Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Selasa, 01 Februari 2011

Menabur Kasih Menuai Berkat


“Kasih membawa kita kepada kehidupan, sedangkan cemburu membawa kita kepada kematian,” kata Mark Twin.

Suatu awal selalu mempunyai peran penting dalam pertumbuhan menuju hasil. Seorang pe­tani akan memilih jenis bibit yang baik, mempersiapkan lahan dengan sungguh, merancang pu­puk yang cocok agar nantinya dihasilkan bulir-bulir padi yang bernas, mentes dan enak rasanya. Orang tua pas­ti akan berusaha sekuat tenaga untuk memberikan teladan baik kepada anak-anak­nya agar mereka kelak menjadi anak yang baik dan berguna.

Dorothy Law Nolte menuliskan pendapatnya dalam Children Learn What They Live, demi­kian: “Bila anak dibesarkan dalam celaan, maka ia belajar memaki. Bila anak dibesarkan dalam permusuhan, maka ia belajar berkelahi. Bila anak dibesarkan dalam penghinaan, maka ia belajar me­­nyesali diri. Bila anak dibesarkan dalam toleransi, maka ia belajar sabar dan bertahan diri. Bila anak dibesarkan dalam kejujuran, maka ia belajar keadilan. Bila anak dibesarkan dalam kasih dan per­sahabatan, maka ia belajar cinta yang mendalam.”

Pada suatu hari, saya bersama dengan isteri saya mengikuti sebuah retret yang lebih dike­nal oleh banyak orang dengan istilah week-end. Dalam retret tiga hari ini, kami para pasutri yang hadir sebagai retretan disuguhi bahan renungan pribadi dan renungan kelompok berpasangan. Pada hakikatnya kami retretan diajak untuk mengingat kembali saat-saat indah mengawali ro­man­tisme hidup berkeluarga, saat-saat kering dan haus menjelajahi padang gurun kekecewaan, dan saat-saat penuh optimisme melihat harapan baru untuk meneruskan langkah hidup menuju ta­nah terjanji yang membahagiakan.

Ketika saya mengikuti retret week-end ini, tujuan awal yang mau saya peroleh hanyalah sekedar ingin tahu: apa yang terjadi di sana? Karena, setiap kali ada teman yang mengajak untuk ikut retret week-end dan saya tanya tentang apa yang terjadi di sana, tidak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Jawabannya hampir sama: “Datang saja dan nikmati apa yang terjadi di sana. Retret ini akan memberikan pengalaman yang berguna bagi anda sekeluarga.” Karena sa­ya merasa tidak enak dengan teman yang terus menerus mengajak saya dan dipicu oleh kei­nginan tahu saya, maka saya bersama isteri saya memutuskan untuk meluangkan waktu, berangkat dan datang ke tempat retret.

Retret itu saya dijalani dengan penuh perjuangan karena saya merasa bosan dan jenuh. Hal-hal yang dipaparkan dalam bahan renungan saya anggap sebagai sesuatu yang biasa, di mana-mana bisa saya dapatkan, juga sudah pernah saya temui di buku-buku yang pernah saya baca. Te­tapi di sisi lain, dalam hati, saya merasa membutuhkannya, membutuhkan pengalaman reflektif da­ri orang-orang yang sudah pernah melakukan pengolahan hidup berkeluarga secara lebih baik. Maka, saya berusaha untuk tidak berhenti di tengah jalan, meskipun sempat tergoda untuk putus di tengah jalan tetapi kembali lagi. Selama retret saya merasa “seperti orang yang berjalan di hu­tan be­lantara yang luas dan gersang, melelahkan, tetapi akhirnya menemukan sumber air hidup”. Se­gala kelelahan sirna karena seteguk air sejuk yang menghidupkan.

Dari sekian banyak nilai yang ditemukan, sejauh saat ini saya sadari, adalah sebuah nilai yang akhirnya terhayati dalam perjalanan hidup saya sebagai bapak keluarga, sebagai suami, se­bagai sahabat, sebagai kepala rumah tangga, yakni: nilai “mendengarkan dengan hati” (dalam te­ma komunikasi perasaan). Nilai ini mengajarkan kepada saya akan pentingnya komunikasi yang me­libatkan perasaan/hati dan menyentuh kedalaman batin. Artinya, ketika berkomunikasi, kita mengungkapkan diri kita apa adanya, sehingga dampaknya adalah mendekatkan, mengakrabkan dan mengintimkan hubungan satu sama lain.

Sebelum mengikuti retret ini terang saja saya adalah orang yang sulit untuk mendengarkan dengan baik. Pertama, saya mendengarkan dengan pilih-pilih. Dasarnya adalah senang dan tidak senang. Kalau saya tidak senang dengan orang yang berbicara, saya akan mendengarkannya de­ngan serampangan. Tetapi kalau senang dengan orang yang sedang berbicara, berlama-lama pun bagi saya tidak menjadi soal.

Kedua, mendengarkan dengan sambil lalu. Mendengarkan orang yang berbicara tidak de­ngan perhatian penuh. Misalnya, mendengarkan orang ngomong sambil nonton teve atau sambil baca koran/buku, sambil tengok sana atau tengok sini, atau sambil tetap meneruskan pekerjaan yang sedang dikerjakan. Kalau orang itu sudah selesai bicara, dan meminta saya untuk menang­gapi, maka saya kelabakan tidak bisa memberikan jawaban yang tepat karena tidak menangkap persis apa yang diomongkan orang tadi. Itulah hal yang kerapkali membuat saya menjadi malu. Saya tahu bahwa orang yang tidak saya dengarkan dengan baik tadi lalu merasa jengkel dan merasa tidak diperhatikan, merasa tidak dihargai, karena sikap saya yang tidak mendengarkan itu.

Ketiga, mendengarkan dengan menilai. Orang baru saja angkat bicara, saya sudah dengan segera memberikan penilaian, atau berprasangka tertentu. Jika ada orang yang berbicara tentang hal-hal yang remeh dan tidak sesuai dengan minat saya, maka saya cenderung tutup telinga. Mes­ki­pun mata saya tertuju pada muka si pembicara, tetapi pikiran saya terarah ke tempat lain. Jika ada orang yang berbicara tentang kesulitan uang, saya sudah langsung menilai “paling-paling dia mau pinjam uang atau bahkan mau meminta-minta”. Lalu dengan macam-macam usaha saya ingin agar orang itu cepat pergi atau cepat memutus pembicaraan. Memang sulit untuk mendengarkan orang lain, meski saya juga tahu bagaimana seharusnya saya harus mendengarkan.

Setelah mengikuti retret ini, secara perlahan pola mendengarkan saya pun berubah. Saya berusaha untuk berani meluangkan waktu, meninggalkan sejenak apa yang sedang saya lakukan dan mengarahkan perhatian pada orang yang berbicara, serta memperhatikan isi pembicaraannya. Manfaat dari pola mendengarkan dengan hati, membuat pasangan atau partner dialog kita men­jadi lebih merasa didengarkan, merasa dicintai, dihargai, dihormati, diterima, sehingga relasi an­ta­ra kita dengan pasangan kita atau orang lain menjadi lebih hangat.

Sebagai contoh baiklah diungkapkan di sini. Saya hidup bersama dengan seorang isteri, yang sangat berbeda dalam latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman hidup, pengalaman bekerja, tipe kepribadian, dan masih banyak hal lain yang membedakan. Pada awal mula, saya mengalami ke­sulitan. Setiap kali kesulitan itu muncul, saya ingat kembali ajaran Santo Thomas Aquinas. Ia mengajarkan bahwa the greatest friendship atau persabahatan yang paling agung itu ditemukan di dalam re­lasi antara suami isteri. Inti dari persahabatan sejati (dalam bahasa Latinnya: amicitia) ini ada­lah hidup bersama sebagai sahabat. Hidup ber­keluarga itu tidak hanya hidup di bawah satu atap yang sama, tetapi harus bisa hidup bersama (living together).

Yang dimaksud dengan living together atau hidup bersama di sini adalah hi­dup bersama sebagai sahabat sejati melalui komunikasi, yakni: berbagi satu sama lain dalam hal pikiran dan keinginan, kecemasan dan cita-cita, dan segala sesuatu yang menjadi rahasia hati. Thomas Aqui­nas menasihati kita agar kita selalu mencari apa yang baik (the good) untuk meng­ungkapkan cinta ki­ta, meskipun kita tidak selalu dapat mewujudkannya. “Cinta adalah akar dari segala apa yang ki­ta rasakan dan kita kerjakan”, kata Thomas Aquinas.

Maka, sedikit demi sedikit saya mencoba mengenal pasangan saya untuk dapat memahami pribadinya dengan mengikuti pandangannya, apa yang dikatakannya, cara berpikirnya, dan bah­kan juga ritme hidupnya, yang menurut pandangan saya sungguh istimewa: jam makan, jam tidur, jam kerja, olahraga, lingkungan kerjanya, lingkungan hidup keluarganya dan hi­dup keseharian­nya. Saya memberikan banyak kebebasan dan kepercayaan kepada semua ang­gota keluarga, ter­ma­suk juga kepada isteri saya. Intinya saya harus bisa menciptakan suasana ke­lu­arga menjadi sur­ga dan bukan neraka atau api pencucian. Jangan sampai apa yang dikatakan filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre: “Orang lain [juga kita] itu neraka” [Si l’enfer c’est l’autre, c’est aussi nous] itu menjadi kebenaran dalam hidup berkeluarga [berkomunitas]. Saya berusaha untuk mematahkan apa yang dikatakan oleh sebuah pepatah: “Hidup tanpa isteri adalah hi­­­dup tan­pa per­tengkaran” [Life without wife is life without strife], mes­kipun saya merasakan bahwa ini merupakan tantang­an yang berat dan tidak gampang diwujudkan: “Hidup dengan isteri pun bisa tanpa pertengkaran”.

Satu tahun kemudian, hidup kami di dalam keluarga menjadi semakin asli: tertawa, terse­nyum, bersapa secara jujur dan bukan dibuat-buat. Keharmonisan ternyata menjadi obat bagi pa­sangan hidup kita. Berangsur-angsur bekas pacar saya ini menjadi sehat dan jarang mengalami stres. Suasana kasih, ceria, kompak, tercium oleh anak-anak dan tetangga sekitarnya. Dam­pak­nya, keakraban di antara kami dengan anak-anak tercipta. Kasih-Nya yang tinggal di dalam diri ka­mi semakin tumbuh dan menjalar, sehingga banyak orang dapat menuainya sebagai berkat: is­teri, anak-anak dan banyak orang lain di sekitar. Saya berharap semoga kasih seperti ini makin ber­­tumbuh besar, tahan lama, dan makin berakar.

Dorothy Law Nolte dalam Children Learn What They Live mengingatkan kita akan pen­ting­nya langkah awal demi pertumbuhan yang menuju hasil yang kita harapkan. Mark Twin me­nga­takan: “Jika kita menebar cemburu, kita dibawa kepada kema­tian; dan jika kita me­nebar ka­sih, kita dibawa kepada kehidupan”. Dan, Francois Duc de la Rochefoucauld pernah me­ngatakan: “Di dalam cemburu, yang ada lebih banyak cinta diri (self-love) katimbang cinta sejati (true love)”. Maka, sekarang kita tahu manakah pilihan yang harus kita ambil.

Pada litani Dorothy Law Nol­te kita masih bisa menambahkan: “Jikalau kita menabur kasih, maka kita akan menuai berkat.” Tu­han bersabda: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu sa­ling mengasihi, seperti Aku telah me­ngasihi ka­­mu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pa­da ka­sih seorang yang mem­berikan nya­wa­nya un­tuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah saha­bat-Ku, ji­kalau kamu berbuat apa yang Ku­pe­rintahkan kepadamu.” (bdk. Yoh 15:12-15)
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar