Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Jumat, 27 April 2012

Memento Mori

Minggu yang lalu saya pergi ke Makam Romo Sanjaya di Muntilan untuk berziarah. Ketika sampai di muka makam saya tertarik untuk memperhatikan kata-kata yang tertulis di pagar pintu gerbang yang sudah nampak kusam dan tidak kelihatan jelas lagi. Saya mendekati pintu itu dan saya baca di sana: “Memento Mori”. Memento Mori adalah ungkapan Latin yang berarti “Ingatlah akan kematian!”. Orang Inggris mengatakan “Remember, you will die!”. Orang Jawa mengatakan “Elinga, manungsa, kowe iku mesti bakal mati!”

Saya tertegun sejenak. Saya ingat akan kisah Kain dan Abil di Kitabsuci Perjanjian Lama. Ketika Tuhan bertanya kepada Kain yang telah membunuh adiknya karena irihati: “Di mana adikmu?”, Kain menjawab “Aku tidak tahu, Tuhan. Haruskah aku bertanggungjawab atas adikku?”. Hari-hari ini pun banyak orang kejangkitan penyakit yang sama: "Tidak tahu". Pemandangan yang sangat jelas di pikiranku adalah peristiwa di ruang pengadilan tipikor (tindak pidana korupsi). Ketika di ruang pengadilan orang yang menjadi saksi perkara korupsi ditanya oleh hakim, ia kerapkali menjawab dengan kata-kata: “Saya tidak tahu. Saya tidak ingat. Saya lupa, yang mulia.”

Ada seorang pelukis Spanyol, namanya Salvador Dali. Dia digolongkan dalam aliran yang disebut dengan sur-realisme. “Sur” (bahasa Perancis) berarti di atas. Ada lagu Perancis yang syairnya masih saya ingat, berjudul "Sur le pont d’Avignon", artinya di atas jembatan Avignon. Jadi sur-realisme berarti di atas yang nyata. Dia mengambil inspirasinya dari Psikoanalisis Sigmund Freud. Surrealisme menekankan dorongan-dorongan irrasional dan nafsu dalam diri manusia. Banyak sekali hasil karya Dali ini. Di antara bermacam-macam lukisannya, ada satu lukisan yang menarik perhatian saya, yaitu lukisan jam. Jam ini bukan seperti jam yang biasanya. Jam ini tidak lurus, tidak tegak, tapi bengkok. Ada yang tergantung di atas dahan kering, ada yang di atas meja, ada yang mengawang-awang. Semua bentuk jam ini bengkok, leleh, tidak lurus. Inilah gambaran mengenai waktu. Waktu itu tidak selalu sama. Waktu itu relatif, kadang-kadang terasa cepat, kadang-kadang lambat, sering-sering juga molor.

Itulah waktu yang relatif, bisa panjang, bisa pendek, bisa cepat, bisa lambat. Ketika saya masih kanak-kanak, waktu rasanya begitu panjang. Begitu bangun tidur, langsung yang dipikirkan adalah bermain; bermain dari pagi sampai petang. Mengejar layang-layang yang putus karena adu sambitan, pergi ke sawah mencari jangkrik, mandi di sungai atau di laut, ikut menggembalakan kambing di padang, dsb. Pendek kata waktu terasa tidak ada habis-habisnya. Tetapi, semakin dewasa, semakin besar, waktu rasanya semakin pendek. Sekarang ini waktu 24 jam sehari rasanya kurang, karena ada banyak hal yang belum terselesaikan. Itulah relativitas waktu.

Mazmur 90: 6 mengatakan bahwa hidup manusia itu seperti rumput, pagi hari tumbuh, siang hari berkembang, sore hari menjadi kering, layu dan mati. Ada sebuah teka-teki: Makhluk apakah yang kalau pagi berkaki empat, siang berkaki dua dan sore berkaki tiga? Jawabannya jelas: manusia. Periode hidup manusia dimulai dengan berkaki empat (bayi), kemudian menjadi dewasa (kaki dua), menjadi tua (berkaki tiga: dua ditambah satu tongkat, bahkan bisa juga tongkat yang berkaki tiga, atau bahkan berkaki bundar, kursi roda). Ada pepatah dalam bahasa Jawa yang mengatakan: urip iku mung kaya wong sing mampir ngombe (hidup itu seperti orang yang hanya mampir minum). Seberapa lamanya orang mampir minum? Hanya sebentar saja dan orang harus pergi lagi.

Mazmur 90:10 melanjutkan, masa hidup manusia itu tujuh puluh tahun dan jika kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan manusia melayang lenyap. Masa hidup tidak bisa diperlambat atau dipercepat. Umur manusia tidak bisa ditawar-tawar dan tidak bisa diundur. Pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan dengan masa hidup itu? Mau digunakan untuk apakah masa hidup yang diberikan kepada kita ini? Hanya ada dua kemungkinan: digunakan sebaik mungkin, ataukah disia-siakan dengan percuma.

Orang yang tidak menemukan waktu untuk berbuat baik, selalu menemukan waktu untuk berbuat jahat. Orang yang tidak menemukan waktu untuk berbuat jujur, selalu menemukan waktu untuk korupsi, kolusi dan ngapusi. Orang yang tidak menemukan waktu untuk menolong orang, selalu menemukan waktu untuk menipu orang. Orang yang tidak menemukan waktu untuk berdamai, selalu menemukan waktu untuk bermusuhan dan menebar teror. Orang yang tidak pernah menemukan waktu untuk memanggil nama Tuhan, akhirnya akan menemukan waktu untuk dipanggil Tuhan. Terserah kepada manusia, makna apa yang akan dia berikan untuk mengisi waktu yang diberikan kepadanya. Masalahnya bukan panjang atau pendeknya waktu yang tersedia, tetapi apa yang akan dia perbuat dengan waktu yang ada. Isi apa yang akan dia berikan selama kurun waktu hidup yang dianugerahkan kepadanya.

Hidup di dunia ini hanya sementara, tidak akan berlangsung selama-lamanya. Masalahnya, banyak orang yang hidup seolah-olah tidak pernah akan mati. Karena itu melakukan apa saja sekehendak hatinya, tidak peduli orang lain menderita, tidak peduli orang lain sengsara, bahkan mati sekali pun. Yang penting dirinya sendiri tetap jaya, tetap berkuasa, memiliki segala-galanya. Apakah pernah berpikir bahwa suatu saat semuanya ini akan berakhir? Kapan akan sampai? Tak seorang pun yang tahu! “Karena itu berjaga-jagalah., karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga” (Luk 12:40).

Kita tidak tahu kapan Putera Manusia datang, kita tidak tahu kapan Tuhan akan memanggil kita. Tapi satu hal kita tahu pasti: kita bisa mempersiapkannya. Bagaimana? Dengan memberi makna pada hidup ini, entah panjang, entah pendek. Yang penting bukan panjang atau pendeknya waktu hidup kita, tapi makna apakah yang akan kita berikan kepadanya. Terserah kepada manusia, kehidupan macam apa yang akan kita rajut. Apakah kita mau menjaga dan memelihara kehidupan, mau peduli terhadap sesama kita, mau saling menolong, mau saling memperhatikan, ataukah mau merusak kehidupan, saling menginjak, saling membunuh, saling tidak peduli, saling cakar, saling membasmi, karena takut kehilangan “kekuasaan”? Makna apakah yang akan kita berikan kepada kehidupan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita? @@@

1 komentar: