Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Sabtu, 12 Februari 2011

Hidup Sederhana Menurut Santa Clara


“Perhatikanlah bagian pertama dari cermin yang terpasang itu, ialah kemiskinan. Dia yang terletak di palungan terbendung dengan kain lampin. Raja segala malaikat, Tuhan langit dan bumi, dibaringkan di palungan. Di bagian tengah dari cermin itu, amatilah kerendahan hati, kemiskinan yang bahagia, susah payah yang tak terbilang banyaknya, serta sengsara yang Ia tanggung untuk menebus umat manusia. Di bagian akhir dari cermin itu, pandanglah kasih yang tak terperikan, yang oleh karenanya Ia rela menderita di kayu salib, dan wafat dengan cara yang paling menjijikkan. Semoga oleh kehangatan kasih itu anda selalu semakin menyala, o permaisuri surgawi.” Demikian antara lain isi surat yang ditulis oleh Santa Klara (1193-1253), dan dikirim kepada Agnes, adiknya, yang kemudian menjadi pengikutnya yang setia dan tinggal di Praha.

Ternyata surat yang ditulis oleh Santa Klara dan ditujukan kepada Agnes adiknya itu tidak berhenti sampai di sana. Surat itu menjadi surat berantai yang berkepanjangan. Sejak lebih dari 750 tahun yang lalu hingga sekarang, isi surat itu disebarluaskan, dibaca, direnungkan terus-menerus oleh para pengikutnya, yang hidup di biara-biara Ordo Santa Clara di seluruh dunia, dan juga di Biara Santa Klara yang terletak di sebuah desa kecil nan sunyi, di desa Santren, Mrican, Yogyakarta.

“Semangat dasar yang diwariskan oleh Santa Klara kepada kami para pengikutnya itu, terutama mengikuti Yesus yang miskin dan sederhana. Santa Klara mengajak kami para pengikutnya untuk setiap hari merenungkan, memandang bagaimana penjelmaan Allah menjadi manusia Yesus yang miskin di palungan dan dibendung dengan kain lampin, dan juga mengajak kami untuk merenungkan, memandang bagaimana Yesus yang mau merendahkan diri seutuh-utuhnya dengan menundukkan kepala di kayu salib,” demikian kata Sr. Margaretha Susandari OSC, pemimpin Biara Santa Klara yang mencoba menjelaskan intisari semangat hidup yang diwariskan oleh Santa Clara, pendiri Ordo Santa Clara (OSC).

Banyak orang di zaman modern seperti sekarang ini sulit atau bahkan tidak bisa memahami cara hidup miskin yang dipilih dan dijalani oleh para suster pengikut Santa Klara ini. Banyak dari kalangan umat Katolik sendiri yang masih bertanya: “Bagaimana mungkin suster bisa hidup dengan cara seperti ini: sederhana, sepi, tersembunyi? Apakah suster tidak membutuhkan televisi? Apakah suster tidak membutuhkan hand-phone?”. “Tidak! Kami tidak membutuhkan sarana-prasarana yang canggih. Hidup yang sederhana tidak membutuhkan peralatan yang canggih. Kami hanya membutuhkan beras untuk bisa makan,” jawab Suster Margaretha (56), yang sudah lebih dari 30 tahun menjalani hidup membiara seperti ini.

Sambil membenahi letak tangannya di atas pangkuannya, Sr. Margaretha OSC meneruskan penjelasannya: “Jadi, itulah yang mendasari permenungan seluruh hidup Santa Klara dan juga menjadi permenungan di dalam seluruh hidup kami para suster. Berlandaskan semangat hidup Santa Klara itu, apa saja yang kami buat, selalu kami kaitkan dengan semangat kemiskinan dan kesederhanaan Putra Allah sendiri. Dalam surat wasiatnya dan juga di dalam anggaran dasar Tarekat, Santa Klara mengajak kami para suster: ‘Demi kanak-kanak Yesus yang terbaring di palungan dan dibendung dengan kain lampin, hendaknya kita selalu memakai pakaian yang sederhana’. Jadi, itulah yang kami hayati, apa saja yang kami pakai dalam hidup sehari-hari juga dikaitkan dengan kesederhanaan sang Putra Allah itu sendiri.”

Para suster yang mengikuti jejak Santa Klara tahu bagaimana penderitaan Yesus sampai wafat di kayu salib itu adalah juga demi keselamatan umat manusia. “Santa Klara mengajak kami para suster bahwa dalam setiap derita apa pun juga yang kami hadapi dalam hidup sehari, kalau dikaitkan dengan karya penebusan Yesus maka itu berarti juga kami ikut serta di dalam karya penebusan. Maka, apa pun yang kami alami dalam kehidupan sehari-hari selalu dikaitkan dengan Yesus yang lahir miskin, yang sampai wafat juga dalam keadaan miskin di kayu salib, sepi ditinggalkan oleh siapa pun juga. Dalam merenungkan karya penebusan Kristus melalui Salib itu, segala apa yang disebut suka-duka dalam hidup sebagai manusia, perjuangan-perjuangan tersendiri di dalam berbagai bentuknya, kami kaitkan dengan kemiskinan dan kesederhanaan Putra Allah sendiri. Pola hidup, pola pikir, pola makan, dan semangat kami adalah sederhana. Semangat itulah yang membuat kami mampu untuk bisa mengatakan ‘sudah cukup’, dan tidak berlebih-lebihan dalam hal apa pun juga.”

“Yang penting kami hidup. Kami tidak punya pendapatan yang tetap, meskipun kami juga punya pekerjaan membuat kasula, untuk pakaian misa, tetapi pesanan seperti itu juga tidak banyak. Kami juga membatasi adanya pesanan yang banyak, karena kami memang tidak bermaksud untuk mencari uang yang banyak. Kami tetap menjaga agar pesanan tidak mengganggu hidup doa kami. Tidak bisa kami berpikir tentang jahitan yang belum selesai sementara kami berdoa. Doa harus jalan, tidak boleh terganggu dan waktu doa yang sudah ditentukan tidak boleh ditawar-tawar. Selama hidup kami ini untuk Tuhan, maka Tuhan akan memelihara kami. Jaminan hidup kami hanyalah Tuhan. Kalau pola pikir kami sederhana, maka hidup kami menjadi tenang. Semangat kemiskinan yang diwariskan oleh Santa Klara itu kami jabarkan di dalam hidup yang sederhana. Kami tidak perlu merasa takut untuk dipandang rendah oleh orang lain. Kami hidup untuk Tuhan saja. Menurut ukuran dunia memang tidak ada hal-hal yang dapat dibanggakan dari kami. Cara hidup yang sederhana ini yang kami persembahkan kepada Tuhan,” jelas Suster Margaretha mantap dan gembira.

Para suster sangat bahagia dapat menjalani cara hidup yang miskin, sederhana, sepi, tersembunyi itu karena mereka menempatkan semuanya itu di dalam kerangka hidup doa, yang memungkinkan mereka memiliki kesadaran penuh dan terus menerus bahwa mereka itu hidup di hadapan Allah.

“Tidak peduli apakah kami ini diperhatikan orang atau tidak diperhatikan orang, kami ini hidup di hadapan Allah. Karena ada kesadaran hidup di hadapan Allah, maka kami bukan hanya berhati-hati tetapi senantiasa berusaha untuk menampilkan hidup yang pantas, dalam segala gerak hidup, baik yang menyangkut hal yang rohani maupun hal yang jasmani.”

Santa Klara memang juga memilih hidup kontemplatif, karena hidup kontemplatif seperti ini merupakan suatu sarana yang memungkinkan untuk menjalani hidup miskin dan sederhana. “Kami hidup tersembunyi, sederhana. Dan untuk hidup yang sederhana seperti itu tidak menuntut sarana-prasarana yang canggih dan luar biasa. Makan kami sederhana, tempat kami tinggal juga sederhana, sarana-sarana di tempat ibadat sederhana. Tetapi yang penting bagi kami adalah bersih. Memuji dan meluhurkan Tuhan itu tidak selalu harus memakai sarana-prasarana yang canggih, mewah dan indah. Yang penting adalah bersih, dan terutama dilandasi dengan hati yang tulus”, lanjut Sr. Margaretha yang lahir di Muntilan, dan sudah masuk biara Santa Klara sejak tahun 1977 itu.

Pernah suatu ketika pemilik café yang bertempat tinggal di seberang kebun milik biara Santa Klara menawarkan diri untuk bisa menyewa kebun kosong yang di belakang biara untuk dijadikan lahan perluasan café-nya. Maksudnya adalah agar tanah kosong itu bisa menjadi lebih produktif, dan menghasilkan uang. Tetapi dengan halus Sr. Margaretha menolak tawaran itu. “Kami punya kebun itu untuk menciptakan keheningan, bukan untuk hal-hal yang produktif dan menghasilkan uang. Yang kami butuhkan adalah keheningan, dan kebun itu menciptakan keheningan bagi kami. Keheningan itu penting baik bagi kami sendiri maupun bagi orang-orang lain yang datang untuk berdoa di sini.”

Sungguh banyak orang tidak bisa mengerti mengapa kebun itu dibiarkan tidak produktif. Tetapi bagi para Suster semuanya sudah jelas bahwa ini prinsip hidup mereka: Kebun menciptakan hening; dan hening itu memberikan ruang yang kondusif untuk berdoa dan berjumpa dengan Tuhan. Para Suster Santa Klara merasa perlu untuk tetap menjaga suasana hening di lingkungannya. “Tuhan itu sungguh Mahakaya, dan hidup kami para Suster tetap terjamin karena Tuhan yang menyelenggarakan hidup kami. Jaminan kami hanyalah Tuhan,” kata Suster Margaretha penuh keyakinan.

Menurut Suster Margaretha, tantangan yang dihadapi oleh banyak orang zaman sekarang adalah ingin menjadi orang lain, dan tidak berani menjadi diri sendiri. Kalau orang lain merasa senang bahwa kita memakai baju biru, maka kita akan memakai baju biru. Kalau orang menjadi punya harga diri karena makan di restauran tertentu, maka kita juga akan mencari dan menemukan makanan di restauran tertentu itu. Orang memilih sesuatu berdasarkan pada keinginan dan bukan pada kebutuhan, padahal tidak semua keinginan harus dipenuhi. Menurut Charles Swindoll, banyak orang hidup di zaman sekarang ini menjadi stres karena mengidap penyakit “Hanya-jika”. Mereka yang stres itu menganut prinsip bahwa orang bisa hidup tenang “hanya-jika”: hanya jika punya uang banyak, hanya jika punya rumah banyak, hanya jika makan banyak, hanya jika …. Hidup semacam itu, menurut Suster Margaretha membuat kita menjadi kemrungsung dan tidak tenang.

Hidup yang tenang dan bahagia seperti dialami para suster Santa Klara diletakkan sepenuhnya pada jaminan kekuatan dan pengharapan akan penyelenggaraan ilahi seperti dirumuskan oleh penulis Mazmur: “Ya, Tuhan, Engkaulah tempat perlindunganku, bagianku di negeri orang-orang hidup.” (Mzm 142: 6).

Apakah kita bisa menyanyikan Mazmur yang sama di tengah dunia yang serba ada ini? Ada banyak orang yang hidupnya puas, tenang dan damai seperti para suster Santa Clara itu! Biasanya orang-orang seperti itu pernah mendapatkan suatu prinsip hidup yang mereka temukan dari pengalaman hidup orang-orang yang hidup rohaninya mendalam. Mereka menemukan kedamaian dan kepuasan karena mereka berjalan bersama dengan Allah.

Tetapi sebaliknya, ada banyak juga orang-orang yang mengalami penderitaan dan tidak pernah merasa puas karena penyakit “hanya-jika”. Berikut ini adalah sederetan daftar “hanya-jika” yang telah merasuki banyak orang sehingga mereka mengalami kekeringan dan kesepian dalam hidup mereka:

Hanya jika aku memiliki uang yang lebih banyak

Hanya jika aku dapat memperoleh gelar yang lebih tinggi

Hanya jika kami memiliki rumah yang lebih indah

Hanya jika kami tidak melakukan investasi yang keliru

Hanya jika aku tidak berasal dari latar belakang keluarga yang jelek seperti itu

Hanya jika ia tetap mau hidup berkeluarga dengan aku

Hanya jika pastor kami dapat menjadi pengkotbah yang trampil

Hanya jika anak saya dulu bisa berjalan

Hanya jika kami memiliki anak-anak

Hanya jika kami tidak memiliki anak-anak

Hanya jika bisnis kami menjadi sukses

Hanya jika isteri saya tidak meninggal di kala usia muda

Hanya jika aku tidak mengalami kecelakaan seperti itu

Hanya jika aku memiliki teman yang jauh lebih banyak

Daftar ini bisa diteruskan, dan bisa saja tidak akan pernah berkesudahan. Kita tidak bahagia karena kita selalu melihat hidup dari sisi yang negatif. Kita selalu melihat bagian hidup yang tidak membahagiakan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hidup kita. Jangan sampai kita digiring ke jalan yang tak pernah ada ujungnya. Kita perlu menciptakan suatu daftar lain yang berbeda, jika kita mau mendapatkan kepuasan di dalam hidup ini. Jiwa yang tidak pernah puas, akan segera menjadi jiwa yang kesepian.

2 komentar:

  1. dimana saja lokasii biara st clara?
    apa syarat" menjadi biarawati OSC??

    BalasHapus
  2. BIara OSC ada di Mrican, DIY dan di Pacet, Sindanglaya, Cipanas.
    Sedangkan OSCCap ada di Sumatera .
    Sy kira perlu untuk meninjau dulu ke sana

    BalasHapus