Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Kamis, 20 Januari 2011

Becoming a Loving Person


Orang-orang yang paling bahagia tidak perlu memiliki yang terbaik dari segala sesuatu, mereka hanya membuat yang terbaik dari segala sesuatu yang mereka miliki atau yang mereka terima dalam hidupnya”.

Itulah pesan Emilio Pablo Gomez CMF (almarhum), seorang pastor yang dalam usia yang tidak muda lagi setia mengembangkan karya pelayanan terapi refleksi kepada orang sakit, yang terus menerus memberikan kepada saya inspirasi hidup yang tak kunjung ada habisnya.

Semangat itulah yang mendorong saya untuk berusaha semakin mencintai siapa saja, terutama pasangan hidup dan dua putra yang dianugerahkan Tuhan kepada saya. Saya kira setiap orang menginginkan kebahagiaan hidup, tetapi kadang kita tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan kebahagiaan itu. Kita bertanya: Apa yang bisa kuperbuat agar aku mendapatkan uang banyak dan menjadi kaya? Kita bertanya: Apa yang dapat aku perbuat lagi agar aku dapat memperoleh kenikmatan, kesenangan, dan tepuk tangan kekaguman? Setiap orang ingin sukses tetapi banyak orang tidak tahu tentang sukses itu apa. Kita mengira bahwa sukses itu identik dengan banyak uang, bisnis yang berkibar, jabatan atau kedudukan yang tinggi.

John Powell SJ (1989: 56-57) dalam bukunya “Happiness Is an Inside Job” mengatakan bahwa setiap orang yang telah berkeputusan untuk menjadikan hidupnya wujud cintakasih tidaklah pertama-tama dan terutama bertanya tentang uang dan kesenangan. Orang yang mengasihi tidak bertanya bagaimana bersenang-senang, tidak mencari pujian, tidak berpikir-pikir bagaimana menjadi pujaan orang. Dorongan utama orang yang mengasihi tidak lain kecuali menjadi orang yang mengasihi. Satu-satunya pertanyaannya ialah “Apakah yang harus saya lakukan untuk mengasihi?” Inilah keputusan cintakasih. Inilah komitmen cintakasih.

Itu pula semangat yang terus mengubah hati saya, cara berpikir saya, mengubah bagaimana saya berinteraksi dengan pasangan saya. Dorongan kuat satu-satunya di dalam hati saya adalah bagaimana saya bisa menjadi seorang manusia yang sungguh mencinta (becoming a loving person). Tetapi saya juga menyadari bahwa bagaimana pun saya juga adalah manusia biasa yang sedang dalam proses "menjadi"; yang kadang masih dibelenggu oleh cara berpikir dan cara bertindak lama yang sudah tertanam sejak kecil (di bawah sadar) di dalam diri saya pada masa-masa pertumbuhan saya sebagai manusia.

Saya berasal dari sebuah keluarga Tionghoa yang boleh dibilang mampu. Saya memiliki orangtua, yang menurut ukuran standard hidup yang normal, bisa dibilang orang tua yang sungguh hebat. Tetapi di lain pihak, saya juga menyadari bahwa bagaimana pun juga orangtua saya adalah manusia biasa.

Saya dibesarkan di dalam suasana keluarga yang penuh dengan suasana kompetisi, yang sangat rasional, penuh persaingan, perjuangan untuk meraih prestasi. Di antara kami jarang ada pembicaraan mengenai perasaan, feelings, empati, dll. Tidak pernah ada tempat untuk perasaan. Hal itu juga terlukis dalam bagaimana ayah memberikan nama kepada kami, anak-anaknya. Nama keluarga, kami tidak punya. Ayah saya memberi nama dirinya dengan sebutan: Buyung Malik. Ketika ditanya, “mengapa memilih nama itu?”, jawabannya adalah “karena saya suka”. Dalam keluarga Tionghoa, anak laki-laki adalah pilar penerus keluarga. Kakak saya, yang sulung, diberi nama Ending Fajar. Yang nomor dua, diberi nama Hendy Suryanto. Saya sendiri adalah Edy Oentorodjati, dan adik saya: Bambang Singohadi. Ayah saya ingin keluarga saya tidak perlu punya nama keluarga. Setiap anak punya keistimewaannya sendiri; dan pernah menjadi duplikat dari satu kepada yang lain, bahkan duplikat dari diri pun rela ditanggalkan, yakni namanya sendiri. Tetapi, akibatnya? Setiap orang di antara kami lalu punya "kehidupannya" sendiri-sendiri.

Konkretnya begini. Kakak saya yang sulung, Ending Fajar, seorang muslim. Hendy Kristen Protestan. Saya katolik. Adik saya Katolik. Kehidupan kami menjadi sedemikian beraneka-ragam. Benar bahwa ayah saya dulu melihat bahwa tiap anak unique. Tetapi akibatnya adalah bahwa relasi di antara kami tak ubahnya seperti sekedar teman belaka. Perlakuan terhadap saudara hanya seperti perlakuan terhadap teman. Apa yang dilakukan oleh setiap orang anak yang satu tidak perlu mendapatkan perhatian dari yang lain. Mungkin karena persoalannya memang belum sampai pada persoalan hidup atau mati. Kalau sudah sampai pada taraf itu, mungkin juga ada sikap yang lain. Sejauh masalah hidup ini hanya persoalan bisnis, maka sikap yang ada adalah “kerjakan bisnismu dan aku mengerjakan bisnisku”.

Apa yang menjadi bahan pembicaraan anak yang satu tidak perlu menjadi bagian atau urusan yang lain. Jika saya mengerjakan sesuatu, orang lain juga tidak perlu peduli. Di balik sikap saling menghormati di antara kami dengan cara seperti ini, sebetulnya terkandung sikap: kurang peduli. Akibatnya, nilai-nilai kepedulian seperti itu tidak pernah saya kenal. Sejak kecil saya menghayati hidup saya sendiri; saya tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh saudara saya yang lain. Meski demikian, sebagai kakak, ada juga usaha untuk memperlakukan adiknya supaya begini begitu, urus ini dan bukan urus itu.

Saya mulai merasakan sesuatu yang berbeda justru setelah saya bertemu dengan keluarga pacar yang kemudian menjadi isteri saya. Isteri saya dibesarkan dalam keluarga yang sederhana, boleh dikatakan sedikit puritan, tradisional, tidak terlalu mengagungkan nilai-nilai materiil, tapi lebih mengutamakan "guyub". Saya melihat dengan jelas bagaimana kakak beradik dalam keluarga isteri saya itu menyayangi satu sama lain. Pengalaman seperti ini memang agak sulit dideskripsikan, namun bagi saya hal itu jelas kelihatan, ketok. Bahkan boleh dikatakan sebuah "cultural shock" bagi saya.

Mereka adalah pekerja-pekerja keras yang mencintai pekerjaan atau profesi mereka. Hidup tidak merepotkan orang lain. Mandiri. Bisa mendapatkan nafkah yang standard untuk hidup yang cukup bermutu. Meskipun tidak kaya, mereka puas dengan hidupnya. Dan apa yang penting bagi salah satu saudara, menjadi concern dari yang lain. Namun sebaliknya di keluarga saya, suasananya seperti berlomba dengan prestasi. Harus begini dan begitu supaya eksis. Semua ini secara tidak sadar mempengaruhi sikap dan perilaku saya.

Ketika memasuki awal perkawinan, cara pandang saya sungguh berbeda dengan cara pandang isteri saya. Hal seperti ini yang membuat saya pada suatu hari sempat mengalami frustrasi. Lalu, saya menemui Romo Wiryapranata SJ, yang menikahkan saya. Kepadanya saya katakan: “Romo, wanita itu ternyata makhluk yang sulit dimengerti..." Saya menganggap bahwa nilai-nilai saya adalah nilai-nilai yang paling benar tentang bagaimana menjadi orang. Ketika kemudian terjadi pertengkaran, karena perbedaan pandangan, sungguh saya tidak bisa memahami. Saya katakan: Asal saya sudah bertanggung jawab apa yang menjadi kebutuhan hidup, mengapa kamu masih tidak puas? Saya tidak bisa memahami ini. Saya tidak tahu ada bahasa lain yang bisa mengungkapkan cinta saya kepada isteri saya.”

