Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Kamis, 19 Mei 2011

Belajar dari Pieta Michael Angelo

Di Basilika Santo Petrus Roma ada sebuah patung yang sangat terkenal di seluruh dunia, namanya Pieta. Pemahatnya, yang juga melukis kapel Sistina, Michael Angelo Buonarotti (1474-1564). Dia membuat patung ini ketika masih berusia 22 tahun. Dia orang jenius dan luar biasa, seorang pemahat, pelukis, penyair dan arsitek sekaligus.

Patung ini menggambarkan penderitaan, kepedihan dan kepiluan Bunda Maria yang sedang memangku Puteranya, Yesus, yang sudah wafat. Hatinya seperti disayat sembilu. Injil Lukas melukiskan: “Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu:  ...dan sebilah pedang akan menembus jiwamu sendiri ...” (Lk 2: 34-35).

Bagi seorang ibu, tidak ada kesedihan yang lebih besar daripada menyaksikan anak yang dikasihinya meninggal di pangkuannya. Tidak ada kepiluan yang lebih dalam daripada melihat anaknya meninggal di hadapannya, di depan mata kepalanya sendiri! Bahkan dalam kematian yang wajar pun, seorang ibu mengalami kesedihan yang sangat dalam. Suatu ketika ada seorang ibu datang kepada saya, menceritakan perihal anaknya yang meninggal karena kanker otak. Ibu itu masih memperlihatkan kemarahannya ketika bercerita.

Meski sudah 12 tahun anaknya meninggal, kekecewaan dan kemarahannya belum tersembuhkan. Peristiwanya sudah terjadi 12 tahun yang lalu, dan sampai sekarang ibu itu masih berduka cita dan marah. Kematian anaknya wajar, karena penyakit. Bisa kita bayangkan, betapa lebih besar dan betapa lebih dalamnya kesedihan itu bila kematian anaknya tidak wajar, bila kematiannya tidak alamiah; bila kematian yang terjadi itu memang menjadi sasaran perbuatan orang lain yang disengaja. Betapa besar kepedihan dan mungkin juga kemarahan dan dendamnya!

Tragisnya, ada orang yang bersenang-senang dan bergembira melihat orang lain menderita. Ada orang-orang yang mengambil keuntungan dari penderitaan orang lain, bahkan dijadikan proyek, dan bahkan dengan sengaja menyebabkan penderitaan dan kematian orang-orang lain, yang nota bene sesama manusia dan sesama ciptaan Tuhan. Dan lebih tragisnya lagi, bahkan mengatasnamakan Tuhan dan agama!

Selalu ada orang-orang yang bergembira dan menari-nari di atas penderitaan orang lain, bahkan mereka sendirilah yang menjadi penyebab, karena mereka bisa mengambil manfaat dari itu. Kita bisa bertanya, apakah hal ini yang sedang terjadi di sekitar kita, di negeri kita yang tercinta ini?

Dengan segala macam teror dan kekerasan sistematis yang sengaja diciptakan? Dengan segala bentuk tindakan intimidasi yang dirancang untuk memperoleh kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan, demi tercapainya kepentingan pribadi, atau demi kepentingan kelompok atau golongan tertentu? Ada berapa banyak ibu yang kehilangan anak-anak mereka? Ada berapa isteri yang kehilangan suami? Ada berapa anak yang kehilangan orangtua mereka? Dan betapa dalamnya kepedihan mereka yang kehilangan orang-orang yang dikasihinya?

Dalam Injil Yoh 19:25-27, Yesus, yang tergantung di kayu salib, berkata kepada ibu-Nya: “Ibu, inilah anakmu”, dan kepada Yohanes: “Inilah ibumu”. Maria memberikan seluruh hidupnya untuk Tuhan, dia melaksanakan kehendak Tuhan. Kata Maria kepada malaikat Gabriel: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataan-Mu itu” (Lk 1: 38).

Di dalam Injil, Maria selalu hadir demi Yesus, Puteranya. Dia selalu menunjuk kepada Yesus dan bukan kepada dirinya sendiri, sejak kelahiran Yesus di Bethlehem sampai ke puncak Kalvari. Seolah-olah Maria mau berkata: “Lihatlah, apa yang telah mereka perbuat terhadap Puteraku”.

Maria hadir pada puncak penderitaan: sengsara dan wafat Puteranya di kayu salib dan Maria menerima kembali Puteranya yang sudah wafat di pangkuannya. Yohanes, wakil dari Gereja, wakil kita semua, ditantang, apakah kita mau menerima Maria sebagai ibu kita? Menerima Maria sebagai ibu berarti siap menghadapi segala macam penderitaan dan tidak menutup mata terhadap penderitaan sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar