Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Selasa, 31 Desember 2013

Doa Persembahan Pagi

Allah Bapa kami, kepada-Mu kupersembahkan hari ini.
Kuhunjukkan semua doa, pikiran, perkataan, tindakan maupun suka-dukaku hari ini dalam kesatuan dengan Putera-Mu Yesus Kristus, yang senantiasa mempersembahkan diri-Nya dalam Ekaristi bagi keselamatan dunia.
Kiranya Roh Kudus yang menjiwai Yesus, juga menjadi pembimbing dan kekuatanku hari ini, sehingga aku siap sedia menjadi saksi kasih-Mu.
Bersama Santa Maria, Bunda Yesus dan Gereja, secara khusus aku berdoa bagi ujud-ujud Bapa Suci dan para rasul doa Gereja Indonesia untuk bulan ini: …


Bulan Mei 2014


Universal - Media Massa. Semoga media massa menjadi instrumen yang melayani kebenaran dan perdamaian.

Untuk evangelisasi - Bimbingan Bunda Maria. Semoga Bunda Maria, Sang Bintang Evangelisasi, membimbing Gereja dalam mewartakan Kristus ke semua bangsa.

Gereja Indonesia - Buruh migran. Semoga lingkungan-lingkungan Gereja menjadi tempat yang ramah bagi para buruh migran.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Doa Syukur

Ya Allah, Engkaulah sumber segala berkat, sumber hidup kami, pemberi segala rahmat:
Kami berterima kasih kepada-Mu karena anugerah kehidupan yang boleh kami terima:
karena nafas yang mengalirkan kehidupan,
karena makanan yang merawat kehidupan,
karena cintakasih keluarga dan cintakasih para sahabat yang tanpanya kehidupan kami ini tak kan pernah ada.

Kami berterima kasih kepada-Mu karena misteri penciptaan yang telah Engkau nyatakan kepada kami: karena keindahan yang boleh kami lihat dengan mata kami,
karena kegembiraan yang boleh kami dengar dengan telinga kami,
karena hal-hal yang tidak dapat kami kenali dan kami tangkap yang mengisi alam semesta dan mengundang rasa kagum kami,
karena luasnya ruang di muka bumi yang mengundang kami untuk menjangkau batas-batas yang melampau diri kami.

Kami berterima kasih kepada-Mu karena Engkau memperbolehkan kami untuk hidup dalam komunitas-komunitas:
karena keluarga yang membentuk kami menjadi manusia seperti ini,
karena teman-teman yang mencintai kami dengan sepenuh hati,
karena teman-teman sekerja yang mau berbagi dalam beban dan tugas sehari-hari kepada kami,
karena orang-orang asing yang tak kami kenal yang berkenan datang dan hadir di tengah-tengah kami,
karena orang-orang yang datang dari tanah air yang lain yang mengundang kami untuk bertumbuh bersama dan saling memahami,
karena anak-anak yang mewarnai saat-saat kehidupan kami dengan kegembiraan,
karena bayi-bayi yang masih dalam kandungan dan belum lahir, yang menawarkan kepada kami harapan untuk masa depan kami.

Kami berterima kasih karena kami boleh menikmati hari ini:
karena hidup yang boleh kami nikmati dan pemberian tambahan satu hari lagi untuk hidup dan mencintai,
karena kesempatan dan tambahan hidup satu hari lagi sehingga kami boleh bekerja lagi demi keadilan dan perdamaian,
karena tetangga dan makin banyaknya orang-orang yang boleh kami cintai dan orang-orang yang berkenan mencintai kami,
karena rahmat-Mu dan karena semakin tambahnya pengalaman kami akan kehadiran-Mu,
karena janji-Mu: untuk bersama kami selalu, untuk menjadi Allah kami, dan untuk memberikan keselamatan kepada kami.

Karena semua ini, dan karena segala berkat yang boleh kami terima, kami bersyukur kepada-Mu ya Allah, yang kekal dan selalu mencintai kami, demi Kristus Tuhan dan pengantara kami. Amin.

Rabu, 31 Juli 2013

Doa pada Hari Ulang Tahun

Ya Tuhan, yang Mahakasih, pada pagi yang cerah ini aku mengucap syukur kepada-Mu karena cinta-Mu senantiasa menunjukkan kehadirannya di dalam hidupku. Aku bersyukur kepada-Mu karena sampai  pada umurku saat ini aku masih Engkau perkenankan boleh merasakan cinta-Mu, melalui orangtuaku, sanak-saudaraku, tetanggaku, sahabat-sahabatku dan kenalanku. Pada hari yang berbahagia ini, perkenankanlah aku boleh mengajukan permohonanku kepada-Mu, sebab hanya Engkaulah andalanku dan penolongku.

Ya Tuhan, yang Mahakasih, tolonglah aku agar aku mampu menyebarkan keagungan cinta-Mu di mana saja aku berada. Penuhilah hatiku dengan kuasa Roh Kudus-Mu. Masukilah diriku agar hidupku merupakan pancaran cinta-Mu. Sinarilah diriku agar setiap orang yang aku jumpai dapat melihat dan merasakan kehadiran-Mu di dalam diriku. Semoga aku selalu mewartakan Engkau dengan perbuatan-perbuatanku yang memberi teladan daripada hanya dengan kata-kataku. Semoga hatiku selalu memancarkan cahaya cintakasih yang berasal dari-Mu. Demi Kristus Tuhan dan junjunganku. Amin.

Sabtu, 18 Mei 2013

Theresia Suratiyah: Perawat yang Melayani dengan Hati


Kakak saya adalah seorang perawat yang pernah menjalani pendidikan keperawatan di desa Boro Yogyakarta. Namanya Theresia Suratiyah (60 tahun), yang dikenal dengan sebutan mbak Surat atau mbak Thres. Ketika saya tanya tentang nama sekolah tempat dia belajar, mbak Thres menjawab: “Waktu itu sekolah pendidikan keperawatan masih bernama Sekolah Penjenang Kesehatan (SPK) Tingkat Atas”. “Lulusan sekolah ini, setelah belajar selama 3 tahun, diharapkan memiliki kemampuan dan ketrampilan di bidang keperawatan dan pelayanan kesehatan, dan akhirnya dapat bekerja sebagai pembantu bidan dalam tugas keperawatan”, tambahnya.

Ketika saya tanya, siapa Kepala Sekolah Keperawatan di sekolah ini, mbak Thres menjawab: “Kepala sekolah keperawatan waktu itu adalah Sr. Antoni, OSF. Orangnya baik banget. Orangnya disiplin tapi tidak pernah marah.” Lanjut mbak Thres: “Ada suatu peristiwa yang menarik yang pernah saya alami. Sore itu memang hari ujian. Saya mendapat giliran ujian nomor satu. Sebetulnya sore itu saya sendiri sedang bersiap-siap untuk mandi, tetapi keburu dipanggil oleh suster Antoni untuk ujian. Di depan kelas, Sr. Antoni bertanya kepada saya: Coba terangkan kepada saya, bagaimana proses terjadinya menstruasi! Saya bengong, karena masih berdiri di depan kelas kok sudah diberi soal ujian. Karena saya tahu bahwa ini waktunya ujian, maka saya menjawab pertanyaan itu dengan serius. Suster Antoni heran melihat saya dapat menjawab dengan lancar. Segera sesudah selesai ujian, dia langsung menyalami saya dan mengatakan: Thres, kamu saya beri nilai yang terbagus.” “Saya tersenyum, mengulurkan tangan saya, mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pergi mandi.” kata mbak Thres.

Kakak saya mulai studi di tempat ini tahun 1972 dan selesai tahun 1975. Selama studi, kakak saya hidup di asrama. “Kepala asrama waktu itu adalah Ibu Suliyem, orang yang sangat memperhatikan para penghuni asrama. Meski harus dengan kursi roda dalam menjalankan tugasnya, ibu Suliyem ini dikenal sebagai seorang ibu yang disiplin, ringan tangan, suka membantu, baik hati dan sabar”, kisah Mbak Thres. “Dia sangat bertanggungjawab sebagai ibu asrama. Kalau hari sudah malam, ibu Suliyem pergi keliling asrama, untuk melihat-lihat, memeriksa apakah para penghuni asrama sudah pada tidur atau belum. Kebetulan anak-anak asrama waktu itu semuanya baik dan tidak ada yang bandel, sehingga kedisiplinan asrama senantiasa bisa ditegakkan.”

“Kepala rumah sakit St. Yusup Boro waktu itu adalah seorang suster Belanda. Namanya Sr. Floren OSF, dan dalam kerjanya dia dibantu oleh beberapa Suster lain. Tim pelayanan medis di lembaga kese¬hatan ini diketuai oleh Dr. Subodro, MPH., dan dibantu oleh seorang dokter umum bernama Dr. Leny Kushati, yang rajin bekerja, nglaju dari kota Yogyakarta ke Boro setiap hari,” jelas mbak Thres. “Suster-suster yang berkarya di tempat ini semuanya disiplin, pekerja keras dan tekun. Yang namanya Suster Floren itu amat sangat disiplin. Kalau dia memberi tugas kepada anak-anak asrama untuk membersihkan asrama, dan melihat bahwa asrama belum bersih betul, anak-anak asrama itu disuruh membersihkan ulang.”

Tahun 70-an adalah tahun berat bagi kehidupan ekonomi Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, rakyat Indonesia masih tergantung pada bantuan bahan makanan dari pemerintah Australia, berupa bulgur (jenis gandum berwarna merah, yang biasa dipakai sebagai bahan makanan ternak di Australia). Kehidupan asrama di tempat ini pun tidak terbebaskan dari masalah penyediaan bahan makanan untuk anak-anak asrama keperawatan. Asrama perawat hanya bisa menyediakan bulgur untuk makanan sehari-hari, dan bukan beras. Makan nasi (beras) di asrama keperawatan ini hanya sekali seminggu, yaitu pada hari Minggu. “Setiap hari makan bulgur sungguh pengalaman yang tak terlupakan,” kata mbak Thres. “Pernah pada suatu hari anak-anak asrama membuang sisa makanan (bulgur) yang masih banyak ke tong sampah hingga penuh. Melihat peristiwa itu salah seorang Suster OSF menangis. Tetapi Suster itu juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena keadaan waktu itu memang seperti itu: beras sulit didapat, dan bilamana ada, harganya mahal dan tak terjangkau oleh kebanyakan orang. Meskipun anak-anak asrama bosan, makanan bulgur pun tetap saja dihidangkan,” jelas mbak Thres.

Kakak saya yang hidupnya dimanjakan oleh situasi di rumah (simbah putri dan ibu saya itu penjual nasi dan makanan sehari-hari dengan segala macam lauk-pauk, lengkap dan enak, dengan warung yang laris-manis), banyak kali menangis dan mengeluh bahwa makanan setiap hari di sini (Boro) adalah nasi bulgur. Maka, keluarga kami pun menjadi tidak sampai hati (tegel), ketika mendengar berita bahwa salah satu anak (cucu)-nya setiap hari makan bulgur. Karena itu, sebulan sekali, keluarga kami dari Mertoyudan mengirim sambal. Sambal yang dibuat dari lombok, tomat, terasi dan krecek babi ini, disebut sambal bajak. Meski sedikit tapi rasanya sungguh mirasa. “Sambil inilah yang membuat nafsu makan menjadi lebih antusias. Benar yang dikatakan sebuah pepatah: Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”, kata mbak Thres. Kakak saya sangat gembira menerima kiriman sambal itu, karena dengan begitu dia bisa lebih bisa merasakan nikmatnya nasi bulgur yang kadang membosankan.

Setelah selesai menjalani pendidikan di tempat ini, dan setelah mengembalikan ikatan dinas di Rumah Sakit ini, kakak saya mendapat panggilan untuk bekerja di tempat lain. Suster-suster Sang Timur yang bekerja di sebuah poliklinik besar di Curahjati, Banyuwangi, membutuhkan tenaga perawat hasil didikan sekolah perawat Boro ini. Setelah mengajukan surat lamaran pekerjaan dan diterima, maka mulaillah kakak saya bekerja di Banyuwangi. Dia bekerja di sana selama kurang lebih 4 tahun. Bekerja di daerah pedesaan yang keadaan ekonominya lemah memang berat tetapi semua tugas pelayanan dijalani dengan sabar dan tekun.
Dari tempat kerja baru ini, kakak saya mendapatkan jodohnya, yaitu: Yustinus Poniman, seorang sopir pastoran dari Paroki Genteng Banyuwangi. Setelah pernikahan, kakak saya pulang kampong dan pindah kerja ke Magelang. Kakak saya diterima sebagai perawat dalam status Pegawai Negeri di Kabupaten Magelang, dan ditempatkan di Rumah Sakit Umum dan Pusat Kesehatan Masyarakat di Pakis Magelang. Selama menjadi pegawai negeri dia memperoleh kesempatan untuk studi lanjut tingkat D3 (diploma) dalam bidang kebidanan.

Dalam usianya menjelang pension, kakak saya sudah merintis sebuah pekerjaan baru di rumahnya sendiri dengan mendirikan sebuah poliklinik kebidanan di Pakis Magelang. Poliklinik ini sekarang sudah beroperasi selama lebih dari lima tahun, dan berkat Tuhan, poliklinik kebidanan ini masih berjalan dengan baik dan makin berkembang. Di samping layanan kesehatan yang sederhana, layanan utamanya adalah melayani ibu-ibu hamil dalam mempersiapkan dan menghadapi kelahiran anak. Tugasnya tidak hanya merawat kesehat¬an, tetapi juga membela kehidupan.

Pasien yang datang untuk rawat inap dalam rangka partus (melahirkan) kebanyakan adalah ibu-ibu desa yang berasal dari masyarakat petani. Pada umumnya mereka adalah orang-orang yang tergolong ekonomi lemah. Kakak saya menentukan tarif dan pembayaran sesuai dengan tingkat dan keadaan ekonomi setempat. Para pasien dipersilakan untuk membayar ongkos perawatan sesuai dengan kemampuan mereka. Ada ibu-ibu yang setelah tiga bulan melahirkan baru bisa membayar ongkos partus. Kehidupan ekonomi para pasien sangat tergantung pada masa panen. Dan memang mereka diberi kemungkinan untuk membayar ongkos perawatan tidak harus dengan uang. Mereka dimungkinkan untuk membayar biaya perawatan dengan hasil panenan, entah berupa: sayur-sayuran, buah-buahan, atau pun hasil bumi lainnya. Bahkan, bisa juga pasien membayar biaya perawatan dengan ayam, telur dan hasil usaha ternak lainnya.

Waktu pembayaran pun juga tidak harus pada saat pelayanan diberikan, tetapi boleh juga sehabis panenan. Ada banyak pasien sudah dibantu melahirkan tetapi ongkosnya baru dibayar setelah 3 bulan anaknya lahir.
Awalnya adalah merawat dan sampai umur tua pun kakak saya tetap juga merawat. Itulah panggilan hidupnya, berprofesi sebagai perawat, dari muda hingga tua, dan dijalani dengan tekun, gigih, sabar dan setia. “Yang menguatkan panggilan saya menekuni pekerjaan perawat ini adalah bahwa menjadi perawat itu ikut ambil bagian dalam karya pelayanan Yesus, membantu mereka yang membutuhkan, menyembuhkan orang sakit dan mengurangi penderitaan mereka” kata mBak Thres.

Kakak saya menjadi seorang bidan seperti sekarang ini, tidak lepas dari perkenalan dan pergaulan masa lampau di tempat ini dengan orang-orang yang pernah tinggal dan bekerja di tempat ini: Sr. Antoni OSF, Sr. Floren OSF, Ibu Dr. Lany, Bapak Dr. Subodro, Ibu Suliyem, dan sudah barang tentu para tenaga medis, para perawat, para pasien yang dilayani, orang-orang yang dijumpai, dilayani dan bekerja sama dengannya. Orang-orang yang berkumpul di tempat ini adalah orang-orang yang ikut membentuk dirinya, ikut membangun komunitas kerja di tempat ini, karena mereka saling berbagi, saling memberi dan saling menerima.***

Sabtu, 27 April 2013

Petrus Kanisius: Pujangga Gereja dan Pelindung Penulis Katolik

“Tidak ada buku lain selain Katekismus ini. Distribusinya sungguh luar biasa hebat. Selama seratus tiga puluh tahun peredarannya sejak terbit, buku ini sudah mengalami cetak ulang sampai hampir 400 kali. Keseluruhan perencanaan penulisan dan tata letak buku ini mendapatkan sentuhan ketrampilan tingkat tinggi, dan di antara buku-buku Katolik  Katekismus ini tidak ada bandingnya,” kata Drews, seorang sejarawan yang beragama Kristen Protestan.

Petrus Kanisius dilahirkan di kota Nijmegen, Negeri Belanda, tanggal 8 Mei 1521. Kanisius lahir sebagai anak sulung dari keluarga terpandang. Jakob Kanisius, ayahnya yang kaya raya itu, adalah seorang pejabat walikota di Nijmegen. Ibunya, Aegidia van Houweningen, telah meninggal dunia, tidak lama sesudah Kanisius lahir.

Kanisius menuduh dirinya telah membuang waktu sia-sia sebagai anak yang suka berfoya-foya, tetapi pada kenyataannya ia telah memperoleh gelar master di Universitas Koln, ketika ia masih berumur 19 tahun. Ini bukti nyata bahwa dia tidak bisa disebut sebagai orang yang suka menganggur.

Meski Kanisius mengalami nasib malang karena kehilangan ibunya pada saat dia masih dalam usia balita, isteri kedua dari ayahnya membesarkan Kanisius dengan penuh kasih sayang. Isteri kedua dari ayahnya membuktikan diri sebagai seorang ibu tiri yang sungguh amat baik dan penuh kasih terhadap anak-anaknya.
Untuk menyenangkan ayahnya, yang menginginkan dia menjadi seorang ahli Hukum, pada tahun 1536 Kanisius pergi ke Koln untuk belajar Hukum.

Menyadari bahwa dirinya tidak terpanggil untuk karir di bidang Hukum, dan dia bermaksud menolak untuk dikawinkan oleh ayajnya dengan seorang wanita kaya, Petrus Kanisius mengambil langkah sebaliknya, yaitu: mau mengucapkan kaul selibat, dan kembali ke Koln untuk belajar Teologi. Di sana dia menyelesaikan studi sampai mendapatkan gelar Master of Arts pada 1540. Kanisius kerapkali menuduh dirinya telah membuang waktu sia-sia sebagai anak yang suka berfoya-foya, tetapi pada kenyataannya ia telah memperoleh gelar master di Universitas Koln, ketika ia masih berumur 19 tahun. Ini bukti nyata bahwa dia adalah seorang pekerja keras, dan tidak suka menganggur.

Sementara ia menjadi mahasiswa di Universitas Koln ia secara teratur mengunjungi para rahib Kartusian di biara St. Barbara, yang menjadi pendorong hidup Katolik. Di biara ini para lelaki yang setia menanamkan spiritualitas “devotio moderna” atau devosi modern.

Karena tertarik dengan kotbah-kotbah yang disampaikan oleh Petrus Faber, murid pertama St. Ignatius, pada tahun 1543, Kanisius mempercayakan diri untuk mengikuti retret di bawah bimbingan Petrus Faber di Mainz. Setelah mengikuti retret pada Minggu kedua, ia memutuskan untuk bergabung menjadi anggota Serikat Yesus; dan mengucapkan kaul. Pada tanggal 8 Mei 1543, dia diterima masuk sebagai anggota Serikat Yesus, di Mainz. Dia adalah orang Belanda pertama yang masuk Serikat Yesus.

Sebagai novis, dia hidup selama beberapa tahun dalam sebuah komunitas SJ di Koln. Di sana dia menghabiskan waktunya untuk berdoa, belajar dan mengunjungi orang sakit dan mengajar orang-orang yang bodoh. Uang yang diwarisi dari ayahnya yang sudah meninggal dipersembahkan untuk orang-orang yang tidak punya dan untuk membangun rumah.

Di tempat itu Petrus Kanisius juga sudah mulai menulis buku, dan buku terbitan pertamanya adalah tentang karya St. Cyrilus dari Aleksandria dan tentang St Leo Agung (di mana dia menjadi editornya, 1543). Setelah ditahbiskan, ia makin terkenal karena kotbah-kotbahnya. Sebagai seorang delegatus yang diutus oleh Ignatius ke Konsili Trente, dia mengikuti dua sesi, yang satu di Trente dan yang satunya lagi di Bologna.

Petrus Kanisius adalah pemuda yang cerdas tetapi rendah hati. Dia menyelesaikan studi di Koln dan menerima ijazah sebagai doktor di bidang Hukum. Kemudian dia pergi ke Louvain Belgia untuk belajar Hukum Gereja. Pada hari ia mengucapkan kaul terakhir, sesaat berlutut, Tuhan Yesus menampakkan Hati Kudus-Nya kepadanya. Sejak saat itu, dia tidak pernah gagal untuk mempersembahkan semua karyanya kepada Hati Kudus Yesus.

Dia ditahbiskan menjadi imam Yesuit pada 1546. Ia memberikan pelayanan dan pengajaran di lembaga-lembaga di dalam masyarakat dan di dalam Gereja, baik di Jerman maupun di Austria. Dikirim ke Jerman, ia bekerja selama bertahun-tahun melalui tulisan dan ajaran untuk meneguhkan iman Katolik. Di antara buku-buku hasil karyanya, Katekismus adalah buku yang sangat terkenal. Buku itu menjadi monument Gereja untuk melawan ajaran-ajaran yang pada waktu itu dikembangkan oleh Luther.

Petrus Kanisius adalah orang yang memiliki semangat kerja yang tinggi. Dia mengajar di beberapa Universitas, mendirikan Kolese sejumlah 18 buah, dan menulis buku 37 buah. Buku karyanya yang terpenting adalah “Triple Catechism”, yang diterbitkan sampai edisi ke-400, dan dipakai dari abad ke-17 sampai abad ke-18.

Santo Petrus Kanisius merupakan salah satu tokoh paling penting di dalam gerakan Kontra-Reformasi di Jerman, dan dipandang sebagai rasul kedua di Jerman setelah St. Bonifacius. Tetapi dia dihormati juga sebagai salah satu dari para pencipta percetakan Katolik. Dia adalah “sastrawan” pertama dari anggota Serikat Yesus. Dialah pelopor dalam bidang kepenulisan.

Petrus Kanisius wafat di Fribourg, Swis, 21 Desember 1597. Paus Pius XI menyatakan dia kudus pada 21 Mei 1925, dan mengumumkan dirinya sebagai pujangga Gereja. Dia adalah santo pelindung bagi para penulis Katolik. Hari pestanya di dalam Gereja Katolik dirayakan pada setiap tanggal 27 April.

Kamis, 25 April 2013

Doa kepada Bunda Maria Penasihat yang Baik

Allah Bapa yang Maha-bijaksana yang bertahta di surga, Engkau telah menganugerahkan bagi kami Bunda Yesus, untuk menjadi pembimbing dan penasihat kami. Anugerahkanlah bagi kami juga pembimbing dan penasihat itu, supaya kami dapat selalu memperoleh bantuan dari pembimbing dan penasihat yang baik itu di dalam hidup kami, dan perkenankanlah kami untuk dapat menikmati kehadirannya yang membawa berkat, baik bagi hidup kami sekarang maupun hidup kami yang akan datang.

Ya Bunda Penasihat yang baik, engkau adalah pelindung bagi organisasi-organisasi dan persekutuan-persekutuan kaum wanita di seluruh dunia. Kami mohon kepadamu, sudilah kiranya engkau berkenan menjadi pembimbing dan penasihat kami supaya kami mampu menjadi pemimpin-pemimpin yang bijaksana, yang berani, dan yang mampu melayani dengan cintakasih di dalam Gereja kami dan di dalam masyarakat kami.

Bantulah kami, ya Bunda Maria yang tercinta, untuk mengenali pikiran Yesus, Puteramu. Semoga Roh Kudus menerangi akal budi kami sehingga kami mampu mengenali, mengagumi dan merawat alam ciptaan yang diberikan oleh Allah kepada kami, dan juga mampu berbela rasa dengan sesama kami yang telah Allah anugerahkan bagi kami. Semoga karya pelayanan cintakasih yang kami lakukan di atas bumi ini mampu mendatangkan Kerajaan Allah. Semoga anugerah iman dan harapan yang hidup dari Allah mampu menyiapkan kami untuk mencapai kepenuhan bagi datangnya Kerajaan Allah di dunia ini. Amin.

Rabu, 17 April 2013

Kesabaran: Belajar dari Bunda Maria

Saudara-saudara terkasih di dalam Tuhan, pernah kita mendengar suatu ungkapan yang menyatakan bahwa dunia tempat kita tinggal ini adalah tempatnya kesusahan, dan bahkan disebut sebagai lembah air mata. Karena kita manusia berada dalam penderitaan, maka diharapkan bahwa mudah-mudahan dalam penderitaan itu, kita masih bisa bertahan dan sabar, supaya akhirnya nanti kita boleh memperoleh keselamatan bagi jiwa-jiwa kita, atau memperoleh hidup kekal. Tuhan sendiri pernah mengatakan: “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Luk 21: 19) Dan Allah memang telah memberikan kepada kita Santa Perawan Maria sebagai panutan dalam segala keutamaan. Dan secara khusus, Bunda Maria adalah teladan dalam hal keutamaan kesabaran.
Santo Fransiskus Sales menyatakan bahwa ketika Yesus dan Bunda Maria berada di tengah-tengah pesta perkawinan di Kana, Yesus memberikan jawaban kepada Bunda Maria atas permohonan yang diungkapkan dalam doa Bunda Maria kepada-Nya: “Ibu, apa yang kau kehendaki dari Aku” (Yoh 2: 4). Dan akhirnya Yesus melakukan apa yang menjadi doa Bunda-Nya, yakni memberikan kepada kita keteladanan dalam hal kesabaran. Tetapi apa yang kita cari dari keteladanan Bunda Maria tentang keutamaan kesabaran?
Seluruh hidup Bunda Maria adalah latihan yang berlangsung terus menerus tentang kesabaran. Sebab, ketika malaikat Tuhan menyatakan diri kepada Santa Brigitta, “Ketika sekuntum bunga mawar tumbuh di antara tanaman berduri, maka demikianlah juga Bunda Maria tumbuh di dalam saat-saat yang sulit, susah dan sengsara.” Belarasa terhadap penderitaan sang Penebus pun sudah cukup membuat diri Bunda Maria menderita dan menjadi martir dalam hal kesabaran.

Tetapi St. Bonaventura mengatakan, “bahwa Bunda yang tersalib telah mengandung Puteranya yang disalib.” Ketika kita berbicara tentang kesusahan, kita telah menimbang-menimbang sejauh mana Bunda Maria itu telah mengalami penderitaan, baik ketika dalam perjalanannya menuju ke Mesir, selama tinggal di sana, maupun selama ia hidup bersama dengan Puteranya di Nazareth. Apa yang paling membuat Maria menderita adalah ketika ia hadir pada saat kematian Yesus di Gunung Kalvari. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa kesabaran Maria begitu hebat: Di sana Maria Bunda-Nya berdiri di bawah kaki salib Yesus. Itulah kemanfaatan kesabaran Maria. Dan karena itu Santo Albertus Agung pernah mengata
kan “Maria membawa kepada kita kehidupan berahmat untuk seterusnya.”

Untuk selanjutnya, jika kita ingin menjadi anak-anak Bunda Maria, maka kita mesti berusaha untuk meniru Bunda Maria dalam hal kesabaran. “Oleh karena itu”, kata Santo Cyprianus, “masih ada manfaat apa lagi yang bisa kita warisi dalam hidup ini, dan kemuliaan yang lebih besar macam apa yang masih dapat kita nikmati di masa yang akan datang, selain kesabaran bertahan untuk menanggung penderitaan?” Allah bersabda, melalui Nabi Hosea (2: 6), “Aku akan menyekat jalannya dengan duri-duri.” Kepada Santo Gregorius, Allah juga mengatakan bahwa “jalan yang dipilih akan disekat dengan duri-duri.” Sekat duri itu akan melindungi kebun anggur, sehingga Allah melindungi para hamba-Nya dari bahaya ketika mempekerjakan mereka di atas bumi, dengan cara melindungi mereka dari kesulitan, kesusahan dan kesengsaraan. Karena itu Santo Cyprianus mengambil kesimpulan bahwa kesabaran adalah keutamaan yang penting yang dapat membebaskan kita dari dosa dan dari neraka. Menurut Santo Yakobus, kesabaran itu membuahkan kematangan, kesempurnaan, keutuhan, seperti dituliskan dalam suratnya: “Dan biarkanlah kete¬kunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna, dan utuh, dan tak kekurangan suatu apa pun.” (Yak 1: 4).

Menanggung penderitaan dalam damai, tidak hanya sewaktu berhadapan dengan salib yang datang dari Tuhan secara tiba-tiba, seperti: sakit dan kemiskinan, tetapi juga yang datang dari manusia sendiri, misalnya: pengejaran, pe¬nyiksaan, luka dan harus beristirahat. Santo Yohanes melihat semua orang kudus memegang ranting daun palma di tangannya, lambang kemartiran, sebagaimana ditulis dalam Kitab Wahyu: “Setelah itu aku melihat banyak palma di tangan mereka (Why 7: 9); yang berarti bahwa semua orang dewasa yang disela¬matkan harus menjadi martir, dengan cara mencurahkan darahnya untuk Kristus atau dengan cara bertindak sabar.

“Bersukacitalah,” kata Santo Gregorius, “kita dapat menjadi martir tanpa harus dieksekusi dengan pedang, jika kita bersedia untuk menjadi sabar.” “Bersiap-sedialah saja,” kata Santo Bernardus, “kita bertahan dalam penderitaan hidup dengan sabar dan gembira.” Karena itu, Rasul Paulus meneguhkan kita dengan mengatakan, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, yang jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.” (2Kor 4: 17).

Pernyataan Santa Theresia mengenai hal ini sungguh indah. Dia mengatakan, “Barangsiapa memeluk salib, dia tidak akan merasakan betapa beratnya salib itu”, dan di tempat lain dia menyatakan, “Jika kita memutuskan untuk menderita, maka berhentilah pedih perih penderitaan itu.” Jika salib-salib kita berat di pundak, marilah kita kembali datang kepada Bunda Maria, yang disebut oleh Gereja sebagai “Penghibur bagi Orang yang Sengsara”, dan yang oleh Santo Yohanes Damascena disebut sebagai “Obat bagi Hati yang Susah”.

Ya, Bunda Maria yang tersuci, engkau telah menghadapi penderitaan dengan begitu sabar; dan apakah kami yang ingin masuk ke surga, juga harus menderita, seperti engkau? Bunda Maria, ya Bunda kami, kami sekarang memohon kepadamu rahmat, tidak supaya kami dibebaskan dari salib, tetapi diberi kemampuan untuk memanggul salib dengan sabar. Karena cinta Yesus kepada kami, maka kami percayakan permohonan ini kepadamu agar kami boleh memperoleh rahmat ini dari Allah bagi kami, dan karena pengantaraanmu kami juga boleh memiliki harapan untuk memperoleh rahmat itu dengan penuh percaya.

Selasa, 26 Maret 2013

Ketaatan: Belajar dari Bunda Maria

Saudara-saudari terkasih, pada hari ketujuh dalam rangkaian Novena yang mengangkat tema umum: “Kokoh dalam Iman bersama Maria”, kali ini kita akan belajar dari Bunda Maria tentang keutamaan “ketaatan.” Bunda Maria mencintai ketaatan sedemikian rupa sehingga ketika malaikat menyampaikan berita yang mengagetkan, dia menanggapi berita panggilan itu dan menyebut dirinya sebagai hamba Allah: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1: 38).

Sesuai dengan pandangan Santo Thomas Villanova, “Hamba yang setia ini tidak pernah melawan kehendak Allah, baik dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Maria senantiasa menghayati kehendak apa pun yang datang dari luar dirinya, dan dalam segala hal Maria senantiasa taat akan kehendak Allah.” Maria sendiri melakukan hal itu dengan kesadaran penuh bahwa Allah berkenan karena ketaatannya itu, sebagaimana Maria pernah mengatakan: “Allah telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya (Luk 1: 48).

Kerendahan hamba itu memuat keinginan untuk taat secara tepat. Santo Irenaeus mengatakan bahwa dengan ketaatannya Maria telah memperbaiki kejahatan yang dilakukan oleh ketidak-taatan Hawa: “Karena dengan ketidak-taatanya Hawa telah menjadi sebab dari kematiannya sendiri dan kematian seluruh umat manusia, maka Maria dengan ketaatannya telah menjadi sebab dari keselamatan dirinya dan keselamatan seluruh umat manusia.”

Ketaatan Maria jauh lebih sempurna katimbang ketaatan orang-orang kudus. Semua orang yang lain memiliki kecenderungan untuk berbuat jahat, dan mereka menemukan kesulitan untuk melakukan kebaikan, karena dosa asal. Tetapi tidak begitu untuk Maria. Santo Bernardinus menulis bahwa karena Maria terbebaskan dari dosa asal, maka dia tidak menemukan kesulitan untuk taat kepada Allah. “Maria itu seperti sebuah roda”, kata Santo Bernardinus, “mudah bergerak karena dorongan ilham yang datang dari Roh Kudus. Tujuan satu-satunya di dunia ini adalah memusatkan perhatiannya kepada Allah, mempelajari kehendak-Nya dan kemudian melaksanakannya.”

Maria membuktikan cintanya pertama-tama demi taat, demi menyenangkan Allah, Maria taat kepada kaisar Roma, dan memutuskan untuk melakukan perjalanan panjang menuju Betlehem. Waktu itu adalah musim dingin. Jarak yang ditempuh kira-kira tujuh puluh mil. Maria sedang mengandung dan begitu miskin sehingga ia harus melahirkan anaknya di sebuah kandang khewan. Maria juga taat ketika dia harus melakukan perjalanan di malam hari ketika Yosef menyarankan agar Maria dan anaknya harus menyingkir ke Mesir. Maria tidak mau kehilangan kesempatan untuk melaksanakan ketaatannya, karena Maria sudah senantiasa siap sedia untuk taat.

Bunda Maria memperlihatkan ketaatannya yang paling berani, ketika dia menaati kehendak Allah: mempersembahkan anaknya untuk mati. Dengan ketaatannya yang sempurna itu, Maria telah siap sedia ketika puteranya harus disalibkan. Itulah mengapa Santo Anselmus mengatakan: “Maria diberkati oleh Allah karena telah menjadi Bunda Allah, tetapi selalu lebih diberkati lagi oleh Allah karena Maria selalu mencintai dan selalu menaati kehendak Allah.

Karena alasan itu, semua orang yang mencintai ketaatan sungguh membuat Bunda Maria sangat berkenan. Pada suatu ketika Bunda Maria menerima seorang biarawan dari ordo Fransiskan bernama Accorso, yang sedang berada di dalam sel tahanan. Sementara Bunda Maria hadir di sana, ketaatan telah menuntut Accorso untuk pergi mendengarkan pengakuan dari seorang yang sedang menderita sakit. Kemudian Accorso pergi ke tempat orang sakit itu, dan melayani sakramen tobat. Sekembalinya Accorso dari tugas, Bunda Maria telah menunggunya di sel tahanan, dan di sana Bunda Maria memuji ketaatan Accorso menjalankan tugas pelayanannya.

Pada suatu ketika Bunda Maria pernah menyatakan kepada Santa Brigitta tentang perlunya taat kepada bapa rohaninya, dengan mengatakan: “Ketaatan kepada bapa rohani adalah ketaatan yang mampu membawa jiwa-jiwa kepada kemuliaan.” Santo Filipus Neri mengatakan: “Allah tidak memperhitungkan segala-sesuatu yang sudah dilakukan dengan taat, karena Dia sendiri telah mengatakan: “Barang siapa mendengarkan kamu ia mendengarkan Aku, dan barangsiapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku.” (Luk 10: 16). Maria telah menyatakan kepada Santa Brigitta bahwa oleh karena warisan ketaatannya dia memperoleh daya kekuatan besar sehingga tak ada seorang pun pendosa yang dipanggil tidak memperoleh pengampunan, betapa pun besarnya kejahatan yang pernah dilakukannya.

Ya Maria, Ratu Surga dan Bunda kami yang tersuci, jadilah bagi kami pengantara kepada Yesus. Karena warisan ketaatan yang engkau miliki perkenankanlah kami juga boleh mendapatkan kesetiaan dalam menaati kehendak Allah dan selalu setia dalam melaksanakan arahan dan bimbingan dari para bapa rohani kami. Amin.

Keutamaan Ketaatan dalam Semangat Ignatian

Saudara-saudari yang terkasih dalam Tuhan, menurut Dr. S. Ignacimuthu SJ, dalam bukunya “Values for Life” (1999: 102), ketaatan adalah kesiapsediaan untuk tunduk pada perintah, keinginan, dan bimbingan orang lain. Dengan taat, kita mengesampingkan egoisme kita, menyingkirkan dorongan-dorongan pribadi kita yang sifatnya egoistis. Ketaatan melatih kita untuk mengurbankan keinginan dan kehendak pribadi kita, demi sesuatu yang lebih mulia. Ketaatan mengajarkan kepada kita untuk menyangkal diri. Ketaatan mendorong kita untuk bertindak menurut keinginan orang lain. Ketaatan memberikan daya kekuatan moral dan kekuatan spiritual untuk diperintah oleh orang lain. Semakin taat, maka orang semakin mudah untuk bersedia diatur.

Sebagai ilustrasi, Ignacimuthu mengingatkan kita tentang seorang misionaris ulung yang pernah singgah di negeri kita, yakni: Fransiskus Xaverius. Franciscus Xaverius, sudah mengajar di Universitas Paris, ketika Ignatius Loyola menantang dia untuk menerima dan mengikuti panggilan Tuhan. Setelah bergabung dengan Ignatius, ia menjadi sahabat yang dekat dan bekerja demi keselamatan manusia. Kemudian Franciscus Xaverius menanggalkan kepentingan dirinya dan taat kepada Ignatius sebagai pemimpinnya, dan pergilah dia ke India. Karena ketaatannya itu dia menjadi salah satu misionaris yang terbesar yang pernah hidup di dunia ini. Jenasahnya yang masih utuh dan tidak rusak sampai hari ini masih bisa kita lihat wujudnya.

Ketaatan adalah keutamaan yang dianggap penting oleh Santo Ignatius. Santo Igna-tius pernah meminta kepada para pengikutnya untuk unggul dalam keutamaan ketaatan dan menegaskan kepada mereka agar ketaatan itu menjadi ciri-khas mereka. Karena pentingnya ketaatan itu, Santo Ignatius menegaskan kepada para pengikutnya melalui suratnya demikian: “Meskipun dalam segala keutamaan dan rahmat rohani aku menghendaki kesempurnaan dari anda semua, namun di dalam nama Allah Tuhan kita Yesus Kristus, aku menghendaki supaya anda semua unggul dalam keutamaan ketaatan, melebihi keutamaan yang lain.” Dengan pernyataan seperti itu Santo Ignatius mau mengatakan bahwa keutamaan ketaatan merupakan tumpuan hidup dan kesejahteraan Serikat Yesus. Dengan kata lain, kehidupan dan kesejahteraan Serikat bertumpu pada keutamaan ketaatan yang dimiliki oleh para anggota Serikat.

Dalam perspektif spiritualitas Ignasian, konsep ketaatan berakar pada Latihan Rohani Santo Ignatius. Ketika memasuki Latihan Rohani, para peserta retret diajak untuk mendalami Asas dan Dasar (LR 23), yang merupakan permenungan awal dalam Minggu Pertama. Asas dan Dasar merupakan dasar untuk mengikuti retret karena Asas dan Dasar itu merumuskan tujuan hidup manusia diciptakan, dan merupakan landasan bagaimana orang harus membangun relasi dasar dengan Allah dan relasi dengan alam ciptaan. Asas dan Dasar menyatakan bahwa “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan melayani Allah Tuhan kita.” (LR 23), dan segala sesuatu yang berada di muka bumi ini diciptakan untuk manusia untuk membantu dia mencapai tujuan dia diciptakan.

Manusia harus menggunakan ciptaan sejauh membantu dia mencapai tujuan hidupnya, dan harus meninggalkannya sejauh menghalangi dia untuk mencapai tujuan hidupnya itu. Karena itu, sikap dasar dari manusia dalam relasinya dengan semua ciptaan harus merupakan sikap yang mengijinkan dirinya menjadi terbuka untuk menggunakan atau tidak menggunakan ciptaan itu. Faktor yang penting di sini adalah bahwa manusia tidak boleh mendisposisikan dirinya untuk mencegah dirinya untuk menggunakan atau tidak menggunakan ciptaan itu. Manusia harus terbuka terhadap segala sesuatu yang dapat membantu dirinya mencapai tujuan hidupnya. Santo Ignatius melukiskan unsur sikap itu dengan istilah indifference, indifferentia, atau lepas-bebas.

Indifferentia itu bukanlah sikap pasif atau apatis, tetapi sikap yang dinamis dan terlibat aktif. Karena itu Ignatius menggunakan istilah “hacernos indifferentes” (lihat LR 23). Makna kata Spanyol hacernos indifferentes itu adalah “membuat diri lepas bebas”, suatu prinsip aktif dari manusia yang menyerahkan diri dan membuat dirinya lepas bebas, sehingga dirinya secara sempurna dapat menempatkan dirinya ke arah tujuan manusia diciptakan. Di dalam diri manusia, sikap lepas bebas itu membantu manusia untuk menempatkan dirinya ke arah tujuan hidupnya, yaitu: memuji, menghormati dan melayani Allah. Jadi indifferentia itu membimbing orang dan menjadi dasar untuk siap-sedia (disponibilitas, disponibilidad). Istilah “disponibilidad” dalam bahasa Spanyol berarti “keterbukaan yang siap-sedia” dan “ketersediaan yang siaga”.

Manusia itu bersikap lepas bebas sehingga dia mampu bersiap-sedia. Bersiap-sedia manusia itu diarahkan kepada Allah. Melalui sikap lepas bebas, manusia mengarahkan dirinya kepada Allah. Disponibilitas dirumuskan sebagai disposisi dinamis dari manusia dalam relasinya dengan Allah, siap-sedia menerima untuk menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak Allah. Pada hakikatnya, dasar dari ketaatan Ignatian adalah keselarasan yang disponible (siap-sedia) dari kehendak manusia terhadap kehendak Allah.

Keterarahan manusia kepada Allah menemukan ungkapannya di dalam usaha manusia memenuhi kehendak Allah, (ungkapan yang paling baik adalah ungkapan yang tersirat dalam doa Bapa Kami): “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga.” (Mat 6: 10). Kita masih ingat bahwa ketika kita melakukan colloquium dalam Latihan Rohani, kita menutup renungan dan doa kita dengan doa Bapa Kami. Pelayanan kepada Allah terjadi di atas bumi; dan di situlah ketaatan Ignatian menemukan bentuknya yang konkret. Pelayanan adalah bentuk dari ketaatan Ignatian.

Jadi, hakikat dari ketaatan Ignatian berakar pada semangat manusia untuk disponible, untuk senantiasa bersiap-sedia, sebagai buah dari sikap lepas bebas yang aktif (membuat diri sendiri lepas bebas). Karena itu, seperti disponibilitas merupakan tujuan dari lepas bebas, demikian juga pelayanan merupakan tujuan dari ketaatan ignatian. Karena ketaatannya, maka setiap penganut spiritualitas Ignatian senantiasa bersiap-sedia untuk diutus ke mana saja, seturut dengan apa yang dibutuhkan dan diperintahkan oleh pemimpin Gereja. ***

Kamis, 07 Maret 2013

Cinta Mengatasi Segalanya

Pada suatu hari Tuhan Yesus bersabda, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan kamu akan mendapatkan kelegaan bagi jiwamu. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat 11: 28-30) .

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, yang dimaksud dengan “kuk” itu adalah Hukum Allah. Berbeda dengan tafsiran para ahli Taurat yang cenderung legalistik, Yesus memberikan arti baru tentang “kuk”. Menurut Yesus, “kuk” itu adalah tuntutan hidup beriman kristiani, yaitu: mencintai. Jadi, kuk itu adalah kuk mencintai. Karena itu, kuk itu tidaklah membebani. Kuk cinta itu ringan. Kuk itu membuat segala sesuatu menjadi mudah. Kuk itu jauh dari membebani, tetapi memberikan makna sejati kepada hidup. Kata-kata Yesus itu menjadi mudah dipahami ketika kemudian kita membaca pernyataan St. Agustinus yang mengatakan: “Ubi amatur, non laboratur, aut si laboratur, labor amatur. Di mana ada cinta, susah-payah itu tidak ada; atau jika susah-payah itu ada, maka susah-payah itu dicinta.”

Theresia Lisieux (1873-1897) adalah seorang suster Karmelit yang terkenal dengan “jalan kecil” yang ditawarkan kepada siapa saja yang sedang mencari jalan hidup yang lebih bermakna. Menurut dia, untuk menjadi suci orang tidak perlu tindakan besar. Untuk menjadi suci tidak perlu perbuatan hebat. Untuk menjadi suci orang hanya perlu mencintai Allah. Theresia pernah menulis, “Cinta membuktikan diri di dalam perbuatan. Karena itu, bagaimana aku harus menunjukkan cinta itu? Perbuatan besar itu tidak cukup bagiku. Cara yang bisa aku buktikan adalah menyebarkan bunga-bunga, dan bunga-bunga itu adalah kurban-persembahan kecil, setiap kata dan perbuatanku. Maka, aku kerjakan setiap perbuatan demi cinta.”

Theresia menemukan bahwa cinta itu memberikan alasan kepada orang untuk hidup dan berharap. Sebagai anak kecil ia mengatakan bahwa ia dikelilingi oleh cinta dan ia pun mempunyai kodrat untuk mencintai itu. Tetapi pengalaman dicintai itu berhenti ketika ia kehilangan ibunya sewaktu ia masih berumur 4 tahun; dan kemudian ketika akhirnya Pauline kakaknya yang menjadi “ibunya yang kedua” juga meninggalkan dia masuk biara Lisieux. Adakah cinta yang berlangsung terus tanpa henti? Apa artinya cinta jika masih ada penderitaan? Setiap orang bertanya tentang cinta. Apa sesungguhnya cinta itu?

Theresia percaya bahwa Yesus bersama dia dan mencintai dia sejak kecil. Ia belajar tentang Yesus dari cerita-cerita yang ia baca dan dari keluarganya sendiri, dan setelah dewasa melalui Kitab Suci. Ia juga membaca buku “Mengikuti Jejak Kristus”, karangan Thomas Kempis. Lalu pada umur 17 tahun ia membaca buku tentang Santo Yohanes dari Salib dan melihat bagaimana cinta Allah menyemangati hidupnya. Theresia ingin memenuhi apa yang pernah ditulis oleh Santo Yohanes dari Salib itu: “Di senja hidup, kita akan diadili oleh cinta kita ...”. Theresia percaya bahwa cinta adalah segalanya. Ia mengenal betapa pentingnya cinta itu ketika ia membaca madah cinta dalam 1Kor 13. Ia berkeinginan untuk memeluk panggilan mencinta itu.

Ia menerjemahkan keinginan mencintai itu dengan mengembangkan relasinya dengan Tuhan Yesus. Ia mempersembahkan setiap harinya kepada Tuhan Yesus sebagai suatu cara untuk mewujudkan cintanya kepada Yesus. Ketika ia menemukan bahwa hidup di biara itu tidak mudah, karena harus hidup bersama dengan beberapa orang suster yang kasar dan sulit dalam berkomunitas. Meski situasi biara tidak menyenangkan dia tetap tinggal di sana dan tidak pergi. Dia memutuskan untuk tetap hidup di sana dan hidup dengan situasi seperti itu. Dia menemukan “Jalan Kecil”, yaitu: menerima bahwa setiap orang itu datang dari Allah, dan setiap orang dicintai oleh Allah untuk selama-lamanya. Karena itu ia mencintai mereka sebaik-baiknya sejauh dia bisa. Ia berkata sopan, tersenyum, dan membantu mereka jika ia bisa melakukannya. Pada kenyataannya, ia belajar di dalam proses bahwa ada kesatuan yang mendalam antara cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama. Ia menulis: “Semakin hidup ini berfokus pada Kristus, maka aku semakin mampu mencintai para suster.”

Apa artinya “Jalan Kecil” itu bagi Theresia? Jalan Kecil adalah gambaran yang ditangkap oleh Theresia tentang apa artinya menjadi murid Kristus. Jalan kecil artinya jalan menuju kesucian melalui hal-hal kecil yang biasa dan nyata dalam hidup sehari-hari. Jalan kecil ini dia yakini berdasarkan pada dua pertimbangan: (1) Allah menunjukkan cinta dan pengampunan; dan (2) ia tidak bisa menjadi sempurna di dalam mengikuti Yesus. Theresia percaya bahwa orang-orang pada zamannya hidup dalam ketakutan terhadap pengadilan Allah. Ketakutan itu tidak membuat orang mengalami kebebasan sebagai anak-anak Allah. Dari hidupnya Theresia tahu bahwa Allah itu adalah cintakasih. Theresia tidak bisa memahami bagaimana orang bisa takut pada Allah yang berkenan menjadi anak kecil. Ia juga tahu bahwa ia tidak akan pernah sempuma. Karena itu, ia pergi kepada Allah sebagai anak yang mendekati orangtua, dengan tangan terbuka dan percaya secara mendalam.

Theresia menerjemahkan “Jalan Kecil” itu dengan komitmen terhadap tugas-tugasnya dan komitmen terhadap orang-orang yang dia temui di dalam hidup sehari-hari. Ia menjalankan tugas-tugas di biara Lisieux sebagai cara-cara mewujudkan cintanya kepada Allah dan cintanya kepada orang lain. Ia bekerja sebagai koster yang menyiapkan altar dan kapel. Ia menjadi pelayan di ruang makan (refter) untuk menyediakan makan-minum bagi para anggota komunitas. Ia membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di kamar cuci. Ia menulis drama untuk acara hiburan (rekreasi) di dalam komunitas. Dengan cara begitu ia mencoba memperlihatkan cintanya untuk semua suster dalam komunitas. Ia melakukan pekerjaan-pekerjaan itu tidak hanya untuk para suster yang dia sukai. Tetapi ia juga memberikan dirinya untuk para anggota komunitas yang lain yang dianggapnya sulit.

Hidupnya memang nampak terasa rutin dan biasa, tetapi itu merupakan bentuk penghayatan komitmennya untuk mencintai itu. Itulah “jalan kecil”. Jalan kecil adalah tindakan langsung, nyata dan sederhana tetapi mengandung makna keberanian dan komitmen untuk mencintai. Jalan kecil memberi kemungkinan orang biasa menjadi mampu meraih kesucian. Theresia berpesan: “Hayatilah hari-harimu dengan percaya akan cintakasih Allah untuk kamu. Ingatlah bahwa setiap hari merupakan hadiah di mana hidupmu bisa dibuat berbeda dengan cara bagaimana kamu menghayatinya. Cinta adalah komitmen yang setiap hari harus diulangi dan dikerjakan di dalam hidupmu sehari-hari”. ***

Sabtu, 02 Maret 2013

Kemiskinan: Belajar dari Bunda Maria

Tentang kemiskinan kita bisa belajar tidak hanya dari Tuhan kita Yesus Kristus tetapi juga dari Bunda Maria.

Dari Tuhan Yesus, kita dapat belajar bagaimana Dia memandang rendah barang-barang duniawi. Kita juga bisa meneladan Dia, yang telah berkenan memilih hidup miskin di muka bumi ini. “Sekalipun kaya,” kata Santo Paulus, “Dia telah berkenan menjadi miskin demi kamu, yang oleh karena kemiskinan-Nya kamu bisa menjadi kaya” (2Kor 8: 9). Karena itu, Yesus Kristus menasihati setiap orang yang hendak menjadi murid-Nya, “Jika kamu ingin sempurna, pergilah, juallah segala milikmu, dan berikan semuanya kepada orang miskin …. Dan datanglah ke mari dan ikutilah Aku.” (Mat 19: 21).

Maria, yang adalah murid Tuhan yang paling sempurna, meniru keteladanan-Nya secara paling sempurna. Santo Petrus Kanisius membuktikan bahwa Maria berkenan hidup dalam kemiskinan, dengan meneladan hidup orangtuanya, tetapi dia lebih suka untuk tetap hidup miskin. Dia hanya menikmati sebagian kecil dari apa yang dia miliki untuk memenuhi kebutuhan dirinya, dan sisanya dipersembahkan ke Kenisah dan dibagikan untuk orang-orang yang membutuhkan.

Banyak para penulis percaya bahwa Maria sudah mengucapkan kaul kemiskinan. Mungkin dengan berdasarkan pada keyakinan seperti ini, betullah apa yang dikatakan oleh Santa Brigitta: “Sejak dari awal, aku telah berjanji dalam hati bahwa aku tidak akan memiliki apa pun di dunia ini.” Hadiah-hadiah yang pernah diterima dari para sarjana dari Timur sungguh tak ternilai harganya. Tetapi kita diyakinkan oleh Santo Bernardus bahwa Maria membagi-bagikan hadiah-hadiah itu untuk orang-orang miskin melalui tangan SantoYosef. Sungguh amat jelas bahwa Maria menyerahkan hadiah-hadiah itu kepada orang lain karena suatu fakta bahwa pada saat pentahiran di kenisah ia tidak mempersembahkan anak domba, seperti dituntut oleh hukum Taurat (bdk. Kitab Ulangan 12: 6), tetapi mempersembahkan dua ekor merpati, seperti layaknya persembahan dari orang miskin (Luk 2: 24).

Bunda Maria pernah menyatakan kepada Santa Brigitta: “Aku menyerahkan semua itu kepada orang miskin; dan aku hanya memerlukan sedikit saja makanan dan pakaian untuk diriku.” Karena cintanya pada kemiskinan Bunda Maria ingin menikah dengan Santo Yosef yang hanya seorang tukang kayu yang sederhana. Maria membantu memelihara keluarga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan tangan, entah memintal benang, atau menjahit, sebagaimana dikatakan oleh Santo Bonaventura.

Malaikat Tuhan menyatakan kepada Santa Brigitta bahwa “kekayaan dunia tidak punya nilai menurut kacamata pandang Bunda Maria.” Bunda Maria selalu menjalani hidupnya yang miskin, dan dia juga meninggal dunia dalam kemiskinan. Metaprastes dan Nicephorus mengatakan kepada kita bahwa pada saat kematian, Maria tidak meninggalkan apa-apa, kecuali dua pakaian sederhana. Dia meninggalkan harta kekayaannya itu kepada dua wanita yang pernah melayani dia selama bertahun-tahun dalam masa hidupnya kemudian.

Santo Filipus Neri pernah mengatakan bahwa “Tidak ada orang yang mencintai dunia akan menjadi santo.” Kita bisa menambahkan juga kata-kata Bunda Teresa dari Kalkuta tentang perihal yang sama, bahwa keutamaan kemiskinan adalah harta warisan yang mampu memuat segala warisan kekayaan yang lain. Bunda Teresa mengatakan bahwa keutamaan kemiskinan tidak hanya memuat pemikiran “menjadi miskin” tetapi “mencintai kemiskinan”. Karena itu, Tuhan Yesus Kristus bersabda: “Berbahagialah orang yang miskin dalam Roh, sebab merekalah yang memiliki Kerajaan Sorga.” (Mat 5: 3).

Orang-orang macam itulah yang berbahagia karena mereka tidak menginginkan sesuatu yang lain kecuali Allah, dan menemukan segala sesuatunya di dalam Allah. Kemiskinan bagi mereka adalah surga di dunia. Inilah yang dikatakan oleh Santo Fransiskus ketika dia berseru: “Tuhanku adalah segalanya.” Marilah kita bersama-sama dengan Santo Ignatius menyerukan kata-kata ini kepada Tuhan kita: “Berikanlah kepadaku rahmat dan cinta-Mu, dan dengan itu saja aku sudah akan cukup kaya.” “Ketika kita harus menderita karena kemiskinan,” kata Santo Bonaventura, “marilah kita menghibur diri kita dengan berpikir bahwa Yesus dan Bunda-Nya telah juga miskin seperti diri kita sendiri.”

Ya Bunda Maria, Bunda yang tersuci, Engkau memiliki alasan untuk mengatakan kepada kami bahwa seluruh kegembiraanmu adalah kegembiraan di dalam Allah; dan semangat kami bergembira di dalam Allah, penyelamat kami. Di dunia ini Engkau menghendaki kami untuk mencintai Allah semata. Doronglah kami agar kami dapat meneladan engkau. Ya Bunda Maria, jauhkanlah kami dari dunia, supaya kami dapat hanya mencintai Tuhan, yang sudah terlebih dahulu mencintai kami. Amin.

Francisco Garate: Penjaga Pintu yang Baik Hati

Francisco Garate lahir pada tanggal 3 Februari 1857 dari keluarga petani yang tinggal di Azpeitia, daerah di mana orang-orang Basque, seperti Ignatius Loyola, pernah lahir dan hidup. Pada umur 17 tahun dia masuk Novisiat Serikat Yesus di Poyanne Perancis, dan mengucapkan kaul pertamanya dalam Serikat Yesus sebagai Bruder pada tahun 1876. Selama 10 tahun ia mengabdikan dirinya untuk bekerja sebagai koster dan perawat di rumah sakit di Kolese La Guardia. Dia mengucapkan kaul terakhirnya pada tanggal 15 Agustus 1887. Sejak akhir Maret 1888 dia ditugaskan untuk menjadi koster dan penjaga pintu di Universitas Duesto, di Bilbao Spanyol.

Selama 42 tahun Bruder Francisco menjadi koster dan penjaga pintu Universitas Duesto milik Yesuit ini. Dia dikenal sebagai Bruder yang Baik Hati. Kinerjanya sebagai penjaga pintu sungguh dikagumi banyak orang: ramah, trampil dalam bernegosiasi, rendah hati, bijaksana, dekat dan akrab dengan Allah. Keutamaan-keutamaan dipraktekkan di dalam segala aspek kehidupannya secara luar biasa.

Sebagai penjaga pintu, Bruder Francisco mampu secara sempurna meneladan keutamaan yang dimiliki oleh seorang Bruder lain yang pernah hidup sebelumnya, yaitu Bruder Alphonsus Rodriguez SJ (1533-1617). Banyak orang menilai bahwa Bruder Francisco itu meniru persis Bruder pendahulunya yang secara konsisten ramah, sabar, dan cara bertindak yang tak kenal lelah ketika ia menjalankan tugasnya sehari-hari.

Ketika Pietro Boetto SJ, yang kemudian menjadi Uskup di Keuskupan Agung Genoa, bertanya kepadanya tentang bagaimana dia dapat menjaga diri untuk tetap ramah, tenang, tidak grundelan, tidak menggerutu, tidak bersungut-sungut, tidak mengeluh, dan tidak marah, tetapi tetap sabar sementara tuntutan pekerjaan begitu padat menyibukkannya, dia menjawab: “Sejauh saya bisa, saya mengerjakan tugas-tugas saya dengan sebaik-baiknya, dan memang saya melaksanakan tugas-tugas saya itu dengan sebaik-baiknya. Tuhan mengerjakan sisanya. Dengan bantuan-Nya, segala sesuatu menjadi mudah dan indah untuk dikerjakan karena kita memiliki Tuhan yang baik.”

Bruder Francisco dipanggil Tuhan pada tanggal 9 September 1929. Jenasahnya semula dimakamkan di kuburan setempat, tetapi kemudian dipindahkan ke Universitas Duesto dan di tempatkan di halaman kapel. Proses investigasi dilakukan oleh Keuskupan Victoria dan dikirim ke Roma pada Februari 1941. Paus Pius XII pernah menyatakan bahwa Bruder Francisco memiliki keutamaan-keutamaan yang bisa dijadikan teladan bagi banyak orang. Karena itu, jenasahnya dipindahkan ke dalam kapel kecil yang sudah dipersiapkan di Universitas Duesto.

Ketika acara beatifikasi berlangsung pada tanggal 6 Oktober 1985, Beato Yohanes Paulus II mengatakan: “Pesan pengudusan yang diberikan oleh Beato Francisco Garate kepada kita sungguhlah amat sederhana dan jelas. Dari muda, Francisco membuka hati lebar-lebar untuk Kristus yang mengetuk pintu hatinya dan mengundang dia untuk menjadi sahabat dan pengikutnya yang setia.

Seperti Maria, yang dicintai Tuhan sebagai ibu-Nya, Francisco menjawab dengan murah hati dan percaya tanpa batas terhadap panggilan yang penuh rahmat itu… Kemurahan hatinya telah dibuktikan kebenarannya oleh para mahasiswa, para professor/dosen, para karyawan, para orangtua yang datang berkunjung ke Universitas, yang menyapa Bruder dengan kata-kata mesra “Bruder yang Baik Hati”, dan yang melihat di dalam diri Bruder sikap ramah dan menyenangkan, yang mencerminkan seorang pribadi yang penuh perhatian pada orang lain dan seorang pribadi yang sungguh dekat dengan Tuhan.

Bruder Francisco Garate SJ telah memberikan kepada kita kesaksian nyata dan konkret tentang nilai kehidupan batin seorang manusia yang merasul melalui pekerjaannya. Hasilnya, ketika orang menyerahkan dirinya kepada Allah dan memusatkan seluruh hidupnya di dalam Dia, maka orang itu tidak perlu menunggu apa yang akhirnya nanti menjadi buah dari kerasulan itu. Dari pintu masuk Universitas, seorang Bruder Yesuit membuat kebaikan Allah menjadi nyata hadir pada diri orang lain dengan mewartakan Injil melalui karya pelayanan yang sederhana, yang dilaksanakan dengan tenang dan rendah hati.”

Apakah kita juga bersedia untuk menjadi seorang pewarta Injil seperti itu? Beato Francisco Garate, doakanlah kami selama Tahun Iman ini. ***

Selasa, 15 Januari 2013

Kemurnian: Belajar dari Bunda Maria

Saudara-saudari terkasih, pada hari ini kita sampai pada rangkaian Novena hari yang keenam, dengan tema umum: “Kokoh dalam Iman bersama Maria”. Tema yang diangkat dalam doa Novena ini adalah belajar dari Bunda Maria tentang keutamaan “kemurnian.” Setelah terjatuhnya Adam ke dalam dosa, manusia bersikap memberontak terhadap akal. Sebagai akibatnya, kemurnian menjadi keutamaan yang paling sulit untuk dipraktekkan. Santo Agustinus mengatakan: “Di antara konflik-konflik batin yang terjadi, konflik yang paling sulit adalah konflik yang berkait dengan kemurnian. Peperangan dalam hal kemurnian itu terjadi setiap hari, dan kemenangan jarang diperoleh.

Namun, mudah-mudahan Allah dipuji sepanjang masa karena di dalam diri Maria Dia telah memberikan kepada kita keteladanan dalam hal kemurnian itu. “Maria disebut Perawan di antara para perawan,” kata Santo Albertus Agung. Tanpa nasihat dan keteladanan orang lain, Maria adalah wanita pertama yang mampu mempersembahkan keperawanannya kepada Allah.” Dengan cara itu, Maria mengarahkan kepada Allah siapa saja yang bisa meneladan keperawanannya, seperti pernah dikatakan oleh nabi Daud: “Dengan pakaian bersulam berwarna-warna ia dibawa kepada raja; anak-anak dara mengikutinya, yakni teman-temannya, yang didatangkan untuk dia.” (Mzm 45: 15).

Tanpa nasihat dan tanpa teladan! Kata Santo Bernardus: “Ya, Perawan, siapakah orang yang telah mengajarmu untuk menyenangkan Allah dengan keperawananmu dan membawa kehidupan malaikat di atas bumi?” Santo Sophronius menjawab: “Allah telah memilih keperawanan murni bagi ibu-Nya, sehingga dia bisa menjadi teladan kemurnian bagi setiap orang.” Itulah alasannya mengapa Santo Ambrosius menyebut Maria sebagai “teladan dalam hal keperawanan”.

Karena kemurnian Maria, maka Roh Kudus menyatakan bahwa Maria itu cantik, yakni secantik kuda betina: Pipi-pipimu itu seindah pipi kuda betina Firaun (bdk. Kid 1: 9). “Seperti kuda betina yang indah pipinya” adalah sebutan yang diberikan oleh Aponius kepada Maria. Dengan alasan yang hampir sama, Maria juga disebut sebagai bunga bakung: “Seperti bunga bakung di antara duri-duri, demikianlah manisku di antara gadis-gadis.” (Kid 2: 2). Denis, seorang biarawan Karthusian, pernah mengatakan: “Maria dibandingkan dengan bunga bakung di antara duri-duri karena gadis-gadis yang lain adalah duri, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, sementara Maria sang Perawan yang tersuci itu tidaklah begitu, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.”

Santo Thomas menegaskan perihal kemurnian Bunda Maria ini dengan mengatakan bahwa keelokan Santa Perawan Maria, mendorong siapa saja yang melihatnya ke arah kemurnian. Santo Hieronimus menyatakan bahwa Santo Yusup tetap perawan sebagai akibat dari hidup bersama dengan Maria. Melawan ajaran Helvidius yang menyangkal keperawanan Maria, Santo Hieronimus menyatakan: “Kamu mengatakan bahwa Maria tidak perawan. Saya mengatakan bahwa Maria tidak hanya tetap perawan, tetapi bahkan Yusup pun tetap perawan karena Maria.”

Santo Gregorius dari Nyssa mengatakan bahwa Bunda Maria yang tersuci mencintai kemurnian dan menjaganya sedemikian rupa sehingga dia diperkenankan untuk meninggalkan martabat dirinya sebagai Bunda Allah. Hal ini merupakan bukti atas jawabannya terhadap malaikat Gabriel: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi karena aku belum bersuami”? (Luk 1: 34). Dan dari kata-kata yang dia tambahkan kemudian: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1: 38), yang menyatakan bahwa dia menerima pernyataan malaikat dengan segala kondisinya, yang telah menegaskan bahwa dia harus menjadi seorang ibu yang akan berada dalam naungan Roh Kudus semata.”
Santo Ambrosius mengatakan bahwa “barangsiapa menjaga kemurnian, dia adalah malaikat; barangspai menghilangkan kemurnian dia adalah setan.” Tuhan kita menegaskan bahwa siapa saja yang hidupnya murni dia akan menjadi malaikat: “Mereka akan hidup seperti malaikat di surga.” (Mat 22: 30).

Seperti telah dikatakan oleh Santo Agustinus bahwa kemenangan dalam memperjuangkan kemurnian ini jarang diperoleh. Mengapa? Karena sarana-sarana untuk memperoleh kemenangan atas kemurnian itu tidak dipakai. Menurut Santo Robertus Bellarminus dan para ahli di bidang hidup rohani, sarana-sarana untuk memperjuangkan kemenangan atas kemurnian itu adalah: berpuasa, menghindarkan diri dari kesempatan berbuat dosa, dan berdoa.

Sarana yang pertama adalah puasa. Yang dimaksud dengan puasa terutama adalah matiraga, mematikan hawa nafsu. Meskipun Bunda Maria dipenuhi dengan rahmat Allah, dia tidak pernah berhenti untuk melakukan matiraga. Menurut pendapat Santo Epifanius dan Santo Yohanes Damascena, penampilan Maria senantiasa sederhana, prasaja, dan dia tidak pernah menatap mata orang lain. Dia tidak berlagak; bahkan sejak masa kanak-kanak. Setiap orang yang melihatnya mengatakan bahwa Maria itu cantik karena sikap hati-hatinya. Santo Lukas menyatakan bahwa ketika Maria datang mengunjungi Elisabeth, Maria pergi dengan tergesa-gesa (Luk 1: 39), untuk menghindarkan diri dari tatapan dan kejaran publik. Philibertus menyatakan bahwa ada seorang saksi bernama Felix yang menyatakan bahwa Maria senantiasa memperhatikan soal makan. Ketika masih bayi, Maria hanya menyusu sekali sehari. Santo Gregorius dari Tours menyatakan bahwa Maria senantiasa melakukan puasa dalam hidupnya. Santo Bonaventura menjelaskan hal ini dengan mengatakan: “Maria tidak pernah menemukan sedemikian banyak rahmat jika dia tidak menyederhanakan makanannya, karena rahmat dan rakus tidak akan pernah bisa berjalan seiring.” Singkatnya, Maria melakukan matiraga dalam segala hal, sehingga sungguh benar bila dikatakan tentang dia: “Tanganku berteteskan mur” (Kid 5: 5).

Sarana yang kedua adalah “menghindarkan diri dari peluang untuk berbuat dosa”: “Siapa membenci pertanggungan, amanlah dia.” (Ams 11: 15). Maria bergegas secepat mungkin untuk menghindarkan diri dari pengelihatan orang. Santo Lukas pernah menyatakan bahwa ketika Maria berkunjung ke rumah Elisabeth, dia pergi tergesa-gesa untuk segera sampai di desa daerah perbukitan itu. Seorang penulis memperhatikan kepada suatu fakta bahwa Bunda Maria meninggalkan Elisabeth sebelum Yohanes Pembaptis lahir. Maria tinggal bersama Elisabeth hanya selama 3 bulan dan kemudian pulang ke rumah sendiri. Mengapa Maria tidak menunggu sampai Yohanes Pembaptis lahir? Karena dia ingin menghindari kebisingan dan daya tarik yang biasa menyertai sebuah peristiwa kelahiran seperti itu.

Sarana ketiga adalah doa. Orang bijak pernah mengatakan: “Setelah aku tahu bahwa aku tidak akan memiliki kebijaksanaan, kalau tidak dianugerahkan oleh Allah, maka aku akan menghadap Tuhan dan berdoa kepada-Nya.” (Keb 8: 21). Maria menyatakan diri kepada Elisabeth Hungaria bahwa dia tidak menerima keutamaan itu tanpa usaha,k dan tanpa doa yang berkelanjutan. Santo Yohanes Damascena menyebut Bunda yang tak Bercela itu sebagai “pencinta kemurnian”. Dia tidak dapat menahan orang-orang yang puas dengan hidup tidak murni. Jika orang memanggil Maria untuk dikirim dari hidup yang tidak murni, dia pasti akan membantu dirinya. Siapa saja yang dipanggil adalah dipanggil oleh Maria dengan cara yang meyakinkan. Yohanes dari Avila biasa mengatakan bahwa banyak orang memerangi pencobaan melalui devosi kepada Bunda Maria yang dikandung tanpa noda dosa.

Ya Bunda Maria, engkau merpati yang paling murni, betapa banyak orang yang sekarang tinggal di neraka karena hidupnya tidak murni. Bunda Maria yang dipenuhi oleh banyak rahmat dari Allah, perkenankan kami untuk menerima rahmat dari Allah sehingga kamu dapat mencari perlindungan kepadamu ketika kami berada dalam pencobaan, dan perkenankan kami untuk menyebut namamu, dengan mengatakan: “Ya Maria, Bunda kami, bantulah kami anakmu!”. Amin.