Dari Week-end Marriage Encounter-lah kemudian saya mengerti, ternyata ada banyak cara untuk mencintai, cara baru untuk mencintai. Dulu saya sempat frustasi karena rasanya sudah mencintai sepenuhnya, tetapi kok masih ada yang tidak puas, ada hal-hal yang belum terpenuhi. Saya tahu sebabnya, yaitu karena pandangan saya yang begitu "kering": karena pikiran saya hanya materi; selama saya sudah memenuhi kewajiban saya, rumah tangga sudah kecukupan, anak-anak sudah disekolahkan, lalu apa lagi? Seolah-olah kewajiban saya sudah selesai. Saya sudah mencintai ketika saya sudah melakukan kewajiban-kewajiban saya. Sikap-sikap "rasional" seperti itu saya yakini sebagai sikap terbaik dan paling benar dalam kehidupan, sampai-sampai ketika isteri saya ingin mengunjungi ibunya, saya bereaksi dan bilang: "Ngapain jauh-jauh ke rumah ibu? 'Kan ada telepon. Telepon dibuat untuk mengatasi kendala jarak dan waktu, itu sudah sangat cukup". Sekarang saya sadar bahwa ternyata relasi dengan ibunda itu tidak bisa diganti dengan seutas kabel telepon. Dulu saya sungguh tidak bisa mengerti. Dulu saya berpandangan: “Kita harus menjaga jarak dengan siapa pun, kenapa harus kontak dengan mereka?” Saya masih ngeyel. Contoh yang lain lagi, mau layat. “Lha orang tidak begitu kenal dengan yang mati, kok harus layat...”

Semua diukur dengan benefit atau tidak. Kini saya sungguh menyesal bahwa dulu saya punya pandangan dan sikap seperti itu: terhadap isteri dan anak-anak. Yang saya sadari setelah Week-end Marriage Encounter itu adalah bahwa anak-anak tidak saya perlakukan seperti dulu lagi. Mereka dulu saya pandang tak lebih dari akibat logis dari hubungan biologis semata. Dan pikiran semacam itu sungguh kejam dan jahat. Alangkah rendahnya saya, ketika ukuran yang kupakai hanya biologis semata. Saya sadar bahwa sikap seperti itu memang dilatarbelakangi oleh ketidakpahaman saya; sikap seperti itu sungguh tidak saya sengaja.

Kini saya sadar bahwa di dalam diri anak-anak, ada Tuhan yang berkarya. Jika mengingat hal itu saya dulu, saya menangis terus dalam penyesalan: mengapa saya bersikap seperti itu kepada anak-anak dan isteri saya. Bahkan ketika anak-anak mencapai umur 10 tahunan, masa-masa penting bagi pertumbuhan anak-anak, saya masih memperlakukan mereka seperti itu, yang menurut pandangan saya waktu itu tidak ada yang salah. Melalui Week-end Marriage Encounter saya mendapatkan pandangan baru dan sekaligus peneguhan bahwa belum terlambat asal kita mau ... bahwa "tak seorang pun mampu kembali dan memulai sebuah awal yang sama sekali baru, namun siapa pun bisa memulainya dari sekarang, dan menciptakan sebuah akhir yang sama sekali baru ...!"

Saya bersyukur bahwa saya masih bisa menebus masa-masa emas yang hilang tersebut, dengan mengubah hidup saya: perubahan hati, perubahan pikiran, perubahan sikap dan tindakan saya. Meski sempat kecewa, tapi hari ini saya melihat tidak ada banyak yang perlu saya kecewakan tentang anak-anak. Mereka kini sekitar 21 dan 23 tahun, masih menjalani masa studi; dan saya optimis bahwa mereka akan menjadi anak-anak yang baik.

Week-end Marriage Encounter-lah, yang berperan besar mengubah pandangan saya tentang perkawinan, tentang anak, tentang kehidupan. Itu salah satu yang paling saya syukuri. Dan yang terlebih ingin saya syukuri adalah bagaimana cara saya mencintai pun berubah dan berkembang. Dulu saya memandang cinta itu secara material, cinta itu segala kewajiban yang harus dipenuhi; tanggungjawab. Saya akui memang bahwa meski saya ini Katolik, namun pertama-tama saya tetap seorang Confusianis. Bagi saya Confusius mengatur "hubungan/relasi" antara suami, isteri, ayah, anak, saudara; sampai ke paman dan bibi; dan seterusnya. Termasuk di dalamnya hubungan pemerintah dan rakyatnya: majikan dan pekerjaannya, dan seterusnya. Namun dalam konteks relasi suami dan isteri, Confusius tidak menempatkan pria dan wanita setara, sehingga meski Confusius mengajarkan penghormatan kepada wanita, namun pria tetap sebagai utama dan wanita adalah sub-ordinasi pria. Di sinilah iman Katoilik menjadi jawabannya, dan lebih relevan dalam konteks relasi yang lebih sehat, mesra, akrab, dan bertanggungjawab.

Dulu saya kehabisan akal tentang bagaimana saya harus mengungkapkan cinta saya pada isteri saya. Kewajiban sudah saya penuhi, lalu apa lagi? Untunglah menghayati nilai-nilai Marriage Encounter membuat saya peka tentang bagaimana cara mengungkapkan cinta yang paling efektif kepada pasangan hidup. Ternyata masih ada ribuan cara untuk mencintai.

Supaya gampang dimengerti, baiklah saya tunjukkan dengan contoh. Misal, mengantar isteri. Dulu kalau saya melihat tidak ada kepentingannya, maka saya cenderung wegah, malas, tidak mau. Maka, saya persilakan isteri untuk diantar sopir. Urusan wanita itu sekitar pasar, pawon (dapur), dan sering kurang mempertimbangkan waktu dan jam. Saya bisa terlibat apa dalam aktivitas sekitar pasar dan pawon ini? Wong saya pria? Ketika saya berhasil mengatasi hambatan itu, saya bisa terlibat masuk ke pasar, terlibat menawar, bahkan memilihkan baju bagi isteri saya.

Kini saya juga bisa memahami bahwa bagi isteri berjumpa dengan ibunya itu penting dan beralasan, saya bisa mengerti, bahwa hal seperti itu sungguh penting bahkan esensial bagi dia. Meski teknologi sudah memadai untuk berhubungan; namun apa pun itu, tidak bisa menggantikan esensi sebuah perjumpaan. Belakangan saya menjadi tahu bahwa seperti itulah yang namanya cinta.

Ketika dulu isteri hamil, dan periksa ke dokter, saya mau mengantar isteri saya. Hal itu saya lakukan lebih karena terdorong oleh suatu perasaan bahwa ini merupakan akibat dari perbuatan saya, bukan karena ini penting bagi isteri atau saya merasakan pentingnya hal itu. Lama-lama saya mulai belajar: tidak semua hal bisa diutarakan dengan alasan yang masuk akal, yang logis. Saya dilatih untuk memilih berbuat sesuatu yang tidak penting tanpa mempersoalkan betapa pentingnya perbuatan itu menurut akal saya.

Dulu waktu pacaran, saya masih mau mengantar Lian isteri saya pulang ke rumah tantenya di Juwana dan Jepara (pantai Utara Jawa Tengah) melalui jalanan jelek yang membuat saya mengeluh dan sumpah serapah. Karena masih pacaran hal itu mau saya lakukan. Tapi setelah menikah, hal itu tidak saya lakukan lagi. Namun, ketika saya sudah bisa mengatasi hambatan saya, saya rela mengantar dia lagi, apa pun alasannya, penting tidak penting, tidaklah lagi penting dibandingkan dengan relasi. “Berada dalam relasi jauh lebih penting daripada berada dalam benar-salah”, saya ingat Pasutri Team Week-end kami mengucapkan itu.

Sebagai suami isteri berada dalam relasi jauh lebih penting daripada soal benar-salah. Tentu itu tidak berarti membenarkan yang salah. Saya tidak perlu mempersoalkan benar salahnya hal-hal kecil yang kadang tidak masuk akal itu, tetapi saya melakukan apa saja yang saya anggap tidak penting itu asal itu merupakan cara untuk bisa menyatakan cinta saya kepada pasangan saya. There are many ways to love my love. Ada banyak cara untuk mencintai.

Dalam bukunya yang berjudul “Awakening: Conversations with the Master” Anthony de Mello SJ (1998: 100) mengingatkan kita dengan sebuah cerita: “Seorang murid mengatakan: Aku hidup berkelimpahan, tetapi aku adalah orang yang sungguh malang. Mengapa?” Lalu, jawab sang Guru: “Karena anda menghabiskan waktu terlalu banyak untuk mencari uang, dan terlalu sedikit untuk mencintai.” Marilah kita terus menerus belajar bagaimana menjadi orang yang mencintai.@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar