Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Selasa, 13 November 2012

Mencintai Allah: Belajar dari Bunda Maria

Sesuai dengan tema Novena yang diselenggarakan pada tanggal 2 Desember 2012 di Gua Maria Tritis Wonosari, kali ini kita diajak untuk merenungkan kembali makna keutamaan cintakasih, seperti diteladankan oleh Bunda Maria. Dalam katekismus Gereja Katolik kita baca bahwa “kasih itu adalah kebajikan ilahi, yang dengannya kita mengasihi Allah di atas segala-galanya demi diri-Nya sendiri, dan  karena kasih kepada Allah itu kita mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri.” (CCC 1822).

Di dalam Injil Yohanes, Yesus menjelaskan kepada para murid bahwa dia memberikan kepada mereka perintah baru, yaitu: “Hendaknya kamu saling mengasihi satu sama lain seperti Aku telah mencintai kamu.” (Yoh 13: 1). Ketika Yesus mempersembahkan hidup-Nya di kayu salib, Ia menunjukkan “kebaruan” dari perintah-Nya, yakni kasih seperti yang Dia harapkan, kasih yang dilakukan Dia untuk kita.

 Perintah itu perintah baru, karena perintah itu melukiskan relasi yang berbeda antara Allah dengan ciptaan-Nya. Peristiwa inkarnasi telah mengubah relasi antara Allah dan manusia. Ketika Allah menjadi manusia, maka Allah masuk ke dalam lingkungan ciptaan-Nya, masuk ke dalam komunitas manusia. Yesus mengungkapkan relasi yang berubah itu, ketika Dia mengatakan kepada para murid, “Aku tidak menyebut kamu hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya. Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku sudah mengatakan kepadamu segala sesuatu yang telah Aku dengar dari Bapa-Ku.” (Yoh 15: 15).

Menurut Santo Thomas Aquinas, keutamaan cintakasih merupakan aspek persahabatan dengan Allah, dan bersama dengan semua anak-anak Allah (II.II, 23, 1). Dalam setiap persaha-bat¬an, ada kegiatan berbagi antara dua individu yang bersahabat. Tetapi dengan Allah, apa yang dapat kita bagikan? Kita dapat mencintai Allah hanya karena “Allah telah mencintai kita terlebih dahulu”. St. Yohanes menulis di dalam suratnya yang pertama, “Di dalam cinta ini, bukan bahwa kita telah mencintai Allah, tetapi bahwa Dia telah mencintai kita … kita mencintai karena Dia sudah mencintai kita lebih dahulu” (1Yoh 4: 10,19).

Cinta Allah kepada kita adalah dasar. Cinta Allah itu memberikan kepada kita kemampuan untuk mencintai Dia, dan cinta Allah itu adalah sumber kapasitas kita untuk mencintai dunia yang sudah Allah ciptakan. Setelah Allah, giliran berikut yang harus kita cintai adalah diri kita sendiri. Kita diundang untuk mencintai diri kita sendiri. Cinta itu tidak boleh bersifat egois. Kita harus ingat bahwa Allah memerintahkan kita untuk mencintai sesama kita seperti diri kita sendiri (Ul 19: 18).

Thomas Aquinas mengutip kata-kata Aristoteles yang mengidentifikasi cinta pada diri sendiri sebagai pembanding untuk cinta kita kepada orang lain. Thomas mengatakan: “Asal-usul relasi persahabatan dengan orang lain diletakkan pada relasi kita dengan diri kita sendiri.” Kasih kepada Allah mendorong kita untuk mengasihi orang lain sesama kita, dan pada titik tertentu hal ini mengajak kita untuk memusatkan perhatian kita kepada apa yang pernah Kristus katakan: “Kasihilah musuh-musuhmu” (Mat 5: 44).

Kita harus memasukkan musuh ke dalam kelompok sesama kita. Kita tidak boleh memiliki kepedulian cinta yang kecil terhadap orang-orang yang tidak kita sukai. Kita harus mencintai secara tepat apa yang baik di dalam pribadi-pribadi, yaitu: kemanusiaan dan nilai sebagai makhluk ciptaan Allah. Kita harus siap untuk memasukkan musuh ke dalam doa-doa kita yang kita tawarkan bagi setiap orang, dan terutama memberikan bantuan kepada mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan kita.

Pelaksanaan semua kebajikan ini dijiwai dan digerakkan oleh kasih. “Inilah pengikat yang menyatukan dan menyempurnakan” (Kol 3: 14); ia adalah pembentuk kebajikan; ia menentukan dan mengatur kebajikan-kebajikan; kasih Kristen mengamankan dan memurnikan kekuatan kasih manusiawi kita. Ia meninggikannya sampai kepada kesempurnaan adikodrati, kepada kasih ilahi.” (CCC 1828).

 “Bunda Maria adalah Ratu Cintakasih”, kata Franciscus de Sales. “Di mana ada kemurnian terbesar, di situ terdapat cinta yang terbesar.” Jadi, semakin hati ini murni, dan kosong dari diri sendiri, maka semakin penuhlah cinta kepada Allah. Bunda Maria yang tersuci, karena dia sangat rendah hati, dan tidak punya kepentingan untuk diri sendiri, dipenuhi dengan kasih ilahi, sehingga “cintanya kepada Allah melebihi cinta semua manusia dan malaikat.”, tulis Santo Bernardinus.

Santo Ricardus memberikan penegasan mengenai pendapat ini dengan mengatakan, “Bunda Emmanuel telah mempraktekkan keutamaan-keutamaan di dalam tingkat kesempurnaan yang paling tinggi. Siapakah orang yang dapat dibandingkan dengan Bunda Maria yang telah melakukan perintah Allah yang pertama, “Engkau akan mencintai Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu?”

Karena cintanya kepada Allah sedemikian mendalam, maka tidak ada suatu cacat apa pun dari cintanya kepada Allah.” “Cinta Bunda Maria kepada Allah sedemikian kuat merasuki jiwanya, sehingga tidak ada satu bagian pun dari dirinya yang tak terisi; dan karena itu Bunda Maria mampu mencintai Allah dengan segenap hatinya, dengan segenap jiwanya, dan dengan segenap kekuatannya, dan penuh rahmat.”, kata St. Bernardus.

Allah yang adalah cinta (1Yoh 4: 8) datang ke dunia untuk mengobarkan di dalam hati semua orang api cintakasih Allah; tetapi tidak ada hati yang lebih berkobar daripada hati Bunda Allah, karena hati Bunda Allah itu sungguh murni dari ikatan-ikatan duniawi, dan sungguh dipersiapkan untuk mengobarkan api cintakasih yang terberkati. Santo Sophronius mengatakan bahwa ‘api cinta kasih Allah berkobar dalam hatinya sehingga tak ada ikatan duniawi mana pun yang dapat merasukinya; dia selalu mengobarkan api cinta surgawi seperti dikatakan: “Hati Maria telah menjadi api dari segala api yang menyala, seperti pernah kita baca tentang dia dalam Kidung Agung: “Nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api Tuhan.” (Kid 8: 6), nyala api yang terkabar karena cinta, nyala api yang bersinar karena keteladanan yang diberikan kepada semua orang melalui praktek keutamaan.

Bunda Maria sendiri pernah menyatakan kepada Santa Brigitta: “Aku berpikir tentang Allah saja, dan tidak tentang yang lain; tidak untuk menyenangkan diriku tetapi untuk menyenangkan Allah.” Santo Bernardinus menegaskan bahwa selama hidup di dunia Bunda Maria selalu mencintai Allah: “Pikiran Bunda Maria selalu dibungkus di dalam hasrat untuk mencintai Allah.” Santo Bernardinus menambahkan: “Bunda Maria tidak pernah melalukan sesuatu yang tidak menyenangkan Allah; Bunda Maria mencintai Allah karena dia berpikir bahwa Allah harus dia cintai.”

Bunda Maria pernah mengatakan kepada Santa Brigitta, “Anakku, jika kamu ingin dekat dengan aku, maka cintailah Puteraku.” Maksud Bunda Maria adalah menunjukkan kepada kita tentang Allah yang dia cintai. Karena Maria berada dalam nyala api cinta kepada Allah, maka siapa saja yang mencintai dan mendekati dia, dikobarkan oleh dia dengan cintakasih yang sama. Karena itu Santa Catherina dari Siena menyebut Maria sebagai pembawa nyala api cintakasih Allah. Jika kita ingin terbakar dengan nyala api Bunda Maria, maka kita perlu senantiasa ingin untuk dekat dengan Bunda Maria dengan berdoa.

Dalam ensiklik Deus Caritas Est (art. 41), Paus Benediktus XVI memberikan perhatian khusus pada Bunda Maria yang memberikan keteladanan bagi kita dalam hal keutamaan cintakasih yang menjadi pusat perhatian ensiklik. Paus menulis bahwa Maria, Bunda Tuhan, adalah cermin bagi kita dalam hal kesucian. Dalam Injil Lukas, kita menemukan bagaimana Bunda Maria melayani dengan cintakasih kepada Elisabeth, saudara sepupunya. Di tempat Elisabeth, Bunda Maria tinggal selama 3 bulan (Luk 1: 56), membantu dia pada saat-saat akhir kehamilannya.

“Jiwaku memuliakan Tuhan” (Magnificat anima mea Dominum) adalah kata-kata Maria ketika dia berjumpa dengan Elisabeth. Dengan kata-kata itulah Lukas mau menyatakan bahwa seluruh program hidup Maria adalah tidak untuk menjadikan dirinya pusat perhatian, tetapi untuk memberikan ruang bagi Allah, yang dijumpai dalam doa dan dalam pelayanan kepada sesama, dan karena itu kebaikan masuk ke dalam dunia. Kebesaran Maria terletak pada fakta bahwa dirinya ingin memuliakan Allah, dan bukan memuliakan dirinya sendiri. Maria adalah wanita yang bisa menjadi teladan bagi kita dalam hal mencintai. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar