Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Sabtu, 19 Februari 2011

Pengampunan Sebagai Sebuah Pilihan


“Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra, dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” (Efesus 4:32)

Pengampunan adalah sebuah pilihan yang mudah untuk dikatakan tetapi tidak gampang untuk dilaksanakan. Berulangkali Yesus mengajarkan kepada kita tentang pentingnya mengampuni orang lain. Tetapi kita tidak jarang mengalami kegagalan dalam melakukannya. Doa “Bapa Kami” yang seringkali kita nyanyikan juga mengingatkan kepada kita supaya kita tidak lupa bahwa selain meminta pengampunan dari Tuhan, kita pun juga dituntut untuk mengampuni orang lain.

Kita sungguh sadar bahwa persoalan Petrus yang datang kepada Yesus dan bertanya kepada-Nya tentang berapa kali orang harus mengampuni adalah persoalan kita juga. Oleh Reinhold Niebuhr kita diberi pengertian: “Pengampunan adalah bentuk akhir dari cinta”. Bunda Teresa dari Calcuta juga menasihati kita: “Jika kita ingin mencintai, maka kita harus belajar tentang bagaimana kita harus mengampuni”. Rick Warren seorang milyader dan pengarang buku “The Purpose Driven Life” juga menunjukkan kepada kita: “Tujuan hidup di dunia ini adalah belajar tentang bagaimana mencintai dan berelasi dengan orang lain, dan pembawa damai adalah salah satu ketrampilan paling penting yang harus dikembangkan”. Menurut Rick Warren, pengampunan adalah pekerjaan si pembawa damai. Dan seperti memasuki sebuah lorong yang sempit dan gelap, memilih jalan pengampunan itu diperlukan nyali besar, keberanian, sikap membungkuk, dan rendah hati.

Kisah dua orang rahib

Ada dua orang rahib sedang berjalan-jalan di pagi hari dalam suasana hujan deras. Ketika sampai pada suatu tempat di mana jalannya becek dan tergenang air, mereka melihat bahwa ada seorang wanita muda berpakaian sutra sedang melewati jalan tersebut. Nampaknya wanita itu sedang dalam keadaan bingung dan ketakutan untuk melewati jalan yang basah dan berlumpur itu. Salah satu dari antara dua rahib itu berpikir bahwa wanita itu ingin menyeberangi jalan yang becek tersebut. Maka, tanpa berpikir panjang ia pun menghampiri wanita itu dan menggendongnya ke seberang jalan.

Ketika dua rahib tadi pulang kembali ke biara, mereka berdua tidak berbicara satu sama lain. Sesampainya di biara, rahib yang satu marah dan berkata: “Kamu telah melanggar aturan Tarekat. Kamu tahu bahwa kita tidak diperbolehkan untuk berbicara dengan wanita, apalagi memegang dan menggendongnya. Rahib yang satu pun menjawab dengan tenang: “Saya telah meninggalkan wanita itu di seberang jalan sana, tetapi mengapa kamu masih membawanya kemari?”.

Marah, kecewa, benci, sakit hati adalah pengalaman yang sangat dekat dengan kita. Stres selalu ada bersama kita. Penyebabnya beraneka macam: harapan yang tidak realistik, suasana kerja, kesulitan keuangan, kehilangan pekerjaan, kematian orang yang kita cintai, malapetaka dan bencana alam, dan penyebab lainnya. Intensitas stres itu pun bervariasi, tergantung pada situasinya. Ketika kita sedang membaca artikel ini, kita pun bisa dihadapkan pada situasi stres: membuka halaman demi halaman, membaca dan mengikuti kata per kata, dan memproses informasi yang kita dapatkan. Bahkan seandainya sekarang kita ini sedang berbaring santai di tempat tidur, mata kita pejamkan, kita pun dapat juga mengalami stres, karena di dalam badan kita ada sesuatu yang tidak beres. Pikiran kita berjalan terus, sementara hati kita berdebar terus karena kita merasa tidak aman. Setiap masalah menuntut penyelesaiannya sendiri; dan setiap kita berada dalam situasi stres, kita memiliki potensi destruktif atau potensi konstruktif dalam menggunakan enerji kita. Orang yang sukses menyalurkan stres ke dalam enerji yang konstruktif dan kreatif.

Perlunya pengampunan

Salah satu keutamaan yang kita perlukan dalam menghadapi stres adalah keutamaan pengampunan. Pengampunan adalah salah satu keutamaan yang terpenting untuk manajemen stres. Kemampuan untuk menghentikan kemarahan adalah penting untuk kesehatan badan dan untuk pertumbuhan kehidupan rohani seseorang. Sebaliknya kalau orang ingin tetap berada di dalam situasi mengeluh, nggrundel, kecewa dan pahit, maka ia justru akan terperosok ke dalam kobaran api kemarahan dan stres.

Apakah kita pernah mencoba mendamaikan orang yang sedang dalam situasi konflik di mana masing-masing dari mereka tidak mau mengampuni satu sama lain? Bisa jadi kita sudah pernah berusaha untuk membujuk agar orang lain melupakan masa lampaunya tetapi mereka menolak dan tidak mau mengampuni. Kita bisa menyampaikan pertanyaan kepada orang yang menolak anjuran untuk mengampuni itu: “Kalau anda tidak mau mengampuni, dan tidak mau membebaskan diri dari rasa marah, siapakah sebenarnya yang akan menanggung penderitaan itu terus menerus? Anda atau orang lain?” Dengan gagal mengampuni, kita sebetulnya telah menjadi sasaran korban kepahitan kita sendiri. Marah dapat menciptakan rasa tidak enak dalam hati kita dan merusak enerji kita tanpa kita mengetahuinya. Kita menjadi korban dari keputusan yang menyebabkan kita stres. Keadaan seperti ini bisa menyebabkan timbulnya gangguan kesehatan dalam diri kita.

Belajar dari ruang pelatihan gajah

Ketika anak-anak gajah dilatih, para pelatih mengambil sebuah rantai besi yang besar, dan melilitkan rantai itu pada kaki-kaki gajah; kemudian mengikatkannya dengan sebuah kayu pancang besar yang ditancapkan pada tanah dalam-dalam. Kemudian para pelatih itu membiarkan anak-anak gajah itu menarik dan menarik sampai mereka sadar bahwa mereka tidak bisa pergi ke mana-mana. Anak-anak gajah itu diperlakukan seperti itu selama dua atau tiga tahun, sampai pada suatu hari kayu pancang besar tadi diambil oleh pelatihnya.

Kemudian sebuah kayu pancang kecil dipukul-tancapkan ke dalam tanah. Pelatih gajah itu mencencangkan anak-anak gajah itu ke pancang kayu tersebut dengan tali. Gajah-gajah itu belajar dari pengalaman masa lampaunya; mereka tidak pernah mencoba untuk bergerak dari kayu pancang tersebut. Dengan cara begitu binatang sebesar itu telah menjadi korban dari seutas tali yang sebenarnya lemah sekali; gajah-gajah itu sebenarnya hanya diikat oleh seutas tali tipis tetapi seolah-olah mereka telah diikat dengan rantai besar dari besi.

Ketika kita manusia menempatkan diri sebagai korban, kita sedang dalam berperilaku seperti gajah-gajah itu. Supaya bisa lepas dari situasi korban, kita harus memiliki pandangan yang baru yang lebih segar; kita sebaiknya terbebaskan dari belenggu pandangan lama.

Binatang tidak memiliki banyak pilihan. Tetapi kita manusia memiliki banyak pilihan. Kita dapat memilih untuk menggunakan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita untuk pertumbuhan kita. Cerita tentang gajah adalah sebuah cerita yang membantu kita untuk melihat di mana kita sedang membiarkan diri kita dikorbankan oleh masa lampau kita. Masihkah kita ingat akan “apa yang kita anggap sebagai kayu pancang” kita? Peristiwa manakah dari pengalaman masa lampau kita, yang masih membelenggu kita dan membawa kita untuk terus terikat kembali ke sana?

Apakah kita sedang membawa beban-beban itu dalam perjalanan hidup kita sekarang? Apakah sudah waktunya sekarang kita membuang jauh-jauh beban-beban itu? Adakah seseorang di dalam hidup kita sekarang yang belum kita ampuni? Kita sekarang diundang untuk melepaskan masa lampau itu. Jika mereka tidak mengampuni kita, maka kitalah yang mengampuni mereka.

Kita sadar bahwa tugas ini berat. Tetapi jika kita tidak menawarkan pengampunan kepada orang lain yang pernah melukai dan mengecewakan kita, maka kita akan terbebani dengan pengalaman negatif itu dalam hidup kita. Sebaiknya kita mengosongkan hati kita dari rasa benci dan balas dendam, dan menggantikannya dengan semangat mencintai. Pengampunan adalah tanda kebesaran jiwa. Ketika menjawab persoalan Petrus tentang berapa kali harus mengampuni (Mat 18:21-22), Tuhan Yesus mengajak para murid-Nya supaya mereka memiliki jiwa pengampun, dan selalu mau mengampuni.

Mengambil tanggung jawab

Untuk melepaskan diri dari belenggu menjadi korban kita harus memiliki suatu tempat di mana kita mengambil tanggung jawab terhadap diri kita dan tanggung jawab terhadap relasi kita dengan orang lain. Kita harus bertanggung jawab terhadap perasaan, pikiran dan tindakan kita. Kita dikondisikan untuk melihat dunia luar untuk menemukan sumber-sumber daya untuk kepenuhan kita. Dan ketika hal-hal itu tidak mengarah kepada jalan yang kita kehendaki, kita mencoba menemukan seseorang atau sesuatu untuk dipersalahkan. Tetapi menempatkan siapa yang salah di luar kita adalah suatu usaha yang salah arah untuk menemukan kembali kepekaan kontrol diri kita.

Kenyataannya adalah bahwa kita tidak pernah memiliki kekuatan kontrol terhadap unsur-unsur yang berada di luar kita. Hidup selalu terjadi sesuai dengan hukumnya, bukan sesuai dengan kita. Apa yang ada di bawah kendali kita adalah apa yang terjadi pada kita. Kita tidak dapat mengubah pikiran orang lain; kita hanya bisa mengubah diri kita sendiri. Kita tidak mungkin mengendalikan hal-hal yang di luar diri kita; maka kita sebaiknya kembali ke perhatian kita tentang bagaimana menghayati cintakasih di dalam hidup.

Kita dapat hidup tanpa harus mempersalahkan orang lain. Kita membiarkan orang lain berekspresi sesuai dengan keunikannya sendiri. Kita tidak perlu memaksakan bahwa mereka berubah. Menegaskan orang lain berubah berarti menyatakan perang. Relasi kita adalah cerminan dari pikiran dan hati kita. Relasi itu bukan di luar sana, tetapi di dalam pikiran dan hati kita. Relasi adalah refleksi dari apa yang terjadi dalam pikiran dan hati kita. Tuntutan pada orang lain adalah tuntutan yang sedang kita buat dalam pikiran dan hati kita. Kita tegang karena kita sedang membawa beban harapan kita pada diri orang lain; memproyeksikan beban harapan kita pada orang lain.

Untuk menghindarkan diri dari usaha mempersalahkan orang lain, kita perlu menjaga relasi dengan diri kita sendiri. Itu berarti kita harus yakin bahwa perilaku kita tidak berbasis pada apa yang sudah terjadi pada masa lampau (kemarin, minggu lalu, bulan yang lalu, 20 tahun yang lalu). Kalau kita bisa terbebaskan dari masa lampau yang masih mengendap-endap dalam pikiran dan hati kita, maka kita bisa hadir seperti saat ini. Dan kita bisa menjaga relasi kita dengan diri kita sendiri.

Pengampunan sebagai solusi

Ada beberapa cara yang dapat membantu kita untuk mampu memberikan pengampunan kepada orang lain. Jika orang yang bersangkutan sudah meninggal, atau jika kita tidak mau berkonfrontasi dengan orang tersebut, maka kita dapat menggunakan teknik kursi kosong. Bayangkan saja, orang yang pernah melukai dan mengecewakan kita itu duduk di kursi di depan kita. Bicaralah dengan dia. Ungkapkan segala perasaan yang hidup dan bergolak dalam hati di depan kursi kosong itu. Jangan dihambat. Keluarkan apa saja yang dipikirkan dan mau dikatakan. Lalu biarkan kemarahan itu terlepas, dan berubah menjadi pengampunan. Bisa juga orang yang bersalah atau yang pernah melukai dan mengecewakan kita itu kita peluk atau kita ajak untuk berjabat tangan.

Jika bicara dengan kursi kosong merupakan sesuatu yang asing bagi kita, maka apa yang kita pikirkan dan kita rasakan itu kita tuliskan. Di dalam surat itu kita tuliskan apa saja yang hidup di dalam pikiran kita. Biarkan apa yang dipikirkan itu keluar, kalau perlu berteriaklah. Ungkapkan segala perasaaan yang relevan. Kemudian, pada akhirnya, berikanlah pengampunan kepada orang yang pernah bersalah, mengecewakan dan melukai kita itu.

Kita tahu bahwa orang yang dulunya marah dan benci, berangsur mulai meninggalkan pengalaman yang pahit dan tidak menguntungkan itu. Mereka yang dulu mengalami kesulitan untuk melepaskan pengalaman masa lampaunya, secara berangsur dapat meninggalkan masa lampaunya dan menikmati hidup yang baru yang lebih membahagiakan dan memberikan kepadanya kegembiraan dan kelegaan. @@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar