Hidup Berbagi

Hidup Berbagi
Gotong Royong dalam Kerja

Rabu, 19 Januari 2011

Mengampuni untuk Membangun Relasi


“Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak mengampuni kesalahanmu.” (Mat 6:14-15)
Perintah Tuhan seperti saya kutip di atas sudah jelas bagi kita apa maknanya. Tuhan mene­gaskan bahwa kita harus menjadi orang yang suka mengampuni. Se­bagai pasutri, kita selalu ingin memperbarui diri dalam rangka membuat keluarga kita yang sudah baik ini menjadi semakin lebih baik, sehingga kita bisa mewujud-nyatakan apa yang menjadi cita-cita setiap ang­gota keluarga, yakni: “mencintai satu sama la­in seperti Tuhan telah mencintai kita.” Kita tahu bahwa relasi dalam perkawinan me­nun­jukkan adanya pe­luang yang lebih frekuen (katimbang relasi yang lain) untuk mempraktekkannya.

Pengam­punan itu esensial bagi usaha untuk membangun relasi. Apakah selama hidup di dunia ini, pengampunan sungguh tidak diperlukan? Apakah setiap harapan manusia terhadap manusia lain senan­tiasa dapat dipe­nuhi, sehingga tidak pernah ada orang yang kecewa? Apakah hubungan antara suami isteri dalam sebuah perkawinan bisa lestari tanpa perlu adanya pengampunan? Apakah kita tidak punya harapan terhadap orang lain? Apakah orang lain dalam waktu yang sama tidak punya harapan terhadap kita? Apa­kah hidup tanpa pengharapan itu sesuatu yang realistik? Pengharapan itu tidak terlalu realistik, dan bah­kan peng­harapan itu sesuatu yang eksklusif, sehingga terjadilah kekecewaan-kekecewaan. Di dalam dunia yang nyata, meski mencintai orang lain, kadangkala orang saling melukai dan mengkhianati satu sama lain.

“Jika kita sungguh-sungguh ingin mencintai, maka kita harus belajar tentang bagaimana mengam­puni,” kata Bunda Teresa. Ke­pada pasangan suami isteri yang sedang berjuang membangun relasi antar mereka, Bunda Teresa mem­berikan nasihat: “Hendaklah kamu berdoa dan saling mengampuni satu sama lain.” Robert Karen menegaskan bahwa sebuah relasi yang dapat dipertahankan tergantung pada peng­ampunan. Perka­winan yang sukses berarti suatu putaran yang tak terhitung jumlahnya: kekecewaan, ma­rah, jothakan (saling mendiamkan), ungkur-ungkuran (saling menjauhkan, tidak mau saling bertemu), perbaikan. Orang saling melukai hati satu sama lain, beta­pa pun besarnya cinta mereka satu sama lain. Tidak ada hubungan persahabatan, hubungan per­kawinan, atau hubungan kelu­arga yang berlangsung lang­geng, jika tidak ada daya-daya repa­ratif yang disebut pengam­punan, yang bekerja terus menerus un­tuk melawan akibat-akibat yang merusak dari marah, kepa­hitan, yang memecah belah. Tanpa pengam­punan, tidak ada lagi nilai untuk kerapuhan manusia. Kita ingin maju terus, mencari relasi dan koneksi yang sempurna dengan mitra-mitra yang tidak pernah terluka dan kecewa. Kalau be­gitu, perceraian itu tidak perlu ada, kalau orang bisa mengampuni.

Tentang bagaimana kita harus mengampuni, kita bisa belajar dari Frederic Luskin. Dalam bukunya yang berjudul “Forgive for Good”, Dr. Frederic Luskin mengatakan bahwa kemampuan untuk mengam­puni adalah suatu ketrampilan yang sekali dapat dikembangkan, dapat diterapkan untuk situasi mana pun sesuai dengan keadaan seseorang. Ia memberikan gambaran empat lang­kah untuk bisa menjadi orang yang mampu mengampuni, seperti berikut ini.

Tahap pertama

Kita mengalami suatu kerugian atau pengkhianatan, dan kita dipenuhi dengan rasa marah dan terluka hatinya. Kita mempersalahkan orang yang bersalah kepada kita sebagai penyebab rasa sakit hati dan kemarahan kita. Pada saat seperti ini, kita tidak mempertimbangkan bahwa kita masih memiliki sebuah pilihan tentang bagaimana sebaiknya kita merespon terhadap situasi yang kita hadapi. Yang kita rasakan adalah bahwa kita telah dilukai, atau disakiti hatinya oleh orang lain yang melukai dan membuat kita sakit hati dan marah.

Langkah pertama adalah membiarkan kita untuk bisa menyatakan bahwa diri kita terluka dan sakit hati, ketika pasangan kita melakukan sesuatu atau mengata­kan sesuatu yang tidak kita kehendaki. Ka­dang-kadang kita menyangkal adanya rasa terluka dan sakit hati itu. Kita berpikir bahwa sakit hati itu ti­dak terjadi pada kita. Semua yang sudah terjadi itu dirasakan sebagai tidak apa-apa. Kita tidak perlu me­ne­kan perasaan kita, lebih baik kita berusaha untuk mengatasi rasa sakit atau rasa terluka itu. Kita tidak per­lu menyangkal adanya rasa marah dan sakit hati itu. Lebih baik kita menghadapi rasa sakit dan terluka itu.

Tahap kedua

Setelah melewati masa kacau dan bingung, kita mulai melihat bagaimana marah itu tidak membantu hidup dan relasi kita satu sama lain. Kita sekarang mengambil langkah untuk melihat perkaranya dari per­spektif pihak yang lain. Kita mau mencoba melihat pengalaman itu dari perspektif orang lain atau seku­rang-kurangnya mengurangi tingkat pentingnya perkara yang kita alami.

Ketika pelanggaran terjadi, kita perlu meminta penjelasan kepada pasangan kita. Kita tidak perlu mengatakan: “Kamu bodoh! Kamu biadab! Kamu bajingan!”. Sebaiknya kita memiliki kepekaan yang lebih halus. Lebih baik kita mengatakan: “Bagaimana kamu dapat melakukan hal sedemikian tidak menyenangkan itu bagiku? Bukankah kamu mencintai aku? Ketika kamu menghina aku seperti itu, aku sungguh sangat heran. Biasanya kamu itu sangat peka. Dapatkah kamu menceritakan kepadaku mengapa bisa sampai begitu? Apa yang terjadi pada kamu?” Perumusan seperti itu jauh lebih terhormat dan justru akan memungkinkan terjadinya dialog yang lebih tulus.

Tahap ketiga

Kita mengalami kekuatan dari pengampunan, dan memilih dengan cepat su­paya keluhan itu segera sirna dari kita. Kita merenungkan bahwa perjumpaan kita dengan pasangan kita sebaiknya perlu adanya pengampunan, damai dan kegem­biraan. Ketika kita memperhatikan keluhan-keluhan yang sedang terba­ngun, maka kita dengan cepat menantang cerita yang melekat dengan situasi. Kita sadar bahwa lamanya waktu untuk sakit hati dan marah itu diserahkan kepada keputusan kita. Kita dapat memilih untuk meng­urangi waktu di mana kita bingung dan kacau, dan bagaimana dengan cepat kita berubah haluan.

Kadang-kadang sakit hati dan perasaan terluka itu menyebabkan kita ter­lempar ke situasi kebi­ngungan dan kacau, di mana kita terpaksa berputar-putar dan berbelit-belit. Oleh karena itu kita perlu ber­doa dan mohon bantuan kepada Tuhan. Mohonlah kepada Tuhan agar Dia berkenan menjaga pikiran kita untuk tetap berfokus pada aspek pengampunan dan bukan pada pikiran-pikiran yang negatif. Mohonlah kepada Tuhan agar Roh Kudus bisa menjadi penghibur dan penyejuk suasana. Mohonlah kepada Tuhan agar kita diberi karunia untuk bisa berempati dengan pasangan kita yang telah melukai kita itu.

Memang sulit berempati dengan pasangan yang telah melukai hati kita. Tetapi kita dapat meminta kepada Tuhan agar Dia bekerja lebih aktif bersama dengan kita, dan membantu kita untuk melihat perkaranya dari sudut pandang pa­sangan kita; untuk membantu kita memahami mengapa sahabat kita itu melakukan atau mengatakan hal seperti itu, sehingga hal itu sungguh mengganggu kita, dan bahkan telah melawan kehendak dan keinginan kita.

Tahap keempat

Tahap keempat adalah tahap yang paling sulit. Tetapi langkah ini adalah lang­kah yang menentukan sekali, bila berhasil diambil. Kita beralih ke ruang di mana pengampunan itu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita mengambil langkah itu sebagai yang sifatnya pribadi. Kita tahu bahwa kitalah yang ber­tanggung jawab atas hidup kita, atas apa yang kita rasakan dan apa yang telah melukai kita. Kita mema­hami bahwa orang itu tidak sempurna dan itu berarti bahwa dia bisa melukai kita. Kita pun juga mema­hami bahwa kita pun juga orang yang tidak sempurna, dan setiap orang termasuk kita, biasanya bekerja sesuai dengan apa kepentingan kita pribadi. Bagaimana kita kemudian, apakah kita bisa mengampuni orang lain?
Kekecewaan dan luka terjadi di dalam semua relasi, termasuk relasi dalam perkawinan, kelu­arga, dan persahabatan. Dalam tahap keempat ini, kita memahami bahwa luka dan konflik di dalam bere­lasi adalah biasa terjadi. Kita berjuang untuk bisa hidup damai. Kita memberikan kepada orang lain ke­man­faatan dari keraguan kita. Kita mengerti bahwa daya penyembuhan dari pengampunan itu dan secara aktif memilih untuk mengampuni di dalam basis kehidupan sehari-hari.

Ketika kita disalahi orang atau pasangan kita, kita cenderung mudah merasa diri kita lebih unggul secara moral. Untuk mengampuni, kita perlu melihat diri kita sendiri seolah-olah tidak berbeda dengan orang lain atau pasangan yang telah melukai hati kita itu. Dengan mengakui bahwa banyak kali kita juga pernah melukai pasangan kita; kadangkala kita secara sengaja juga melihat dengan kerendahan hati bahwa kita memiliki kesamaan-kesamaan dengan orang atau pasangan kita yang telah melukai kita itu. Kemudian kita berpikir kapan saja kita telah melukai pasangan kita; dan kapan saja kita telah pernah menerima pengampunan dari pasangan kita. Berapa kali Tuhan telah mengampuni kita? Berapa kali pula orang lain, termasuk juga pasangan kita, telah mengampuni kita?

Latihan Mengampuni

Seperti dikatakan oleh Fred Luskin, pengampunan merupakan ketrampilan yang bisa dilatih dan dikembangkan, dan jika kita sudah terlatih, maka dalam situasi apa pun ketrampilan itu bisa kita terapkan sesuai dengan tuntutan keadaan.
Sekarang saatnya kita bisa melatih diri untuk bisa menjadi pribadi pengam­pun. Kita terbantu dengan membuat daftar orang-orang yang kepadanya kita pernah marah, termasuk pasangan kita. Jika mengalami kesulitan, perlu kita sadari bahwa marah itu telah membelenggu diri kita dengan masa lampau kita, suatu tali jerat kehidupan yang tak akan pernah putus jika kita tidak memutus­kannya.

Kita amati daftar nama orang-orang itu, dan kita selidiki satu per satu orang, dalam tahap mana kita telah mengalami proses pengampunan. Lalu, kita buat keputusan untuk mening­galkan rasa marah dan mem­biarkan rasa kecewa itu pergi. Kita lakukan ini semua bukan demi orang-orang yang telah melukai kita dan membuat kita marah, terluka dan kecewa. Kita melakukan ini semua demi diri kita sendiri. Kita tun­juk­kan betapa besar cinta kita terhadap diri kita sendiri. Hal ini memang tidak mudah, dan belum tentu bisa terjadi dalam tempo semalam. Tetapi, ambillah keputusan pada saat ini juga untuk memulai prosesnya.
Jika kita sudah mempraktekkan pengampunan sebagai suatu cara hidup, maka kita dapat mengin­ves­ta­sikan enerji kita untuk memecahkan masalah-masalah, dan bukan untuk melakukan penyerangan dan mem­po­sisikan diri sebagai kurban kekecewaan dan sakit hati.

Penutup

Pengampunan perlu menjadi disiplin keseharian hidup kita. Seyogianya kita tidak perlu menyembunyikan rasa terluka dan marah kita. Ketika kita memprak­tekkan pengampunan, maka rasa marah, pikiran dan perasaan yang pahit itu makin lama makin hilang sedikit demi sedikit. Setelah terbebaskan diri dari kepahitan, kita ditantang untuk men­jadi “ra­mah seorang terhadap yang lain, penuh kasih me­sra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengam­puni kamu” (Ef 4: 32-5: 1).
Untuk mengakhiri sharing kali ini, marilah kita ungkapkan sebuah doa pendek berikut ini: “Tuhan, Engkau tahu apa pikiran dan perasaanku saat ini. Tetapi aku berterima-kasih kepada-Mu, atas segala ban­tuan-Mu, sehingga aku mam­pu untuk tidak lagi menyimpan hal-hal yang memung­kinkan aku mudah ter­su­lut untuk menyerang pasanganku. Sekarang, bantulah aku, supaya aku mampu keluar dari jerat kema­rah­an dan kekecewaanku, dan buatlah aku mampu menjadi utusan cintakasih-Mu.”@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar