kesepuluh suster CB yang mau berangkat menuju tanah misi Indonesia. Kesepuluh suster itu adalah Sr Alphonsa, Sr Lina, Sr Hermana, Sr Crispine, Sr Isabella, Sr Judith, Sr Ambrosine, Sr Ignatio, Sr Justa, Sr Gratiana. Setelah menempuh perjalanan panjang selama lebih dari 3 bulan lamanya, yang penuh resiko bahaya pasca-perang, maka sampailah rombongan para suster CB itu di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, tepat pukul 06.00 pagi, tanggal 7 Oktober 1918.

Kedatangan mereka di tanah misi disambut dengan gembira oleh tiga suster Ursulin, pastor Sondaal SJ, Mr Kathaus dan isterinya, Mayor Orie, dan beberapa staf Rumah Sakit St Carolus Jakarta. Dari Tanjung Priok rombongan para suster CB ini dibawa dengan mobil menuju biara Ursulin Weltevreden, di Jl. Pos (sekarang) Jakarta. Setelah masuk biara, tempat pertama yang dikunjungi oleh para suster misionaris ini adalah kapel. Di kapel biara Ursulin ini para suster CB berdoa dengan penuh rasa syukur karena mereka sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat: “Ya Yesus yang manis, betapa terharu hati kami bila kami berlutut di depan altar-Mu. Dengan rendah hati dan gembira kami menyerahkan seluruh tenaga, kesehatan, dan kehidupan kami kepada Dikau, demi kepentingan-Mu dan bagi keselamatan jiwa-jiwa.” Setelah para suster selesai berdoa, pastor Sondaal SJ masuk ke kapel, dan menyambut para suster CB itu dengan kata-kata: “Selamat datang di tanah misi.” Itulah hari-hari pertama bagi kesepuluh suster CB pertama mengawali karya kerasulannya di Indonesia.

***

Minggu, tanggal 29 April 2012 nanti adalah hari bersejarah bagi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus, di seluruh dunia. Pada hari itu para suster CB akan merayakan hari ulang tahun Tarekat yang sudah berumur 175 tahun. Hari itu merupakan tonggak sejarah yang patut dicatat dan diingat, tidak hanya bagi para suster CB yang bernaung di bawah lindungan Santo Carolus Borromeus, tetapi juga bagi siapa saja yang hidupnya diperuntukkan bagi karya pelayanan untuk mereka yang terluka, sakit dan menderita, berdasarkan pada semangat cintakasih dan kerendahan hati.

Tarekat Suster-suster Santo Carolus Borremeus didirikan oleh Elisabeth Gruyters pada tanggal 29 April 1837, di Maastricht, Netherland. Adapun Elisabeth Gruyters (1789-1864), adalah seorang putri, yang lahir pada tanggal 1 Nopember 1789, dari pasangan suami-isteri Bapak Nicolas Gruyters dan Ibu Maria Borde, yang tinggal di desa Leut, Belgia. Ketika ingin mewujudkan cita-cita dan kerinduannya untuk menjadi seorang biarawati, Elisabeth Gruyters harus berjuang keras dan penuh doa serta cucuran airmata. Menurut panggilan hatinya, menjadi biarawati adalah jalan yang paling mungkin untuk membalas kasih Allah secara nyata, dengan mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Yesus yang telah mencintainya sampai wafat di kayu salib.

Ketika revolusi Perancis (1789-1799) berakhir, kota Maastricht hancur lebur karena perang. Setiap perang membawa luka dan penderitaan bagi manusia serta kerusakan terhadap lingkungan. Situasi keterlukaan dan kehancuran seperti itulah yang ditanggapi oleh Bunda Elisabeth Gruyters. Kehidupan kota Maastricht yang telah mengalami kemunduran dan kemerosotan, baik dalam kehidupan moral maupun iman, menggerakkan hati Bunda Elisabeth untuk menanggapinya. Yang mendorong hatinya adalah sabda Tuhan sendiri yang mengatakan: “Hendaklah kamu mencintai Tuhan Allahmu, dengan seutuh hati, dengan seutuh jiwa, dan dengan seluruh tenaga, serta cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri, demi Tuhan”. Itulah perintah Tuhan yang bergema di dalam hatinya, seperti ditulisnya kemudian pada bagian pembukaan dari Konstitusi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus, yang disyahkan untuk pertama kalinya oleh Tahta Suci pada tanggal 14 Desember 1856.

Bunda Elisabeth Gruyters melihat, tergerak dan bertindak secara nyata untuk meringankan penderitaan sesamanya. Tujuan yang mau diraih adalah “berupaya dengan segenap hati, agar Tuhan dimuliakan, dengan menguduskan diri serta melaksanakan berbagai karya bakti untuk membantu sesama yang mengalami kesesakan hidup dan yang berkekurangan.” Inilah kharisma Bunda Elisabeth yang bersumber pada iman akan Yesus yang tersalib yang mengajarkan kepadanya tentang cinta yang tak bersyarat dan bela rasa bagi mereka yang menderita dan berkekurangan demi keselamatan manusia seutuhnya.

Pengalaman akan Allah yang mencintai manusia tanpa syarat membuat Bunda Elisabeth Gruyters mampu melihat realitas dengan mata Allah, digerakkan oleh belarasa dengan hati Allah dan bertindak dengan tangan Allah. Perjumpaannya dengan Allah dalam diri Yesus Kristus yang tersalib, adalah sumber segala inspirasi, kekuatan dan kebijaksanaan dalam menghadapi kesulitan hidup dan karya pelayanan kepada orang-orang yang terluka, sakit dan menderita. Bagi Bunda Elisabeth, orang miskin adalah orang-orang yang sungguh-sungguh menderita serta berkekurangan secara lahiriah tetapi juga mereka yang patut dikasihani; mereka yang miskin materi dan miskin pendidikan. Orang-orang yang menderita adalah orang-orang yang sakit, baik secara fisik maupun secara rohani karena tidak adanya kedamaian dalam dirinya. Bahkan, bunda Elisabeth melihat, para suster yang terjepit karena hasutan dan tidak adanya kedamaian dalam berkarya pun termasuk mereka yang menderita. Inilah sebenarnya suatu gambaran dunia yang dirindukan oleh Bunda Elisabeth untuk diwujud-nyatakan. Inilah visi Bunda Elisabeth dan juga menjadi visi Tarekat Suster-suster Cintakasih St Carolus Borromeus dalam menjalankan panggilan dan perutusan-Nya.

Suster-suster Cintakasih St Carolus Borromeus diutus ke dunia yang terluka. Mereka dipanggil untuk masuk dan menjadi bagian dari dunia yang sedang diciptakan. Mereka diundang untuk menunjukkan tindakan yang konkret dalam gerakan rekonsiliasi dan penyembuhan realitas dunia yang terluka. Tindakan rekonsiliasi yang nyata dilakukan secara konkret oleh Bunda Elisabeth pendiri tarekat ini adalah:

1. Usaha pemulihan relasi yang benar dengan Allah, dengan sikap rendah hati terbuka mengungkapkan kelemahan sendiri, dan dengan perhatian serta belarasa menerima dan sabar terhadap sesama sebagaimana adanya mereka.

2. Usaha penyembuhan yang mengantar orang kembali kepada relasi dengan Allah, relasi satu sama lain, dalam perhatian dan kepedulian.

3. Peduli terhadap orang-orang miskin, memperhatikan kebutuhan mereka demi kesejahteraan rohani dan manusiawinya

4. Tidak hanya mengajarkan katekese tetapi juga mengajar jahit menjahit, menanamkan dasar hidup yang baik kepada anak-anak miskin.

5. Memberikan rasa hormat dan pemberdayaan pada orang-orang miskin dan bagi para suster didasarkan pada martabat manusia, kebebasan dan paham kemanusiaan yang utuh.

6. Peduli terhadap orang-orang yang sakit: mengurus, melindungi para penderita sakit, mendampingi mereka yang menghadapi ajalnya, demi keselamatan jiwa para penderita.

Berdasarkan pada inspirasi yang diberikan oleh Bunda Elisabeth Gruyters, maka Suster-suster CB merumuskan apa yang menjadi misi Tarekat di zaman sekarang, sebagai berikut:

1. Mengembangkan relasi yang mendalam dengan Kristus dalam sikap hidup kontemplatif dan terus menerus berdiskresi.

2. Memberikan kesaksian hidup sebagai “hamba Tuhan”

3. Mewujudkan pelayanan bagi keutuhan manusia agar semakin sesuai dengan citra Allah sebagai tanda kehadiran kerajaan-Nya.

4. Menanggapi tantangan zaman dalam kegembiraan dan kesederhanaan, dengan berpihak pada mereka yang menderita karena ketidakadilan.

Setelah hampir 90 tahun karya kerasulan suster-suster CB di Indonesia itu berlangsung, banyak perkembangan bisa dilihat. Karya pelayanannya tidak hanya terbatas pada karya pelayanan rumah sakit, tetapi juga karya pendidikan sekolah, karya pendampingan kaum muda di asrama-asrama, dan karya-karya sosial yang lain. Pada awal karya pelayanan suster-suster CB dimulai, Bunda Elisabeth selalu memohon kepada Tuhan untuk tambahnya tenaga kerja yang dapat ikut terlibat dalam karya pelayanannya, karena dirasakan bahwa pekerjaan makin bertambah banyak. Tetapi sekarang para suster CB di Indonesia sudah bisa bergembira karena mereka sudah mendapat semakin banyak teman; dan jumlah anggota Tarekatnya sudah mencapai kurang lebih 400 orang yang tersebar di seluruh Provinsi Indonesia. Tetapi, doa Bunda Elisabeth itu rupa-rupanya juga tidak akan pernah berhenti didoakan oleh banyak para suster yang lain, karena karya kerasulan mereka semakin meluas tidak hanya di Netherland, dan di Indonesia, tetapi juga menjangkau wilayah-wilayah karya misi baru di Cina, di Vietnam, di Kenya, di Australia, di Mexico, di Brasilia dan sekitarnya.

***

Pada bagian akhir dari tulisan ini, perkenankan penulis mengutip sambutan dari Pastor Fleercher pada pesta perayaan ulang tahun Rumah Sakit St. Carolus Jakarta yang ke-25, yang memberikan dukungan kepada para suster CB yang dengan penuh semangat telah mengembangkan karya pelayanan mereka di propinsi Indonesia ini: “Pekerjaan anda di sini bukan hal yang mudah, dan juga tak akan pernah mudah, tetapi itu merupakan kebahagiaan dan juga ketenteraman. Kita memang tahu bahwa Kerajaan Surga merupakan kekuatan, dan kita juga tahu bahwa yang tangguh akan memenangkannya. Dengan pertolongan rahmat Tuhan anda sekalian akan tetap berusaha untuk mencapai yang hebat itu, menurut tradisi anda sendiri, yang diwariskan oleh pendiri anda yang sangat terhormat, yang mengajukan keutamaan indah sebagai dasar dari tradisi: caritas et humilitas, cintakasih dan kerendahan hati.”

Caritas et humilitas – yang berarti: cintakasih dan kerendahan hati – adalah dua kata yang dapat merumuskan secara singkat mengenai semangat dan jiwa para suster CB dalam hidup dan karya pelayanan mereka, suatu tradisi yang diwariskan oleh Sr. Elizabeth Gruyters, bunda pendiri Tarekat Suster-suster Santo Carolus Borromeus ini. Semoga dalam perjalanan sejarah sampai saat ini dan di masa yang akan datang motto Caritas et humilitas ini masih tetap diingat dan menjadi sumber semangat bagi para suster CB dalam rangka mewujudkan visi dan misi Tarekat sesuai dengan suri tauladan Bunda Elisabeth yang tercinta. Proficiat untuk Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus di Indonesia, dan selamat berkarya di bumi Indonesia tercinta. Selamat berpesta dan berulangtahun yang ke-174, nanti pada tanggal 29 April 2011.