Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Senin, 17 Januari 2011

Hidup untuk Mencintai



“Kebahagiaan sejati ditemukan dalam cinta yang terbebaskan dari cinta diri,” kata Thomas Merton, “yaitu cinta yang menumbuhkan orang lain, proporsional dengan yang dibagikan.”



Berbicara mengenai cinta, ingatan kita disegarkan kembali oleh ungkapan The Beatles, sekelompok penyanyi rock, yang pada tahun 1960-an pernah melantunkan sebuah lagu yang liriknya antara lain berbunyi demikian: “All you need is love”. Artinya, segala yang kamu butuhkan adalah cinta. Penulis lagu itu, yaitu: John Lennon dan McCartney, dengan sadar menuliskan kalimat itu dengan tujuan: mau mengajari orang tentang pentingnya cinta. Yang perlu mereka kerjakan adalah menunjukkan kepada dunia tentang pentingnya mencintai. Karena itu, pentinglah juga menyanyikan lagu tentang cinta itu. John Lennon dan McCartney sendiri mengharapkan agar orang lain yang mendengarkan lagu itu juga menjadi lebih paham mengenai apa artinya “cinta”, yang pada hakikatnya adalah “segala yang kamu butuhkan”.

Cinta yang otentik

Seorang penyair Itali, namanya Dante Alighieri (1265-1321), menulis puisi yang berjudul “The Divine Comedy”, dan isinya sepaham dengan pandangan dari para penyanyi rock the Beatles. Dia menulis: “Love is the heartbeat of the whole universe”. Cinta itu adalah degup jantung dari seluruh alam semesta. Segala sesuatu berpartisipasi di dalam degupan jantung itu, seiring dengan cinta mereka yang khas yang dapat mereka ungkapkan, kepada dirinya sendiri, kepada tanaman, kepada binatang dan kepada manusia.

Cinta otentik yang merupakan salah satu keutamaan kristiani yang utama bukanlah cinta yang romantik. Paham kristiani mengenai keutamaan cinta ini dapat diklarifikasi pada istilah yang berasal dari bahasa Latin dan Yunani. Kata Yunani untuk cinta adalah “agape”. Dalam bahasa Latin, kata cinta berasal dari kata “caritas”, yang dalam bahasa Inggrisnya “charity”. Dalam kedua bahasa itu arti kata cinta adalah “disposisi afektif terhadap pribadi orang lain yang timbul karena kualitas yang dipersepsikan sebagai menarik, entah karena naluri alami untuk berelasi, atau karena rasa simpati, dan mengakibatkan timbulnya perhatian demi kebaikan dan kesejahteraan pribadi lain itu dan biasanya juga membawa rasa senang pada diri pribadi orang lain itu karena oleh pribadi yang dicintai itu kehadirannya dan keinginannya diterima dan disetujui.”

Jika kita melihat cinta dari perspektif teologi, cinta itu biasanya dimengerti sebagai cinta Allah yang tanpa syarat, cinta yang tanpa pamrih. Untuk memperluas cakrawala pemahaman kita, kita perlu mendiskusikan cinta Allah bagi kita, cinta kita bagi Allah, cinta kita satu sama lain dengan sesama, cinta kita kepada ciptaan Allah, dan pemahaman yang tepat mengenai cinta kita pada diri kita sendiri. Haruslah menjadi jelas mulai sekarang bahwa bahwa “cinta” itu jauh dari sederhana. Keutamaan cinta adalah dasar bagi hidup kristiani, sehingga kita harus melakukannya dengan baik untuk memberikan cinta itu dengan sepenuh perhatian kita.
Agar keutamaan cinta itu menjadi otentik maka kita perlu aktif untuk membantu orang lain agar orang lain itu dapat merasakan bahwa dirinya itu dicintai. Anda dapat mengatakan kepada saya 30 kali sehari bahwa anda cinta pada saya, tetapi kalau anda tidak melakukan cinta itu dalam tindakan, maka saya tidak akan merasakan bahwa anda mencintai saya, dan saya juga tidak akan tahu bahwa anda memang mencintai saya. Cinta itu akan tinggal dalam pemikiran abstrak kalau cinta itu tidak diwujud-nyatakan, kalau cinta itu hanya dalam bentuk kata. Dalam artian yang seperti ini, supaya seorang isteri itu merasa dicintai, maka suaminya harus menungkapkan cintanya itu dengan cara-cara yang dapat dirasakan oleh isterinya. Adalah penting bagi suami dan isteri untuk mengatakan “I love you” satu sama lain. Tetapi penting juga bagi seorang suami untuk membawa bunga kepada isterinya, mengambil tanggung jawab urusan rumah tangga dan melaksanakan kewajiban mendidik anak-anak, dan melakukan semua itu dengan penuh cinta demi isterinya yang dia cintai.

Dalam Perjanjian Lama, kesatuan penuh cinta antara manusia dengan Allah digambarkan dengan amat jelas dalam Kitab Kidung Agung, sebagai suatu perayaan cinta seksual yang mesra antara mempelai lelaki dan mempelai perempuan. Di sana dikatakan: “Dinda pengantinku, kebun tertutup engkau, kebun tertutup dan mata air termeterai. Tunas-tunasmu merupakan kebun pohon-pohon delima, dengan buah-buahnya yang lezat, bunga pacar dan narwastu.” (Kid 4: 12-13). “Kekasihku memasukkan tangannya melalui lobang pintu, berdebar-debarlah hatiku” (Kid 5: 4).

Keutamaan cinta tidak dibatasi oleh ranah spiritual, karena cinta manusiawi, baik untuk Allah maupun untuk sesama manusia, tidak pernah dapat menjadi semata-mata spiritual. Terutama dalam sakramen perkawinan, kesatuan cinta baik secara rohani maupun secara fisik itu penting dan dipandang serius. Memang, kita ini adalah manusia, yang tidak melulu rohani tetapi juga jasmani, roh yang menubuh.

Di bagian lain dalam Kitab Suci, kita juga mengenal cinta Allah melalui gambaran hubungan suami isteri. Misalnya, kita bisa baca perikopa ini:
“Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, Tuhan semesta alam nama-Nya; yang menjadi penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut Allah seluruh bumi. Sebab seperti isteri yang ditinggalkan dan yang bersusah hati Tuhan memanggil engkau kembali; masakan isteri dari masa muda akan tetap ditolak? Firman Allahmu. Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihi engkau, firman Tuhan, Penebusmu.” (Yes 54: 5-8).

Cinta Allah terbukti di dalam tindakan-tindakan-Nya yang menyelamatkan manusia, bangsa-Nya. Allah memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan di Mesir. Allah memberikan kepada bangsa Israel tanah yang mengalirkan susu dan madu. Dalam Kitab Ulangan pengalaman bangsa Israel akan cinta Allah adalah alasan untuk sebaliknya mencintai dan menaati Dia. “Dengarlah hai Israel: Tuhan itu Allah kita. Tuhan itu Esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul 6: 4-5).
Bagi umat Israel kuno, cinta itu sensual sekaligus afektif. Kitab Suci Perjanjian Lama menunjukkan kepada kita bahwa cinta itu adalah cinta kepada sesama, dan juga cinta yang setia kepada perjanjian dengan Allah dan setia kepada hukum Musa.

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, model cinta itu adalah Yesus, dan keinginan diri-Nya untuk memberikan hidup-Nya bagi mereka yang dicintai. Santo Paulus dalam suratnya kepada umat di Korintus menyatakan: “iman, harapan dan kasih setia; dan di antara ketiga itu yang paling besar adalah cinta [agape]” (1Kor 13: 13). Kata-kata Paulus itu melukiskan cinta Allah bagi kita manusia, dan jalan-jalan di mana kita dipanggil untuk mencintai Allah dan sesama. Karena itu, cinta itulah yang sekarang menjadi jiwa dan hati dari hidup kristiani.

Cinta yang menjadi nyata

Santo Thomas Aquinas (abad 13), adalah salah satu teolog yang paling berpengaruh dalam seluruh jaman. Ia mengatakan bahwa mencintai berarti menginginkan kebaikan terjadi pada diri orang yang dicintai. Thomas Aquinas menangkap arti mendasar dari cinta itu. Untuk mencintai, kita tidak harus menyukai lebih dulu terhadap orang yang kita cintai itu. Tetapi sebaliknya. Cinta kristiani, agape, itu mewujud dalam pelayanan yang didedikasikan kepada kebaikan orang lain, dan “menyukai” itu tidak ada kaitannya dengan tindakan mencintai itu sendiri.

Ada banyak contoh cinta yang dilakukan oleh banyak orang dalam jaman ini. Bunda Teresa dari Kalkuta, dikenal sebagai pribadi yang memberikan hidupnya untuk melayani orang-orang termiskin dari orang-orang yang miskin. Tetapi sebagus contoh pribadi yang menghayati cinta sedemikian besar, sosok itu begitu jauh dari antara kita. Bagi kebanyakan dari kita, guru cinta yang terbesar dapat kita temu dalam diri orang-orang yang dekat dengan kita, siapa saja, yang dari hari ke hari, memperlihatkan makna cinta itu sendiri. Barangkali itu adalah orangtua kita, nenek-kakek kita, pasangan kita, teman kita. Bagi banyak orang, pengalaman “jatuh cinta” dan “sedang bercinta” juga membawa kita pada pengalaman akan cinta Allah yang menyelamatkan. Kitab Suci pun tidak ragu menempatkan pengalaman yang manusiawi itu untuk mengajarkan kepada kita tentang cinta Allah untuk kita.

Seorang psikolog bernama Erich Fromm, yang sepemikiran dengan Thomas Aquinas, pernah mengatakan pada tahun 1950-an bahwa cinta itu adalah tindakan dan bukan perasaan. Dia mengatakan: “Love is the active concern for the life and the growth of that which we love. Where this active concern is lacking, there is no love.” “Cinta adalah perhatian aktif untuk kehidupan dan pertumbuhan orang-orang yang kita cintai. Di mana perhatian aktif itu kurang, di sana cinta itu tidak ada,” kata Erich Fromm.

Dibentuk oleh sabda Tuhan

Keutamaan cinta adalah lem perekat hidup bersama. Jika tidak ada cinta, segala sesuatunya menjadi udhar, ambyar, terpecah-belah, tidak ada kesatuan. Keutamaan cinta bisa diumpamakan sebagai batu penjuru dalam sebuah bangunan. Jika batu penjuru itu tidak ada, maka runtuhlah bangunan itu. Banyak orang tidak memahami bahwa iman kristiani mengutamakan kesatuan cinta dengan Allah dan cinta kepada sesama, dan kebutuhan yang vital bagi keduanya adalah menjadi bagian dari eksistensi kita sebagai manusia.

Kita perlu mengikuti waktu Allah untuk memperlihatkan cinta-Nya bagi kita, dan kita perlu memberikan waktu untuk membalas mencintai Allah. Jika keutamaan cinta itu menjadi kenyataan, maka kita perlu menyediakan waktu kita untuk berdoa. Melalui doa itu kita mengenal cinta Allah bagi kita, dan kemudian kita membalas cinta Allah itu, dan mencintai orang lain dengan setia. Berlandaskan pada cinta itu, kita akan menjadi mampu setia pada komitmen kita, seperti komitmen dalam perkawinan, imamat, hidup religius, atau hidup membujang.
Keutamaan cinta itu memiliki komitmen untuk hidup yang berakar pada hubungan mesra dengan Yesus Kristus yang sudah bangkit. Jika keutamaan cinta itu sungguh kristiani, maka keutamaan itu mewujud dalam tindakan dalam kesatuannya dengan Yesus dan membawa semangat Yesus. Inilah keutamaan cinta yang merupakan gema dari kata-kata Yesus dalam Injil Yohanes: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” (Yoh 15: 12-13).

Inilah ukurannya: mencintai seperti Yesus sudah mencintai, yaitu: menyerahkan hidup-Nya untuk sahabat-sahabat-Nya.” Bahkan secara radikal, mencintai seperti Yesus mencintai adalah masuk ke dalam cinta yang aktif bagi siapa saja yang bukan termasuk “sahabat-sahabat-Nya”: “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata kepadamu: ‘Kasihanilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.” (Luk 6: 27-29).

Ketika kita mendengar sabda Tuhan yang berbunyi seperti itu, kecenderungan kita adalah berpikir secara literer, berpikir tentang situasi yang luar biasa, di mana kita sesungguhnya dipanggil untuk mencintai seseorang dengan cara memberikan apa yang kita miliki pada orang lain, mantol kita atau baju kita. Inilah cara berpikir yang gagal memahami bahwa keutamaan cinta itu jarang dibutuhkan dalam situasi yang luar biasa seperti itu. Tetapi, cinta itu dibutuhkan dalam situasi sehari-hari dalam hubungan kita dalam keluarga, dengan teman, dan teman kerja kita. Kita dipanggil untuk menyerahkan hidup kita kepada teman kita dan melakukan apa yang baik bagi mereka yang perilakunya melukai kita, atau sekurang-kurangnya pernah membuat kita marah.

Maka berpikirlah peristiwa-peristiwa yang paling sederhana dalam hidup. “Musuh” yang harus kita cintai itu adalah pasangan hidup kita, yang kerapkali membuat kita marah, karena mematahkan sikat gigi kita, atau anak kita yang tidak mempunyai rasa hormat pada orangtua, atau teman kerja kita yang membuang banyak waktu di kantor dengan ngobrol. “Teman” yang disebut oleh Yesus, yang kepadanya hidup kita harus diserahkan, adalah terutama anggota-anggota keluarga kita: pasangan kita, anak-anak kita, orangtua kita. Keutamaan cinta tidaklah sesuatu yang kita hayati di dalam situasi yang luar biasa. Keutamaan cinta harus mewujud dalam hidup kita sehari-hari yang serba biasa ini.

Kebanyakan dari kita mampu menangkap pentingnya cinta di dalam hidup. Kita semua ingin mencintai, dan kita semua ingin dicintai. Tetapi jika kita jujur terhadap diri sendiri, kita harus mengakui bahwa keinginan kita yang pertama-tama adalah untuk dicintai. Apa yang gagal kita pahami atau kita lihat adalah bahwa pencarian untuk dicintai itu adalah jalan yang paling pasti untuk tidak dicintai. “Kebahagiaan sejati ditemukan dalam cinta yang terbebaskan dari cinta diri,” kata Thomas Merton, “yaitu cinta yang menumbuhkan orang lain, proporsional dengan yang dibagikan.”

Hidup punya makna hanya sejauh berkembang karena kita menjadi lupa diri sendiri dalam rangka mencintai orang lain; inilah cinta yang dewasa. Tetapi ini bukanlah segalanya karena kita tidak dapat mencintai tanpa kita mau menerima cinta orang lain kembali. Mencintai berarti menerima cinta; tetapi kita hanya dapat menerima cinta karena mencintai lebih dulu. Inilah paradoks dari cinta itu.

Penutup

Jika kita ingin melihat keutamaan cinta, kita harus menghafalkan dalam pikiran kita bahwa kita tidak akan pernah melihat cinta itu lalu selesai. Kita akan melihat cinta itu menurut pandangan dua belah pihak yang saling mencintai. Tetapi kita akan melihat cinta itu dengan daya kekuatan untuk menyentuh hati di dalam cinta seorang perawat yang mengunjungi tempat tidur pasien yang sedang berproses meninggalkan dunia.

Kita akan melihat kekuatan cinta yang besar di dalam kesetiaan seorang ayah atau ibu yang hari demi hari, minggu demi minggu menjemput anak-anak pulang dari sekolah. Kita akan melihat kekuatan cinta di dalam diri seorang imam yang mau menghabiskan waktu berbulan-bulan di dalam penjara karena konsekuensinya memberikan kesaksian public atas ketidakadilan sosial.
Kita akan melihat cinta dalam kaca mata pandang seorang pribadi yang dalam seluruh hidupnya membaktikan diri untuk pengajaran di kelas untuk bidang matematika, sejarah, kimia, fisika, biologi, bahasa, sastra, musik, seni suara. Kita akan melihat cinta, di dalam kaca mata pandang dan tindakan seorang mekanik motor atau mobil yang tidak hanya terutama memperhatikan motor atau mobil untuk dirawatnya dari tahun ke tahun, tetapi juga memberikan perhatikan terutama bagi orang-orang yang mengendarai motor atau mobil tersebut.Kita tidak akan berhenti untuk memberi arti apa artinya cinta. Tidak ada akhirnya kita mencari arti cinta dalam kehidupan. Hanya hal ini yang perlu diiingat, yaitu bahwa tanpa cinta yang memberi dan menerima maka hidup ini akan menjadi kosong dan tanpa tujuan. Dengan cinta, tidak ada masalah apa pun yang terjadi, hidup ini menjadi bernilai. @@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar