Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Selasa, 01 Februari 2011

Perlunya Terima Kasih


“Kepada mas Adi Susila diucapkan terima kasih atas perhatian untuk tanggal 25 Oktober 2008 yang bersejarah dalam hidup saya. Salam hangat.”, demikian bunyi pesan singkat yang datang dari seorang teman yang baru saja menerima gelar pengukuhan sebagai Guru Besar Sejarah Gereja, Profesor Dr. Antonius Eddy Kristiyanto, OFM, di STF Driyarkara Jakarta, Sabtu, 25 Oktober 2008 yang lalu. Bersyukur dan berterima kasih atas segala anugerah yang diberikan oleh Allah kepada kita tidak hanya perlu diketahui oleh sanak saudara dan teman kita, tetapi juga perlu diungkapkan demi terbangunnya relasi yang baik antar sesama dan antara kita dengan Allah yang berkarya di dalam hidup kita.

Tanggal 31 Oktober 2008, jam 18.30 seluruh umat di lingkungan St. Perawan Maria Ngropoh Condongcatur Yogyakarta diundang oleh keluarga Bapak Sugita untuk hadir dalam ibadat dalam rangka perayaan syukur kepada Tuhan atas terselesaikannya studi oleh Stefanus Indra tingkat sarjana dengan hasil yang gemilang, dan terima kasih atas kesempatan kerja yang didapatkannya dengan segera dan sesuai dengan bidang kemampuannya untuk pengembangan diri di dunia kerja. Ibadat malam hari itu sungguh merupakan cara yang amat baik untuk mengungkapkan rasa terima kasih itu kepada Tuhan.

Dalam Injil (Luk 17: 11-19) yang dibacakan pada sore itu menegaskan tentang betapa pentingnya mengungkapkan rasa terima kasih itu. Perlunya terima kasih sungguh digarisbawahi oleh Yesus. Tuhan Yesus memuji orang Samaria yang datang kembali kepada-Nya setelah dia disembuhkan dari penyakit kustanya. Dia menyembuhkan 10 orang yang sakit lepra, tetapi hanya satu orang saja yang kembali kepada Yesus dan berterima kasih.

Kita kerapkali berpikir seperti orang-orang yang dalam kelompok sembilan itu. Memang kita melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Yesus kepada mereka: “Pergilah dan tunjukkan dirimu pada imam.” Mereka yang kesembilan itu memang menaati apa yang diperintahkan oleh Yesus. Namun, orang Samaria itu jauh menaati hukum yang lebih mendalam, yaitu: hukum tentang perlunya berterima kasih. Di dalam hati kita, kita tahu pentingnya apa itu “terima kasih”. Kita meluangkan waktu untuk mengajari anak-anak juga untuk bisa mengatakan “terima kasih”. Tetapi, kita setelah dewasa acapkali gagal untuk meluangkan waktu untuk berterima kasih.

Kadang kita berpikir, “Ah, orang lain toh sudah tahu bahwa saya adalah orang yang tahu terima kasih. Kenapa saya mesti mengungkapkan rasa terima kasih itu kepada orang lain?” Tetapi pada kenyataannya orang lain memang sungguh tidak tahu tanpa melihat ungkapan terima kasih itu. Pernah saya memberikan suatu hadiah sebuah rosario kepada seorang teman, oleh-oleh dari Lourdes Perancis. Tetapi lama sudah saya menanti tanggapannya, rasa terima kasih itu tidak kunjung datang pada saya. Pada mulanya saya mengandaikan bahwa teman saya itu tahu berterima kasih, tetapi kemudian saya mulai heran apakah hadiah yang aku kirim itu tidak sampai. Setelah lama berselang, saya berpapasan dengan teman itu di jalan, lalu saya tanyakan, “apakah dia sudah menerima kiriman oleh-oleh saya.” Setelah ditanya dia menjawab: “Oh ya, sudah saya terima. Terima kasih ya. Bagus sekali rosarionya. Saya suka.” Saya mencoba melupakan peristiwa itu, tetapi pengalaman itu mengajak saya berefleksi bahwa saya pun seringkali gagal untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang lain.

Orang Samaria dalam kisah itu memberikan kepada saya suatu contoh yang amat mengagumkan tentang ungkapan rasa terima kasih yang sungguh tepat. Orang Samaria itu sungguh orang yang mempunyai hati yang penuh syukur: mengungkapkan rasa terima kasihnya dengan hati yang tulus dan dengan cara yang mampu membangun relasi persahabatan. Ungkapan itu tidak hanya pada tingkat hubungan antara kita manusia dengan manusia, tetapi juga komunikasi kita dengan Tuhan.

Daya kekuatan dari rasa terima kasih itu dapat dilihat dari perspektif yang lain, dari sudut pandang yang berlawanan. Lawan dari berterima kasih adalah mengeluh. Mengeluh itu tanda bahwa hidup kita tidak bahagia, kita tidak mensyukuri hidup kita.

Waktu saya menjalani pendidikan di seminari menengah, saya pernah membaca sebuah buku yang berjudul “Stop Complaining and Start Living”, karangan Dale Carnegie. Buku itu mengetengahkan gagasan bahwa mengeluh itu merupakan tindakan yang tidak menguntungkan karena tidak mengubah hidup. Orang diajak untuk menghayati hidup ini dengan penuh kegembiraan sehingga hidup ini menjadi menggairahkan, tidak membosankan tetapi menyenangkan. Maka setiap orang diajak untuk berhenti mengeluh supaya dia dapat menikmati hidup yang bahagia. Keluhan kita dan kritik kita acapkali tidak menghasilkan apa-apa, dan tidak mengubah hidup menjadi bahagia. Tetapi sebaliknya, syukur dan terima kasih itu dapat mengubah hidup menjadi menggairahkan, menggembirakan.

Kalau hari ini hari yang kita tetapkan sebagai hari bersyukur, maka hari ini adalah hari yang membahagiakan bagi kita semua. Yesus menunjukkan kepada kita betapa pentingnya menghaturkan terima kasih itu. Dengan mengungkapkan rasa syukur kita, kita dapat mengatasi kesedihan, kita dapat mempererat hubungan kita satu sama lain sebagai manusia, tetapi juga bisa membangun relasi kita dengan Allah sendiri. “Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain daripada orang asing ini?”, sabda Tuhan. “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” (Luk 17: 17-18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar