Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Rabu, 17 April 2013

Kesabaran: Belajar dari Bunda Maria

Saudara-saudara terkasih di dalam Tuhan, pernah kita mendengar suatu ungkapan yang menyatakan bahwa dunia tempat kita tinggal ini adalah tempatnya kesusahan, dan bahkan disebut sebagai lembah air mata. Karena kita manusia berada dalam penderitaan, maka diharapkan bahwa mudah-mudahan dalam penderitaan itu, kita masih bisa bertahan dan sabar, supaya akhirnya nanti kita boleh memperoleh keselamatan bagi jiwa-jiwa kita, atau memperoleh hidup kekal. Tuhan sendiri pernah mengatakan: “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.” (Luk 21: 19) Dan Allah memang telah memberikan kepada kita Santa Perawan Maria sebagai panutan dalam segala keutamaan. Dan secara khusus, Bunda Maria adalah teladan dalam hal keutamaan kesabaran.
Santo Fransiskus Sales menyatakan bahwa ketika Yesus dan Bunda Maria berada di tengah-tengah pesta perkawinan di Kana, Yesus memberikan jawaban kepada Bunda Maria atas permohonan yang diungkapkan dalam doa Bunda Maria kepada-Nya: “Ibu, apa yang kau kehendaki dari Aku” (Yoh 2: 4). Dan akhirnya Yesus melakukan apa yang menjadi doa Bunda-Nya, yakni memberikan kepada kita keteladanan dalam hal kesabaran. Tetapi apa yang kita cari dari keteladanan Bunda Maria tentang keutamaan kesabaran?
Seluruh hidup Bunda Maria adalah latihan yang berlangsung terus menerus tentang kesabaran. Sebab, ketika malaikat Tuhan menyatakan diri kepada Santa Brigitta, “Ketika sekuntum bunga mawar tumbuh di antara tanaman berduri, maka demikianlah juga Bunda Maria tumbuh di dalam saat-saat yang sulit, susah dan sengsara.” Belarasa terhadap penderitaan sang Penebus pun sudah cukup membuat diri Bunda Maria menderita dan menjadi martir dalam hal kesabaran.

Tetapi St. Bonaventura mengatakan, “bahwa Bunda yang tersalib telah mengandung Puteranya yang disalib.” Ketika kita berbicara tentang kesusahan, kita telah menimbang-menimbang sejauh mana Bunda Maria itu telah mengalami penderitaan, baik ketika dalam perjalanannya menuju ke Mesir, selama tinggal di sana, maupun selama ia hidup bersama dengan Puteranya di Nazareth. Apa yang paling membuat Maria menderita adalah ketika ia hadir pada saat kematian Yesus di Gunung Kalvari. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa kesabaran Maria begitu hebat: Di sana Maria Bunda-Nya berdiri di bawah kaki salib Yesus. Itulah kemanfaatan kesabaran Maria. Dan karena itu Santo Albertus Agung pernah mengata
kan “Maria membawa kepada kita kehidupan berahmat untuk seterusnya.”

Untuk selanjutnya, jika kita ingin menjadi anak-anak Bunda Maria, maka kita mesti berusaha untuk meniru Bunda Maria dalam hal kesabaran. “Oleh karena itu”, kata Santo Cyprianus, “masih ada manfaat apa lagi yang bisa kita warisi dalam hidup ini, dan kemuliaan yang lebih besar macam apa yang masih dapat kita nikmati di masa yang akan datang, selain kesabaran bertahan untuk menanggung penderitaan?” Allah bersabda, melalui Nabi Hosea (2: 6), “Aku akan menyekat jalannya dengan duri-duri.” Kepada Santo Gregorius, Allah juga mengatakan bahwa “jalan yang dipilih akan disekat dengan duri-duri.” Sekat duri itu akan melindungi kebun anggur, sehingga Allah melindungi para hamba-Nya dari bahaya ketika mempekerjakan mereka di atas bumi, dengan cara melindungi mereka dari kesulitan, kesusahan dan kesengsaraan. Karena itu Santo Cyprianus mengambil kesimpulan bahwa kesabaran adalah keutamaan yang penting yang dapat membebaskan kita dari dosa dan dari neraka. Menurut Santo Yakobus, kesabaran itu membuahkan kematangan, kesempurnaan, keutuhan, seperti dituliskan dalam suratnya: “Dan biarkanlah kete¬kunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna, dan utuh, dan tak kekurangan suatu apa pun.” (Yak 1: 4).

Menanggung penderitaan dalam damai, tidak hanya sewaktu berhadapan dengan salib yang datang dari Tuhan secara tiba-tiba, seperti: sakit dan kemiskinan, tetapi juga yang datang dari manusia sendiri, misalnya: pengejaran, pe¬nyiksaan, luka dan harus beristirahat. Santo Yohanes melihat semua orang kudus memegang ranting daun palma di tangannya, lambang kemartiran, sebagaimana ditulis dalam Kitab Wahyu: “Setelah itu aku melihat banyak palma di tangan mereka (Why 7: 9); yang berarti bahwa semua orang dewasa yang disela¬matkan harus menjadi martir, dengan cara mencurahkan darahnya untuk Kristus atau dengan cara bertindak sabar.

“Bersukacitalah,” kata Santo Gregorius, “kita dapat menjadi martir tanpa harus dieksekusi dengan pedang, jika kita bersedia untuk menjadi sabar.” “Bersiap-sedialah saja,” kata Santo Bernardus, “kita bertahan dalam penderitaan hidup dengan sabar dan gembira.” Karena itu, Rasul Paulus meneguhkan kita dengan mengatakan, “Sebab penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, yang jauh lebih besar dari pada penderitaan kami.” (2Kor 4: 17).

Pernyataan Santa Theresia mengenai hal ini sungguh indah. Dia mengatakan, “Barangsiapa memeluk salib, dia tidak akan merasakan betapa beratnya salib itu”, dan di tempat lain dia menyatakan, “Jika kita memutuskan untuk menderita, maka berhentilah pedih perih penderitaan itu.” Jika salib-salib kita berat di pundak, marilah kita kembali datang kepada Bunda Maria, yang disebut oleh Gereja sebagai “Penghibur bagi Orang yang Sengsara”, dan yang oleh Santo Yohanes Damascena disebut sebagai “Obat bagi Hati yang Susah”.

Ya, Bunda Maria yang tersuci, engkau telah menghadapi penderitaan dengan begitu sabar; dan apakah kami yang ingin masuk ke surga, juga harus menderita, seperti engkau? Bunda Maria, ya Bunda kami, kami sekarang memohon kepadamu rahmat, tidak supaya kami dibebaskan dari salib, tetapi diberi kemampuan untuk memanggul salib dengan sabar. Karena cinta Yesus kepada kami, maka kami percayakan permohonan ini kepadamu agar kami boleh memperoleh rahmat ini dari Allah bagi kami, dan karena pengantaraanmu kami juga boleh memiliki harapan untuk memperoleh rahmat itu dengan penuh percaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar