Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Minggu, 16 Januari 2011

Hidup yang Memuliakan Allah


“The Glory of God is a human being who is fully alive”. “Memuliakan Allah berarti menjadi manusia yang sungguh hidup secara penuh utuh”, kata Santo Irenaeus (abad ke-4).


Dalam sebuah seminar yang mengangkat tema pembicaraan “Kerasulan Awam yang Berbasis pada Spiritualitas Ignasian” di kampus Universitas Sanata Dharma (2009) pernah muncul suatu pertanyaan dari salah satu peserta seminar: “Bagaimana mungkin kita manusia bisa memuliakan Allah, bukankah Allah itu sudah mulia dan tidak perlu dipermuliakan; dan apa yang bisa kita buat jika kita mau memuliakan Allah?”
Santo Ignatius dan para pengikutnya pun sangat gemar menulis semboyan: “Ad Maiorem Dei Gloriam”; bahkan di dinding kapel Universitas Sanata Dharma Mrican juga dipajang tulisan yang sama, yang artinya: “Demi Kemuliaan Allah yang Lebih Besar”. Mungkinkah kita manusia mampu membuat Allah lebih mulia?

Pertanyaan seperti itu sungguh dapat dimengerti, karena kita terbiasa memberikan “kemuliaan” kepada pribadi tertentu, membuat pribadi itu “dimuliakan”. Kita sudah terbiasa mendengar sapaan pada awal sebuah pidato: “Saudara-saudara terkasih, para hadirin yang kami muliakan”. Tetapi untuk Allah, tidak mungkin ada manusia yang dapat membuat-Nya lebih mulia. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama ditulis: “Jikalau engkau benar, apakah yang kauberikan kepada Dia? Atau apakah yang diterima-Nya dari tanganmu?” (Ayub 35: 7).
Kita manusia tidak bisa menambah kemuliaan Allah; Allah sudah mulia, dan kemuliaan-Nya tak terbatas. Allah tidak membutuhkan sesuatu dari apa yang kita kerjakan, karena Dia-lah yang memberi hidup, memberi nafas dan segala sesuatu yang lain kepada kita manusia (bdk. Kis 17: 25). Apa pun yang kita kerjakan demi kemuliaan Allah akhirnya adalah demi pertumbuhan kita sendiri dalam hal kesucian.

Mengakui dan memuji kebaikan Allah

Bicara mengenai kemuliaan Allah berarti bicara mengenai kebesaran-Nya, keindahan-Nya, kesempurnaan-Nya. Bicara tentang kemuliaan Allah berarti juga bicara tentang martabat Allah, kebijaksanaan Allah, kemahakuasaan Allah, keadilan Allah dalam memelihara seluruh ciptaan-Nya. Hanya kepada-Nya semua kemuliaan itu diberikan.
“Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa, sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan.” (Why 4: 11). “Aku berkata kepada Tuhan: Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau.” (Mzm 16: 2). Doa “Kemuliaan” yang kerapkali kita ucapkan secara hafalan, menjadi suatu doa yang mengarahkan hati kita pada suatu makna “kemuliaan” yang tersembunyi: Semoga cinta kasih Allah Bapa dinyatakan, diakui, dipuji, dan demikian juga cinta Allah Putra dan cinta Allah Roh Kudus, seperti pada permulaan, dahulu, sekarang, dan sepanjang segala abad, selama-lamanya. Amin.”

Aspek lain dari kemuliaan Allah adalah karakter atau sifat Allah. Kemuliaan itu adalah representasi fisik dari sifat Allah, representasi fisik dari kehadiran-Nya. Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, St. Yohanes mengajarkan kepada kita bahwa “Allah adalah cinta”. God is love. Deus est caritas. Kemuliaan Allah dinyatakan di dalam cinta. Jika kita menerima cinta Allah, maka kita memancarkan kemuliaan Allah itu.

Menurut Dante, kemuliaan Allah itu adalah cinta yang bercahaya: “cinta yang menggerakkan matahari dan segala bintang; cinta yang bersinar melalui segala ciptaan-Nya.” Cinta yang bercahaya itu nampak dalam wajah dua remaja yang sedang jatuh cinta. Cinta yang bercahaya itu juga memancar keluar dari sorot mata lembut seorang ibu yang menatap kelahiran baru puteranya. Cinta yang bercahaya itu juga memancar dari wajah pribadi-pribadi suci, seperti Bunda Teresa dari Kalkuta dan Paus Yohanes XXIII. Cinta itu bercahaya, bersinar, indah, mulia!
Jika saya menghayati hidup saya sebagai “kemuliaan bagi Allah”, maka saya menghayati hidup ini dengan semakin memancarkan cinta Allah itu kepada orang lain. Segala sesuatu yang saya pikirkan, segala sesuatu yang saya katakan, segala sesuatu yang saya kerjakan, harus menjadi perwahyuan diri Allah yang adalah cinta itu melalui “diri pribadi saya”. Hidup saya, pekerjaan saya harus merupakan perwahyuan belaskasih Allah, belarasa Allah, kelemah-lembutan Allah, bagi orang lain.

Menghayati hidup secara penuh

Kita dipanggil untuk memuliakan Allah di dalam hidup kita, lahir dan batin: “Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri [tetapi milik Allah]” Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dalam [dengan menggunakan] tubuhmu” (1Kor 6: 19-20).

Kita dipanggil untuk memuliakan Allah dengan mengembangkan karakter yang baik: “Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah [bertumbuh] dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian sehingga kamu dapat memilih apa yang [paling] baik, supaya kamu suci dan tidak bercacat menjelang hari Kristus, [dan hidupmu] penuh dengan buah kebenaran [kualitas yang baik] yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah” (Flp 1: 9-11).

Yesus bersabda kepada murid-murid-Nya: “Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” (Yoh 15: 8).
Menurut Santo Irenaeus, memuliakan Allah berarti menjadi pribadi manusia yang sungguh hidup secara penuh. Hidup secara penuh merupakan cirikhas pribadi kristiani yang memandang dan menghargai kehidupan ini sebagai hadiah yang datang dari Allah, dan menggunakan tubuh, pikiran, hati, dan jiwanya sebagai kesatuan utuh untuk memancarkan dan mewujud-nyatakan gambaran diri Allah yang adalah CINTA.

Ketika kita mempersembahkan pikiran kita, tutur kata kita, tindakan-tindakan kita demi kemuliaan Allah, maka kita mengakui suatu fakta bahwa kita adalah anak-anak Allah dan bahwa hidup ini adalah pemberian atau hadiah dari Allah, dan bahwa kita adalah hadiah dari Allah untuk dunia. Kita mengakui bahwa hidup ini hadiah dari Allah dan kita menghayati hidup ini dengan menggunakan hadiah dan talenta itu secara penuh dan membagikannya kepada orang lain untuk membangun dunia menjadi tempat yang lebih baik, dan untuk mempengaruhi orang lain agar mereka melakukan segala sesuatu demi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Hendaknya terangmu bercahaya

“Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan [mengenal, mengakui, memuji cinta) Bapamu yang di surga” (Mat 5: 16) adalah perintah Yesus. Yesus dengan jelas menyatakan bahwa tujuan hidup kita adalah berperilaku sedemikian rupa sehingga Allah dimuliakan melalui hidup kita. Hidup semacam apa itu? Hidup yang dilihat oleh orang lain, dan di dalam hidup seperti itu Allah yang berada di surga dimuliakan; bukan diri kita yang dimuliakan. Jadi, memuliakan Allah bukan hanya di dalam doa atau ibadat, tetapi juga di dalam suatu cara hidup tertentu.

Jika kita membiarkan Allah mengendalikan hidup kita, dengan mendengarkan dorongan-Nya, mengikuti kehendak-Nya, kita akan merasakan inspirasi ilahi untuk mengerjakan perbuatan baik. Pekerjaan baik kita akan mengalir secara spontan dari hati kita dan mewujud-nyatakan cintakasih Allah yang mengisi keberadaan kita. Ketika kita menyadari bahwa Yesus dan Allah yang adalah Terang (Cinta) itu yang menggerakkan tindakan kita, dan bukan diri kita sendiri, maka kita akan mulai mencintai Dia secara lebih dan akan menghasilkan cinta yang lebih pula di dalam diri kita, yang membuat Terang itu bersinar lebih.

Kita mencintai karena Allah telah mencintai kita lebih dulu. Maka, semakin kita menyadari cintakasih-Nya untuk kita, kita akan makin mencintai, dan Terang (yang adalah Cinta) itu makin bersinar. Mengapa makin bersinar? Karena kita akan menyadari betapa Allah mencintai kita. Cinta-Nya mendorong kita untuk melakukan pekerjaan baik. Kemudian, barulah terang kita bersinar dengan benar. Inilah artinya bahwa Allah dimuliakan. Ketika kita dipanggil menjadi “terang dunia”, kita tidak hanya diminta untuk bertindak baik dengan tubuh kita, tetapi juga untuk bersikap baik dan bermotivasi baik. Jadi harus ada Roh (spirit) yang menggerakkan perbuatan baik itu; dan jika demikian maka perbuatan baik itu akan memuliakan Allah dan membuat Allah berkenan.

Memuliakan Allah dalam hidup sehari-hari

Allah memanggil kita untuk memuliakan Dia di dalam segala sesuatu yang kita kerjakan, tidak hanya di dalam aktivitas peribatan dan doa. “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semua itu untuk kemuliaan Allah.” (1Kor 10: 31). Ada dua hal yang mau dikatakan oleh Santo Paulus melalui suratnya ini, yaitu: pekerjaan kita dan kemuliaan Allah. Tujuan utamanya adalah memuliakan Allah. Maka pekerjaan kita apa pun bentuknya [makan, minum, studi, kerja, tidur] harus dikembalikan kepada tujuan utama itu: apakah pekerjaan kita itu bisa merupakan bentuk usaha kita untuk memuliakan Allah?

Dengan kata lain, kita dipanggil untuk memuliakan Allah melalui hidup kita yang serba biasa kita lakukan ini. Kita makan, minum, studi, bekerja, beristirahat itu tidak hanya memuaskan rasa dahaga-lapar-lelah kita, tetapi menikmati hidup ini dengan rasa syukur kepada Allah dan mengakui bahwa semua itu diselenggarakan oleh Allah bagi kita. Kita diajak untuk mengingat bahwa Allah itu lebih penting daripada hanya sekedar makanan, minuman, studi, kerja dan tidur. Kita dipanggil untuk menggunakan segala kekuatan dan hidup kita untuk menghormati dan memuliakan Allah.” @@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar