“Perhatikanlah bagian pertama dari cermin yang terpasang itu, ialah kemiskinan. Dia yang terletak di palungan terbendung dengan kain lampin. Raja segala malaikat, Tuhan langit dan bumi, dibaringkan di palungan. Di bagian tengah dari cermin itu, amatilah kerendahan hati, kemiskinan yang bahagia, susah payah yang tak terbilang banyaknya, serta sengsara yang Ia tanggung untuk menebus umat manusia. Di bagian akhir dari cermin itu, pandanglah kasih yang tak terperikan, yang oleh karenanya Ia rela menderita di kayu salib, dan wafat dengan cara yang paling menjijikkan. Semoga oleh kehangatan kasih itu anda selalu semakin menyala, o permaisuri surgawi.” Demikian antara lain isi surat yang ditulis oleh Santa Klara (1193-1253), dan dikirim kepada Agnes, adiknya, yang kemudian menjadi pengikutnya yang setia dan tinggal di Praha.
Ternyata
“Semangat dasar yang diwariskan oleh Santa Klara kepada kami para pengikutnya itu, terutama mengikuti Yesus yang miskin dan sederhana. Santa Klara mengajak kami para pengikutnya untuk setiap hari merenungkan, memandang bagaimana penjelmaan Allah menjadi manusia Yesus yang miskin di palungan dan dibendung dengan kain lampin, dan juga mengajak kami untuk merenungkan, memandang bagaimana Yesus yang mau merendahkan diri seutuh-utuhnya dengan menundukkan kepala di kayu salib,” demikian kata Sr. Margaretha Susandari OSC, pemimpin Biara Santa Klara yang mencoba menjelaskan intisari semangat hidup yang diwariskan oleh Santa Clara, pendiri Ordo Santa Clara (OSC).
Banyak orang di zaman modern seperti sekarang ini sulit atau bahkan tidak bisa memahami cara hidup miskin yang dipilih dan dijalani oleh para suster pengikut Santa Klara ini. Banyak dari kalangan umat Katolik sendiri yang masih bertanya: “Bagaimana mungkin suster bisa hidup dengan cara seperti ini: sederhana, sepi, tersembunyi? Apakah suster tidak membutuhkan televisi? Apakah suster tidak membutuhkan hand-phone?”. “Tidak! Kami tidak membutuhkan sarana-prasarana yang canggih. Hidup yang sederhana tidak membutuhkan peralatan yang canggih. Kami hanya membutuhkan beras untuk bisa makan,” jawab Suster Margaretha (56), yang sudah lebih dari 30 tahun menjalani hidup membiara seperti ini.
Sambil membenahi letak tangannya di atas pangkuannya, Sr. Margaretha OSC meneruskan penjelasannya: “Jadi, itulah yang mendasari permenungan seluruh hidup Santa Klara dan juga menjadi permenungan di dalam seluruh hidup kami para suster. Berlandaskan semangat hidup Santa Klara itu, apa saja yang kami buat, selalu kami kaitkan dengan semangat kemiskinan dan kesederhanaan Putra Allah sendiri. Dalam
“Yang penting kami hidup. Kami tidak punya pendapatan yang tetap, meskipun kami juga punya pekerjaan membuat kasula, untuk pakaian misa, tetapi pesanan seperti itu juga tidak banyak. Kami juga membatasi adanya pesanan yang banyak, karena kami memang tidak bermaksud untuk mencari uang yang banyak. Kami tetap menjaga agar pesanan tidak mengganggu hidup doa kami. Tidak bisa kami berpikir tentang jahitan yang belum selesai sementara kami berdoa. Doa harus jalan, tidak boleh terganggu dan waktu doa yang sudah ditentukan tidak boleh ditawar-tawar. Selama hidup kami ini untuk Tuhan, maka Tuhan akan memelihara kami. Jaminan hidup kami hanyalah Tuhan. Kalau pola pikir kami sederhana, maka hidup kami menjadi tenang. Semangat kemiskinan yang diwariskan oleh Santa Klara itu kami jabarkan di dalam hidup yang sederhana. Kami tidak perlu merasa takut untuk dipandang rendah oleh orang lain. Kami hidup untuk Tuhan saja. Menurut ukuran dunia memang tidak ada hal-hal yang dapat dibanggakan dari kami. Cara hidup yang sederhana ini yang kami persembahkan kepada Tuhan,” jelas Suster Margaretha mantap dan gembira.
“Tidak peduli apakah kami ini diperhatikan orang atau tidak diperhatikan orang, kami ini hidup di hadapan Allah. Karena ada kesadaran hidup di hadapan Allah, maka kami bukan hanya berhati-hati tetapi senantiasa berusaha untuk menampilkan hidup yang pantas, dalam segala gerak hidup, baik yang menyangkut hal yang rohani maupun hal yang jasmani.”
Santa Klara memang juga memilih hidup kontemplatif, karena hidup kontemplatif seperti ini merupakan suatu sarana yang memungkinkan untuk menjalani hidup miskin dan sederhana. “Kami hidup tersembunyi, sederhana. Dan untuk hidup yang sederhana seperti itu tidak menuntut sarana-prasarana yang canggih dan luar biasa. Makan kami sederhana, tempat kami tinggal juga sederhana, sarana-sarana di tempat ibadat sederhana. Tetapi yang penting bagi kami adalah bersih. Memuji dan meluhurkan Tuhan itu tidak selalu harus memakai sarana-prasarana yang canggih, mewah dan indah. Yang penting adalah bersih, dan terutama dilandasi dengan hati yang tulus”, lanjut Sr. Margaretha yang lahir di Muntilan, dan sudah masuk biara Santa Klara sejak tahun 1977 itu.
Pernah suatu ketika pemilik café yang bertempat tinggal di seberang kebun milik biara Santa Klara menawarkan diri untuk bisa menyewa kebun kosong yang di belakang biara untuk dijadikan lahan perluasan café-nya. Maksudnya adalah agar tanah kosong itu bisa menjadi lebih produktif, dan menghasilkan uang. Tetapi dengan halus Sr. Margaretha menolak tawaran itu. “Kami punya kebun itu untuk menciptakan keheningan, bukan untuk hal-hal yang produktif dan menghasilkan uang. Yang kami butuhkan adalah keheningan, dan kebun itu menciptakan keheningan bagi kami. Keheningan itu penting baik bagi kami sendiri maupun bagi orang-orang lain yang datang untuk berdoa di sini.”
Sungguh banyak orang tidak bisa mengerti mengapa kebun itu dibiarkan tidak produktif. Tetapi bagi para Suster semuanya sudah jelas bahwa ini prinsip hidup mereka: Kebun menciptakan hening; dan hening itu memberikan ruang yang kondusif untuk berdoa dan berjumpa dengan Tuhan. Para Suster Santa Klara merasa perlu untuk tetap menjaga suasana hening di lingkungannya. “Tuhan itu sungguh Mahakaya, dan hidup kami para Suster tetap terjamin karena Tuhan yang menyelenggarakan hidup kami. Jaminan kami hanyalah Tuhan,” kata Suster Margaretha penuh keyakinan.
Menurut Suster Margaretha, tantangan yang dihadapi oleh banyak orang zaman sekarang adalah ingin menjadi orang lain, dan tidak berani menjadi diri sendiri. Kalau orang lain merasa senang bahwa kita memakai baju biru, maka kita akan memakai baju biru. Kalau orang menjadi punya harga diri karena makan di restauran tertentu, maka kita juga akan mencari dan menemukan makanan di restauran tertentu itu. Orang memilih sesuatu berdasarkan pada keinginan dan bukan pada kebutuhan, padahal tidak semua keinginan harus dipenuhi. Menurut Charles Swindoll, banyak orang hidup di zaman sekarang ini menjadi stres karena mengidap penyakit “Hanya-jika”. Mereka yang stres itu menganut prinsip bahwa orang bisa hidup tenang “hanya-jika”: hanya jika punya uang banyak, hanya jika punya rumah banyak, hanya jika makan banyak, hanya jika …. Hidup semacam itu, menurut Suster Margaretha membuat kita menjadi kemrungsung dan tidak tenang.
Hidup yang tenang dan bahagia seperti dialami para suster Santa Klara diletakkan sepenuhnya pada jaminan kekuatan dan pengharapan akan penyelenggaraan ilahi seperti dirumuskan oleh penulis Mazmur: “Ya, Tuhan, Engkaulah tempat perlindunganku, bagianku di negeri orang-orang hidup.” (Mzm 142: 6).
Apakah kita bisa menyanyikan Mazmur yang sama di tengah dunia yang serba ada ini?
Tetapi sebaliknya, ada banyak juga orang-orang yang mengalami penderitaan dan tidak pernah merasa puas karena penyakit “hanya-jika”. Berikut ini adalah sederetan daftar “hanya-jika” yang telah merasuki banyak orang sehingga mereka mengalami kekeringan dan kesepian dalam hidup mereka:
Hanya jika aku memiliki uang yang lebih banyak
Hanya jika aku dapat memperoleh gelar yang lebih tinggi
Hanya jika kami memiliki rumah yang lebih indah
Hanya jika kami tidak melakukan investasi yang keliru
Hanya jika aku tidak berasal dari latar belakang keluarga yang jelek seperti itu
Hanya jika ia tetap mau hidup berkeluarga dengan aku
Hanya jika pastor kami dapat menjadi pengkotbah yang trampil
Hanya jika anak saya dulu bisa berjalan
Hanya jika kami memiliki anak-anak
Hanya jika kami tidak memiliki anak-anak
Hanya jika bisnis kami menjadi sukses
Hanya jika isteri saya tidak meninggal di kala usia muda
Hanya jika aku tidak mengalami kecelakaan seperti itu
Hanya jika aku memiliki teman yang jauh lebih banyak
Daftar ini bisa diteruskan, dan bisa saja tidak akan pernah berkesudahan. Kita tidak bahagia karena kita selalu melihat hidup dari sisi yang negatif. Kita selalu melihat bagian hidup yang tidak membahagiakan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hidup kita. Jangan sampai kita digiring ke jalan yang tak pernah ada ujungnya. Kita perlu menciptakan suatu daftar lain yang berbeda, jika kita mau mendapatkan kepuasan di dalam hidup ini. Jiwa yang tidak pernah puas, akan segera menjadi jiwa yang kesepian.
dimana saja lokasii biara st clara?
BalasHapusapa syarat" menjadi biarawati OSC??
BIara OSC ada di Mrican, DIY dan di Pacet, Sindanglaya, Cipanas.
BalasHapusSedangkan OSCCap ada di Sumatera .
Sy kira perlu untuk meninjau dulu ke sana