Martin Luther pernah bilang: “
Tetapi di sisi lain, uang memiliki nilai negatifnya. Kalau kita sudah merasakan betapa nikmatnya uang, lalu terbius, pikiran kita selalu uang-uang-dan-uang. Akhirnya kita dikuasai, dimiliki, diperbudak oleh uang. Uang menjadi berhala yang harus kita sembah. Di antara dua sisi terang dan gelap dari uang, kita seringkali merasakan kegelisahan dan kerisauan di tengah dua pandangan yang terdistorsi. Uang bisa membawa kebahagiaan, tetapi juga bisa membawa malapetaka. Uang menjadi soal sebab apa yang dulu didefinisikan oleh para ahli ekonomi sebagai “alat tukar”, sudah berkembang menjadi gudang nilai. Definisi itu membuka jalan untuk memperlakukan uang sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Uang bukan lagi dimengerti sebagai sarana tetapi tujuan pada dirinya sendiri.
Pada mulanya peran uang itu sederhana: sebagai alat tukar yang bersifat material, perantara hubungan transaksi yang menyenangkan antara pembeli dan penjual. Instrumentalitas uang ini sudah dikenal dalam Kitab Suci Perjanjian Lama yang mengajarkan bahwa kemakmuran adalah tanda berkat dari Tuhan, jika diperoleh sesuai dengan perintah-perintah Tuhan. Nabi Yehezkiel menghukum raja Tirus yang memperbanyak kekayaan dan karenanya kemudian dia menjadi sombong dan menempatkan dirinya sama seperti Allah. Di tempat lain, Hosea menyatakan: “Ia tidak insaf bahwa Akulah yang memberi kepadanya gandum, anggur dan minyak, dan yang memperbanyak bagi dia perak dan emas yang dibuat mereka menjadi patung Baal” (Hosea 2;7).
Namun, ada ketegangan dalam Perjanjian Lama menyelimuti persoalan uang, kekayaan dan kaya. Kekayaan dipandang sebagai berkat dari Tuhan, sementara kaya hampir selalu dipandang dengan curiga. Apa yang diidentifikasi oleh Perjanjian Lama dalam hal kecurigaan adalah kecenderungan untuk menjadikan kekayaan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan oleh karena itu didewakan atau menjadi berhala. Dimensi ini juga muncul di dalam Perjanjian Baru dalam diskusi mengenai uang. Ketika Yesus berkata: “Kamu tidak bisa mengabdi kepada Tuhan dan uang, Ia mempersonifikasikan uang itu sebagai “Mammon” (Mat 6:24; Luk 16:13)., untuk menunjukkan bahwa betapa kita ini diuji untuk memilih salah satu di antara dua: berhala atau yang lain. Dalam konteks ini, Yesus sang Guru sekurang-kurangnya mau mengingatkan kepada para pendengarnya bahwa ada sesuatu yang dikecualikan tentang uang, yaitu kemampuannya untuk berbalik menjadi penguasa atas kita. Di sini pernyataan George Shaw perlu dikoreksi karena ia menyebut bahwa uang adalah segala-galanya. Tempat yang utama dan pertama adalah Tuhan. Kita diingatkan oleh apa yang dulu pernah dikatakan oleh Dietrich Bonhoeffer: “Hati kita hanya ada satu bilik untuk devosi kepada Dia yang merangkul segala sesuatunya, dan kita hanya dapat menggantungkan diri kita pada Dia satu-satunya, yakni: Tuhan.”
Dalam bahasa
Keanehan-keanehan ini bermakna jika kita mengerti realitas spiritualitas tentang uang. Di balik uang ada kuasa spiritual yang tak kelihatan, daya-daya yang merayu, daya-daya yang menipu, daya-daya yang menuntut devosi kepadanya sebagai segala-galanya. Adalah suatu kenyataan bahwa Paulus melihat bahwa “cinta uang adalah akar segala dosa” (1Tim 6:10). Banyak orang melihat bahwa Paulus tidak mengatakan “uang” tetapi “cinta uang”. Dengan mengatakan “cinta uang” adalah akar segala dosa, Paulus tidak mengartikan secara harafiah bahwa uang menghasilkan segala dosa. Menurut Paulus, yang dimaksud dengan istilah “cinta uang adalah akar segala dosa” adalah bahwa: kalau orang sudah cinta pada uang, maka yang dicari tidak ada lain kecuali uang. Hidupnya lalu diabdikan untuk mencari uang-uang-dan-uang. Persis inilah yang disebut sebagai ciri-khas uang: ingin membujuk dan menguasai. Pribadi dikurbankan demi uang; Tidak terasa bahwa uang telah menjadi masalah yang menguasai-hidup kita, masalah yang memakan-hidup kita.
Masihkah kita rela membiarkan uang ada di atas segala-galanya, lalu memperbudak dan menguasai diri kita? Mudah-mudahan banyak orang menjadi sadar bahwa uang bukan segala-galanya sebab tempat yang utama dan pertama adalah milik Tuhan. Dengan demikian kita bisa makin menjadi berhati-hati kalau kita melihat bahwa uang sudah menampakkan daya kuasanya menjadi akar segala kejahatan. @@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar